Sengkarut Yerusalem dan Insting Bisnis
A
A
A
Algooth Putranto
Alumni Paramadina Graduate School
Keputusan Presiden Amerika Donald Trump pada 6 Desember lalu secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memerintahkan Departemen Luar Negeri untuk segera memindahkan Kedutaan Besar Amerika di Tel Aviv ke ibu kota itu merupakan serangkaian kejutan yang dia buat.
Sebelumnya secara mengejutkan Trump pada Oktober lalu menolak untuk melanjutkan penandatanganan kesepakatan nuklir internasional dengan Iran. Padahal, kesepakatan yang ditandatangani Iran itu selain dengan Amerika juga melibatkan raksasa lain yakni Inggris, AS, Rusia, Prancis, Jerman, dan China. Keputusan menjauh dari Iran jelas pilihan yang bernilai strategis bagi Amerika Serikat. Siapa pun paham, Arab Saudi sebagai mitra Amerika berkali-kali menuding Teheran ada di balik sokongan dana dan senjata bagi pemberontak Houthi Yaman.
Selain Houthi, sejak lama Iran bersama Suriah adalah pendukung bagi gerakan perlawanan Hizbullah yang berbasis di Lebanon. Selain bergerak di Lebanon, Hizbullah adalah motor gerakan perlawanan di Palestina bersama Hamas dan Fatah.
Dengan kondisi lumpuhnya Suriah akibat konflik panjang mengatasi gerakan sektarian-separatis ISIS, praktis kini Hizbullah hanya dapat berharap banyak terhadap dukungan Iran yang oleh pemerintahan Trump, didukung Arab Saudi, telah dijauhi. Dengan begitu, jika kita memperhatikan ihwal sebelum pengakuan terhadap Yerusalem diputuskan Amerika Serikat, tentu bukanlah kejutan besar. Benar, sejumlah pihak percaya keputusan Trump akan mengembalikan eskalasi konflik Timur Tengah yang baru mereda pascabangkrutnya kelompok ISIS di Irak dan Suriah.
Namun, pada sisi lain, sebagai pebisnis andal, kekhawatiran Timur Tengah akan kembali membara serupa masa 1970-an rupanya telah diperhitungkan dan memungkinkan untuk dikendalikan oleh Trump dan Amerika Serikat sebagai negara.
Secara pribadi, Trump memiliki pengalaman berbisnis di Timur Tengah sehingga paham bagaimana dan harus mengambil putusan yang akan menempatkan dirinya tetap sebagai sosok yang memegang kendali. Jika tak percaya dengan kemampuan Trump berbisnis dengan mitra Timur Tengah, setidaknya data Center for Investigative Reporting yang dirilis tahun ini memaparkan ada bisnis Trump yang berlokasi maupun terkoneksi dengan Dubai (UEA), Qatar, dan Jeddah (Arab Saudi).
Aliansi bisnis pada tiga negara termakmur di Timur Tengah itu sudah pasti jaminan bagi langkah politik yang diambilnya. Lalu, bagaimana dengan negara besar lain? Sebut saja langsung Mesir yang kerap jadi kerikil bagi hubungan Amerika-Israel?
Mengapa Mesir? Jika kita belum lupa sejarah konflik Arab-Israel, tentu masih akan ingat bagaimana setengah abad lalu Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser meneken pakta aliansi dengan Yordania pada akhir Mei 1967 yang isinya dua negara akan memberi bantuan jika salah satu dari mereka diserang Israel. Sayangnya, aliansi dua raksasa Timur Tengah ditambah Suriah tersebut berakhir pahit dengan kesuksesan Israel dalam Perang Enam Hari.
Tak hanya kalah perang, Tepi Barat milik Yordania dan Dataran Golan milik Suriah pun dicaplok Israel. Akibat konflik setengah abad lalu, sebanyak 245.000 warga Palestina mengungsi ke Yordania, sementara 11.000 orang ke Mesir, serta 116.000 warga Palestina dan Golan kocar-kacir menjadi pengungsi ke wilayah lain di Suriah. Enam tahun berselang Mesir di bawah Presiden Anwar Sadat menjalin aliansi dengan Suriah di bawah perintah Hafez al-Assad menyerbu Israel pada 6 Oktober 1973 ketika kaum Yahudi merayakan hari suci Yom Kippur.
Dengan karakter Mesir, meski dua kali kalah perang, yang garang tersebut, bagaimana Amerika menjinakkannya? Mudah saja, pada April lalu, Trump melakukan pertemuan dengan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi di Gedung Putih. Salah satu pembahasan dua pemimpin negara adalah kerja sama diplomatik yang di masa Presiden AS Barack Obama berlangsung cukup tegang. Selain itu, Trump berjanji mendukung penuh serta bekerja sama dengan Sisi untuk memberantas terorisme.
Presiden al-Sisi tentu akan dipaksa berpikir strategis di ujung masa pemerintahan yang kedua kalinya tersebut. Tahun depan dia harus memenangkan hati rakyat dalam pemilihan presiden yang tentu besar kemungkinan akan kembali ke tangan militer Mesir.
Presiden Jokowi dan OKI
Lalu, bagaimana dengan negara-negara Timur Tengah lain? Jika melirik Bank Dunia yang dirilis tahun lalu, lupakan saja kemungkinan munculnya agresi! Data itu jelas memperlihatkan selain Mesir dan Iran, negara Timur Tengah yang lain, masih berkutat dengan kondisi ekonomi yang lesu.
Stabilnya harga minyak dunia yang rendah dan konflik internal yang berkepanjangan membuat pertumbuhan ekonomi negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara ada di bawah angka 4%. Dari seluruh negara di wilayah itu, hanya negara mini Djibouti yang memiliki pertumbuhan paling stabil di atas 6%. Tapi, siapa pun paham, stabilnya Djibouti tidak bisa dilepaskan dari peran pentingnya dalam lalu lintas perdagangan di Afrika Timur. Selain itu, Djibouti merupakan satu-satunya negara di benua Afrika yang memiliki pangkalan militer China. Selain itu terdapat militer Amerika Serikat, Prancis, dan Jepang yang mangkal di negara mini yang menjadi negara penting bagi banyak negara Afrika tanpa pelabuhan.
Melihat sejumlah fakta tersebut, tidak mengherankan jika pascapengakuan Amerika Serikat terhadap Yerusalem cenderung tak begitu panas. Meski demikian, perhelatan puncak negara-negara Islam (OKI) yang berlangsung pada 13 Desember 2017 di Turki menghasilkan sesuatu yang menarik. OKI membalas dengan cerdik dengan mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.
Meski pada tataran strategis OKI kurang bergigi, minimal lontaran kritik keras terhadap Presiden Trump akan menjadi bagian kampanye positif bagi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sekaligus Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Turki begitu juga Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadapi Pemilu 2019.
Siapa pun paham. Erdogan-sejak menjadi perdana menteri-maupun AKP sedang mengajukan amendemen untuk meningkatkan peran presiden di Turki sehingga menjadi pemerintahan presidensial. Langkah politik yang ditentang oposisi terbesar Turki, Partai Rakyat Republik (CHP).
Bagaimana dengan Presiden Jokowi yang sejak terpilih bekerja keras meraih popularitas di kalangan umat Islam? Sengkarut Yerusalem tentu tidak boleh dilewatkan. Namun, ada catatan penting soal sikap presiden kita. Presiden Jokowi menyindir halus sejumlah negara anggota OKI yang bereaksi keras, namun tetap mempertahankan hubungan diplomatik mereka dengan Israel, satu di antaranya Turki.
Toh, dengan dinamika yang terjadi, sejauh ini sikap OKI cenderung tak frontal dengan AS. Belum lagi jika kita melihat fakta saat ini Sekretaris Jenderal OKI masih di tangan perwakilan Arab Saudi, Yusuf bin Ahmed Al-Othaimenn yang menggantikan rekan senegaranya, Iyad Ameen Madani. Kita semua paham bagaimana hubungan Saudi dan Amerika kan?
Alumni Paramadina Graduate School
Keputusan Presiden Amerika Donald Trump pada 6 Desember lalu secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memerintahkan Departemen Luar Negeri untuk segera memindahkan Kedutaan Besar Amerika di Tel Aviv ke ibu kota itu merupakan serangkaian kejutan yang dia buat.
Sebelumnya secara mengejutkan Trump pada Oktober lalu menolak untuk melanjutkan penandatanganan kesepakatan nuklir internasional dengan Iran. Padahal, kesepakatan yang ditandatangani Iran itu selain dengan Amerika juga melibatkan raksasa lain yakni Inggris, AS, Rusia, Prancis, Jerman, dan China. Keputusan menjauh dari Iran jelas pilihan yang bernilai strategis bagi Amerika Serikat. Siapa pun paham, Arab Saudi sebagai mitra Amerika berkali-kali menuding Teheran ada di balik sokongan dana dan senjata bagi pemberontak Houthi Yaman.
Selain Houthi, sejak lama Iran bersama Suriah adalah pendukung bagi gerakan perlawanan Hizbullah yang berbasis di Lebanon. Selain bergerak di Lebanon, Hizbullah adalah motor gerakan perlawanan di Palestina bersama Hamas dan Fatah.
Dengan kondisi lumpuhnya Suriah akibat konflik panjang mengatasi gerakan sektarian-separatis ISIS, praktis kini Hizbullah hanya dapat berharap banyak terhadap dukungan Iran yang oleh pemerintahan Trump, didukung Arab Saudi, telah dijauhi. Dengan begitu, jika kita memperhatikan ihwal sebelum pengakuan terhadap Yerusalem diputuskan Amerika Serikat, tentu bukanlah kejutan besar. Benar, sejumlah pihak percaya keputusan Trump akan mengembalikan eskalasi konflik Timur Tengah yang baru mereda pascabangkrutnya kelompok ISIS di Irak dan Suriah.
Namun, pada sisi lain, sebagai pebisnis andal, kekhawatiran Timur Tengah akan kembali membara serupa masa 1970-an rupanya telah diperhitungkan dan memungkinkan untuk dikendalikan oleh Trump dan Amerika Serikat sebagai negara.
Secara pribadi, Trump memiliki pengalaman berbisnis di Timur Tengah sehingga paham bagaimana dan harus mengambil putusan yang akan menempatkan dirinya tetap sebagai sosok yang memegang kendali. Jika tak percaya dengan kemampuan Trump berbisnis dengan mitra Timur Tengah, setidaknya data Center for Investigative Reporting yang dirilis tahun ini memaparkan ada bisnis Trump yang berlokasi maupun terkoneksi dengan Dubai (UEA), Qatar, dan Jeddah (Arab Saudi).
Aliansi bisnis pada tiga negara termakmur di Timur Tengah itu sudah pasti jaminan bagi langkah politik yang diambilnya. Lalu, bagaimana dengan negara besar lain? Sebut saja langsung Mesir yang kerap jadi kerikil bagi hubungan Amerika-Israel?
Mengapa Mesir? Jika kita belum lupa sejarah konflik Arab-Israel, tentu masih akan ingat bagaimana setengah abad lalu Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser meneken pakta aliansi dengan Yordania pada akhir Mei 1967 yang isinya dua negara akan memberi bantuan jika salah satu dari mereka diserang Israel. Sayangnya, aliansi dua raksasa Timur Tengah ditambah Suriah tersebut berakhir pahit dengan kesuksesan Israel dalam Perang Enam Hari.
Tak hanya kalah perang, Tepi Barat milik Yordania dan Dataran Golan milik Suriah pun dicaplok Israel. Akibat konflik setengah abad lalu, sebanyak 245.000 warga Palestina mengungsi ke Yordania, sementara 11.000 orang ke Mesir, serta 116.000 warga Palestina dan Golan kocar-kacir menjadi pengungsi ke wilayah lain di Suriah. Enam tahun berselang Mesir di bawah Presiden Anwar Sadat menjalin aliansi dengan Suriah di bawah perintah Hafez al-Assad menyerbu Israel pada 6 Oktober 1973 ketika kaum Yahudi merayakan hari suci Yom Kippur.
Dengan karakter Mesir, meski dua kali kalah perang, yang garang tersebut, bagaimana Amerika menjinakkannya? Mudah saja, pada April lalu, Trump melakukan pertemuan dengan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi di Gedung Putih. Salah satu pembahasan dua pemimpin negara adalah kerja sama diplomatik yang di masa Presiden AS Barack Obama berlangsung cukup tegang. Selain itu, Trump berjanji mendukung penuh serta bekerja sama dengan Sisi untuk memberantas terorisme.
Presiden al-Sisi tentu akan dipaksa berpikir strategis di ujung masa pemerintahan yang kedua kalinya tersebut. Tahun depan dia harus memenangkan hati rakyat dalam pemilihan presiden yang tentu besar kemungkinan akan kembali ke tangan militer Mesir.
Presiden Jokowi dan OKI
Lalu, bagaimana dengan negara-negara Timur Tengah lain? Jika melirik Bank Dunia yang dirilis tahun lalu, lupakan saja kemungkinan munculnya agresi! Data itu jelas memperlihatkan selain Mesir dan Iran, negara Timur Tengah yang lain, masih berkutat dengan kondisi ekonomi yang lesu.
Stabilnya harga minyak dunia yang rendah dan konflik internal yang berkepanjangan membuat pertumbuhan ekonomi negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara ada di bawah angka 4%. Dari seluruh negara di wilayah itu, hanya negara mini Djibouti yang memiliki pertumbuhan paling stabil di atas 6%. Tapi, siapa pun paham, stabilnya Djibouti tidak bisa dilepaskan dari peran pentingnya dalam lalu lintas perdagangan di Afrika Timur. Selain itu, Djibouti merupakan satu-satunya negara di benua Afrika yang memiliki pangkalan militer China. Selain itu terdapat militer Amerika Serikat, Prancis, dan Jepang yang mangkal di negara mini yang menjadi negara penting bagi banyak negara Afrika tanpa pelabuhan.
Melihat sejumlah fakta tersebut, tidak mengherankan jika pascapengakuan Amerika Serikat terhadap Yerusalem cenderung tak begitu panas. Meski demikian, perhelatan puncak negara-negara Islam (OKI) yang berlangsung pada 13 Desember 2017 di Turki menghasilkan sesuatu yang menarik. OKI membalas dengan cerdik dengan mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.
Meski pada tataran strategis OKI kurang bergigi, minimal lontaran kritik keras terhadap Presiden Trump akan menjadi bagian kampanye positif bagi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sekaligus Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Turki begitu juga Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadapi Pemilu 2019.
Siapa pun paham. Erdogan-sejak menjadi perdana menteri-maupun AKP sedang mengajukan amendemen untuk meningkatkan peran presiden di Turki sehingga menjadi pemerintahan presidensial. Langkah politik yang ditentang oposisi terbesar Turki, Partai Rakyat Republik (CHP).
Bagaimana dengan Presiden Jokowi yang sejak terpilih bekerja keras meraih popularitas di kalangan umat Islam? Sengkarut Yerusalem tentu tidak boleh dilewatkan. Namun, ada catatan penting soal sikap presiden kita. Presiden Jokowi menyindir halus sejumlah negara anggota OKI yang bereaksi keras, namun tetap mempertahankan hubungan diplomatik mereka dengan Israel, satu di antaranya Turki.
Toh, dengan dinamika yang terjadi, sejauh ini sikap OKI cenderung tak frontal dengan AS. Belum lagi jika kita melihat fakta saat ini Sekretaris Jenderal OKI masih di tangan perwakilan Arab Saudi, Yusuf bin Ahmed Al-Othaimenn yang menggantikan rekan senegaranya, Iyad Ameen Madani. Kita semua paham bagaimana hubungan Saudi dan Amerika kan?
(zik)