Ramah Inovasi

Sabtu, 09 Desember 2017 - 08:31 WIB
Ramah Inovasi
Ramah Inovasi
A A A
Miftah Sabri
CEO Selasar Indonesia

Kita menyaksikan perubahan selera pengguna ojek, dari yang konvensional ke ojek daring. Di sisi lain, pada tataran tertentu, pelaku ojek daring pun ikut bertransformasi, bukan lagi berprestise rendah layaknya ojek zaman dulu. Mereka dibekali teknologi, dibekali peta online, dan diwajibkan untuk tampil profesional saat mendatangi konsumen di mana pun berada. Konsumen ojek dimanjakan sedemikian rupa.

Begitupula dengan pengguna taksi. Yang awalnya menunggu beberapa menit, bahkan sampai setengah jam di pinggiran Jalan Sudirman atau Thamrin, misalnya, berdiri dengan dua kaki yang lunglai setelah bekerja, bersama dengan ribuan pekerja yang ingin segera merasakan empuknya kasur di rumah, sampai berganti preferensi ke layar ponsel. Cukup duduk di kantor, memesan angkutan, lalu menunggu dikabari, dan siap-siap untuk duduk manis di belakang supir sampai ke depan pagar rumah.

Kita juga menyaksikan betapa banyak mal, yang selain diperlakukan sebagai tempat nongkrong dan kongko-kongko juga dianggap sebagai pelampiasan hasrat berbelanja kelas menengah, mulai sepi dan ditinggalkan secara perlahan. Berbelanja hari ini pun berpindah ke layar ponsel. Klik, scroll down, scroll up, zoom, lalu klik lagi.

Aktivitas jari yang demikian bisa menghabiskan sejam dua jam sebelum pilihan dijatuhkan. Sehari dua hari kemudian, barang yang diincar sudah ada di hadapan mata. Jual beli terjadi, kepemilikan barang berpindah, dan uang terus mengalir dari konsumen ke pedagang dan produsen. Hebatnya, aktivitas ekonomi bermula hanya dari jari di atas layar ponsel. Tak perlu ada market place di properti kelas menengah atas di lingkaran emas perdagangan untuk pajangan, tak perlu bayar sewa tempat, terkadang pajak pun entah sudah clear atau belum, barang berpindah, transaksi terjadi, dan isi kocek konsumen berpindah tangan.

Kita juga menyaksikan bagaimana ratusan ribu UMKM akhirnya mampu menjual produksi atau dagangannya melintasi pulau-pulau, bahkan melintasi batas-batas negara. Mereka berekspansi tanpa beranjak keluar dari daerah operasinya. Hanya bermodal internet dan kame­ra di ponsel atau pesawat komputer, produksi dan barang dagangannya ikut mejeng di market place dalam jaringan internet. Bisa diakses oleh calon pembeli, baik pemakai ataupun mitra dagang, kapan dan di mana pun, sekalipun tengah malam ataupun subuh, di atas genteng atau sembari tiduran di kasur, bahkan sembari buang air besar sekalipun.

Omzet UMKM berlipat. Kocek mereka tentu ikut menebal dan kesempatan untuk berekspansi semakin besar. Inovasi demi inovasi datang silih berganti. Ada yang diuntungkan, ada yang tersudutkan. Inovasi terkadang menggerakkan selera konsumen, tapi tak sedikit pula inovasi justru didorong oleh selera konsumen itu sendiri. Perubahan selera boleh jadi karena faktor kebutuhan, boleh jadi pula karena memang sudah zamannya untuk berinovasi dan berubah. Tak penting dari mana mulanya, tanpa inovasi kita hari ini akan tetap sama dengan pendahulu-pendahulu kita. Tanpa inovasi, kita tak akan mengenal kemajuan, kecanggihan, atau kelebihan-kelebihan dan kemudahan-kemudahan yang kita rasakan hari ini. Inovasi adalah mesin penggerak perubahan. Inovasi adalah bagian dari kemanusiaan kita, bagian dari fungsi kita sebagai manusia yang tak pernah berhenti berpikir dan berkreasi.

Di ranah publik, tak sedikit hal serupa muncul karena memang sudah zamannya. Layanan kesehatan elektronik, layanan pendidikan daring, sistem pembayaran elektronik, satu kartu seribu fungsi, jalan-jalan bebas hambatan, transparansi anggaran elektronik, tender daring, dan sangat banyak lagi. Semua­nya adalah inovasi untuk menjawab berbagai kebutuhan publik yang memang sudah semestinya disediakan oleh pemerintah. Tapi sayang, munculnya tak masif. Hanya satu dan beberapa daerah di antara sekian daerah yang mampu menghadirkannya. Tak ada pula usaha signifikan dari pemerintah pusat atau politisi-politisi untuk memprioritaskan inovasi.

Dulu ada mobil Esemka. Dipromosikan oleh orang nomor satu di negeri ini. Tapi sayang, sebagaimana politisi lainnya yang cenderung memosisikan inovasi sebagai jualan semata, jualan untuk meraup simpati, Esemka hilang ditelan waktu. Bahkan sampai hari ini nyaris tidak ada politisi yang datang ke Senayan atau masuk ke pemerintahan untuk memperjuangkan inovasi. Untuk menghadirkan aneka inovasi dalam tugas-tugas pemerintahan. Hal yang kerap mereka lakukan adalah mempromosikan segala sesuatu yang diaku pembaruan untuk mengungkit popularitas, bukan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Padahal, semestinya pemerintah dan segenap politisi yang ada di dalamnya tak boleh kalah oleh swasta dalam berinovasi. Di sisi lain, yang tak kalah penting, pemerintah dan semua politisi yang ada di dalamnya pun harus berkomitmen tinggi untuk mendorong, memfasilitasi, membantu, memberi insentif, kepada masyarakat atau siapa pun di negeri ini untuk berinovasi dalam bidang apa saja.

Clayton M Cristensen dan Joseph Bower dalam artikel di Har­vard Business Review,"Dis­rup­tive Technologies: Catching the Wave" (1995) menyebutnya dengan era disruptive innovation. Era inovasi disruptif (disruptive innovation) adalah era di mana banyak bermunculan inovasi yang membantu pelaku bisnis menciptakan pasar baru, yang pada tataran operasional acap malah mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu. Di era ini pelaku bisnis mengembangkan suatu atau beberapa produk dan layanan dengan cara yang tak diduga pasar, pun dengan menciptakan jenis konsumen yang berbeda dengan harga yang jauh lebih kompetitif dibanding yang diterapkan di pasar yang lama.

Keguncangan publik kerap tersulut ketika ada satu atau beberapa inovasi diluncurkan. Bukan saja karena preferensi masyarakat dan konsumen tiba-tiba berubah, tapi juga karena stabilitas tatanan lama terancam. Sebut saja misalnya bisnis-bisnis konvensional yang mulai tergagap oleh masifnya sambutan masyarakat atas kemunculan bisnis-bisnis online. Dengan kata lain, setiap perubahan ada harganya. Ada harga yang harus dibayar oleh pelaku lama dan ada harga yang harus ditanggung oleh pemerintah beserta politisi-politisi yang ada di dalamnya. Jadi tak mengherankan mengapa jauh-jauh hari, di sekitar tahun 1942, Joseph A Schumpeter dalam Capitalism, Socialism, and Democracy sudah menamai proses semacam ini dengan sebutan "creative destruction". Akan ada penghancuran di bawah bangunan inovasi dan kreasi baru. Schumpeter berpendapat, kapitalisme pertama-tama adalah sebuah sistem yang bentuk dan metode ekonominya secara alamiah selalu berubah dan karena itu merupakan satu-satunya sistem yang tidak akan pernah bersifat tetap. Penggerak perubahan yang membuat kapitalisme selalu bisa bertahan adalah sebuah proses yang ia sebut dengan istilah creative destruction (penghancuran kreatif).

Untuk menjelaskan proses penghancuran kreatif, Schumpeter memberi contoh tentang kompetisi di dalam sistem ekonomi pasar sebagai esensi dari kapitalisme. Dalam kompetisi, hanya perusahaan yang efisien, baik dari segi keuangan, manajemen, maupun penguasaan teknolog yang bisa bertahan dan unggul. Pihak lain yang tidak efisien pasti tersingkir (destruksi). Nah di atas reruntuhan itu, muncul (kreasi) kompetitor lain yang secara bisnis menantang perusahaan yang sebelumnya menang. Proses ini berlangsung secara terus-menerus sehingga, menurut Schumpeter, proses penghancuran kreatif merupakan fakta esensial kapitalisme. Dengan kata lain, jatuh-bangun, untung-rugi, baik di masa damai maupun di masa krisis adalah hal yang alamiah, yakni sebuah proses seleksi alam.

Contoh pada tataran teknis adalah perang harga (muncul­nya predatory pricing) sebagai salah satu buah dari perseteruan antara model bisnis digital dan bisnis konvensional. Perpaduan konsep sharing economic dengan inovasi teknologi membuat model bisnis digital menjadi lebih efisien sehingga memunculkan harga yang sangat murah.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9119 seconds (0.1#10.140)