Berpacu dalam Kredit
A
A
A
Haryo Kuncoro
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta,
Direktur Riset the Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta
MEMASUKI bulan-bulan terakhir 2017, prospek penyaluran kredit perbankan masih saja seret. Hingga Oktober 2017, misalnya, kredit perbankan nasional hanya tumbuh 8,18% year on year (yoy) yang beringsut tipis dari pertumbuhan September 7,86%, namun masih tetap lebih lambat dibanding pertumbuhan Agustus 8,26%.
Pertumbuhan kredit selama Januari-Oktober 2017 (year to date) yang masih berada di sekitar 4% semakin menegaskan kemuraman industri perbankan nasional. Tendensi ini pula yang membuat regulator memangkas target pertumbuhan kredit perbankan.
Bank Indonesia (BI) merevisi pertumbuhan kredit dari sebelumnya 10-12% kini hanya 8-10%. Belakangan, BI condong ke angka 7-9%. Setali tiga uang, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan kredit bisa tumbuh 13%, lalu 11%, dan pada Oktober 2017 diturunkan lagi menjadi 10%.
Sasaran pertumbuhan kredit di atas adalah angka terendah selama dua tahun berturut-turut. Sebagai komparasi dalam enam tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan kredit bank umum nasional mencapai kisaran 18% selama tenggat 2011-2015. Bahkan, pertumbuhan kredit pada rentang 2011-2013 menembus 20% lebih.
Suramnya prospek pertumbuhan kredit dalam batas tertentu masih bisa dimaklumi. Pertama adalah imbas dari perlambatan ekonomi domestik. Perekonomian pada kuartal ketiga 2017 tumbuh 5,06% yang tidak jauh beda jika dibandingkan dengan kuartal pertama dan kedua yang stagnan di level 5,01%.
Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga melorot. Pertumbuhan konsumsi melemah dari 4,95% menjadi 4,93% yoy. Dengan kontribusi 55% terhadap permintaan agregat, perlambatan konsumsi menjadi isyarat awal terjadinya stagnasi ekonomi.
Faktor kedua adalah prospek bisnis ke depan belum terlalu kuat. Indeks Tendensi Bisnis menunjukkan kemerosotan dari level 112,39 pada triwulan ketiga menjadi 109,70 pada triwulan keempat 2017. Konkretnya, dalam tataran praktis kinerja sektor industri belum menunjukkan pemulihan.
Pertimbangan ketiga adalah lending standard perbankan yang masih konservatif pascapencabutan program restrukturisasi kredit oleh OJK. Persepsi risiko kredit bermasalah (non-performing loan, NPL) tidak berubah signifikan. Rasio NPL pada Oktober, tercatat 2,93% naik dari bulan sebelumnya yang mencapai 2,91%.
Tiga faktor di atas agaknya juga berlaku bagi kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pada kuartal ketiga 2017, industri mikro dan kecil hanya tumbuh 5,34% yoy. Bahkan, beberapa subsektornya mengalami penurunan. Pelaku UMKM tampaknya belum berani menambah kredit meskipun menggunakan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Dengan kinerja tersebut, mayoritas perbankan kesulitan memenuhi ketentuan BI pangsa 15% kredit untuk UMKM. Tenggat waktu semakin mepet. Bank terus berpacu dengan waktu. Jika gagal terealisasi hingga akhir tahun ini, BI menyiapkan sejumlah sanksi mulai administratif hingga penurunan tingkat kesehatan bank.
Langkah awal berupa pemangkasan suku bunga acuan belum sepenuhnya membantu. Perbankan masih menghadapi banyak kendala untuk menyalurkan kredit yang “menganggur” atau tidak terpakai (undisbursed loan) yang mencapai Rp1.400 triliun.
Dari kalkulasi internal bank, kredit UMKM memiliki profil risiko yang relatif tinggi. Per September 2017, rasio NPL kotor kredit UMKM tercatat 4,36% sama dengan NPL kotor periode yang sama tahun lalu.
Konsekuensinya, suku bunga kredit UMKM dipatok relatif tinggi dibanding suku bunga kredit segmen lainnya. Sementara suku bunga kredit korporasi, konsumsi, dan komersial sudah menyusut menuju single digit, rata-rata suku bunga kredit UMKM masih di level 10,75% hingga 12%.
Tantangan eksternal adalah pemunculan lembaga keuangan pengusung teknologi finansial (financial technology). Teknologi finansial semakin banyak mengambil segmen pasar kredit UMKM yang selama ini menjadi penyangga utama pendapatan bank. Padahal, 80% pendapatan bank diperoleh dari transaksi kredit.
Guna tetap mendorong ekspansi kredit, industri perbankan di Tanah Air membuka peluang untuk memberikan kredit ke segmen korporasi, konsumsi, dan komersial ketimbang UMKM. Dari sini muncul kesan seolah-olah portofolio kredit perbankan kurang memberi perhatian kepada UMKM.
Tesis di atas sepertinya mendekati kenyataan. Perbankan melakukan pembenahan tata kelola pascapencabutan restrukturisasi kredit oleh OJK. Sejalan dengan itu, bank memarkir dananya di surat berharga sebagai cadangan untuk menghadapi kredit tahun depan yang diproyeksikan tumbuh 12% terutama didorong dari kebutuhan kredit korporasi.
Dengan konfigurasi problematika di atas, batas minimum kredit kepada UMKM diperlukan agar perbankan menjalankan fungsi intermediasi keuangan yang inklusif. Dalam perspektif ekonomi makro, menggerakkan potensi ekonomi lintas elemen adalah determinan penting untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi nasional.
Lagi pula, sebagian besar pelaku ekonomi adalah UMKM. Sektor ini mampu menyerap 45 juta orang atau 99% dari total lapangan kerja industri manufaktur. Dengan demikian, UMKM menyimpan potensi yang besar untuk mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, dan meningkatkan momentum pemulihan ekonomi.
Pengalaman krisis 1997/ 1998 membuktikan UMKM tetap eksis pada saat pertumbuhan ekonomi minus. Sektor ini juga menjadi katalisator atas dampak sosial ekonomi krisis. Intinya, pengembangan potensi ekonomi yang melibatkan pendekatan antarpelaku ekonomi bisa menjadi koreksi bagi pendekatan yang selama ini bias ke industri.
Pengembangan industrial melalui kebijakan sektoral memang terbukti mampu menciptakan multiplier effect. Proses tersebut akan lebih kencang apabila ada keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) yang kuat lintas pelaku ekonomi secara menyeluruh.
Pelaku UMKM yang menjadi mata rantai ekonomi otomatis akan terdongkrak. Dengan alur logika di atas, optimisme UMKM harus dibangun terlebih dahulu agar mereka terus mengembangkan usahanya. Peran pemerintah diharapkan memberikan confidence dalam memutus “lingkaran setan” antara perlambatan ekonomi dan pertumbuhan kredit.
Percepatan serapan APBN, belanja infrastruktur, dan proyek prioritas serta dana desa niscaya memberi stimulus bagi aktivitas UMKM di daerah. Apabila momentum ini bisa dipelihara, optimisme UMKM dan konsumen meningkat. Dengan sendirinya, konsumsi rumah tangga akan mengalir dan permintaan kredit UMKM pun ikut terakselerasi.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta,
Direktur Riset the Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta
MEMASUKI bulan-bulan terakhir 2017, prospek penyaluran kredit perbankan masih saja seret. Hingga Oktober 2017, misalnya, kredit perbankan nasional hanya tumbuh 8,18% year on year (yoy) yang beringsut tipis dari pertumbuhan September 7,86%, namun masih tetap lebih lambat dibanding pertumbuhan Agustus 8,26%.
Pertumbuhan kredit selama Januari-Oktober 2017 (year to date) yang masih berada di sekitar 4% semakin menegaskan kemuraman industri perbankan nasional. Tendensi ini pula yang membuat regulator memangkas target pertumbuhan kredit perbankan.
Bank Indonesia (BI) merevisi pertumbuhan kredit dari sebelumnya 10-12% kini hanya 8-10%. Belakangan, BI condong ke angka 7-9%. Setali tiga uang, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan kredit bisa tumbuh 13%, lalu 11%, dan pada Oktober 2017 diturunkan lagi menjadi 10%.
Sasaran pertumbuhan kredit di atas adalah angka terendah selama dua tahun berturut-turut. Sebagai komparasi dalam enam tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan kredit bank umum nasional mencapai kisaran 18% selama tenggat 2011-2015. Bahkan, pertumbuhan kredit pada rentang 2011-2013 menembus 20% lebih.
Suramnya prospek pertumbuhan kredit dalam batas tertentu masih bisa dimaklumi. Pertama adalah imbas dari perlambatan ekonomi domestik. Perekonomian pada kuartal ketiga 2017 tumbuh 5,06% yang tidak jauh beda jika dibandingkan dengan kuartal pertama dan kedua yang stagnan di level 5,01%.
Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga melorot. Pertumbuhan konsumsi melemah dari 4,95% menjadi 4,93% yoy. Dengan kontribusi 55% terhadap permintaan agregat, perlambatan konsumsi menjadi isyarat awal terjadinya stagnasi ekonomi.
Faktor kedua adalah prospek bisnis ke depan belum terlalu kuat. Indeks Tendensi Bisnis menunjukkan kemerosotan dari level 112,39 pada triwulan ketiga menjadi 109,70 pada triwulan keempat 2017. Konkretnya, dalam tataran praktis kinerja sektor industri belum menunjukkan pemulihan.
Pertimbangan ketiga adalah lending standard perbankan yang masih konservatif pascapencabutan program restrukturisasi kredit oleh OJK. Persepsi risiko kredit bermasalah (non-performing loan, NPL) tidak berubah signifikan. Rasio NPL pada Oktober, tercatat 2,93% naik dari bulan sebelumnya yang mencapai 2,91%.
Tiga faktor di atas agaknya juga berlaku bagi kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pada kuartal ketiga 2017, industri mikro dan kecil hanya tumbuh 5,34% yoy. Bahkan, beberapa subsektornya mengalami penurunan. Pelaku UMKM tampaknya belum berani menambah kredit meskipun menggunakan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Dengan kinerja tersebut, mayoritas perbankan kesulitan memenuhi ketentuan BI pangsa 15% kredit untuk UMKM. Tenggat waktu semakin mepet. Bank terus berpacu dengan waktu. Jika gagal terealisasi hingga akhir tahun ini, BI menyiapkan sejumlah sanksi mulai administratif hingga penurunan tingkat kesehatan bank.
Langkah awal berupa pemangkasan suku bunga acuan belum sepenuhnya membantu. Perbankan masih menghadapi banyak kendala untuk menyalurkan kredit yang “menganggur” atau tidak terpakai (undisbursed loan) yang mencapai Rp1.400 triliun.
Dari kalkulasi internal bank, kredit UMKM memiliki profil risiko yang relatif tinggi. Per September 2017, rasio NPL kotor kredit UMKM tercatat 4,36% sama dengan NPL kotor periode yang sama tahun lalu.
Konsekuensinya, suku bunga kredit UMKM dipatok relatif tinggi dibanding suku bunga kredit segmen lainnya. Sementara suku bunga kredit korporasi, konsumsi, dan komersial sudah menyusut menuju single digit, rata-rata suku bunga kredit UMKM masih di level 10,75% hingga 12%.
Tantangan eksternal adalah pemunculan lembaga keuangan pengusung teknologi finansial (financial technology). Teknologi finansial semakin banyak mengambil segmen pasar kredit UMKM yang selama ini menjadi penyangga utama pendapatan bank. Padahal, 80% pendapatan bank diperoleh dari transaksi kredit.
Guna tetap mendorong ekspansi kredit, industri perbankan di Tanah Air membuka peluang untuk memberikan kredit ke segmen korporasi, konsumsi, dan komersial ketimbang UMKM. Dari sini muncul kesan seolah-olah portofolio kredit perbankan kurang memberi perhatian kepada UMKM.
Tesis di atas sepertinya mendekati kenyataan. Perbankan melakukan pembenahan tata kelola pascapencabutan restrukturisasi kredit oleh OJK. Sejalan dengan itu, bank memarkir dananya di surat berharga sebagai cadangan untuk menghadapi kredit tahun depan yang diproyeksikan tumbuh 12% terutama didorong dari kebutuhan kredit korporasi.
Dengan konfigurasi problematika di atas, batas minimum kredit kepada UMKM diperlukan agar perbankan menjalankan fungsi intermediasi keuangan yang inklusif. Dalam perspektif ekonomi makro, menggerakkan potensi ekonomi lintas elemen adalah determinan penting untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi nasional.
Lagi pula, sebagian besar pelaku ekonomi adalah UMKM. Sektor ini mampu menyerap 45 juta orang atau 99% dari total lapangan kerja industri manufaktur. Dengan demikian, UMKM menyimpan potensi yang besar untuk mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, dan meningkatkan momentum pemulihan ekonomi.
Pengalaman krisis 1997/ 1998 membuktikan UMKM tetap eksis pada saat pertumbuhan ekonomi minus. Sektor ini juga menjadi katalisator atas dampak sosial ekonomi krisis. Intinya, pengembangan potensi ekonomi yang melibatkan pendekatan antarpelaku ekonomi bisa menjadi koreksi bagi pendekatan yang selama ini bias ke industri.
Pengembangan industrial melalui kebijakan sektoral memang terbukti mampu menciptakan multiplier effect. Proses tersebut akan lebih kencang apabila ada keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) yang kuat lintas pelaku ekonomi secara menyeluruh.
Pelaku UMKM yang menjadi mata rantai ekonomi otomatis akan terdongkrak. Dengan alur logika di atas, optimisme UMKM harus dibangun terlebih dahulu agar mereka terus mengembangkan usahanya. Peran pemerintah diharapkan memberikan confidence dalam memutus “lingkaran setan” antara perlambatan ekonomi dan pertumbuhan kredit.
Percepatan serapan APBN, belanja infrastruktur, dan proyek prioritas serta dana desa niscaya memberi stimulus bagi aktivitas UMKM di daerah. Apabila momentum ini bisa dipelihara, optimisme UMKM dan konsumen meningkat. Dengan sendirinya, konsumsi rumah tangga akan mengalir dan permintaan kredit UMKM pun ikut terakselerasi.
(whb)