Kebijakan yang Membunuh
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
KEBIJAKAN cukai itu wujud dari semangat pengendalian. Aturan yang menetapkan bahwa pada bungkus kretek harus dicantumkan gambar mengerikan dan peringatan ”merokok membunuhmu” tak perlu dijelaskan, sudah jelas membatasi pertumbuhan. Cukai selalu naik, naik, dan tiap saat naik, jelas memiliki latar belakang pengendalian.
Pabrik tidak boleh tumbuh atau berkembang. Pertumbuhan dikendalikan dengan cara yang sangat menguntungkan pemerintah. Pemasukan dari cukai terus meningkat, industri yang tercekik dan tak mampu memenuhi kewajiban mati nelangsa.
Dua hal itu target utama kebijakan tersebut. Dua-duanya tercapai. Dan, lobi-lobi asing yang juga memanggul semangat pembunuhan bertemu dalam kebijakan cukai. Para pelobi mungkin menyanjung setinggi langit orang-orang cukai yang bisa diajak bekerja sama menyukseskan agenda global membunuh kretek demi argumen kesehatan.
Para pelobi juga memengaruhi DPR dan pemerintah pusat untuk menetapkan daerah bebas rokok. Ini juga wujud pengendalian. Dan, operasi pengendalian ini diatur dari negeri yang jauh dari sini. Dan, kita bermain manis, taat, patuh, dan siap menjalankan agenda orang lain.
Mungkin ketaatan itu tidak gratis. Tiap tindakan, tiap jasa, ada harganya. Para pelobi yang sudah sukses di pusat segera turun ke daerah. Mereka datang ke sana menemui pemerintah daerah dan DPRD. Keduanya diajak bekerja sama melakukan pengendalian tembakau dan produk olahannya. Pemda provinsi dan DPRD diajak berjuang merumuskan kebijakan mengendalikan kretek. Dan, mereka mau. Di sini kesediaan mereka bekerja sama itu juga ada imbalannya.
Sampai di tingkat kabupaten/ wali kota ada pula DPRD-nya. Ini DPRD tingkat dua. Dengan kata lain, secara strategis, kebijakan yang membunuh ini dilaksanakan dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah tingkat dua. Dari pusat ke daerah-daerah tadi campur tangan kepentingan asing sangat mencolok. Pejabat negara di negeri kita bekerja di bawah komando asing demi menyukseskan agenda asing.
Pertimbangan ekonomi mendorong mereka untuk menerima komando ini. Urusan ekonomi, duit, dianggap mahapenting. Mungkin selama mereka masih menjadi pejabat, setidaknya selama masih aktif bekerja, semua ini bukan merupakan gangguan. Mereka tahu berapa ratus ribu industri kecil yang telah mereka bunuh dalam suatu kurun waktu tertentu. Mereka tahu bagaimana kerusakan yang terjadi akibat kebijakannya.
Semua itu dianggap sepi. Perasaan bahwa mereka berjuang masih bisa dipertahankan selama masih bekerja. Mungkin makin lama makin terasa bahwa kata berjuang itu artinya bukan benar-benar berjuang. Lama-lama kata berjuang itu kehilangan makna karena sejak semula mereka memang bukan berjuang. Kebijakan demi kebijakan itu lahir dengan semangat membabat pertumbuhan industri kita. Dia juga tahu yang dimaksud industri di sini tak selamanya bidang usaha yang besar dan kaya.
Banyak industri yang hanya mewakili kepentingan ekonomi keluarga untuk bisa hidup pas-pasan. Tapi, semua industri kecil, industri rumah tangga, industri yang mewakili kepentingan ekonomi untuk hidup pas-pasan itu pun dibabat oleh kebijakan mereka. Hati nurani mereka mungkin merasa tidak enak. Tapi, kata ”berjuang” itu menutup segalanya. Perasaan tidak enak pun bisa dibikin lenyap.
Mereka bisa tidak peduli. Dan, sikap mereka jelas: kebijakan ya kebijakan. Ini instrumen pengaturan, atau penataan, yang tak boleh diabaikan. Ini lambang kekuasaan. Dengan kekuasaan seperti ini, siapa bisa menegur atau mengingatkan seoran pejabat? Teguran, peringatan, kritik, atau ihwal sejenis itu, tak didengar. Lain hal kalau teguran itu datang dari pelobi yang datang membawa uang.
Pelobi itu bos besar. Bos para pejabat kita. Para anggota DPR atau DPRD dan para pejabat pusat hingga di daerah patuh belaka kepada mereka. Betapa banyak aturan perundang-undangan yang telah disusun atas arahan, instruksi, perintah dan ”dawuh” para pelobi. Para pejabat kita diperintah orang asing dan menerima perintah itu dengan taat dan menunduk-nunduk seperti orang yang telah menjual jiwa, kebebasan, dan harga dirinya.
Kalau kita yang meminta ini dan itu, yang mengkritik atau mengingatkan agar begini dan begitu, atau agar jangan membunuh harapan kami yang kecil itu, mereka tak pernah peduli. Pejabat memandang dirinya sebagai penguasa. Dan, penguasalah yang merasa dirinya berkuasa mengatur apa saja. Penguasa mengatur tanpa bisa diatur. Mereka berkuasa tanpa mau menerima kekuasaan pihak lain.
Betapa mengerikan arti kekuasaan jika harus begitu artinya. Betapa mewah sebuah jabatan jika jabatan dilihat bukan sebagai amanah, hanya sementara dan bisa diganti setiap saat. Betapa mewah sebuah jabatan kalau jabatan itu artinya kekuasaan yang begitu besar.
Pejabat mungkin lupa, kebijakan yang salah bisa menjadi bencana sosial mengerikan. Mereka menyusun kebijakan demi kebijakan dengan mata merem, terpejam, dengan hati membatu. Kelihatannya, pejabat sudah bukan lagi manusia. Rasa kemanusiaannya hilang. Sensitivitasnya lenyap selama menjadi pejabat yang merasa memiliki kekuasaan besar.
Mereka lupa, pejabat bisa pensiun, dan suatu saat menjadi tua, tak berkuas, tak didatangi pelobi dan tak lagi ada orang yang menghargainya. Sesudah memasuki masa pensiun hanya rasa kesepian yang menemaninya. Kesepian membuat stres berat. Tiap hari di rumah. Ruang geraknya hanya dapur, ruang makan, mungkin ke masjid, atau gereja atau ke apa namanya. Semua terbatas.
Hidup tak lagi punya agenda. Rapat tidak ada lagi. Acara ke hotel, yang dulu begitu rutin, sekarang tidak pernah lagi. Masa tua, pensiun, menjadi ancaman. Apalagi sesudah itu juga ingat kebijakan ganas yang menghancurkan kehidupan orang lain. Orang tua, pensiunan yang ringkih itu menjadi lemah, dan sakit-sakitan. Sakitnya tak mudah sembuh. Uang hasil penerimaan dari para pelobi dulu sudah menipis. Biaya pengobatan besar. Pemasukan tidak ada lagi. Sakitnya menyergap. Ditambah lagi rasa salah yang menggedor-gedor jantungnya. Dulu tiap kebijakannya berarti membunuh. Dia ingat banyak yang telah dibunuh.
Sekarang dia baru tahu, alangkah baiknya kalau dulu sesekali mendengar suara rakyat yang tertindas. Alangkah baiknya kalau dulu bersedia mendengar suara pemilik industri kecil, industri rumah tangga, yang hanya mewakili kepentingan ekonomi untuk hidup pas-pasan. Kalau mereka dulu didengar dan diberi sedikit kelonggaran, rasa berdosanya sekarang mungkin tak akan begitu kejam seperti penagih utang yang tak mau menunggu waktu.
Dan dalam sakit-sakitan itulah persisnya mata hatinya melihat orang-orang susah yang dulu dibikin sengsara. Orang-orang susah itu datang dan memaafkannya karena mereka tak terlatih untuk membalas dendam. Orang-orang susah itu mendoakannya agar cepat sembuh. Tapi, dia sudah merasa sangat lemah. Doa orang-orang itu malah memukul jiwanya. Mengapa mereka begitu baik? Mengapa aku begitu kejam. Dan, ingatan akan dirinya yang kejam membuat dunianya makin gelap, makin gelap. Dan, dalam gelap seperti itu sakit tak mudah diminta sembuh.
Kebijakan seharusnya tidak membunuh. Seharusnya kebijakan itu mencerminkan sikap bijak.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
KEBIJAKAN cukai itu wujud dari semangat pengendalian. Aturan yang menetapkan bahwa pada bungkus kretek harus dicantumkan gambar mengerikan dan peringatan ”merokok membunuhmu” tak perlu dijelaskan, sudah jelas membatasi pertumbuhan. Cukai selalu naik, naik, dan tiap saat naik, jelas memiliki latar belakang pengendalian.
Pabrik tidak boleh tumbuh atau berkembang. Pertumbuhan dikendalikan dengan cara yang sangat menguntungkan pemerintah. Pemasukan dari cukai terus meningkat, industri yang tercekik dan tak mampu memenuhi kewajiban mati nelangsa.
Dua hal itu target utama kebijakan tersebut. Dua-duanya tercapai. Dan, lobi-lobi asing yang juga memanggul semangat pembunuhan bertemu dalam kebijakan cukai. Para pelobi mungkin menyanjung setinggi langit orang-orang cukai yang bisa diajak bekerja sama menyukseskan agenda global membunuh kretek demi argumen kesehatan.
Para pelobi juga memengaruhi DPR dan pemerintah pusat untuk menetapkan daerah bebas rokok. Ini juga wujud pengendalian. Dan, operasi pengendalian ini diatur dari negeri yang jauh dari sini. Dan, kita bermain manis, taat, patuh, dan siap menjalankan agenda orang lain.
Mungkin ketaatan itu tidak gratis. Tiap tindakan, tiap jasa, ada harganya. Para pelobi yang sudah sukses di pusat segera turun ke daerah. Mereka datang ke sana menemui pemerintah daerah dan DPRD. Keduanya diajak bekerja sama melakukan pengendalian tembakau dan produk olahannya. Pemda provinsi dan DPRD diajak berjuang merumuskan kebijakan mengendalikan kretek. Dan, mereka mau. Di sini kesediaan mereka bekerja sama itu juga ada imbalannya.
Sampai di tingkat kabupaten/ wali kota ada pula DPRD-nya. Ini DPRD tingkat dua. Dengan kata lain, secara strategis, kebijakan yang membunuh ini dilaksanakan dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah tingkat dua. Dari pusat ke daerah-daerah tadi campur tangan kepentingan asing sangat mencolok. Pejabat negara di negeri kita bekerja di bawah komando asing demi menyukseskan agenda asing.
Pertimbangan ekonomi mendorong mereka untuk menerima komando ini. Urusan ekonomi, duit, dianggap mahapenting. Mungkin selama mereka masih menjadi pejabat, setidaknya selama masih aktif bekerja, semua ini bukan merupakan gangguan. Mereka tahu berapa ratus ribu industri kecil yang telah mereka bunuh dalam suatu kurun waktu tertentu. Mereka tahu bagaimana kerusakan yang terjadi akibat kebijakannya.
Semua itu dianggap sepi. Perasaan bahwa mereka berjuang masih bisa dipertahankan selama masih bekerja. Mungkin makin lama makin terasa bahwa kata berjuang itu artinya bukan benar-benar berjuang. Lama-lama kata berjuang itu kehilangan makna karena sejak semula mereka memang bukan berjuang. Kebijakan demi kebijakan itu lahir dengan semangat membabat pertumbuhan industri kita. Dia juga tahu yang dimaksud industri di sini tak selamanya bidang usaha yang besar dan kaya.
Banyak industri yang hanya mewakili kepentingan ekonomi keluarga untuk bisa hidup pas-pasan. Tapi, semua industri kecil, industri rumah tangga, industri yang mewakili kepentingan ekonomi untuk hidup pas-pasan itu pun dibabat oleh kebijakan mereka. Hati nurani mereka mungkin merasa tidak enak. Tapi, kata ”berjuang” itu menutup segalanya. Perasaan tidak enak pun bisa dibikin lenyap.
Mereka bisa tidak peduli. Dan, sikap mereka jelas: kebijakan ya kebijakan. Ini instrumen pengaturan, atau penataan, yang tak boleh diabaikan. Ini lambang kekuasaan. Dengan kekuasaan seperti ini, siapa bisa menegur atau mengingatkan seoran pejabat? Teguran, peringatan, kritik, atau ihwal sejenis itu, tak didengar. Lain hal kalau teguran itu datang dari pelobi yang datang membawa uang.
Pelobi itu bos besar. Bos para pejabat kita. Para anggota DPR atau DPRD dan para pejabat pusat hingga di daerah patuh belaka kepada mereka. Betapa banyak aturan perundang-undangan yang telah disusun atas arahan, instruksi, perintah dan ”dawuh” para pelobi. Para pejabat kita diperintah orang asing dan menerima perintah itu dengan taat dan menunduk-nunduk seperti orang yang telah menjual jiwa, kebebasan, dan harga dirinya.
Kalau kita yang meminta ini dan itu, yang mengkritik atau mengingatkan agar begini dan begitu, atau agar jangan membunuh harapan kami yang kecil itu, mereka tak pernah peduli. Pejabat memandang dirinya sebagai penguasa. Dan, penguasalah yang merasa dirinya berkuasa mengatur apa saja. Penguasa mengatur tanpa bisa diatur. Mereka berkuasa tanpa mau menerima kekuasaan pihak lain.
Betapa mengerikan arti kekuasaan jika harus begitu artinya. Betapa mewah sebuah jabatan jika jabatan dilihat bukan sebagai amanah, hanya sementara dan bisa diganti setiap saat. Betapa mewah sebuah jabatan kalau jabatan itu artinya kekuasaan yang begitu besar.
Pejabat mungkin lupa, kebijakan yang salah bisa menjadi bencana sosial mengerikan. Mereka menyusun kebijakan demi kebijakan dengan mata merem, terpejam, dengan hati membatu. Kelihatannya, pejabat sudah bukan lagi manusia. Rasa kemanusiaannya hilang. Sensitivitasnya lenyap selama menjadi pejabat yang merasa memiliki kekuasaan besar.
Mereka lupa, pejabat bisa pensiun, dan suatu saat menjadi tua, tak berkuas, tak didatangi pelobi dan tak lagi ada orang yang menghargainya. Sesudah memasuki masa pensiun hanya rasa kesepian yang menemaninya. Kesepian membuat stres berat. Tiap hari di rumah. Ruang geraknya hanya dapur, ruang makan, mungkin ke masjid, atau gereja atau ke apa namanya. Semua terbatas.
Hidup tak lagi punya agenda. Rapat tidak ada lagi. Acara ke hotel, yang dulu begitu rutin, sekarang tidak pernah lagi. Masa tua, pensiun, menjadi ancaman. Apalagi sesudah itu juga ingat kebijakan ganas yang menghancurkan kehidupan orang lain. Orang tua, pensiunan yang ringkih itu menjadi lemah, dan sakit-sakitan. Sakitnya tak mudah sembuh. Uang hasil penerimaan dari para pelobi dulu sudah menipis. Biaya pengobatan besar. Pemasukan tidak ada lagi. Sakitnya menyergap. Ditambah lagi rasa salah yang menggedor-gedor jantungnya. Dulu tiap kebijakannya berarti membunuh. Dia ingat banyak yang telah dibunuh.
Sekarang dia baru tahu, alangkah baiknya kalau dulu sesekali mendengar suara rakyat yang tertindas. Alangkah baiknya kalau dulu bersedia mendengar suara pemilik industri kecil, industri rumah tangga, yang hanya mewakili kepentingan ekonomi untuk hidup pas-pasan. Kalau mereka dulu didengar dan diberi sedikit kelonggaran, rasa berdosanya sekarang mungkin tak akan begitu kejam seperti penagih utang yang tak mau menunggu waktu.
Dan dalam sakit-sakitan itulah persisnya mata hatinya melihat orang-orang susah yang dulu dibikin sengsara. Orang-orang susah itu datang dan memaafkannya karena mereka tak terlatih untuk membalas dendam. Orang-orang susah itu mendoakannya agar cepat sembuh. Tapi, dia sudah merasa sangat lemah. Doa orang-orang itu malah memukul jiwanya. Mengapa mereka begitu baik? Mengapa aku begitu kejam. Dan, ingatan akan dirinya yang kejam membuat dunianya makin gelap, makin gelap. Dan, dalam gelap seperti itu sakit tak mudah diminta sembuh.
Kebijakan seharusnya tidak membunuh. Seharusnya kebijakan itu mencerminkan sikap bijak.
(mhd)