Penyesuaian Kebijakan Harga BBM
A
A
A
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
BERSAMAAN dengan kecenderungan harga minyak dunia yang rendah, pemerintahan Presiden Jokowi tercatat menyesuaikan kebijakan harga BBM. Penyesuaian dilakukan melalui Perpres Nomor 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diundangkan pada 31 Desember 2014.
Perbedaan antara Perpres Nomor 191/2014 dengan regulasi sebelumnya (Perpres Nomor 71/2005, Perpres Nomor 22/ 2005, Perpres Nomor 09/2006, Perpres Nomor 45/2009, dan Perpres Nomor 15/2012) adalah pada penentuan jenis BBM yang diatur. Pada regulasi sebelum Perpres 191/2014, bensin RON 88 (Premium) ditetapkan sebagai jenis BBM tertentu yang diberikan subsidi oleh pemerintah. Pada regulasi ini, tidak lagi.
Pada Perpres 191/2014 jenis BBM yang diatur terbagi menjadi tiga, BBM tertentu (minyak tanah/kerosene dan minyak solar/gas oil), BBM khusus penugasan (bensin minimal RON 88/Premium), dan BBM umum, yaitu jenis BBM di luar BBM tertentu dan BBM khusus penugasan.
Kebijakan Subsidi
Kebijakan subsidi BBM dalam Perpres 191/2014 berbeda dengan regulasi sebelumnya. Bensin RON 88 (Premium) ditetapkan sebagai jenis BBM khusus penugasan yang tidak lagi diberi subsidi. Melalui Perpres ini subsidi BBM hanya dialokasikan untuk BBM jenis minyak tanah dan minyak solar.
Minyak tanah diberi subsidi dengan mekanisme seperti regulasi sebelumnya, yaitu diberi subsidi per liter yang merupakan pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter minyak tanah setelah dikurangi pajak-pajak dengan harga dasarnya.
Adapun mekanisme subsidi untuk minyak solar diubah menjadi subsidi tetap. Dalam hal ini subsidi diberikan dari selisih kurang harga dasar per liter minyak solar setelah ditambah pajak-pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan ini, besaran subsidi minyak solar dapat ditentukan sejak penyusunan APBN, yaitu perkalian dari volume minyak solar yang disubsidi dan besaran subsidi untuk setiap liternya.
Perpres itu mengatur penyediaan dan pendistribusian BBM tertentu/BBM subsidi oleh badan usaha melalui penugasan oleh Badan Pengatur (BPH Migas). Dalam hal ini BPH Migas berperan melakukan perencanaan volume kebutuhan dan perencanaan penjualan tahunan BBM subsidi yang diusulkan kepada Menteri ESDM.
Berdasarkan usulan dari Badan Pengatur tersebut, Menteri ESDM menetapkan perencanaan volume kebutuhan tahunan dan volume penjualan tahunan BBM subsidi. Pada tahapan selanjutnya, Menteri ESDM menyampaikan kepada Menteri Keuangan perihal penetapan perencanaan volume kebutuhan tahunan dan volume penjualan tahunan untuk penyusunan perkiraan subsidi BBM tertentu (minyak tanah dan solar) serta proses penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konsekuensi Kebijakan
Perpres 191/2014 yang tidak lagi menetapkan bensin RON 88/Premium yang umumnya dengan volume besar menjadi BBM subsidi menyebabkan kebijakan subsidi BBM pada era Presiden Jokowi relatif lebih sederhana. Berdasarkan regulasi ini, Menteri ESDM memiliki kewenangan lebih kuat dalam menetapkan harga BBM subsidi.
Dalam regulasi sebelumnya, Menteri ESDM harus terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan Menteri Keuangan sebelum menetapkan harga BBM. Harga BBM subsidi juga harus mengacu pada hasil kesepakatan instansi terkait yang dikoordinasikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Sementara melalui Perpres ini tidak demikian.
Penetapan volume dan penyesuaian harga BBM subsidi pada era pemerintahan Presiden Jokowi sering kali tidak perlu melalui pembahasan dengan DPR seperti pada tahun anggaran sebelum-sebelumnya. Pada APBN 2017 misalnya, tercatat tidak ada lagi jumlah volume dan besaran nilai subsidi BBM yang diatur/ditetapkan.
Kondisi tersebut berbeda dengan subsidi BBM pada periode sebelumnya yang mana penetapan volume dan besaran subsidinya tidak hanya harus melalui pembahasan, tetapi juga harus atas persetujuan DPR. Dalam penaikan harga BBM misalnya, jikapun pemerintah diberikan kewenangan, hal tersebut baru dapat dilakukan dengan ketentuan tertentu. Misalnya, jika harga minyak mentah Indonesia (ICP) telah mengalami kenaikan hingga level tertentu atau telah mencapai persentase tertentu dari harga patokan yang ditetapkan.
Meski memberikan dampak positif bagi pemerintah, Perpres 191/2014 berpotensi memberikan konsekuensi keuangan bagi pelaksana penugasan, terutama Pertamina, jika pemerintah tidak konsisten melaksanakan kebijakan. Pasal 19 Perpres ini menetapkan untuk pertama kali (2015) Pertamina yang ditugaskan melaksanakan penyediaan dan pendistribusian jenis BBM khusus penugasan.
Wilayah penugasan sendiri meliputi seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi DI Yogyakarta, dan Provinsi Bali. Berdasarkan data, sampai saat ini sebagian besar penyediaan dan pendistribusian BBM khusus penugasan masih dilaksanakan Pertamina.
Perlu diketahui, BBM khusus penugasan merupakan BBM (bensin, RON 88) yang didistribusikan di wilayah penugasan dan tidak diberi subsidi. Tapi penetapan harganya masih tetap dilakukan pemerintah (Menteri ESDM). Berdasarkan Permen ESDM No.39/2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang telah beberapa kali diubah Menteri ESDM pun akan menetapkan harga jual BBM khusus penugasan secara berkala dengan menggunakan formula tertentu.
Semangat dari regulasi tersebut pada dasarnya positif, konsisten dengan Konstitusi UUD 1945, agar BBM yang merupakan komoditas yang menguasai hajat hidup masyarakat luas tetap diatur atau diintervensi oleh Negara c.q Pemerintah. Akan tetapi intervensi kebijakan harga yang tidak disertai kebijakan subsidi akan memberikan konsekuensi bagi keuangan pelaksana penugasan.
Jika reviu dan penetapan harga secara berkala sebagaimana yang diamanatkan regulasi tidak dilaksanakan secara konsisten, sementara di APBN tidak ada lagi alokasi subsidi untuk BBM khusus penugasan, beban subsidi akan bergeser dari pemerintah (APBN) menjadi beban korporasi yang melaksanakan penugasan tersebut. Kondisi inilah yang sebenarnya terjadi pada saat ini.
Meskipun pelaksana penugasan adalah BUMN (Pertamina), yang urusannya dengan APBN sering disebut kantong kiri dan kanan, kondisi yang terjadi saat ini sesugguhnya tidak baik untuk semua. Bagi pemerintah, tidak terbiasa memisahkan dengan tegas mana fungsi pemerintah dan mana fungsi korporasi. Sementara bagi Pertamina, menjadi tidak terbiasa dengan budaya korporasi yang harus mencari profit, tumbuh, dan berkembang secara profesional.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
BERSAMAAN dengan kecenderungan harga minyak dunia yang rendah, pemerintahan Presiden Jokowi tercatat menyesuaikan kebijakan harga BBM. Penyesuaian dilakukan melalui Perpres Nomor 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diundangkan pada 31 Desember 2014.
Perbedaan antara Perpres Nomor 191/2014 dengan regulasi sebelumnya (Perpres Nomor 71/2005, Perpres Nomor 22/ 2005, Perpres Nomor 09/2006, Perpres Nomor 45/2009, dan Perpres Nomor 15/2012) adalah pada penentuan jenis BBM yang diatur. Pada regulasi sebelum Perpres 191/2014, bensin RON 88 (Premium) ditetapkan sebagai jenis BBM tertentu yang diberikan subsidi oleh pemerintah. Pada regulasi ini, tidak lagi.
Pada Perpres 191/2014 jenis BBM yang diatur terbagi menjadi tiga, BBM tertentu (minyak tanah/kerosene dan minyak solar/gas oil), BBM khusus penugasan (bensin minimal RON 88/Premium), dan BBM umum, yaitu jenis BBM di luar BBM tertentu dan BBM khusus penugasan.
Kebijakan Subsidi
Kebijakan subsidi BBM dalam Perpres 191/2014 berbeda dengan regulasi sebelumnya. Bensin RON 88 (Premium) ditetapkan sebagai jenis BBM khusus penugasan yang tidak lagi diberi subsidi. Melalui Perpres ini subsidi BBM hanya dialokasikan untuk BBM jenis minyak tanah dan minyak solar.
Minyak tanah diberi subsidi dengan mekanisme seperti regulasi sebelumnya, yaitu diberi subsidi per liter yang merupakan pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter minyak tanah setelah dikurangi pajak-pajak dengan harga dasarnya.
Adapun mekanisme subsidi untuk minyak solar diubah menjadi subsidi tetap. Dalam hal ini subsidi diberikan dari selisih kurang harga dasar per liter minyak solar setelah ditambah pajak-pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan ini, besaran subsidi minyak solar dapat ditentukan sejak penyusunan APBN, yaitu perkalian dari volume minyak solar yang disubsidi dan besaran subsidi untuk setiap liternya.
Perpres itu mengatur penyediaan dan pendistribusian BBM tertentu/BBM subsidi oleh badan usaha melalui penugasan oleh Badan Pengatur (BPH Migas). Dalam hal ini BPH Migas berperan melakukan perencanaan volume kebutuhan dan perencanaan penjualan tahunan BBM subsidi yang diusulkan kepada Menteri ESDM.
Berdasarkan usulan dari Badan Pengatur tersebut, Menteri ESDM menetapkan perencanaan volume kebutuhan tahunan dan volume penjualan tahunan BBM subsidi. Pada tahapan selanjutnya, Menteri ESDM menyampaikan kepada Menteri Keuangan perihal penetapan perencanaan volume kebutuhan tahunan dan volume penjualan tahunan untuk penyusunan perkiraan subsidi BBM tertentu (minyak tanah dan solar) serta proses penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konsekuensi Kebijakan
Perpres 191/2014 yang tidak lagi menetapkan bensin RON 88/Premium yang umumnya dengan volume besar menjadi BBM subsidi menyebabkan kebijakan subsidi BBM pada era Presiden Jokowi relatif lebih sederhana. Berdasarkan regulasi ini, Menteri ESDM memiliki kewenangan lebih kuat dalam menetapkan harga BBM subsidi.
Dalam regulasi sebelumnya, Menteri ESDM harus terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan Menteri Keuangan sebelum menetapkan harga BBM. Harga BBM subsidi juga harus mengacu pada hasil kesepakatan instansi terkait yang dikoordinasikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Sementara melalui Perpres ini tidak demikian.
Penetapan volume dan penyesuaian harga BBM subsidi pada era pemerintahan Presiden Jokowi sering kali tidak perlu melalui pembahasan dengan DPR seperti pada tahun anggaran sebelum-sebelumnya. Pada APBN 2017 misalnya, tercatat tidak ada lagi jumlah volume dan besaran nilai subsidi BBM yang diatur/ditetapkan.
Kondisi tersebut berbeda dengan subsidi BBM pada periode sebelumnya yang mana penetapan volume dan besaran subsidinya tidak hanya harus melalui pembahasan, tetapi juga harus atas persetujuan DPR. Dalam penaikan harga BBM misalnya, jikapun pemerintah diberikan kewenangan, hal tersebut baru dapat dilakukan dengan ketentuan tertentu. Misalnya, jika harga minyak mentah Indonesia (ICP) telah mengalami kenaikan hingga level tertentu atau telah mencapai persentase tertentu dari harga patokan yang ditetapkan.
Meski memberikan dampak positif bagi pemerintah, Perpres 191/2014 berpotensi memberikan konsekuensi keuangan bagi pelaksana penugasan, terutama Pertamina, jika pemerintah tidak konsisten melaksanakan kebijakan. Pasal 19 Perpres ini menetapkan untuk pertama kali (2015) Pertamina yang ditugaskan melaksanakan penyediaan dan pendistribusian jenis BBM khusus penugasan.
Wilayah penugasan sendiri meliputi seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi DI Yogyakarta, dan Provinsi Bali. Berdasarkan data, sampai saat ini sebagian besar penyediaan dan pendistribusian BBM khusus penugasan masih dilaksanakan Pertamina.
Perlu diketahui, BBM khusus penugasan merupakan BBM (bensin, RON 88) yang didistribusikan di wilayah penugasan dan tidak diberi subsidi. Tapi penetapan harganya masih tetap dilakukan pemerintah (Menteri ESDM). Berdasarkan Permen ESDM No.39/2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang telah beberapa kali diubah Menteri ESDM pun akan menetapkan harga jual BBM khusus penugasan secara berkala dengan menggunakan formula tertentu.
Semangat dari regulasi tersebut pada dasarnya positif, konsisten dengan Konstitusi UUD 1945, agar BBM yang merupakan komoditas yang menguasai hajat hidup masyarakat luas tetap diatur atau diintervensi oleh Negara c.q Pemerintah. Akan tetapi intervensi kebijakan harga yang tidak disertai kebijakan subsidi akan memberikan konsekuensi bagi keuangan pelaksana penugasan.
Jika reviu dan penetapan harga secara berkala sebagaimana yang diamanatkan regulasi tidak dilaksanakan secara konsisten, sementara di APBN tidak ada lagi alokasi subsidi untuk BBM khusus penugasan, beban subsidi akan bergeser dari pemerintah (APBN) menjadi beban korporasi yang melaksanakan penugasan tersebut. Kondisi inilah yang sebenarnya terjadi pada saat ini.
Meskipun pelaksana penugasan adalah BUMN (Pertamina), yang urusannya dengan APBN sering disebut kantong kiri dan kanan, kondisi yang terjadi saat ini sesugguhnya tidak baik untuk semua. Bagi pemerintah, tidak terbiasa memisahkan dengan tegas mana fungsi pemerintah dan mana fungsi korporasi. Sementara bagi Pertamina, menjadi tidak terbiasa dengan budaya korporasi yang harus mencari profit, tumbuh, dan berkembang secara profesional.
(mhd)