Pertaruhan Politik Arab Saudi
A
A
A
HASIBULLAH SATRAWI
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
KABAR penangkapan 11 pangeran Arab Saudi beserta puluhan menteri dan mantan menteri beberapa waktu lalu (04/11) cukup mengejutkan banyak pihak, tak hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri, termasuk di kalangan masyarakat Indonesia.
Bagi masyarakat yang berada di Arab Saudi, berita penangkapan ini berada di antara ketertarikan dan ketakutan. Menjadi ketertarikan karena persoalan ini melibatkan keluarga kerajaan yang selama ini tidak terlalu banyak dibahas, sebagaimana disampaikan di atas. Menjadi ketakutan karena bukan tidak mungkin peristiwa ini menimbulkan hal-hal yang lebih besar lagi dan berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat luas.
Di sisi lain, Arab Saudi belakangan mendapat perhatian cukup besar dari masyarakat internasional karena peran dan keterlibatannya dalam sejumlah peristiwa politik, baik di tingkat regional Timur Tengah maupun global. Khususnya setelah Dunia Arab dilanda Arab Spring pada akhir 2010 dan menghancurkan banyak negara yang sebelumnya cukup berkuasa di Timur Tengah seperti Mesir, Suriah, Yaman, Tunisia, Libya.
Dalam persoalan konflik internal di Suriah, contohnya, Arab Saudi sejak awal melibatkan diri dengan mendukung penuh kelompok pemberontak dan melawan rezim Bashar al-Assad secara terang-terangan. Bersama negara-negara lain seperti Turki, negara-negara Arab Teluk, Eropa dan Amerika Serikat, Arab Saudi terus menekan rezim Assad untuk memundurkan diri walaupun tidak ada tanda-tanda keberhasilan sampai hari ini.
Begitu pun dengan keterlibatan Arab Saudi dalam Arab Spring di Yaman. Bersama negara-negara pendukungnya, Arab Saudi berhasil memaksa Ali Abdullah Saleh untuk memundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden Yaman saat itu dan digantikan dengan Mansor Hadi. Begitu juga dengan hubungan negeri kaya minyak itu dengan Iran. Selama ini Arab Saudi menuduh Iran terus berupaya menebar pengaruh di dunia Arab dengan cara melibatkan diri dalam sejumlah persoalan internal yang dihadapi negara-negara Arab seperti krisis di Suriah, persoalan Palestina, tata kelola politik dan pemerintahan di Lebanon hingga akhirnya Arab Saudi memutus hubungan diplomatik dengan Iran pada 2016 lalu.
Bahkan Qatar yang selama ini menjadi salah satu partner utama di Negara-negara Arab Teluk (GCC) diboikot secara total, baik laut, udara maupun darat. Salah satu alasannya adalah, selain karena tuduhan mendanai organisasi-organisasi ataupun tokoh-tokoh teroris, juga karena Qatar dianggap berhubungan dekat dengan Iran.
Pada saat hampir bersamaan dengan terjadinya penangkapan terhadap para pangeran, para menteri dan mantan menteri di atas (04/11), ada sebuah peristiwa besar lain yang juga diperkirakan melibatkan peran dan pengaruh dari Arab Saudi, yaitu mundurnya Perdana Menteri Lebanon secara sepihak, Saad Hariri. Pengumuman mundurnya Hariri sebagai perdana menteri Lebanon dilakukan dan disiarkan secara langsung dari Arab Saudi.
Saad Hariri adalah relasi dekat Arab Saudi di Lebanon, khususnya dalam menghadapi lawan-lawan politiknya, terutama Hizbullah yang merupakan kepanjangan tangan Iran di Lebanon. Dalam pengumuman sikap pemunduran dirinya, Hariri secara eksplisit menuduh Iran menjadi salah satu penyebab dari sikap politik yang diambilnya tersebut. Iran dituduh terlalu campur tangan dalam persoalan politik internal Lebanon. Lawan-lawan politik Hariri di Lebanon pun, khususnya Hizbullah, menuduh sikap politik Hariri tersebut karena dipengaruhi Arab Saudi. Bahkan sebagian elite di Lebanon menuduh Arab Saudi sengaja ”menahan” Saad Hariri hingga tidak kunjung kembali ke Lebanon.
Pertaruhan Politik
Dalam situasi seperti ini, apa yang dilakukan Arab Saudi dengan menangkap para putra mahkota bersama puluhan menteri dan bekas menteri merupakan sebuah pertaruhan politik yang sangat besar dan dilakukan dengan segala ”ketenangan hati”. Disebut pertaruhan besar karena penangkapan itu dilakukan di tengah pelbagai macam peran dan intervensi politik maupun militer yang coba dilakukan Arab Saudi terhadap negara-negara Arab lain, sebagaimana telah disampaikan di atas. Apalagi sejauh ini peran dan intervensi politik maupun militer yang dilakukan Arab Saudi belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
Dengan kata lain, secara eksternal, kebijakan Arab Saudi di sejumlah negara Arab lain dan di Timur Tengah selama ini belum membuahkan hasil yang diharapkan. Sebaliknya Arab Saudi justru semakin banyak punya musuh yang menargetkan negara tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.
Apa yang dilakukan Qatar bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari yang telah disampaikan di atas. Selama ini Qatar, Arab Saudi, dan sejumlah negara Arab Teluk lain berada dalam kekompakan, khususnya dalam menghadapi sejumlah tantangan di dunia Arab pasca-Arab Spring, hingga akhirnya Arab Saudi bersama sebagian negara Arab Teluk memboikot Qatar. Sejak saat itu Qatar berada dalam posisi yang berseberangan dengan Arab Saudi dan negara-negara yang mendukungnya, termasuk melalui saluran media yang dimiliki seperti jaringan media Al-Jazeera.
Di saat media-media yang berafiliasi ke Arab Saudi (seperti surat kabar harian As-Sharq Al-Awsat) memberitakan bahwa penangkapan para pangeran bersama sejumlah menteri dan mantan menteri dalam rangka pemberantasan korupsi sebagai salah satu visi Arab Saudi 2030, media-media yang berafiliasi ke Qatar (seperti jaringan media Al-Jazeera) justru mengampanyekan sebaliknya; bahwa yang dilakukan Arab Saudi tak lebih dari sekadar politik menyingkirkan lawan-lawan politik. Di saat media-media pro-Arab Saudi memberitakan kebijakan tersebut untuk kebaikan ekonomi Arab Saudi ke depan, media-media pro-Qatar justru memberitakan sebaliknya. Dan begitu seterusnya.
Meski demikian Arab Saudi tampak tetap berusaha tampil tenang menghadapi realitas sekaligus tantangan yang ada seperti di atas. Inilah yang penulis maksud dengan istilah bahwa Arab Saudi melakukan semua pertaruhan politik ini dengan segala ketenangan jiwa.
Sejatinya, ketika banyak tantangan datang dari luar, soliditas internal perlu diperkuat kembali hingga pelbagai macam serangan dari luar tidak bisa menjebol dan mengacak-acak kondisi internal.
Tampaknya hal itu tidak berlaku bagi Arab Saudi, minimal dalam situasi politik seperti sekarang. Sebaliknya Arab Saudi justru menangkap para pangeran dan para menteri maupun bekas menteri yang sejatinya adalah kekuatan internal mereka hingga menambah peta musuh dan jumlah persoalan yang ada.
Apakah semua pertaruhan politik ini berangkat dari kalkulasi matang yang dilakukan Arab Saudi? Atau semua ini adalah bentuk keterdesakan dan irasionalitas politik yang dilakukan Raja Salman bersama putra mahkotanya? Inilah yang menarik untuk diikuti selanjutnya. Hanya Allah yang tahu pasti, wallahu a’lam biss a wab.
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
KABAR penangkapan 11 pangeran Arab Saudi beserta puluhan menteri dan mantan menteri beberapa waktu lalu (04/11) cukup mengejutkan banyak pihak, tak hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri, termasuk di kalangan masyarakat Indonesia.
Bagi masyarakat yang berada di Arab Saudi, berita penangkapan ini berada di antara ketertarikan dan ketakutan. Menjadi ketertarikan karena persoalan ini melibatkan keluarga kerajaan yang selama ini tidak terlalu banyak dibahas, sebagaimana disampaikan di atas. Menjadi ketakutan karena bukan tidak mungkin peristiwa ini menimbulkan hal-hal yang lebih besar lagi dan berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat luas.
Di sisi lain, Arab Saudi belakangan mendapat perhatian cukup besar dari masyarakat internasional karena peran dan keterlibatannya dalam sejumlah peristiwa politik, baik di tingkat regional Timur Tengah maupun global. Khususnya setelah Dunia Arab dilanda Arab Spring pada akhir 2010 dan menghancurkan banyak negara yang sebelumnya cukup berkuasa di Timur Tengah seperti Mesir, Suriah, Yaman, Tunisia, Libya.
Dalam persoalan konflik internal di Suriah, contohnya, Arab Saudi sejak awal melibatkan diri dengan mendukung penuh kelompok pemberontak dan melawan rezim Bashar al-Assad secara terang-terangan. Bersama negara-negara lain seperti Turki, negara-negara Arab Teluk, Eropa dan Amerika Serikat, Arab Saudi terus menekan rezim Assad untuk memundurkan diri walaupun tidak ada tanda-tanda keberhasilan sampai hari ini.
Begitu pun dengan keterlibatan Arab Saudi dalam Arab Spring di Yaman. Bersama negara-negara pendukungnya, Arab Saudi berhasil memaksa Ali Abdullah Saleh untuk memundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden Yaman saat itu dan digantikan dengan Mansor Hadi. Begitu juga dengan hubungan negeri kaya minyak itu dengan Iran. Selama ini Arab Saudi menuduh Iran terus berupaya menebar pengaruh di dunia Arab dengan cara melibatkan diri dalam sejumlah persoalan internal yang dihadapi negara-negara Arab seperti krisis di Suriah, persoalan Palestina, tata kelola politik dan pemerintahan di Lebanon hingga akhirnya Arab Saudi memutus hubungan diplomatik dengan Iran pada 2016 lalu.
Bahkan Qatar yang selama ini menjadi salah satu partner utama di Negara-negara Arab Teluk (GCC) diboikot secara total, baik laut, udara maupun darat. Salah satu alasannya adalah, selain karena tuduhan mendanai organisasi-organisasi ataupun tokoh-tokoh teroris, juga karena Qatar dianggap berhubungan dekat dengan Iran.
Pada saat hampir bersamaan dengan terjadinya penangkapan terhadap para pangeran, para menteri dan mantan menteri di atas (04/11), ada sebuah peristiwa besar lain yang juga diperkirakan melibatkan peran dan pengaruh dari Arab Saudi, yaitu mundurnya Perdana Menteri Lebanon secara sepihak, Saad Hariri. Pengumuman mundurnya Hariri sebagai perdana menteri Lebanon dilakukan dan disiarkan secara langsung dari Arab Saudi.
Saad Hariri adalah relasi dekat Arab Saudi di Lebanon, khususnya dalam menghadapi lawan-lawan politiknya, terutama Hizbullah yang merupakan kepanjangan tangan Iran di Lebanon. Dalam pengumuman sikap pemunduran dirinya, Hariri secara eksplisit menuduh Iran menjadi salah satu penyebab dari sikap politik yang diambilnya tersebut. Iran dituduh terlalu campur tangan dalam persoalan politik internal Lebanon. Lawan-lawan politik Hariri di Lebanon pun, khususnya Hizbullah, menuduh sikap politik Hariri tersebut karena dipengaruhi Arab Saudi. Bahkan sebagian elite di Lebanon menuduh Arab Saudi sengaja ”menahan” Saad Hariri hingga tidak kunjung kembali ke Lebanon.
Pertaruhan Politik
Dalam situasi seperti ini, apa yang dilakukan Arab Saudi dengan menangkap para putra mahkota bersama puluhan menteri dan bekas menteri merupakan sebuah pertaruhan politik yang sangat besar dan dilakukan dengan segala ”ketenangan hati”. Disebut pertaruhan besar karena penangkapan itu dilakukan di tengah pelbagai macam peran dan intervensi politik maupun militer yang coba dilakukan Arab Saudi terhadap negara-negara Arab lain, sebagaimana telah disampaikan di atas. Apalagi sejauh ini peran dan intervensi politik maupun militer yang dilakukan Arab Saudi belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
Dengan kata lain, secara eksternal, kebijakan Arab Saudi di sejumlah negara Arab lain dan di Timur Tengah selama ini belum membuahkan hasil yang diharapkan. Sebaliknya Arab Saudi justru semakin banyak punya musuh yang menargetkan negara tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.
Apa yang dilakukan Qatar bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari yang telah disampaikan di atas. Selama ini Qatar, Arab Saudi, dan sejumlah negara Arab Teluk lain berada dalam kekompakan, khususnya dalam menghadapi sejumlah tantangan di dunia Arab pasca-Arab Spring, hingga akhirnya Arab Saudi bersama sebagian negara Arab Teluk memboikot Qatar. Sejak saat itu Qatar berada dalam posisi yang berseberangan dengan Arab Saudi dan negara-negara yang mendukungnya, termasuk melalui saluran media yang dimiliki seperti jaringan media Al-Jazeera.
Di saat media-media yang berafiliasi ke Arab Saudi (seperti surat kabar harian As-Sharq Al-Awsat) memberitakan bahwa penangkapan para pangeran bersama sejumlah menteri dan mantan menteri dalam rangka pemberantasan korupsi sebagai salah satu visi Arab Saudi 2030, media-media yang berafiliasi ke Qatar (seperti jaringan media Al-Jazeera) justru mengampanyekan sebaliknya; bahwa yang dilakukan Arab Saudi tak lebih dari sekadar politik menyingkirkan lawan-lawan politik. Di saat media-media pro-Arab Saudi memberitakan kebijakan tersebut untuk kebaikan ekonomi Arab Saudi ke depan, media-media pro-Qatar justru memberitakan sebaliknya. Dan begitu seterusnya.
Meski demikian Arab Saudi tampak tetap berusaha tampil tenang menghadapi realitas sekaligus tantangan yang ada seperti di atas. Inilah yang penulis maksud dengan istilah bahwa Arab Saudi melakukan semua pertaruhan politik ini dengan segala ketenangan jiwa.
Sejatinya, ketika banyak tantangan datang dari luar, soliditas internal perlu diperkuat kembali hingga pelbagai macam serangan dari luar tidak bisa menjebol dan mengacak-acak kondisi internal.
Tampaknya hal itu tidak berlaku bagi Arab Saudi, minimal dalam situasi politik seperti sekarang. Sebaliknya Arab Saudi justru menangkap para pangeran dan para menteri maupun bekas menteri yang sejatinya adalah kekuatan internal mereka hingga menambah peta musuh dan jumlah persoalan yang ada.
Apakah semua pertaruhan politik ini berangkat dari kalkulasi matang yang dilakukan Arab Saudi? Atau semua ini adalah bentuk keterdesakan dan irasionalitas politik yang dilakukan Raja Salman bersama putra mahkotanya? Inilah yang menarik untuk diikuti selanjutnya. Hanya Allah yang tahu pasti, wallahu a’lam biss a wab.
(mhd)