Agama, Kepercayaan, dan KTP

Kamis, 16 November 2017 - 08:00 WIB
Agama, Kepercayaan, dan KTP
Agama, Kepercayaan, dan KTP
A A A
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam UII Yogyakarta

WACANA tentang agama dan kepercayaan muncul (lagi) ke permukaan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan (5) Undang-Undang No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Empat pemohon, yaitu Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim, dengan perkara bernomor 97/ PUU-XIV/2016 mengajukan permohonan kepada MK untuk melakukan uji materi terhadap pasal-pasal tersebut.

Keempat pemohon merupakan penghayat kepercayaan dari berbagai komunitas penghayat kepercayaan di Indonesia. MK mengabulkan seluruhnya permohonan mereka. Ini berarti MK memberikan pengakuan secara resmi terhadap status kaum penghayat kepercayaan dalam sistem administrasi kependudukan. Sesuai dengan keputusan MK ini, para penghayat kepercayaan diperbolehkan mencantumkan aliran kepercayaan yang mereka anut di kolom kartu tanda penduduk (KTP). Sebagai putusan yang dikeluarkan oleh lembaga tinggi negara, putusan MK itu harus dihormati, dipatuhi, dan dilaksanakan.

Tulisan ini tidak akan membicarakan bagaimana perihal teknis pencantuman kepercayaan di kolom KTP bagi para penghayat kepercayaan yang kini format kolom KTP-nya sedang dipersiapkan oleh Kemendagri sebagai tindak lanjut putusan MK. Tulisan ini lebih memfokuskan diskusinya tentang kepercayaan (lokal) dan agama dalam konteks sejarah perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Yang dimaksud kepercayaan lokal dalam tulisan ini adalah kepercayaan yang secara murni dan asli bersumber dan berakar pada adat, kebiasaan, tradisi, dan budaya lokal tertentu yang (masih) ada di berbagai daerah di Indonesia. Dari penelusuran sejarah ini akan dapat dipahami tentang perbedaan kepercayaan lokal dan agama dalam konteks masyarakat dan budaya Indonesia. Lebih konkret lagi, tulisan ini akan menyimpulkan bahwa kepercayaan lokal tidak dinamakan agama, kepercayaan lokal adalah bukan agama.

Kepercayaan Lokal

Menurut catatan dan rekaman sejarah, ratusan tahun yang silam masyarakat Nusantara pada mulanya menganut kepercayaan animisme-dinamisme yang secara murni dan asli bersumber dan berakar pada adat, tradisi, dan budaya setempat (lokal). Pada abad-abad itu, kepercayaan-kepercayaan lokal ini terdapat di berbagai daerah di Nusantara dengan konfigurasi, corak, pernik-pernik magis, dan karakteristik sendiri-sendiri. Warna lingkungan budaya lokal, sistem sosial lokal, dan tatanan tradisi lokal sangat dominan mewarnai setiap sistem kepercayaan lokal ini. Kepercayaan lokal atau kepercayaan tradisional ini diwarisi secara turun-temurun dalam kurun waktu yang sangat panjang, ratusan tahun lamanya, dianut secara berkelanjutan dari generasi tua ke generasi muda berikutnya.

Itulah sebabnya kepercayaan lokal ini masih dapat bertahan hidup di kalangan para penganutnya di lokasi-lokasi tertentu di berbagai daerah di Indonesia sampai sekarang ini. Oleh sebagian pakar, seperti guru besar Universitas Indonesia dan antropolog terkenal Prof Dr Koentjaraningrat (almarhum), kepercayaan lokal atau kepercayaan tradisional ini disebut religi. Koentjaraningrat berpendapat, sistem kepercayaan yang diakui secara resmi oleh negara diĀ­sebut agama, sedangkan sistem yang tidak diakui oleh negara disebut religi. Itulah cara pandang dan metode Prof Koentjaraningrat untuk membedakan kepercayaan (religi) dan agama.

Contoh religi atau kepercayaan lokal yang sekarang tetap eksis adalah Kaharingan yang merupakan sistem kepercayaan yang dianut komunitas Dayak di Kalimantan atau kepercayaan Tollatang yang dianut suku Bugis di Sulawesi Selatan. Suku Dayak memercayai Ranying yang mereka yakini sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Tempat ibadah mereka disebut Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Ketika membuat KTP elektronik, masyarakat adat Dayak Meratus mengosongkan kolom agama. Ini terjadi sebelum adanya putusan MK. Pasca-putusan MK, para penganut kepercayaan Kaharingan dan para penghayat kepercayaan lainnya diperbolehkan mencantumkan kepercayaan yang mereka anut di kolom KTP ketika mereka membuat KTP. Putusan MK dipahami sebagai putusan yang tepat karena memberikan solusi bagi kaum penghayat kepercayaan.

Sebagaimana diutarakan di atas, poin yang hendak dikemukakan dalam tulisan ini adalah kepercayaan lokal atau kepercayaan tradisional (atau religi sebagaimana diistilahkan oleh Prof Dr Koentjaraningrat) tidak dikategorikan sebagai agama. Oleh para pakar agama, terutama pakar-pakar muslim, kepercayaan lokal disebut bukan agama dan dipandang sebagai khazanah kebudayaan spiritual yang ada di Indonesia. Sebagai bagian dari khazanah kebudayaan spiritual, kepercayaan lokal dan para penghayatnya patut dijaga, dihormati, dan dijamin hak hidup, hak kebebasan mempratikkan keyakinan dan kepercayaan, serta hak-hak lainnya sebagai warga negara Indonesia tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun.

Enam Agama Resmi di Indonesia

Dalam wacana pemerintahan dan kenegaraan, sudah menjadi kesepahaman umum bahwa Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu diakui dan disebut sebagai agama resmi di negara ini. Bagi para penganut enam agama resmi ini, pengisian kolom agama di KTP tidak ada masalah. Pada mulanya, Konghucu belum termasuk agama dan kemudian diakui sebagai agama resmi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelum diakui sebagai agama, para pengikut Konghucu di Indonesia belum bisa dan belum diperbolehkan mencantumkan Konghucu di kolom agama di KTP. Baru setelah diakui sebagai agama, para penganut Konghucu diperbolehkan mencantumkan agama mereka di kolom agama di KTP mereka.

Tidak hanya itu. Para penganut agama Konghucu juga diperbolehkan menikah menurut tata cara pernikahan ajaran agama Konghucu. Pelayanan pendidikan agama Konghucu kepada murid-murid yang beragama Konghucu juga diberikan di sekolah-sekolah. Menyusul diakuinya Konghucu sebagai agama, Hari Raya Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional oleh pemerintah. Sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, kesenian dan kebudayaan Tionghoa diperbolehkan lagi dipentaskan secara terbuka. Selama masa Orde Baru, kesenian dan kebudayaan Tionghoa tidak boleh dipentaskan.

Status Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu sebagai agama resmi tecermin pada struktur dan organisasi Kemenag. Di Kemenag, ada Ditjen Bimas Islam, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Bimas Hindu, dan Ditjen Bimas Buddha. Pembinaan Umat Konghucu atau urusan agama Konghucu ditempatkan di Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Kemenag. Dapat dipahami bila pembinaan aliran kepercayaan atau organisasi penghayat kepercayaan ditempatkan di Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi Ditjen Kebudayaan Kemendikbud, bukan di Kemenag karena kepercayaan tradisional/lokal adalah bukan agama. *
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6118 seconds (0.1#10.140)