Assalammualaikum, Prof
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Psikolog Forensik
”PRAF, prof, praf, prof!” orang yang duduk di hadapanku itu merasa risih dipanggil ”profesor”. Aku coba penuhi keinginannya dengan lantas menegurnya ”Pak Ito” atau ”Pak Sarlito”. Memenuhi saran kawan, pernah pula aku memakai sapaan ”Mas Ito”. Tapi saran itu tak telap. Beberapa baris obrolan kemudian, aku kembali ke ”prof”.
Padahal, terhadap guru-guru besar lain, perlakuanku benar-benar berbeda. Ke Djamaludin Ancok, Subandi, Noor Hadjam, Farouk Muhammad, dan Johana Prawitasari, walau mereka profesor, aku gunakan ”pak” ataupun ”bu” di depan nama mereka. Begitu pula ke Enoch Markum, hanya sekali saat awal sekali aku sapa dia ”prof”. Selanjutnya, ”pak” saja. Apalagi ke Umar Shihab. Ke begawan itu pun aku ber ”pak-pak” saja. Juga bisa kupastikan; sebentar lagi, setelah Seto Mulyadi dilantik sebagai guru besar, aku akan tetap menyapanya ”kak”. Dipaksa pakai ”prof”, malah wagu.
Mengapa aku tetap ber ”prof” ke Sarlito? Hatiku tak bisa mengingkari; ada ‘jarak’ antara aku dan Profesor Sarlito. Penyebabnya adalah perbedaan kami dalam menyikapi kedudukan serta interaksi antara agama dan ilmu pengetahuan. Profesor Sarlito jauh lebih senior, baik dari sisi keilmuan maupun usia biologis, daripada aku. Namun, sikapku boleh jadi lebih kolot julukan peyoratif yang acap untuk dipakai orang-orang yang tak bersepakat bahwa agama hanya hidup di ranah pribadi. Agama dan ilmu pengetahuan, bagi orang sepuritan aku, adalah tak terpisahkan. Profesor Sarlito sebaliknya. Seorang teman bahkan menjuluki Profesor Sarlito sebagai sosok sekuler tingkat dewa.
Kendati begitu, aku pilih ‘tak bertenggang rasa’. Saban kali bertemu Profesor Sarlito, sebagai ekspresi penghormatan, tetap saja aku buka dengan menyalaminya seraya berdoa, ”Assalammualaikum.” Profesor Sarlito pun tak pernah menepis dan tanpa terlihat kikuk selalu balik mendoakan aku, ”Waalaikumsalam.”
Bisa dibilang aku teratur mengikuti buah-buah pemikiran Profesor Sarlito. Termasuk karangan-karangannya yang terbit mingguan di KORAN SINDO. Sampai-sampai radarku otomatis mengirim pesan waspada, ketika satu dua alinea awal tulisan Profesor Sarlito mulai menunjukkan gelagat bahwa ia akan membahas ihwal agama. Seketika pada momen itu, aku menyiapkan batin untuk sebuah ulasan yang cenderung sinis terhadap agama. Atau lebih tepatnya, terhadap pemeluk agama. Lebih pas lagi, terhadap oknum pemeluk agama. Tak jarang, saat tiba di tanda titik terakhir tulisannya, yang tersisa adalah perasaan pedih di ulu hati.
Di WhatsApp group, sekian kali aku bertikai pemikiran dengan Profesor Sarlito. Tentu dengan bahasa sesantun mungkin. Toh, walau tak pernah menjadi anak didiknya di bangku kuliah, Profesor Sarlito tetap aku anggap sebagai guru. Pun begitu kala ada sesama anggota WhatsApp group yang nggerundel via japri tentang pandangan-pandangan Profesor Sarlito. Setelah aku utarakan perspektif kontra, dan si anggota tersebut ingin memakainya untuk mendebat Profesor Sarlito secara terbuka, aku wanti-wanti agar anggota WhatsApp group itu menumpahkan testosteronnya tanpa melupakan tata krama.
Isi debatnya: Bagaimana mungkin orang mau mengangguki ujaran Profesor Sarlito agar jangan bawa-bawa agama ke dalam sains. Lha wong induk psikologi dunia, yakni American Psychological Association, justru mendirikan divisi tersendiri yang menjadi tempat berhimpunnya kajian-kajian tentang agama dan psikologi. Kalau induk psikologi dunia saja mendinamiskan riset psikologi tentang agama, kok bisa-bisanya psikologi Indonesia malah menajiskan itu.
Tentu, relasi antara Profesor Sarlito dan aku jauh dari sepantaran dengan hubungan sekondan antara Sukarno dan Sjahrir. Dari buku-buku, kuketahui Sukarno dan Sjahrir adalah teman bergelut. Kalau sudah bersilat lidah, berpencak kata, muka mereka bisa memerah seperti udang dengan urat-urat yang nongol seolah mau pecah. Sukarno pun pernah mengambil langkah politik tanpa belas iba terhadap Sjahrir. Tapi ketika Sjahrir mangkat, Sukarno menganugerahinya gelar pahlawan nasional.
Relasi Sukarno-Sjahrir kontras benar dengan hubungan antara Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung. Jung adalah salah satu anak didik kebanggaan Freud. Ibarat kata, Jung sempat digadang-gadangkan sebagai pewaris psikoanalis. Tapi tercatat dalam sejarah, mereka tiba di sebuah persimpangan dan tak bisa lagi disatukan. Jung murtad dari mazhab yang dibangun Freud, dan mendirikan Psikologi Analitis. Guru-murid pun berubah status menjadi musuh bebuyutan. Begitu bermusuhannya, sampai-sampai ketika Jung datang ke sebuah kenduri dan di situ ada Freud, Freud jatuh pingsan.
Suasana kejiwaan antara Sukarno dan Sjahrir itulah yang ingin kuteladani sekaligus kulukis untuk menggambarkan hubunganku dengan Profesor Sarlito. Profesor Sarlito prosegregasi antara agama dan sains, sementara aku prointegrasi agama dan sains. Sejatinya, pergulatan itu juga dapat dijumpai dalam komunitas psikologi di Tanah Air. Di salah satu fakultas psikologi, kudengar langsung larangan mengutip isi kitab suci dan hadis Nabi ke dalam tulisan ilmiah. Alasannya adalah dua referensi tersebut tidak ilmiah. Kontras, fakultas psikologi di perguruan tinggi lain justru menyemangati mahasiswa untuk juga menggunakan dan mencantumkan keduanya sebagai rujukan ilmiah. Beruntung, kubu prointegrasi agama dan sains tetap terus eksis, sebagaimana direpresentasikan oleh keberadaan Asosiasi Psikologi Islami.
Meski berseberangan, tatkala kuterima kabar bahwa Profesor Sarlito sedang berada dalam kondisi kritis di rumah sakit, aku tetap membatinkan harapan agar Allah SWT. Sembuhkan Profesor Sarlito sehingga dapat beribadah lebih khusyuk lagi. Doaku tak terkabul, walau pastinya itu keputusan terbaik dari Zat Yang Mahabaik.
Hari ini, 14 November, tepat satu tahun Profesor Sarlito mangkat. Profesor Sarlito, sudah barang tentu, adalah satu dari sekian banyak sosok kenamaan psikologi di Tanah Air. Melintas sebuah momen nostalgia perjumpaanku dengan Profesor Sarlito di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Kala itu, topi laken bertengger di kepala Profesor Sarlito. Sambil membayangkan itu, aku menggumam, ”Kita memang berbeda untuk perkara yang, dalam ukuranku, amat sangat mendasar, Prof. Tapi bisa kupastikan aku tidak baper alias bawa perasaan. Kata sambutanmu di salah satu bukuku adalah bukti betapa aku ingin enyahkan sejauh-jauhnya rasa ‘marah’-ku padamu. Tabik, Guru.” Allahu a’lam.
Psikolog Forensik
”PRAF, prof, praf, prof!” orang yang duduk di hadapanku itu merasa risih dipanggil ”profesor”. Aku coba penuhi keinginannya dengan lantas menegurnya ”Pak Ito” atau ”Pak Sarlito”. Memenuhi saran kawan, pernah pula aku memakai sapaan ”Mas Ito”. Tapi saran itu tak telap. Beberapa baris obrolan kemudian, aku kembali ke ”prof”.
Padahal, terhadap guru-guru besar lain, perlakuanku benar-benar berbeda. Ke Djamaludin Ancok, Subandi, Noor Hadjam, Farouk Muhammad, dan Johana Prawitasari, walau mereka profesor, aku gunakan ”pak” ataupun ”bu” di depan nama mereka. Begitu pula ke Enoch Markum, hanya sekali saat awal sekali aku sapa dia ”prof”. Selanjutnya, ”pak” saja. Apalagi ke Umar Shihab. Ke begawan itu pun aku ber ”pak-pak” saja. Juga bisa kupastikan; sebentar lagi, setelah Seto Mulyadi dilantik sebagai guru besar, aku akan tetap menyapanya ”kak”. Dipaksa pakai ”prof”, malah wagu.
Mengapa aku tetap ber ”prof” ke Sarlito? Hatiku tak bisa mengingkari; ada ‘jarak’ antara aku dan Profesor Sarlito. Penyebabnya adalah perbedaan kami dalam menyikapi kedudukan serta interaksi antara agama dan ilmu pengetahuan. Profesor Sarlito jauh lebih senior, baik dari sisi keilmuan maupun usia biologis, daripada aku. Namun, sikapku boleh jadi lebih kolot julukan peyoratif yang acap untuk dipakai orang-orang yang tak bersepakat bahwa agama hanya hidup di ranah pribadi. Agama dan ilmu pengetahuan, bagi orang sepuritan aku, adalah tak terpisahkan. Profesor Sarlito sebaliknya. Seorang teman bahkan menjuluki Profesor Sarlito sebagai sosok sekuler tingkat dewa.
Kendati begitu, aku pilih ‘tak bertenggang rasa’. Saban kali bertemu Profesor Sarlito, sebagai ekspresi penghormatan, tetap saja aku buka dengan menyalaminya seraya berdoa, ”Assalammualaikum.” Profesor Sarlito pun tak pernah menepis dan tanpa terlihat kikuk selalu balik mendoakan aku, ”Waalaikumsalam.”
Bisa dibilang aku teratur mengikuti buah-buah pemikiran Profesor Sarlito. Termasuk karangan-karangannya yang terbit mingguan di KORAN SINDO. Sampai-sampai radarku otomatis mengirim pesan waspada, ketika satu dua alinea awal tulisan Profesor Sarlito mulai menunjukkan gelagat bahwa ia akan membahas ihwal agama. Seketika pada momen itu, aku menyiapkan batin untuk sebuah ulasan yang cenderung sinis terhadap agama. Atau lebih tepatnya, terhadap pemeluk agama. Lebih pas lagi, terhadap oknum pemeluk agama. Tak jarang, saat tiba di tanda titik terakhir tulisannya, yang tersisa adalah perasaan pedih di ulu hati.
Di WhatsApp group, sekian kali aku bertikai pemikiran dengan Profesor Sarlito. Tentu dengan bahasa sesantun mungkin. Toh, walau tak pernah menjadi anak didiknya di bangku kuliah, Profesor Sarlito tetap aku anggap sebagai guru. Pun begitu kala ada sesama anggota WhatsApp group yang nggerundel via japri tentang pandangan-pandangan Profesor Sarlito. Setelah aku utarakan perspektif kontra, dan si anggota tersebut ingin memakainya untuk mendebat Profesor Sarlito secara terbuka, aku wanti-wanti agar anggota WhatsApp group itu menumpahkan testosteronnya tanpa melupakan tata krama.
Isi debatnya: Bagaimana mungkin orang mau mengangguki ujaran Profesor Sarlito agar jangan bawa-bawa agama ke dalam sains. Lha wong induk psikologi dunia, yakni American Psychological Association, justru mendirikan divisi tersendiri yang menjadi tempat berhimpunnya kajian-kajian tentang agama dan psikologi. Kalau induk psikologi dunia saja mendinamiskan riset psikologi tentang agama, kok bisa-bisanya psikologi Indonesia malah menajiskan itu.
Tentu, relasi antara Profesor Sarlito dan aku jauh dari sepantaran dengan hubungan sekondan antara Sukarno dan Sjahrir. Dari buku-buku, kuketahui Sukarno dan Sjahrir adalah teman bergelut. Kalau sudah bersilat lidah, berpencak kata, muka mereka bisa memerah seperti udang dengan urat-urat yang nongol seolah mau pecah. Sukarno pun pernah mengambil langkah politik tanpa belas iba terhadap Sjahrir. Tapi ketika Sjahrir mangkat, Sukarno menganugerahinya gelar pahlawan nasional.
Relasi Sukarno-Sjahrir kontras benar dengan hubungan antara Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung. Jung adalah salah satu anak didik kebanggaan Freud. Ibarat kata, Jung sempat digadang-gadangkan sebagai pewaris psikoanalis. Tapi tercatat dalam sejarah, mereka tiba di sebuah persimpangan dan tak bisa lagi disatukan. Jung murtad dari mazhab yang dibangun Freud, dan mendirikan Psikologi Analitis. Guru-murid pun berubah status menjadi musuh bebuyutan. Begitu bermusuhannya, sampai-sampai ketika Jung datang ke sebuah kenduri dan di situ ada Freud, Freud jatuh pingsan.
Suasana kejiwaan antara Sukarno dan Sjahrir itulah yang ingin kuteladani sekaligus kulukis untuk menggambarkan hubunganku dengan Profesor Sarlito. Profesor Sarlito prosegregasi antara agama dan sains, sementara aku prointegrasi agama dan sains. Sejatinya, pergulatan itu juga dapat dijumpai dalam komunitas psikologi di Tanah Air. Di salah satu fakultas psikologi, kudengar langsung larangan mengutip isi kitab suci dan hadis Nabi ke dalam tulisan ilmiah. Alasannya adalah dua referensi tersebut tidak ilmiah. Kontras, fakultas psikologi di perguruan tinggi lain justru menyemangati mahasiswa untuk juga menggunakan dan mencantumkan keduanya sebagai rujukan ilmiah. Beruntung, kubu prointegrasi agama dan sains tetap terus eksis, sebagaimana direpresentasikan oleh keberadaan Asosiasi Psikologi Islami.
Meski berseberangan, tatkala kuterima kabar bahwa Profesor Sarlito sedang berada dalam kondisi kritis di rumah sakit, aku tetap membatinkan harapan agar Allah SWT. Sembuhkan Profesor Sarlito sehingga dapat beribadah lebih khusyuk lagi. Doaku tak terkabul, walau pastinya itu keputusan terbaik dari Zat Yang Mahabaik.
Hari ini, 14 November, tepat satu tahun Profesor Sarlito mangkat. Profesor Sarlito, sudah barang tentu, adalah satu dari sekian banyak sosok kenamaan psikologi di Tanah Air. Melintas sebuah momen nostalgia perjumpaanku dengan Profesor Sarlito di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Kala itu, topi laken bertengger di kepala Profesor Sarlito. Sambil membayangkan itu, aku menggumam, ”Kita memang berbeda untuk perkara yang, dalam ukuranku, amat sangat mendasar, Prof. Tapi bisa kupastikan aku tidak baper alias bawa perasaan. Kata sambutanmu di salah satu bukuku adalah bukti betapa aku ingin enyahkan sejauh-jauhnya rasa ‘marah’-ku padamu. Tabik, Guru.” Allahu a’lam.
(mhd)