Drama di Saudi

Rabu, 08 November 2017 - 09:37 WIB
Drama di Saudi
Drama di Saudi
A A A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

APAKAH Arab Saudi tengah mengalami transisi rezim pemerintahan ataukah sekadar melakukan konsolidasi kekuasaan di seputar Raja Salman? Jawabannya masih harus ditunggu beberapa bulan ke depan. Penangkapan 11 pangeran, juga beberapa Menteri, menambah drama di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan ini. Saudi pun terlibat banyak aksi di luar negeri mulai dari penggulingan rezim di Suriah, melakukan intervensi di Yaman dan terakhir ini memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Keterlibatan Saudi di beberapa politik dalam negeri negara di Timur Tengah bukan hal yang baru namun biasanya dilakukan dengan tertutup atau melalui proxy kepentingan negara lain.

Apakah Arab Saudi menuju ke sebuah negara monarki yang lebih terbuka atau monarki yang demokratis? Masih banyak di dunia di mana kerajaan berperan dalam politik dan dilestarikan perannya tersebut dalam sistem politik yang liberal. Contoh adalah Inggris atau Spanyol. Di Asia, Thailand adalah salah satu negara di mana raja masih memiliki otoritas yang mempengaruhi kebijakan politik dan publik. Dengan kata lain, ada banyak versi atau contoh yang dapat dijadikan rujukan bagi Arab Saudi apabila mereka benar-benar ingin melakukan transisi tanpa meninggalkan sistem monarkinya.

Saya melihat bahwa gejolak di Arab Saudi tidak lepas dari terbitnya Undang-Undang Kebijakan Energi tahun 2005 yang ditandatangani oleh Presiden George Bush Jr. Undang-undang ini adalah hasil perjuangan dari para pelobi yang berusaha selama 4 tahun lebih untuk menembus masa administrasi Presiden Clinton namun gagal. Inti dari UU ini adalah mengizinkan eksplorasi minyak serpih (Shale) yang sebelumnya dilarang karena dianggap akan merusak lingkungan hidup. Sejak UU itu disahkan, investasi dan produksi minyak Shale tidak terbendung. AS adalah salah satu negara dengan cadangan minyak Serpih terbesar di dunia dan UU itu mendorong ekplorasi dan produksi yang lebih intensif, bahkan mencapai puncaknya ketika minyak dunia mencapai titik terendahnya sebesar USD32 tahun 2008.

Produktivitas minyak serpih yang menyebabkan harga minyak dunia turun mengakibatkan pendapatan negara yang tergantung 80 %-90% dari produksi minyak menjadi terganggu termasuk Arab Saudi. Arab Saudi mengalami defisit pada tahun 2015 sebesar Rp1.372 triliun. Defisit agak berkurang ketika harga minyak dunia merangkak sedikit naik pada tahun selanjutnya.

Ada perbedaan konteks yang menyebabkan defisit ekonomi kali ini berimplikasi kepada gejolak politik di Arab Saudi. Defisit secara umum bukanlah hal baru bagi negara tersebut. Arab Saudi juga pernah

mengalami defisit terutama pada tahun 1986 ketika konflik politik di Timur Tengah sangat intensif dan menyebabkan harga minyak menyentuh USD10 per barrel. Defisit itu baru benar-benar pulih di tahun 2000 ketika harga minyak sudah mulai tinggi lagi.

Perbedaan utama kali ini adalah faktor demografi penduduk. Ketika Arab Saudi mengalami defisit mulai tahun 1986 hingga 2000, mayoritas struktur demografi penduduk Arab Saudi didominasi oleh anak-anak di bawah usia 15 tahun atau masih dalam masa sekolah. Krisis saat itu menyebabkan harga barang menjadi tinggi karena masih sebagian besar diimpor. Jalan keluarnya adalah dengan mulai mendiversifikasi perekonomian agar Arab Saudi tidak hanya mengandalkan ekspor minyak mentah.

Diversifikasi ini sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1970-an tetapi hanya sedikit memiliki pengaruh dalam pendapatan ekonomi kerajaan. Perlu juga diketahui bahwa pada saat itu, 2/3 tenaga kerja di Arab Saudi adalah tenaga kerja asing. Kapasitas penduduk Arab Saudi masih belum dapat menutupi permintaan tenaga kerja terutama dari industri perminyakan dan teknologi tinggi karena rendahnya pendidikan.

Pemerintah melalu proyek-proyek infrastruktur hingga telekomunikasi mampu membuka lapangan pekerjaan dan menerima sebanyak-banyak penduduk sebagai pegawai negeri sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Jalan keluar ini setidaknya dapat berfungsi sebagai jaring pengamanan sosial dan mampu meredakan konflik di dalam negeri.

Strategi tersebut tidak dapat digunakan pada defisit kali ini karena dari faktor demografi, penduduk Arab Saudi sekarang didominasi oleh angkatan kerja usia produktif antara 15 hingga 35 tahun. Mereka mendominasi angka pengangguran yang saat ini mencapai 12%. Mereka membutuhkan pekerjaan namun pihak kerajaan tidak lagi dapat menyerap mereka sebagai pegawai negeri lagi karena beberapa faktor perubahan ekonomi di dunia. Kondisi usia pekerja lebih menyulitkan penerapan strategi yang sama seperti di masa lalu.

Contoh yang paling kuat adalah kecenderungan ekonomi masa depan di dunia yang berusaha lepas dari ketergantungan minyak fosil dan mulai fokus ke energi terbarukan. Produktivitas minyak serpih yang lebih efisien, pertumbuhan ekonomi dunia yang fokus kepada padat modal dan teknologi sehingga mengurangi penggunaan energi dalam jumlah besar dan bahwa secara umum perekonomian dunia masih belum pulih. Artinya pihak kerajaan sudah yakin tidak dapat lagi menjamin untuk menggaji pegawai dari APBN seperti dulu. Pihak kerajaan membutuhkan investasi dari luar untuk menciptakan pekerjaan pekerjaan baru yang bersumber dari non-minyak bumi.

Faktor-faktor tersebut memaksa kerajaan untuk segera melakukan diversifikasi ekonomi yang radikal agar dapat mengantisipasi perubahan tersebut. Diversifikasi itu tertuang dalam visi 2030 yang dipimpin langsung oleh Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman. Dalam visi tersebut dibayangkan skenario terburuk di mana pihak kerajaan harus dapat mengantisipasi keadaan apabila harga minyak bumi mencapai USD30 atau batas nilai produksi. Untuk itu maka pihak kerajaan berencana untuk meningkatkan pendapatan non-minyak sebanyak enam kali lipat dari sekitar USD43,5 miliar per tahun menjadi USD 267 miliar, dan juga bertujuan untuk meningkatkan ekspor non-migas sebagai bagian dari PDB dari 16% saat ini menjadi 50%.

Generasi muda berusia 30 tahun yang saat ini mendominasi 70% dari populasi Arab Saudi menjadi kekhawatiran utama kerajaan. Apabila pihak kerajaan tidak dapat mengelola generasi muda yang sebagian besar secara diam-diam juga kritis terhadap pihak kerajaan, Arab Saudi dikhawatirkan akan mengalami Arab Springs seperti yang terjadi di negara-negara lain di Timur tengah. Generasi muda di Arab Saudi sulit saat ini untuk menikmati kesejahteraan seperti yang dialami oleh orang tua mereka.

Pihak kerajaan perlu menemukan cara yang efektif untuk membuat kaum muda di Arab Saudi mau bekerja. Tahun lalu misalnya, Jadwal Investment mencatat bahwa 3 bulan pertama kuartal tahun 2016, jumlah pekerjaan di Arab Saudi meningkat secara signifikan sebesar 892 ribu orang, dibandingkan dengan kenaikan 417.000 di antara tahun 2014 dan 2015. Namun sayangnya, 95 % lari ke para pekerja non-Saudi.

Hal ini yang mendorong pihak kerajaan mulai melakukan reformasi mulai dari penyataan akan menjadikan Arab Saudi sebagai Islam yang moderat hingga penangkapan para pangeran dan pengusaha yang dituduh korupsi. Tentu ada alasan politis di balik semua kebijakan tersebut. Contoh adalah penangkapan Pangeran Alwaleed bin Talal, konglomerat dan salah satu orang terkaya di dunia, yang rupanya terjadi karena ayahnya adalah salah satu dari tiga petinggi yang tidak merestui Pangeran Mohammed bin Salman menjadi putra mahkota. Konsolidasi kekuasaan yang dilakukan oleh Pangeran Mohammed bin Salman dengan menyingkirkan para tokoh yang akan menghambat kekuasaannya juga adalah salah satu bagian dari mewujudkan visi 2030 tersebut.

Aksi penangkapan para pangeran mungkin bukan drama terakhir yang akan terjadi di Arab Saudi. Ambisi 2030 yang paling utama adalah membuat pemerintahan kerajaan stabil agar dapat menjadi daya tarik bagi para investor. Kita masih belum dapat melihat apakah kestabilan ini akan dibangun lewat reformasi sistem hukum dan politik menjadi lebih terbuka dan partisipatif atau dengan tangan besi seperti yang dilakukan Arab Saudi akhir-akhir ini terhadap para tetangganya di Qatar atau Yaman.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1029 seconds (0.1#10.140)