Agar Korupsi Tidak Merusak Kemudahan Berbisnis

Senin, 06 November 2017 - 08:30 WIB
Agar Korupsi Tidak Merusak...
Agar Korupsi Tidak Merusak Kemudahan Berbisnis
A A A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

KORUPSI
yang demikian marak dewasa ini berpotensi merusak pencapaian peringkat kemudahan berbisnis atau ease of doing business (EoDB). Agar EoDB terus membaik pada kemudian hari, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali mengeskalasi
langkah-langkah pemberantasan korupsi.

Kalau pemerintah sangat konsisten dan agresif dalam mempercepat reformasi perizinan, pemerintah pun hendaknya konsisten dan agresif ketika memerangi korupsi. Dalam konteks itu pemerintah harus berani mematok ambisi atau target besar. Pemberantasan korupsi harus bergerak menuju target terwujudnya good governance (tata pemerintahan yang baik) dan clean government (pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme). Pemerintah pusat di Jakarta dan semua pemerintah daerah harus didorong mewujudkan good governance. Pun pemerintah pusat dan semua pemerintah daerah harus bertekad menampakkan clean government kepada siapa pun.

Sekarang adalah momentum untuk mengaktualisasikan tekad itu karena dunia melihat Indonesia sudah berada di jalur positif. Konsistensi pemerintah membangun infrastruktur di semua daerah dan mempercepat reformasi sektor perizinan telah membuahkan hasil signifikan. Baru-baru ini Bank Dunia mengumumkan peringkat kemudahan berinvestasi atau EoDB Indonesia naik dari posisi ke-91 ke posisi ke-72 dari 190 negara yang disurvei Bank Dunia. Pencapaian ini layak disebut signifikan karena bisa diraih dalam rentang waktu relatif singkat, tiga tahun. Se­belumnya Indonesia di peringkat ke-120, kemudian peringkat ke-106, dan terus membaik ke posisi ke-91 hingga sekarang di posisi ke-71. Bank Dunia mengakui Indonesia konsisten mempercepat laju reformasi.

Ada beberapa indikator dari hasil percepatan reformasi itu. Biaya sambungan listrik dan sertifikasi kabel bisa diturunkan menjadi 276% dari pendapatan per kapita dari sebelumnya 357%. Biaya untuk memulai usaha baru pun bisa diturunkan, dari 19,4% menjadi 10,9%. Sekarang ini persiapan memulai usaha baru di Jakarta hanya butuh waktu 22 hari dibandingkan 181 hari pada 2004. Lalu, penyelesaian dokumen perdagangan antarnegara semakin cepat berkat dukungan tagihan elektronik untuk pajak, bea cukai, serta pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Rentang waktu yang diperlukan untuk mendapatkan, menyiapkan, memproses, dan mengirimkan dokumen impor turun dari 133 jam menjadi 119 jam.

Membaiknya EoDB pun sejalan dengan perbaikan peringkat kelayakan Indonesia sebagai tujuan investasi. Lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor’s (S&P) telah menaikkan sovereign credit rating Indonesia menjadi BBB-/A-3 dengan outlook stabil. Sebelum S&P, lembaga pemeringkat Moody’s Investors Service dan Fitch Ratings juga memberi pandangan positif pada stabilitas perekonomian Indonesia, termasuk pengelolaan utang. Membaiknya peringkat kelayakan Indonesia sebagai tujuan investasi otomatis menarik masuk dana asing ke dalam negeri. Maka itu, tidaklah mengejutkan ketika indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) terus mencatat rekor baru.

Faktor apa yang paling potensial merusak persepsi publik internasional tentang EoDB dan kelayakan Indonesia sebagai tujuan investasi? Faktor korupsi! Faktor inilah yang harus selalu diperhitungkan pemerintah. Sebagai gambaran saja, selama 2016 KPK menyergap 482 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.101 orang. Juga pada tahun itu, KPK sedikitnya berhasil melakukan 15 kali operasi tangkap tangan (OTT).

Sudah menjadi pengakuan bersama bahwa korupsi kini makin marak karena telah terjadi proses regenerasi koruptor, baik di birokrasi pemerintah pusat maupun daerah, termasuk lembaga parlemen, penegak hukum, hingga lembaga peradilan. Demi kepentingan negara dan rakyat, pemerintah harus menaikan level militansi dalam memerangi korupsi. Pemerintah agresif mempercepat reformasi perizinan serta sangat militan dalam memerangi narkoba dan pencuri ikan. Mengapa juga pemerintah tidak militan memerangi korupsi?

Militansi Negara

KPK harus terus diperkuat dari waktu ke waktu. Tetapi, mengandalkan KPK untuk mencegah korupsi di negara sebesar Indonesia jelas tidak masuk akal. Lewat APBN dan APBD, dana negara saat ini dikelola dan dimanfaatkan oleh 34 kementerian, 28 lembaga negara, 34 pemerintahan provinsi, 416 pemerintah kabupaten, dan 98 pemerintah kota. Lalu, hampir 75.000 desa diberi wewenang mengelola dana desa. Dalam konteks pengawasan dan pengamanan, ini adalah pekerjaan yang amat besar dan sangat tidak mudah. Jadi, tantangan ini tidak disederhanakan sebab demi efisiensi dan efektivitas sangat diperlukan pengawasan dan pengamanan yang militan.

Karena itu, inisiatif Polri merancang dan menghadirkan Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) harus dilihat sebagai upaya menaikkan militansi negara memerangi korupsi. Menghadirkan dan memfungsikan Densus Tipikor Mabes Polri hendaknya dipahami sebagai eskalasi upaya negara mereduksi perilaku korup oknum aparatur negara dan daerah. Sinergi KPK dan Densus Tipikor tentu akan menaikkan efektivitas pengawasan dan pengamanan anggaran pembangunan.

Peran dan fungsi lain yang otomatis melekat pada KPK dan Densus Tipikor adalah memastikan terpeliharanya kualitas EoDB dan peringkat kelayakan Indonesia sebagai tujuan investasi. Efektivitas peran KPK-Densus Tipikor dalam mencegah korupsi akan membantu semua kementerian dan lembaga, serta semua pemerintah daerah mewujudkan hakikat good governance dan clean government.

Semua pemerintah daerah harus didorong peduli pada hakikat good governance dan clean government. Pada waktunya nanti kelengkapan infrastruktur yang sedang dibangun sekarang ini akan menjadikan banyak daerah sebagai tujuan investasi pula. Namun, kelengkapan infrastruktur saja tidaklah cukup. Syarat lain yang juga mutlak dipenuhi adalah pemerintahan daerah harus bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Selain stabilitas keamanan, faktor lain yang menentukan tinggi dan rendah pertumbuhan investasi adalah kepastian hukum. Korupsi yang marak, kolusi, dan nepotisme meng­indikasikan ketidakpastian hukum. Kalau tidak ada kepastian hukum, siapa pun enggan atau takut untuk berbisnis di daerah bersangkutan. Apalagi, komunitas investor asing.

Modal asing yang mengalir lintas negara wajib patuh pada kode etik yang dirumuskan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan International Chamber of Commerce (ICC) atau Kamar Dagang Internasional. ICC dan OECD melarang ang­gotanya melakukan suap dalam berbisnis di negara mana pun. Sudah barang tentu ada sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan suap.

Maraknya korupsi di Indonesia masih menjadi perhatian para pebisnis dari banyak negara. Setidaknya bisa dipotret dari persepsi sebagian investor Jepang. Mereka menggarisbawahi besarnya jumlah kasus korupsi di Indonesia. Kecenderungan ini terungkap dalam seminar ”Study for the Amendment to the Law ” di Osaka pada 12-22 Februari 2017, yang juga dihadiri sejumlah pakar hukum dari Indonesia.

Sebagian investor Jepang prihatin karena data Corruption Perceptions Index (CPI) 2016 yang dipublikasikan Trans­parency International (TI) memperlihatkan nilai Indonesia hanya naik satu poin dari tahun sebelumnya, tetapi turun dua peringkat. Pada 2016 Indonesia meraih poin 37 dan menempati urutan ke-90 dari 176 negara.

Sekali lagi, hanya korupsi sebagai faktor yang berpotensi merusak EoDB dan peringkat kelayakan Indonesia sebagai tujuan investasi. Karena korupsi makin marak, negara cq pemerintah wajib bertindak ekstra. Langkah dan aksi pemberantasan korupsi harus dieskalasi agar persepsi positif mengenai peringkat EoDB dan kelayakan tujuan investasi terus membaik pada kemudian hari. Maka itu, jangan berlama-lama menunda kehadiran Densus Tipikor Mabes Polri.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0587 seconds (0.1#10.140)