Doing Business di Indonesia

Senin, 06 November 2017 - 08:00 WIB
Doing Business di Indonesia
Doing Business di Indonesia
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

KEJUTAN kembali dipentaskan Indonesia dalam rilisan terbaru Ease of Doing Business (EoDB) 2018 yang diunggah World Bank sepekan yang lalu. Kita berhasil merangsek 19 peringkat dari sebelumnya berada di posisi 91 kemudian melompat menjadi 72 dunia. Prestasi ini juga membuat Indonesia masuk di kategori best 10 of top reformer di dunia dalam kemudahan berbisnis.

Adapun faktor-faktor pendorongnya dimotori reformasi di sebagian besar indikator doing business yang tergolong masif dalam 15 tahun terakhir. Empat indikator yang peringkat indeksnya paling tinggi dihuni indikator kemudahan mendapatkan sambungan listrik (getting electricity), penyelesaian kebangkrutan (resolving insolvency), melindungi investor minoritas (protecting minority investors), dan mempermudah mendapatkan kredit (getting credit) yang semuanya berada di posisi 100 besar dunia.

Sedangkan indikator sisanya yakni upaya membuat biaya yang lebih murah untuk memulai usaha (starting a business), mengurangi beban pajak properti (registering property), mempermudah pembayaran pajak (paying taxes), perdagangan lintas negara yang semakin baik dan cepat (trading across borders), perizinan mendirikan bangunan (dealing with construction permits), dan penegakan kontrak (enforcing contracts), Indonesia perlu lebih bekerja keras lagi untuk terus meningkatkan daya saingnya karena masih terlempar dari peringkat 100 dunia. Effort pemerintah untuk terus menggiatkan deregulasi kebijakan investasi dan menggenjot pembangunan berbagai infrastruktur strategis nampaknya mulai menghasilkan cerita-cerita yang positif.

Kendati demikian, peringkat kemudahan bisnis Indonesia masih tergolong biasa-biasa saja jika dibandingkan dengan negara lain di wilayah ASEAN. Singapura seperti biasa menjadi pemimpin di wilayah ASEAN karena menempati peringkat 2 dunia. Malaysia untuk tahun ini menempati peringkat 24 dunia. Sedangkan Thailand, Brunei Darussalam, dan Vietnam masing-masing menghuni peringkat 26, 56, dan 68 dunia.

Kondisi ini bisa menjadi salah satu bahan evaluasi bagi pemerintah untuk mempertimbangkan apa saja kebijakan yang bernilai strategis terhadap daya saing investasi di Indonesia. Presiden Joko Widodo segera merespons hasil publikasi World Bank tersebut dengan membentuk Satgas Kemudahan Berusaha. Pasukan ini akan bertugas untuk mengatur dan mengawasi percepatan perizinan usaha secara terintegrasi mulai dari tingkat pemerintah pusat hingga ke daerah-daerah. Selain itu beragam pemberian insentif fiskal, pajak bea masuk dan sebagainya, hingga nantinya ada satu single submission akan diberikan dan semuanya diarahkan pada proses pengajuan izin investasi yang semakin mudah, murah, dan cepat. Kemudian penulis juga berharap pemerintah dapat berpikir secara rasional apa saja manfaat yang dihasilkan dari penguatan daya saing kemudahan bisnis. Misalnya saja kita mengaitkan antara target kemudahan bisnis ini dengan output-output kebijakan yang mengarah pada penguatan faktor-faktor fundamental makroekonomi. Sehingga strategi ini tidak hanya bersifat parsial.

Dalam beberapa kesempatan, pemerintah selalu membanggakan indikator investment grade kita yang dalam beberapa tahun terakhir memang terus mengalami perbaikan. Namun penulis secara konsisten juga berupaya untuk terus mengingatkan pemerintah agar tidak salah memilah apa saja kebijakan yang bersifat outcome dan apa saja kebijakan yang bernilai output. Pemikiran ini bertujuan agar sederet upaya yang tengah dilakukan pemerintah hingga saat ini tidak lantas menjadi sesuatu yang sia-sia. Karena masyarakat tentu berharap bahwa langkah politik yang ditempuh pemerintah bisa berdampak positif terhadap kesejahteraan hidup yang mereka miliki. Misalnya terkait dengan perbaikan investment grade yang tadi kita bahas. Secara normatif kenaikan investment grade seharusnya akan berdampak signifikan terhadap arus investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) dalam tahun-tahun ke depan.

Namun kenyataan yang terjadi tak kunjung sesuai dengan ekspektasi. Pertumbuhan ekonomi kita terus ­ngos-ngosan untuk sekadar konsisten di kisaran 5%. Beberapa waktu yang lalu Menko Perekonomian pernah bercerita bahwa dari potensi investasi dunia yang diperkirakan mencapai USD1.500 miliar hanya 1% saja yang masuk di Indonesia. Mungkin dua faktor pendukung yang membuat investasi asing masih betah di Indonesia adalah kedekatan dengan bahan baku SDA dan potensi pasar konsumen dalam negeri yang jumlahnya relatif menggiurkan. Sementara faktor penting lainnya khususnya penggunaan tenaga kerja lokal capaiannya masih belum cukup memuaskan. Angka realisasi investasi dari penduduk asing maupun domestik memang kian tumbuh. Akan tetapi jumlah pengangguran masih stagnan di kisaran 7 juta penduduk. Bahkan isu pelemahan daya beli yang dapat merembet pada penahanan produktivitas lapangan usaha kian gencar menjadi topik yang hangat di kalangan masyarakat.

Pentingnya Integrasi Kebijakan

Langkah pemerintah untuk meningkatkan kemudahan bisnis di dalam negeri ke depannya sangat mungkin akan tersendat-sendat. Pembangunan infrastruktur yang diharapkan mampu mengakomodir kemudahan berusaha, khususnya yang berhubungan langsung dengan bisnis seperti telekomunikasi, jalan dan moda transportasi, listrik, serta koneksitas yang menjadi kunci dalam mendorong investasi nampaknya menghadapi bahaya yang cukup besar karena kapasitas fiskal yang tengah terhimpit. Malahan banyak pengamat ekonomi yang berpendapat bahwa kenaikan investment grade kita “nikmatnya” hanya dari sisi kemudahan berutang bagi pemerintah. Dampak lain yang juga diharapkan dari sisi faktor fundamental makro ekonomi rasa-rasanya tidak banyak mendapat dukungan yang berarti seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Ada beberapa alasan mengapa investment grade yang meningkat manfaatnya hanya bersifat parsial. Pertama, masih terdapat hambatan struktural dari sisi birokrasi yang dijalankan pemerintah sehingga laju investasi tidak memberikan dampak yang signifikan. Kendala terbesarnya lagi-lagi berkutat karena sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, khususnya dalam hal ini pemerintah daerah belum mampu membuat aturan perizinan dan tugas daerah yang lebih terbuka dan akuntabel.

Kepala Badan Kebijakan Penanaman Modal (BKPM) mengakui bahwa kultur investasi daerah masih rentan memasang barrier yang justru menghambat langkah investor untuk menanamkan modalnya. Ada banyak regulasi di daerah yang dikeluhkan oleh investor-investor luar daerah dan asing yang membuat ongkos birokrasinya masih sangat tinggi. Biasanya hal ini disebabkan karena daerah masih memandang bahwa proses perizinan merupakan ladang penghasilan untuk menggenjot retribusi daerahnya. Namun perlu dipastikan juga andai kata pemangkasan regulasi investasi daerah merupakan solusinya, maka investasi tersebut bisa diimbangi dengan perbaikan indikator makro ekonomi di lokasi investasi tersebut berada. Karena tidak sedikit komentar miring yang bermunculan akibat asumsi bahwa investasi di daerah tidak banyak menopang pertumbuhan makro ekonomi daerah.

Pertumbuhan yang dimaksudkan minimal dari segi penyerapan tenaga kerja lokal.

Memang tidak salah investor sepenuhnya jika manfaat dari investasi terhadap penyerapan tenaga kerja masih tergolong kurang optimal. Karena bisa jadi memang suplai tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan belum banyak tersedia di daerah setempat. Oleh karena itu penulis berharap deregulasi kebijakan investasi juga perlu diimbangi dengan investasi pemerintah yang lebih besar untuk pembangunan SDM lokal. Sehingga masyarakat setempat ikut merasakan bagaimana nikmatnya ketika investasi di daerahnya kian menggeliat. Mereka juga nantinya akan terdorong untuk tidak “mengganggu” stabilitas investasi dari sisi keamanan lingkungan. Sebab mengapa lingkungan investasi kadang kala dianggap kurang kondusif, motif utamanya karena masyarakat setempat tidak dilibatkan dalam aktivitas ekonomi yang berada di wilayahnya.

Nah terkait pengembangan SDM, ada kalanya lebih baik pemerintah untuk lebih fokus lagi membangun melalui sistem pendidikan yang lebih memadai. Penyiapan SDM merupakan isu terpenting di luar pembangunan dan perbaikan di bidang infrastruktur yang sifatnya sangat supply side, karena pemerintah saat ini juga mendorong sektor yang sifatnya padat karya dan menciptakan lapangan kerja yang langsung dibayar (cash) melalui ide padat karya transfer cash. Sekolah-sekolah kejuruan (SMK) yang sesuai dengan kebutuhan perlu disiapkan untuk mengisi kebutuhan investasi di daerah. Keberadaan SMK sebagai kawah candradimuka calon tenaga kerja terampil patut dipertanyakan lagi karena struktur pengangguran terbesar di Indonesia salah satunya malah dihuni lulusan dari SMK.

Dari total pengangguran di Indonesia, sekitar seperlimanya merupakan pengangguran dari tingkat pendidikan SMK. Jika digabungkan dengan pengangguran dari lulusan SMA, kontribusinya mencapai 41,91% dari total pengangguran (BPS, 2017). Ada fakta implisit yang menggelitik kenapa fenomena ini seperti dibiarkan untuk terus terjadi. Oleh karena itu sinkronisasi antara sistem pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja menjadi sangat penting untuk terus diperkuat lagi. Jangan sampai investasi meningkat tetapi tenaga kerjanya justru diisi oleh SDM dari luar negeri atau daerah lain. Kenyataan ini bisa semakin bergulir liar menjadi isu kedaerahan di wilayah tersebut. Dan nantinya isu tersebut bisa berdampak buruk terhadap keberlangsungan bisnis (sustainability).

Ide Presiden Joko Widodo untuk menerapkan kebijakan padat karya transfer cash patut kita sambut dengan apresiasi yang positif. Presiden berharap proyek padat karya bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dan harus dibayarkan secara tunai untuk memperkuat daya beli masyarakat yang akhir-akhir ini melemah. Ide ini patut mempertimbangkan lebih dalam mengenai peran pemerintahan desa. Karena sasaran utama dari program ini adalah masyarakat desa. Pemerintah desa perlu dilibatkan termasuk dalam sinkronisasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat tersebut. Bila dikalkulasikan secara sederhana, jumlah desa di Indonesia saat ini ada 74.000 desa dan dana desa untuk 2018 sebesar Rp60 triliun.

Dengan demikian, belasan juta tenaga kerja diharapkan akan terserap lewat proyek padat karya Kementerian Desa saja, belum kementerian yang lain. Sehingga ada hampir 15 juta sendiri tenaga kerja yang terserap. Oleh karena itu perlu dibangun sistem perencanaan yang semakin terpadu antara pemerintah desa, kabupaten, provinsi, dan nasional. Minimal dari program ini, akses daya beli masyarakat semakin meningkat tidak sekadar untuk konsumsi, melainkan juga untuk pengeluaran-pengeluaran yang lain khususnya dalam kebutuhan pendidikan dan kesehatan.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5814 seconds (0.1#10.140)