Dramatisasi Revisi UU Ormas
A
A
A
Moh. Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
DI dalam politik kerap terjadi hal yang sebenarnya biasa-biasa saja menjadi dramatis karena sengaja didramatisasi. Contohnya, soal agenda perubahan kembali atau revisi undang-undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang baru disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pekan lalu. Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2/2017 tentang Ormas disahkan dalam Sidang Paripurna DPR menjadi UU melalui pro dan kontra yang tajam.
Dari semua fraksi ada yang menyatakan menerima, ada yang menyatakan tidak menerima, dan ada yang menyatakan menerima dengan catatan harus segera direvisi setelah nanti menjadi undang-undang. Dramatisasinya terletak pada dua hal.
Pertama, sebenarnya kategori sikap akhir dalam legislative review terhadap sebuah perppu hanya dua, yakni menyetujui atau tidak menyetujui. Kedua, titik berat kewenangan dalam membuat dan mengubah UU itu menurut UUD 1945 yang berlaku sekarang terletak di DPR sehingga upaya merevisi UU tidak perlu secara dramatis didesak-desakkan kepada presiden.
Tidak ada kategori menerima perppu dengan catatan karena yang ada hanya menyetujui atau tidak menyetujui. Menurut Pasal 52 Ayat (3) UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan DPR hanya mempunyai dua pilihan untuk menyikapi perppu yang diajukan oleh pemerintah, yakni memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan. Itu saja, tidak ada alternatif menyetujui atau tidak menyetujui dengan catatan.
Jika DPR menyetujui, baik dengan suara bulat maupun melalui voting maka perppu tersebut disahkan menjadi UU. Sebaliknya, jika DPR tidak menyetujui maka perppu tersebut harus dicabut melalui prosedur tertentu.
Sikap menyetujui dengan catatan bahwa UU itu nanti harus direvisi menjadi dramatis dan seperti mengada-ada. Sebab, jika perppu yang sudah dijadikan UU itu nanti akan direvisi, ya tinggal direvisi saja sesuai dengan prosedur yang memang sudah disediakan oleh UU tanpa perlu didramatisasi dengan menjadikan perubahan kembali sebagai syarat untuk menyetujuinya.
Menyatakan menyetujui perppu dengan catatan harus segera direvisi sebenarnya tidak mengikat untuk dilaksanakan. Sebaliknya seandainya pun DPR menyetujui utuh tanpa embel-embel apa pun, masih boleh juga kalau lembaga legislatif mau melakukan revisi.
Jadi, kalau mau melakukan revisi atas UU yang berasal dari perppu, tidak perlu berdrama menyetujui perppu dengan catatan anu. Kita sudah mempunyai contoh yang masih segar tentang ini.
Pada 2014 lalu DPR dan pemerintah menyetujui UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang diundangkan tanggal 30 September 2014 dengan UU No 22/2014. Tetapi hanya 3 hari setelah diundangkan, tepatnya 2 Oktober 2014, UU tersebut dicabut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diganti dengan Perppu No 1/2014.
Setelah melalui perdebatan, perppu tersebut disahkan menjadi UU No 1/2015 yang diundangkan pada tanggal 2 Februari 2015, tetapi tak lama sesudah itu UU No. 1/2015 direvisi lagi dengan UU No. 8/2015 yang diundangkan pada 18 Maret 2015. Bahkan, sesudah itu masih diubah lagi dengan UU No. 10/2016 yang diundangkan tanggal 1 Juli 2016.
Lihatlah, dalam waktu kurang dari 6 bulan saja (30 September s/d 18 Maret) sudah terjadi penggantian atau revisi UU dan perppu sampai empat kali dan setahun sesudah itu (1 Juli 2016) masih diubah lagi. Tidak ada ribut-ribut dan dramatisasi waktu itu, semua berjalan biasa-biasa saja.
Aneh pula ada partai politik yang mendesak presiden agar segera melakukan revisi atas UU Ormas dengan ancaman “petisi politik” dan dengan penekanan, Pemerintah harus memenuhi janji untuk melakukan revisi. Ini tampak sebagai dramatisasi yang juga berlebihan karena dua hal.
Pertama, dalam catatan kita pemerintah tidak pernah berjanji akan melakukan revisi atas UU Ormas, melainkan hanya mempersilakan dan setuju saja jika parpol-parpol di DPR akan melakukan revisi. Siapa pun tahu bahwa menyatakan “silakan, kalau mau direvisi,” tentu bukanlah janji, melainkan mempersilakan saja.
Kedua, UUD 1945 hasil perubahan yang berlaku sekarang ini meletakkan titik berat pembuatan dan perubahan UU di tangan DPR, bukan di tangan presiden seperti dulu. Sebelum UUD 1945 diamendemen, kekuasaan membuat UU itu memang ada di tangan presiden dengan persetujuan DPR seperti bunyi Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, “Presiden mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Tetapi setelah perubahan UUD 1945, ketentuan tersebut diubah melalui Pasal 20 Ayat (1) yang berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Pasal 5 UUD 1945 bunyinya juga berubah menjadi, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Setiap rancangan undang-undang memang harus dibahas bersama oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Alhasil, ada tiga catatan penting dalam hal ini. Pertama, sebuah perppu hanya bisa disetujui atau tidak disetujui tanpa catatan apa pun. Kedua, kalau mau melakukan revisi atas UU bisa dilakukan kapan saja tanpa harus dinyatakan sebagai syarat pada saat pemberian persetujuan atasnya. Ketiga, titik berat kekuasaan membentuk UU sekarang terletak di DPR sehingga kurang pas jika DPR atau parpol malah meminta-minta kepada pemerintah untuk melakukan revisi atas UU.
Parpol yang mau membuat atau merevisi UU seharusnya langsung menggunakan rumahnya di DPR untuk berinisiatif membuat naskah akademik dan rancangan UU untuk melakukan revisi.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
DI dalam politik kerap terjadi hal yang sebenarnya biasa-biasa saja menjadi dramatis karena sengaja didramatisasi. Contohnya, soal agenda perubahan kembali atau revisi undang-undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang baru disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pekan lalu. Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2/2017 tentang Ormas disahkan dalam Sidang Paripurna DPR menjadi UU melalui pro dan kontra yang tajam.
Dari semua fraksi ada yang menyatakan menerima, ada yang menyatakan tidak menerima, dan ada yang menyatakan menerima dengan catatan harus segera direvisi setelah nanti menjadi undang-undang. Dramatisasinya terletak pada dua hal.
Pertama, sebenarnya kategori sikap akhir dalam legislative review terhadap sebuah perppu hanya dua, yakni menyetujui atau tidak menyetujui. Kedua, titik berat kewenangan dalam membuat dan mengubah UU itu menurut UUD 1945 yang berlaku sekarang terletak di DPR sehingga upaya merevisi UU tidak perlu secara dramatis didesak-desakkan kepada presiden.
Tidak ada kategori menerima perppu dengan catatan karena yang ada hanya menyetujui atau tidak menyetujui. Menurut Pasal 52 Ayat (3) UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan DPR hanya mempunyai dua pilihan untuk menyikapi perppu yang diajukan oleh pemerintah, yakni memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan. Itu saja, tidak ada alternatif menyetujui atau tidak menyetujui dengan catatan.
Jika DPR menyetujui, baik dengan suara bulat maupun melalui voting maka perppu tersebut disahkan menjadi UU. Sebaliknya, jika DPR tidak menyetujui maka perppu tersebut harus dicabut melalui prosedur tertentu.
Sikap menyetujui dengan catatan bahwa UU itu nanti harus direvisi menjadi dramatis dan seperti mengada-ada. Sebab, jika perppu yang sudah dijadikan UU itu nanti akan direvisi, ya tinggal direvisi saja sesuai dengan prosedur yang memang sudah disediakan oleh UU tanpa perlu didramatisasi dengan menjadikan perubahan kembali sebagai syarat untuk menyetujuinya.
Menyatakan menyetujui perppu dengan catatan harus segera direvisi sebenarnya tidak mengikat untuk dilaksanakan. Sebaliknya seandainya pun DPR menyetujui utuh tanpa embel-embel apa pun, masih boleh juga kalau lembaga legislatif mau melakukan revisi.
Jadi, kalau mau melakukan revisi atas UU yang berasal dari perppu, tidak perlu berdrama menyetujui perppu dengan catatan anu. Kita sudah mempunyai contoh yang masih segar tentang ini.
Pada 2014 lalu DPR dan pemerintah menyetujui UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang diundangkan tanggal 30 September 2014 dengan UU No 22/2014. Tetapi hanya 3 hari setelah diundangkan, tepatnya 2 Oktober 2014, UU tersebut dicabut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diganti dengan Perppu No 1/2014.
Setelah melalui perdebatan, perppu tersebut disahkan menjadi UU No 1/2015 yang diundangkan pada tanggal 2 Februari 2015, tetapi tak lama sesudah itu UU No. 1/2015 direvisi lagi dengan UU No. 8/2015 yang diundangkan pada 18 Maret 2015. Bahkan, sesudah itu masih diubah lagi dengan UU No. 10/2016 yang diundangkan tanggal 1 Juli 2016.
Lihatlah, dalam waktu kurang dari 6 bulan saja (30 September s/d 18 Maret) sudah terjadi penggantian atau revisi UU dan perppu sampai empat kali dan setahun sesudah itu (1 Juli 2016) masih diubah lagi. Tidak ada ribut-ribut dan dramatisasi waktu itu, semua berjalan biasa-biasa saja.
Aneh pula ada partai politik yang mendesak presiden agar segera melakukan revisi atas UU Ormas dengan ancaman “petisi politik” dan dengan penekanan, Pemerintah harus memenuhi janji untuk melakukan revisi. Ini tampak sebagai dramatisasi yang juga berlebihan karena dua hal.
Pertama, dalam catatan kita pemerintah tidak pernah berjanji akan melakukan revisi atas UU Ormas, melainkan hanya mempersilakan dan setuju saja jika parpol-parpol di DPR akan melakukan revisi. Siapa pun tahu bahwa menyatakan “silakan, kalau mau direvisi,” tentu bukanlah janji, melainkan mempersilakan saja.
Kedua, UUD 1945 hasil perubahan yang berlaku sekarang ini meletakkan titik berat pembuatan dan perubahan UU di tangan DPR, bukan di tangan presiden seperti dulu. Sebelum UUD 1945 diamendemen, kekuasaan membuat UU itu memang ada di tangan presiden dengan persetujuan DPR seperti bunyi Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, “Presiden mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Tetapi setelah perubahan UUD 1945, ketentuan tersebut diubah melalui Pasal 20 Ayat (1) yang berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Pasal 5 UUD 1945 bunyinya juga berubah menjadi, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Setiap rancangan undang-undang memang harus dibahas bersama oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Alhasil, ada tiga catatan penting dalam hal ini. Pertama, sebuah perppu hanya bisa disetujui atau tidak disetujui tanpa catatan apa pun. Kedua, kalau mau melakukan revisi atas UU bisa dilakukan kapan saja tanpa harus dinyatakan sebagai syarat pada saat pemberian persetujuan atasnya. Ketiga, titik berat kekuasaan membentuk UU sekarang terletak di DPR sehingga kurang pas jika DPR atau parpol malah meminta-minta kepada pemerintah untuk melakukan revisi atas UU.
Parpol yang mau membuat atau merevisi UU seharusnya langsung menggunakan rumahnya di DPR untuk berinisiatif membuat naskah akademik dan rancangan UU untuk melakukan revisi.
(poe)