Memahami Politik Kelas Menengah Santri
A
A
A
Choirul Mahfud
Dosen Pascasarjana MMT dan Studi Islam Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Sepak terjang politik kaum santri bukan lagi menjadi wacana pinggiran, tapi sudah menjadi wacana arus utama populer di negeri ini. Dari hari ke hari, tren bahasan politik santri ini bisa dibilang semakin meluas. Dalam perkembangannya, lembaran sejarah telah mencatat kiprah politik santri yang awalnya terkesan lokal dan parsial, tapi ternyata selalu memiliki pengaruh signifikan terhadap iklim politik nasional.
Area politik santri yang selalu fenomenal dan menarik disimak di antaranya terjadi di kantong santri tersebar di wilayah Indonesia, khususnya di Jawa, NTB, Sumatera, dan Sulawesi. Di Jawa Timur, misalnya, tidak lama lagi akan melaksanakan pergantian gubernur dan wakil gubernur, kini menjadi sorotan nasional. Isu dan fakta sebagian menteri ada yang tertarik menjadi gubernur juga dimulai di Jawa Timur.
Di sinilah dimensi artikulasi, partisipasi, dan peran politik kelas menengah santri, menjadi salah satu titik pusat perhatian. Meski dikenal sebagai negeri multikultural, Indonesia termasuk sebagai benteng peradaban santri. Bahkan, Indonesia merupakan salah satu pusat identitas politik muslim di dunia. Kunjungan Raja Arab Saudi hingga Barack Obama saat atau sesudah menjadi Presiden Amerika adalah salah satu bukti rekognisi tersebut.
Tidak hanya itu, dari zaman kolonial Belanda hingga kemerdekaan Indonesia saat ini, banyak peneliti asing melakukan kajian riset terkait politik santri di negeri ini. Clifford Geertz, pakar studi Indonesia asal Amerika, pernah mencatat adanya tipologi dan variasi masyarakat politik keagamaan di negeri ini dengan tiga istilah utama, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Tiga istilah itu tampaknya masih relevan digunakan dalam memahami fenomena politik santri. Meskipun tentu disadari adanya catatan baru soal konfigurasi, perbedaan, dan perkembangan pola ideologi, identitas, aktivitas, serta partisipasi politiknya.
Teori Pareto yang akrab dengan konsep aturan 80-20 menyatakan bahwa dalam banyak hal, ada sekitar 80% kesuksesan atau keberhasilan disebabkan oleh 20% dari penyebabnya. Angka 20% tersebut bisa juga dipakai untuk memahami wujud peran sentral dan kontribusi politik kelas menengah santri di setiap momentum sosial politik di Tanah Air. Sebagaimana dimafhumi bahwa santri sejatinya adalah orang yang belajar menuntut ilmu agama di sebuah pesantren atau madrasah. Santri biasanya juga menjalani seputar kehidupan sosial politik sesuai amalan dan ajaran agamanya. Namun, dalam perkembangannya, istilah santri juga dipakai atau ditarik dalam spektrum politik identitas muslim di Indonesia.
Peneliti LIPI Jakarta, Wasisto Raharjo Jati, dalam buku barunya "Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia" menunjukkan bahwa kelas menengah santri di Indonesia merupakan identitas baru yang ditandai oleh akademisi dan sejumlah intelektual untuk memahami kecenderungan praktik partisipasi dan identitas politik kebangsaan yang diperankan kaum santri.
Dalam hal ini, kaum santri memang turut menyumbang pertumbuhan jumlah kelas menengah di Tanah Air. Belum lama ini, berbagai media di Indonesia pernah membuat laporan menarik bahwa Indonesia termasuk negara dengan perkembangan kelas menengah terbesar di dunia. Bahkan, data Bank Dunia juga mengungkap hal sama bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami perkembangan pesat setelah krisis moneter 1997/1998. Pertumbuhannya tercatat dari nol persen pada tahun 1999 menjadi 6,5 persen pada tahun 2011 menjadi 130 juta dan terus meningkat sampai sekarang.
Pertumbuhan kelas menengah santri di negeri ini tentu menggembirakan di satu sisi, tetapi di sisi lain, perlu terus diwaspadai bersama terkait kualitas partisipasi dan kontribusinya bagi kemajuan bangsa. Di sini memahami partisipasi politik kelas menengah santri setidaknya bisa dipahami dari dua sudut pandang, yaitu penggunaan instrumen teknologi digital dan jaringan komunitas sosial keagamaan.
Bila dicermati, poin utama partisipasi politik kelas menengah santri semakin menggeliat melalui instrumen teknologi digital. Saat ini bisa dikatakan kelas menengah santri rasanya lebih literal dan akrab dengan teknologi. Hampir setiap hari dari semua aktivitas sosial politik tidak bisa lepas begitu saja dengan media sosial berbasis teknologi. Misalnya penggunaan Facebook, Youtube, Whatsapp, Twitter, Instagram, dan lainnya.
Hal ini tampaknya menjadi tren baru atau tradisi baru bagi kaum santri, terutama yang menonjol dari elite politik kalangan kelas menengah. Penggunaan teknologi untuk menarik simpati, perhatian, dan mungkin saja aspirasi kelas menengah santri, sebagai objek sekaligus subjek politik tentu menjadi daya pikat masyarakat. Di sinilah praktik politik kelas menengah santri tidak lagi melulu dengan dunia pesantren yang berkutat pada kitab kuning atau musala, tapi kini praktik politiknya berkembang. Misalnya dari ngaji online atau dakwah online hingga vlog dan sejenisnya.
Dalam era teknologi seperti saat ini, pilihan menjaring aspirasi politik jalur kelas menengah santri melalui berbagai media berbasis teknologi tentu pilihan tepat dan cerdas. Pasalnya, melihat hasil survei dari Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) tahun 2016, mengungkap bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia kini telah terhubung ke internet. Data survei juga mengungkap rata-rata pengakses internet di Indonesia menggunakan perangkat telepon genggam atau smartphone .
Penggunaan teknologi dalam menjaring aspirasi dan simpati tentu tidak cukup. Karena kehadiran teknologi sifatnya sebagai alternatif. Oleh karena itu, siapa pun elite politik kelas menengah santri yang berada dalam pusaran politik harus tetap waspada dan perlu melakukan evaluasi serta monitoring untuk melihat efektivitas dan efisiensi teknologi yang dioperasikan. Berkunjung langsung menjalin silaturahim kepada kiai, santri, dan konstituen serta warga masyarakat jauh, diharapkan memahami masalah riil yang ada di sekitar kita.
Contoh konkret fenomena politik kelas menengah santri kontemporer di Indonesia bisa ditemukan di berbagai organisasi Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah, NU, dan bahkan MUI. Dalam hal ini bisa dikatakan pilihan partai politik kelas menengah tidak terlalu jelas. Namun, pengaruh eksistensinya luar biasa. Pasalnya, ruang kontestasi politik kelas menengah santri juga menembus batas-batas ideologi kelas sosial politik yang ada.
Paradigma berpikir politik kelas menengah biasanya merasuk pada kelas atas dan kelas bawah. Di sinilah politik kelas menengah biasanya dipahami dan dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, status sosial, profesi, dan pandangan keagamaannya.
Secara paradigmatik, menurut Syamsuddin Arif yang mengutip pandangan Imam Al-Ghazali, Islam memahami kelas atau tingkatan masyarakat berdasarkan ibadah, ilmu, dan amalnya. Menurutnya, setidaknya ada tiga tingkatan umat Islam, yakni awwam , khawwas , dan khawwasul khawwas . Kaum "awwam" adalah kaum yang tidak tahu halal dan haram. Semuanya dinikmati tanpa perlu tahu ilmunya. Seorang muslim yang kaya raya, tetapi tidak memahami agama, dalam tingkatan ini, termasuk disebut masyarakat awam.
Sementara kaum "khawwas" itu menyadari halal-haram dan hanya menikmati yang halal. Kemudian kaum "khawwasul khawwas" sudah lebih dari itu, yakni zuhud. Di sini, rasanya, kelas menengah santri akan lebih beroperasi di wilayah "khawwas" dalam praktik ibadah, ilmu, dan amalan dunia dan akhiratnya. Secara spesifik, dalam praktik politik, rasanya hingga hari ini bisa dipahami dari ketiga tingkatan itu masih menjadi "pekerjaan rumah" kaum santri, apakah lebih cenderung memilih halal ketimbang haram (khawwas) atau zuhud (khawwasul khawwas) atau lainnya.
Alakulli hal , politik kelas menengah santri bisa pula dipahami dari adanya jaringan komunitas sosial keagamaan nusantara yang berkemajuan. Berbagai masalah ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik bisa diminimalisasikan melalui berbagai koneksi jaringan komunitas pesantren, madrasah, dan keluarga. Umar Kayam pernah mengingatkan identitas filosofis bangsa ini di antaranya adalah "Mangan Ora Mangan Kumpul". Artinya dalam suasana senang atau susah yang penting bersama. Di sinilah relevansi makna politik kelas menengah santri dengan identitas politik nasional "Indonesia kerja bersama" yang genap menapaki usia 72 tahun. Semua pihak tentu berharap agar peran dan kontribusi politik santri terus berjalan baik, beretika, dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dosen Pascasarjana MMT dan Studi Islam Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Sepak terjang politik kaum santri bukan lagi menjadi wacana pinggiran, tapi sudah menjadi wacana arus utama populer di negeri ini. Dari hari ke hari, tren bahasan politik santri ini bisa dibilang semakin meluas. Dalam perkembangannya, lembaran sejarah telah mencatat kiprah politik santri yang awalnya terkesan lokal dan parsial, tapi ternyata selalu memiliki pengaruh signifikan terhadap iklim politik nasional.
Area politik santri yang selalu fenomenal dan menarik disimak di antaranya terjadi di kantong santri tersebar di wilayah Indonesia, khususnya di Jawa, NTB, Sumatera, dan Sulawesi. Di Jawa Timur, misalnya, tidak lama lagi akan melaksanakan pergantian gubernur dan wakil gubernur, kini menjadi sorotan nasional. Isu dan fakta sebagian menteri ada yang tertarik menjadi gubernur juga dimulai di Jawa Timur.
Di sinilah dimensi artikulasi, partisipasi, dan peran politik kelas menengah santri, menjadi salah satu titik pusat perhatian. Meski dikenal sebagai negeri multikultural, Indonesia termasuk sebagai benteng peradaban santri. Bahkan, Indonesia merupakan salah satu pusat identitas politik muslim di dunia. Kunjungan Raja Arab Saudi hingga Barack Obama saat atau sesudah menjadi Presiden Amerika adalah salah satu bukti rekognisi tersebut.
Tidak hanya itu, dari zaman kolonial Belanda hingga kemerdekaan Indonesia saat ini, banyak peneliti asing melakukan kajian riset terkait politik santri di negeri ini. Clifford Geertz, pakar studi Indonesia asal Amerika, pernah mencatat adanya tipologi dan variasi masyarakat politik keagamaan di negeri ini dengan tiga istilah utama, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Tiga istilah itu tampaknya masih relevan digunakan dalam memahami fenomena politik santri. Meskipun tentu disadari adanya catatan baru soal konfigurasi, perbedaan, dan perkembangan pola ideologi, identitas, aktivitas, serta partisipasi politiknya.
Teori Pareto yang akrab dengan konsep aturan 80-20 menyatakan bahwa dalam banyak hal, ada sekitar 80% kesuksesan atau keberhasilan disebabkan oleh 20% dari penyebabnya. Angka 20% tersebut bisa juga dipakai untuk memahami wujud peran sentral dan kontribusi politik kelas menengah santri di setiap momentum sosial politik di Tanah Air. Sebagaimana dimafhumi bahwa santri sejatinya adalah orang yang belajar menuntut ilmu agama di sebuah pesantren atau madrasah. Santri biasanya juga menjalani seputar kehidupan sosial politik sesuai amalan dan ajaran agamanya. Namun, dalam perkembangannya, istilah santri juga dipakai atau ditarik dalam spektrum politik identitas muslim di Indonesia.
Peneliti LIPI Jakarta, Wasisto Raharjo Jati, dalam buku barunya "Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia" menunjukkan bahwa kelas menengah santri di Indonesia merupakan identitas baru yang ditandai oleh akademisi dan sejumlah intelektual untuk memahami kecenderungan praktik partisipasi dan identitas politik kebangsaan yang diperankan kaum santri.
Dalam hal ini, kaum santri memang turut menyumbang pertumbuhan jumlah kelas menengah di Tanah Air. Belum lama ini, berbagai media di Indonesia pernah membuat laporan menarik bahwa Indonesia termasuk negara dengan perkembangan kelas menengah terbesar di dunia. Bahkan, data Bank Dunia juga mengungkap hal sama bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami perkembangan pesat setelah krisis moneter 1997/1998. Pertumbuhannya tercatat dari nol persen pada tahun 1999 menjadi 6,5 persen pada tahun 2011 menjadi 130 juta dan terus meningkat sampai sekarang.
Pertumbuhan kelas menengah santri di negeri ini tentu menggembirakan di satu sisi, tetapi di sisi lain, perlu terus diwaspadai bersama terkait kualitas partisipasi dan kontribusinya bagi kemajuan bangsa. Di sini memahami partisipasi politik kelas menengah santri setidaknya bisa dipahami dari dua sudut pandang, yaitu penggunaan instrumen teknologi digital dan jaringan komunitas sosial keagamaan.
Bila dicermati, poin utama partisipasi politik kelas menengah santri semakin menggeliat melalui instrumen teknologi digital. Saat ini bisa dikatakan kelas menengah santri rasanya lebih literal dan akrab dengan teknologi. Hampir setiap hari dari semua aktivitas sosial politik tidak bisa lepas begitu saja dengan media sosial berbasis teknologi. Misalnya penggunaan Facebook, Youtube, Whatsapp, Twitter, Instagram, dan lainnya.
Hal ini tampaknya menjadi tren baru atau tradisi baru bagi kaum santri, terutama yang menonjol dari elite politik kalangan kelas menengah. Penggunaan teknologi untuk menarik simpati, perhatian, dan mungkin saja aspirasi kelas menengah santri, sebagai objek sekaligus subjek politik tentu menjadi daya pikat masyarakat. Di sinilah praktik politik kelas menengah santri tidak lagi melulu dengan dunia pesantren yang berkutat pada kitab kuning atau musala, tapi kini praktik politiknya berkembang. Misalnya dari ngaji online atau dakwah online hingga vlog dan sejenisnya.
Dalam era teknologi seperti saat ini, pilihan menjaring aspirasi politik jalur kelas menengah santri melalui berbagai media berbasis teknologi tentu pilihan tepat dan cerdas. Pasalnya, melihat hasil survei dari Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) tahun 2016, mengungkap bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia kini telah terhubung ke internet. Data survei juga mengungkap rata-rata pengakses internet di Indonesia menggunakan perangkat telepon genggam atau smartphone .
Penggunaan teknologi dalam menjaring aspirasi dan simpati tentu tidak cukup. Karena kehadiran teknologi sifatnya sebagai alternatif. Oleh karena itu, siapa pun elite politik kelas menengah santri yang berada dalam pusaran politik harus tetap waspada dan perlu melakukan evaluasi serta monitoring untuk melihat efektivitas dan efisiensi teknologi yang dioperasikan. Berkunjung langsung menjalin silaturahim kepada kiai, santri, dan konstituen serta warga masyarakat jauh, diharapkan memahami masalah riil yang ada di sekitar kita.
Contoh konkret fenomena politik kelas menengah santri kontemporer di Indonesia bisa ditemukan di berbagai organisasi Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah, NU, dan bahkan MUI. Dalam hal ini bisa dikatakan pilihan partai politik kelas menengah tidak terlalu jelas. Namun, pengaruh eksistensinya luar biasa. Pasalnya, ruang kontestasi politik kelas menengah santri juga menembus batas-batas ideologi kelas sosial politik yang ada.
Paradigma berpikir politik kelas menengah biasanya merasuk pada kelas atas dan kelas bawah. Di sinilah politik kelas menengah biasanya dipahami dan dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, status sosial, profesi, dan pandangan keagamaannya.
Secara paradigmatik, menurut Syamsuddin Arif yang mengutip pandangan Imam Al-Ghazali, Islam memahami kelas atau tingkatan masyarakat berdasarkan ibadah, ilmu, dan amalnya. Menurutnya, setidaknya ada tiga tingkatan umat Islam, yakni awwam , khawwas , dan khawwasul khawwas . Kaum "awwam" adalah kaum yang tidak tahu halal dan haram. Semuanya dinikmati tanpa perlu tahu ilmunya. Seorang muslim yang kaya raya, tetapi tidak memahami agama, dalam tingkatan ini, termasuk disebut masyarakat awam.
Sementara kaum "khawwas" itu menyadari halal-haram dan hanya menikmati yang halal. Kemudian kaum "khawwasul khawwas" sudah lebih dari itu, yakni zuhud. Di sini, rasanya, kelas menengah santri akan lebih beroperasi di wilayah "khawwas" dalam praktik ibadah, ilmu, dan amalan dunia dan akhiratnya. Secara spesifik, dalam praktik politik, rasanya hingga hari ini bisa dipahami dari ketiga tingkatan itu masih menjadi "pekerjaan rumah" kaum santri, apakah lebih cenderung memilih halal ketimbang haram (khawwas) atau zuhud (khawwasul khawwas) atau lainnya.
Alakulli hal , politik kelas menengah santri bisa pula dipahami dari adanya jaringan komunitas sosial keagamaan nusantara yang berkemajuan. Berbagai masalah ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik bisa diminimalisasikan melalui berbagai koneksi jaringan komunitas pesantren, madrasah, dan keluarga. Umar Kayam pernah mengingatkan identitas filosofis bangsa ini di antaranya adalah "Mangan Ora Mangan Kumpul". Artinya dalam suasana senang atau susah yang penting bersama. Di sinilah relevansi makna politik kelas menengah santri dengan identitas politik nasional "Indonesia kerja bersama" yang genap menapaki usia 72 tahun. Semua pihak tentu berharap agar peran dan kontribusi politik santri terus berjalan baik, beretika, dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
(pur)