Radikalisme, Politik Identitas, dan Media Sosial
A
A
A
Eko Wijayanto
Dosen Filsafat Universitas Indonesia
KEBANGKITAN radikalisme di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini, termasuk di Indonesia, pada kadar tertentu bisa berfungsi sebagai pelajaran berharga bagi kita semua. Lebih khususnya pada era keterbukaan informasi teknologi seperti media sosial, Facebook, Twitter, dan yang lain.
Sistem global dunia naik dari area sosial yang lokal menjadi entitas struktural yang semakin independen dan otonom di kancah global. Entitas tersebut tidak dikontrol oleh siapa pun, bukan orang, negara, ataupun ideologi tertentu. Struktur yang ada tidak terikat waktu dan ruang ini kemudian juga membentuk sebuah kutub konflik bagi pengalaman sejarah manusia: "identitas" yang secara inheren lekat dengan konteks lokal dan historis, yakni budaya dan memori masa lalu. Namun, yang jadi masalah adalah jika akhirnya ada yang menyebarkan ujaran kebencian (hate-speech) dan membuat banyak akun anonim atau palsu serta membuat propaganda di media sosial melalui meme-meme bermuatan kebencian dan SARA. Tentu ini mencemaskan.
Dalam konteks ini, menarik menyimak pemikiran filsuf dan sosiolog Mannuel Castell terhadap gerakan sosial, sebagai penyeimbang bagi struktur sosial, pada abad informasi ini dapat diekspresikan dengan identitas kata, kebijakan identitas, dan gerakan sosial yang baru.
Sekarang, setelah era modern di era masyarakat jejaring (network society) keunggulan diberikan pada kategori agen sosial yang berbeda: identitas dan gerakan yang berdasarkan pada politik identitas. Identifikasi terhadap hal tersebut bersifat ahistoris dan merupakan fenomena sosio-psikologis yang sifatnya universal, tetapi di masyarakat jejaring fenomena ini beranjak pada pusat dari perubahan sosial. Ini adalah makna yang sebenarnya dari keunggulan politik identitas dalam masyarakat jejaring.
Di sini kita mendapati bahwa dalam budaya teknologis (techno-culture) kita memiliki struktur sosial yakni media informasi global dan gerakan yang berdasarkan identitas. Pembentukan identitas dapat dimulai dengan menggambarkan antagonisme internal yang ada di masyarakat jejaring.
Eksklusi sosial tidak hilang, namun mereka muncul dalam bentuk lain. Struktur dasar etis dari masyarakat jejaring didasarkan pada eksklusi dan inklusi. Eksklusi sosio-ekonomis dihasilkan dari keluarnya subjek dari jaringan informasi, kekayaan, dan kekuasaan. Hal ini berlaku pada individu, kelompok, daerah, atau antarbenua. Bagi individu, mereka yang tereksklusi pada umumnya adalah mereka yang perannya dapat digantikan oleh jaringan ekonomi global lain misalnya.
Namun, terdapat bentuk antagonisme lain dalam masyarakat jejaring, yang berasal dari proses kontemporer yang membawanya pada pusat adegan sosial. Bentuk eksklusi ini, eksklusi dari kapital (kekayaan), dan eksklusi dari pengenalan atau harga diri memiliki tiga kategori antagonisme utama: disintegrasi dari makna sosial yang mungkin diterjemahkan dalam makna di masyarakat, atau sumber makna kehidupan di masyarakat. Ini disebabkan oleh hilangnya batas temporal dan spasial pada konteks sejarah dan budaya di mana orang tinggal.
Hilangnya batas-batas ini melanggengkan kondisi rasionalistis dan kesatudimensian yang ditinggalkan ketika guncangan ketiadaan waktu dan tempat secara global menerpa ranah lokal. Citra dari manusia yang muncul di sini adalah citra bahwa individu tidak dapat melanjutkan kehidupannya dalam kondisi tanpa makna secara konstan dan ia harus memiliki pengalaman yang bermakna dengan mengorganisasi materi kebudayaan yang tersedia untuknya. Antagonisme-antagonisme ini memicu jenis proses pembentukan identitas spesifik yang saat lintasan dan hasilnya menentukan takdir dari agen sosial di masyarakat jejaring.
Untuk menjelaskan lebih jauh bagaimana identitas ini terbentuk dan berfungsi di masyarakat jejaring, kita harus mengetahui bagaimana agensi pada era modern terbentuk. Era civil society kini telah berakhir. Proses global dominan telah menggiring serta kedaulatan dari negara yang layu. Hal yang sama telah menggiring masyarakat dari pusat negara. Mereka tidak hilang ataupun kehilangan pengaruh mereka, namun mereka tidak lagi memiliki kedaulatan. Terdapat orang-orang yang masih berusaha untuk dan menggunakan kekuatan negara untuk mencapai berbagai tujuan (baik demokratis maupun progresif) dan mengidentifikasi identitas diri mereka sebagai agen sosial.
Kategori identitas ini mendukung institusi dengan legitimasi yang dibutuhkannya. Karena itu, ia disebut sebagai identitas legitimasi. Tapi, identitas legitimasi tidak mampu menyelesaikan permasalahannya: nilai demokratis dan progresif yang diusahakan oleh identitas ini terancam untuk tidak ikut berpindah ke dalam abad informasi ini jika nilai ini tidak disadari bahwa dunia di sekitar mereka telah berubah secara fundamental. Tragedi dari identitas ini berada pada kontradiksi antara tujuan dan cara: cara yang berorientasi pada negara tampaknya tidak lagi cukup efektif untuk mencapai dan mendapatkan tujuan yang telah disebabkan dan diungkap oleh proses global yang tidak dapat diraih.
Namun, ditemukan bahwa terdapat jejak dari formasi identitas kolektif yang lebih merakyat yang tidak memobilisasi diri mereka dalam masyarakat sipil (civil society), tetapi termaterialisasi sebagai komunitas. Kerumunan ini merangkul mereka yang tereksklusi, menerima stigma, dan menderita untuk mendapatkan pengalaman kolektif yang dapat ditawarkan dari mengumpulkan makna yang sama.
Ciri dari pembangunan kerumunan ini adalah ada resistensi melawan masyarakat di sekitarnya dan melawan kelompok lain. Dari ciri ini, identitas ini kemudian disebut ke dalam kategori identitas yang kedua yakni identitas resistensi. Kelompok identitas ini pada umumnya cenderung membentuk sumber makna utama, singularitas kebudayaan, simbol atau bendera, dan mereka juga pada umumnya tidak dapat berkomunikasi dengan realitas sosial di sekitar mereka. Mereka berkhotbah dan menyebarkan apa yang mereka yakini, namun mereka tidak bernegosiasi terhadap hal tersebut karena bagi mereka itu adalah kebenaran mutlak yang tidak dipertanyakan lagi.
Masalah dari identitas resistensi juga jatuh pada fakta bahwa keberadaan massa dalam kelompok akan menjatuhkan horizon makna sosial yang rasional. Horizon ini direkonstruksi dan kelompok, namun dalam latar imajiner: diri yang terkelompok, dikelilingi oleh realitas sosial eksternal yang antagonistik dan komunitas lain yang cacat secara ideologis. Pandangan seperti ini dipaksa dalam ritual konstan, menguatkan dan mereproduksinya sendiri sebagaimana ia harus mengganti tujuan dari anggota individualnya dengan "tujuan" kelompok.
Kelompok resisten mungkin merupakan identitas yang paling memiliki pengaruh pada budaya techno-culture ini, dan tidak ada yang menjamin bahwa masyarakat kita tidak akan berhenti dan bertahan pada fragmentalisme dan tribalisme. Banyak proses penting dari perspektif transformasi sosial yang terjadi di dalam kelompok. Harus dicatat adalah mereka memberikan kesempatan bagi orang yang memiliki pengalaman sosial yang sama untuk memproses pemikiran mereka pada utopia dan strategi sosial yang baru.
Tetapi, untuk bermetamorfosis dari resistensi menjadi kelompok yang dapat mengubah masyarakat mereka harus bisa memproyeksikan sesuatu dari identitas mereka pada masyarakat di sekitarnya. Terdapat beberapa hal yang dibutuhkan kelompok resisten untuk bisa terbuka dan mulai mengubah masyarakat.
Yang pertama adalah berkaitan dengan struktur sosial. Di masyarakat jejaring kondisi mobilisasi sosial yang berhasil adalah kemampuan untuk mengadaptasikan prinsip operasionalnya dengan logika internal.
Sebuah kerumunan adalah sebuah bentuk dari organisasi sosial yang hanya mempunyai kemungkinan kecil dalam mengembangkan pengalamannya pada masyarakat kebanyakan jika ia tidak berjaringan atau berubah menjadi jaringan. Ini adalah syarat tidak hanya untuk bekerja sama dengan kerumunan dengan pemikiran yang sama, tetapi juga untuk mendapatkan kemampuan strategis tertentu.
Satu di antara kemampuan yang penting adalah untuk beroperasi dalam realitas media yang tervirtualisasi dalam masyarakat jejaring untuk membuat pesan kerumunan dapat tersampaikan. Selain itu, penting juga untuk mendapatkan pengetahuan teknokratis instrumental yang dibutuhkan untuk bekerja dalam dunia yang dimediasi oleh teknologi. Kekuatan kerumunan dalam masyarakat jejaring adalah bagaimana dapat melebur pada arsitektur jaringan, dan berfungsi sebagai pengubah arus informasi dan gagasan.
Kerumunan harus dapat bermetamorfosis ke dalam jaringan. Ini adalah kondisi struktural pada identitas proyek: kategori identitas ketiga dalam tipologi yang digagas oleh filsuf Manuel Castells. Tetapi, kondisi ini ambigu karena ketika mendapatkan kemampuan untuk beroperasi dalam masyarakat jejaring mereka bisa saja secara simultan mengadopsi logika teknokratis dan instrumental ke tujuan yang mereka miliki. Bagian dilema dari identitas proyek tampaknya adalah untuk menghindari kompromi berlebihan ketika berusaha untuk memperkenalkan alternatif pada masyarakat.
Kita dapat bertanya akan kemungkinan identitas resistensi yang telah bereaksi terhadap hilangnya makna sosial dengan mementingkan nilai utama mereka dan memproyeksikannya pada transenden sosial, biologis, atau teologis seperti nasionalisme, rasisme, atau fundamentalisme.
Bentuk pemikiran seperti ini tidak dapat berubah dari "resistensi" menjadi "kerumunan radikal" tanpa menekan asumsi mereka terhadap realisme filosofis mereka yang kuat. Kondisi internal ini kemudian memunculkan paradoks: untuk mengubah masyarakat, mereka harus menyerah pada absolutisme makna. Bagi individu ini membutuhkan keberanian psikologis, dan bagi kerumunan mungkin membutuhkan kepergian beberapa anggotanya.
Berdasarkan pemaparan, identitas resistensi mengalami sebuah dekonstruksi tertentu untuk bertransformasi menjadi identitas proyek. Identitas ini setidaknya memiliki dua komponen, yakni: mengalami antagonisme sosial yang awalnya memicu mobilisasinya menjadi sebuah kerumunan, dan pemahaman atau pandangan mengenai kondisi sosial atau persyaratan yang ada di balik antagonisme tersebut.
Pada identitas resistensi komponen pertama, yakni pengalaman, tampaknya diprivatisasi menjadi barang intrakolektif yang dikenal sebagai "identitas korban". Sedangkan komponen kedua pada identitas resistensi tampaknya tidak ada seperti hilangnya horizon rasional. Identitas resistensi tampaknya mengakui antagonisme sosial sebagai suatu pengalaman dan tidak dapat mengintegrasikannya pada penjelasan rasional akan kondisi tersebut.
Pada penjelasan rasional akan kondisi ideologis masa ini, Castells melihat bahwa ketika kritik ideologi pada era modern harus memiliki sikap kritis terhadap peran negara. Ini juga harus pada cara bagaimana orang memberikan pengalaman mereka sebagai subjek sosial ketika masuk ke dalam kerumunan sebagai yang tereksklusi, tereksploitasi, terstigma, dan tersiksa dari antagonisme masa kini.
Dari perspektif kritik ideologi, ini bisa diterjemahkan sebagai "konsep kesalahan mengenali" (misrecognition). Sebuah pengalaman yang terprivatisasi, menjadi identitas primordial, dan gagal menafsirkan kondisi sosial lain, selain "kita" sebagai lawan yang lain-lain. Hal yang sama terjadi ketika politik identitas yang resistensi salah mengenal satu sama lain sebagai kondisi sosial mereka.
Dosen Filsafat Universitas Indonesia
KEBANGKITAN radikalisme di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini, termasuk di Indonesia, pada kadar tertentu bisa berfungsi sebagai pelajaran berharga bagi kita semua. Lebih khususnya pada era keterbukaan informasi teknologi seperti media sosial, Facebook, Twitter, dan yang lain.
Sistem global dunia naik dari area sosial yang lokal menjadi entitas struktural yang semakin independen dan otonom di kancah global. Entitas tersebut tidak dikontrol oleh siapa pun, bukan orang, negara, ataupun ideologi tertentu. Struktur yang ada tidak terikat waktu dan ruang ini kemudian juga membentuk sebuah kutub konflik bagi pengalaman sejarah manusia: "identitas" yang secara inheren lekat dengan konteks lokal dan historis, yakni budaya dan memori masa lalu. Namun, yang jadi masalah adalah jika akhirnya ada yang menyebarkan ujaran kebencian (hate-speech) dan membuat banyak akun anonim atau palsu serta membuat propaganda di media sosial melalui meme-meme bermuatan kebencian dan SARA. Tentu ini mencemaskan.
Dalam konteks ini, menarik menyimak pemikiran filsuf dan sosiolog Mannuel Castell terhadap gerakan sosial, sebagai penyeimbang bagi struktur sosial, pada abad informasi ini dapat diekspresikan dengan identitas kata, kebijakan identitas, dan gerakan sosial yang baru.
Sekarang, setelah era modern di era masyarakat jejaring (network society) keunggulan diberikan pada kategori agen sosial yang berbeda: identitas dan gerakan yang berdasarkan pada politik identitas. Identifikasi terhadap hal tersebut bersifat ahistoris dan merupakan fenomena sosio-psikologis yang sifatnya universal, tetapi di masyarakat jejaring fenomena ini beranjak pada pusat dari perubahan sosial. Ini adalah makna yang sebenarnya dari keunggulan politik identitas dalam masyarakat jejaring.
Di sini kita mendapati bahwa dalam budaya teknologis (techno-culture) kita memiliki struktur sosial yakni media informasi global dan gerakan yang berdasarkan identitas. Pembentukan identitas dapat dimulai dengan menggambarkan antagonisme internal yang ada di masyarakat jejaring.
Eksklusi sosial tidak hilang, namun mereka muncul dalam bentuk lain. Struktur dasar etis dari masyarakat jejaring didasarkan pada eksklusi dan inklusi. Eksklusi sosio-ekonomis dihasilkan dari keluarnya subjek dari jaringan informasi, kekayaan, dan kekuasaan. Hal ini berlaku pada individu, kelompok, daerah, atau antarbenua. Bagi individu, mereka yang tereksklusi pada umumnya adalah mereka yang perannya dapat digantikan oleh jaringan ekonomi global lain misalnya.
Namun, terdapat bentuk antagonisme lain dalam masyarakat jejaring, yang berasal dari proses kontemporer yang membawanya pada pusat adegan sosial. Bentuk eksklusi ini, eksklusi dari kapital (kekayaan), dan eksklusi dari pengenalan atau harga diri memiliki tiga kategori antagonisme utama: disintegrasi dari makna sosial yang mungkin diterjemahkan dalam makna di masyarakat, atau sumber makna kehidupan di masyarakat. Ini disebabkan oleh hilangnya batas temporal dan spasial pada konteks sejarah dan budaya di mana orang tinggal.
Hilangnya batas-batas ini melanggengkan kondisi rasionalistis dan kesatudimensian yang ditinggalkan ketika guncangan ketiadaan waktu dan tempat secara global menerpa ranah lokal. Citra dari manusia yang muncul di sini adalah citra bahwa individu tidak dapat melanjutkan kehidupannya dalam kondisi tanpa makna secara konstan dan ia harus memiliki pengalaman yang bermakna dengan mengorganisasi materi kebudayaan yang tersedia untuknya. Antagonisme-antagonisme ini memicu jenis proses pembentukan identitas spesifik yang saat lintasan dan hasilnya menentukan takdir dari agen sosial di masyarakat jejaring.
Untuk menjelaskan lebih jauh bagaimana identitas ini terbentuk dan berfungsi di masyarakat jejaring, kita harus mengetahui bagaimana agensi pada era modern terbentuk. Era civil society kini telah berakhir. Proses global dominan telah menggiring serta kedaulatan dari negara yang layu. Hal yang sama telah menggiring masyarakat dari pusat negara. Mereka tidak hilang ataupun kehilangan pengaruh mereka, namun mereka tidak lagi memiliki kedaulatan. Terdapat orang-orang yang masih berusaha untuk dan menggunakan kekuatan negara untuk mencapai berbagai tujuan (baik demokratis maupun progresif) dan mengidentifikasi identitas diri mereka sebagai agen sosial.
Kategori identitas ini mendukung institusi dengan legitimasi yang dibutuhkannya. Karena itu, ia disebut sebagai identitas legitimasi. Tapi, identitas legitimasi tidak mampu menyelesaikan permasalahannya: nilai demokratis dan progresif yang diusahakan oleh identitas ini terancam untuk tidak ikut berpindah ke dalam abad informasi ini jika nilai ini tidak disadari bahwa dunia di sekitar mereka telah berubah secara fundamental. Tragedi dari identitas ini berada pada kontradiksi antara tujuan dan cara: cara yang berorientasi pada negara tampaknya tidak lagi cukup efektif untuk mencapai dan mendapatkan tujuan yang telah disebabkan dan diungkap oleh proses global yang tidak dapat diraih.
Namun, ditemukan bahwa terdapat jejak dari formasi identitas kolektif yang lebih merakyat yang tidak memobilisasi diri mereka dalam masyarakat sipil (civil society), tetapi termaterialisasi sebagai komunitas. Kerumunan ini merangkul mereka yang tereksklusi, menerima stigma, dan menderita untuk mendapatkan pengalaman kolektif yang dapat ditawarkan dari mengumpulkan makna yang sama.
Ciri dari pembangunan kerumunan ini adalah ada resistensi melawan masyarakat di sekitarnya dan melawan kelompok lain. Dari ciri ini, identitas ini kemudian disebut ke dalam kategori identitas yang kedua yakni identitas resistensi. Kelompok identitas ini pada umumnya cenderung membentuk sumber makna utama, singularitas kebudayaan, simbol atau bendera, dan mereka juga pada umumnya tidak dapat berkomunikasi dengan realitas sosial di sekitar mereka. Mereka berkhotbah dan menyebarkan apa yang mereka yakini, namun mereka tidak bernegosiasi terhadap hal tersebut karena bagi mereka itu adalah kebenaran mutlak yang tidak dipertanyakan lagi.
Masalah dari identitas resistensi juga jatuh pada fakta bahwa keberadaan massa dalam kelompok akan menjatuhkan horizon makna sosial yang rasional. Horizon ini direkonstruksi dan kelompok, namun dalam latar imajiner: diri yang terkelompok, dikelilingi oleh realitas sosial eksternal yang antagonistik dan komunitas lain yang cacat secara ideologis. Pandangan seperti ini dipaksa dalam ritual konstan, menguatkan dan mereproduksinya sendiri sebagaimana ia harus mengganti tujuan dari anggota individualnya dengan "tujuan" kelompok.
Kelompok resisten mungkin merupakan identitas yang paling memiliki pengaruh pada budaya techno-culture ini, dan tidak ada yang menjamin bahwa masyarakat kita tidak akan berhenti dan bertahan pada fragmentalisme dan tribalisme. Banyak proses penting dari perspektif transformasi sosial yang terjadi di dalam kelompok. Harus dicatat adalah mereka memberikan kesempatan bagi orang yang memiliki pengalaman sosial yang sama untuk memproses pemikiran mereka pada utopia dan strategi sosial yang baru.
Tetapi, untuk bermetamorfosis dari resistensi menjadi kelompok yang dapat mengubah masyarakat mereka harus bisa memproyeksikan sesuatu dari identitas mereka pada masyarakat di sekitarnya. Terdapat beberapa hal yang dibutuhkan kelompok resisten untuk bisa terbuka dan mulai mengubah masyarakat.
Yang pertama adalah berkaitan dengan struktur sosial. Di masyarakat jejaring kondisi mobilisasi sosial yang berhasil adalah kemampuan untuk mengadaptasikan prinsip operasionalnya dengan logika internal.
Sebuah kerumunan adalah sebuah bentuk dari organisasi sosial yang hanya mempunyai kemungkinan kecil dalam mengembangkan pengalamannya pada masyarakat kebanyakan jika ia tidak berjaringan atau berubah menjadi jaringan. Ini adalah syarat tidak hanya untuk bekerja sama dengan kerumunan dengan pemikiran yang sama, tetapi juga untuk mendapatkan kemampuan strategis tertentu.
Satu di antara kemampuan yang penting adalah untuk beroperasi dalam realitas media yang tervirtualisasi dalam masyarakat jejaring untuk membuat pesan kerumunan dapat tersampaikan. Selain itu, penting juga untuk mendapatkan pengetahuan teknokratis instrumental yang dibutuhkan untuk bekerja dalam dunia yang dimediasi oleh teknologi. Kekuatan kerumunan dalam masyarakat jejaring adalah bagaimana dapat melebur pada arsitektur jaringan, dan berfungsi sebagai pengubah arus informasi dan gagasan.
Kerumunan harus dapat bermetamorfosis ke dalam jaringan. Ini adalah kondisi struktural pada identitas proyek: kategori identitas ketiga dalam tipologi yang digagas oleh filsuf Manuel Castells. Tetapi, kondisi ini ambigu karena ketika mendapatkan kemampuan untuk beroperasi dalam masyarakat jejaring mereka bisa saja secara simultan mengadopsi logika teknokratis dan instrumental ke tujuan yang mereka miliki. Bagian dilema dari identitas proyek tampaknya adalah untuk menghindari kompromi berlebihan ketika berusaha untuk memperkenalkan alternatif pada masyarakat.
Kita dapat bertanya akan kemungkinan identitas resistensi yang telah bereaksi terhadap hilangnya makna sosial dengan mementingkan nilai utama mereka dan memproyeksikannya pada transenden sosial, biologis, atau teologis seperti nasionalisme, rasisme, atau fundamentalisme.
Bentuk pemikiran seperti ini tidak dapat berubah dari "resistensi" menjadi "kerumunan radikal" tanpa menekan asumsi mereka terhadap realisme filosofis mereka yang kuat. Kondisi internal ini kemudian memunculkan paradoks: untuk mengubah masyarakat, mereka harus menyerah pada absolutisme makna. Bagi individu ini membutuhkan keberanian psikologis, dan bagi kerumunan mungkin membutuhkan kepergian beberapa anggotanya.
Berdasarkan pemaparan, identitas resistensi mengalami sebuah dekonstruksi tertentu untuk bertransformasi menjadi identitas proyek. Identitas ini setidaknya memiliki dua komponen, yakni: mengalami antagonisme sosial yang awalnya memicu mobilisasinya menjadi sebuah kerumunan, dan pemahaman atau pandangan mengenai kondisi sosial atau persyaratan yang ada di balik antagonisme tersebut.
Pada identitas resistensi komponen pertama, yakni pengalaman, tampaknya diprivatisasi menjadi barang intrakolektif yang dikenal sebagai "identitas korban". Sedangkan komponen kedua pada identitas resistensi tampaknya tidak ada seperti hilangnya horizon rasional. Identitas resistensi tampaknya mengakui antagonisme sosial sebagai suatu pengalaman dan tidak dapat mengintegrasikannya pada penjelasan rasional akan kondisi tersebut.
Pada penjelasan rasional akan kondisi ideologis masa ini, Castells melihat bahwa ketika kritik ideologi pada era modern harus memiliki sikap kritis terhadap peran negara. Ini juga harus pada cara bagaimana orang memberikan pengalaman mereka sebagai subjek sosial ketika masuk ke dalam kerumunan sebagai yang tereksklusi, tereksploitasi, terstigma, dan tersiksa dari antagonisme masa kini.
Dari perspektif kritik ideologi, ini bisa diterjemahkan sebagai "konsep kesalahan mengenali" (misrecognition). Sebuah pengalaman yang terprivatisasi, menjadi identitas primordial, dan gagal menafsirkan kondisi sosial lain, selain "kita" sebagai lawan yang lain-lain. Hal yang sama terjadi ketika politik identitas yang resistensi salah mengenal satu sama lain sebagai kondisi sosial mereka.
(mhd)