Perppu Ormas

Senin, 23 Oktober 2017 - 08:56 WIB
Perppu Ormas
Perppu Ormas
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Pasundan

Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keormasan selanjutnya saya sebut Perppu Ormas 2017, termasuk salah satu jenis hierarki dalam struktur peraturan perundangan berdasarkan UU RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan UU.

Perppu Ormas 2017 telah di­terbitkan pemerintah pada tanggal 10 Juli 2017, berlaku sah secara mengikat sampai kemudian DPR RI menyetujui atau menolak perppu tersebut, dan tetap sah berlaku mengikat setiap organisasi ke­masyarakatan.

Latar belakang Perppu Ormas 2/2017

Bagian menimbang dan penjelasan umum suatu undang-undang memiliki fungsi dan peranan penting serta strategis. Karena kedua bagian tersebut merupakan roh dan jiwa suatu undang-undang serta merupakan filosofi dan tujuan dari pembentukan suatu undang-undang. Penjelasan umum menerangkan aspek filosofi, sosiologis, yuridis, dan komparatif dari suatu undang-undang.

Penjelasan umum Perppu Ormas 2017 telah mengemukakan berbagai konvensi internasional tentang hak asasi manusia menurut Deklarasi Bangkok tentang HAM se-ASEAN 1993, ICCPR yang telah menjadi bagian dari hukum nasional pascamengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945.

Ketentuan, baik hukum internasional mau pun hukum nasional, mengakui hak asasi manusia individu namun dalam batas-batas perlindungan kepentingan hak asasi orang lain.

Dalam konteks Perppu Ormas 2017, pembatasan hak asasi manusia individu diatur dalam Pasal 28 J UUD 1945 dan memperoleh sandingan persamaan dengan ketentuan Pasal 4 ICCPR sehingga bisa disimpulkan tidak ada kemutlakan hak asasi manusia termasuk hak dan kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 28 UUD 1945.

Dalam doktrin HAM internasional diakui perbedaan antara hak asasi yang dapat di­kesampingkan (derogable rights) dan hak asasi yang tidak dapat dikesampingkan (non-derogable rights); kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul termasuk golongan hak asasi manusia yang pertama.

Penerbitan perppu oleh Pemerintah Indonesia yang disetujui dan ditolak bukan pertama kali terjadi, tetapi telah terjadi sejak era reformasi 1998 hingga 2017. Data menunjukkan bahwa terdapat 32 perppu termasuk perppu ormas ini.

Sari 32 perppu yang telah diterbitkan pemerintah, sebanyak tiga perppu, dua tidak ada keputusan dari DPR RI dan selebihnya disetujui, yaitu sebanyak dua puluh tujuh perppu.

Merujuk data tersebut, jelas bahwa setiap perppu yang diterbitkan pemerintah sudah dipastikan didasarkan pada ketentuan Pasal 22 UUD 1945 dan disesuaikan dengan situasi kondisi sosial, politik, dan ekonomi.

Pascapenerbitan Perppu Ormas 2017 telah banyak pen­dapat ahli, khususnya dari pihak pemohon uji materi Perppu Ormas di sidang Mahkamah Konstitusi RI, yang kini masih berlangsung dan belum sampai pada pengambilan putusan.

Namun demikian, ahli berpendapat bahwa mengenai pertimbangan diterbitkan Perppu Ormas menitikberatkan selain pada pertimbangan objektif sebagaimana telah disampaikan dalam keterangan pemerintah di sidang uji materi Perppu Ormas 2017, ahli memiliki pertimbangan lain bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa ketika UUD 1945 disusun dan dipersiapkan para pendiri NKRI ketika itu hanya terpikirkan hal ihwal bersifat situasi sosial dan kondisi fisik bangsa semata-mata.

Belum terpikirkan karena masalah perkembangan zaman dari masa pos kemerdekaan telah jauh berbeda dengan masa kini, karena perkembangan masyarakat semakin maju disertai dukungan perkembangan transportasi dan komunikasi dengan teknologi modern yang semakin pesat menembus batas-batas wilayah negara.

Perbedaan besar dari dua masa sejarah peradaban dan teknologi tersebut telah menimbulkan akibat sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda-beda pula, baik dari sisi kuantitas mau pun sisi kualitas ancaman, bahaya, gangguan, dan tantangan yang dihadapi (ABGT).

Salah satu dari ABGT dimaksud adalah ideologi radikalisme atas dasar etnis, agama, dan latar belakang kultur disertai konflik-konflik horizontal bukan hanya terjadi di dalam wilayah NKRI, melainkan di berbagai belahan dunia.

Contoh pelanggaran HAM di Paman Sam, Inggris, Jerman, dan kasus kejahatan HAM berat di Rwanda dan Yugoslavia yang diawali konflik sosial atas dasar etnis dan agama.

Konflik sosial horizontal yang terjadi sebagaimana diuraikan di atas berakar pada me­nurunnya secara drastis persaingan antarnegara dalam perlombaan senjata nuklir biologi dan kimia pasca PD II, kemudian surutnya kehendak menguasai negara satu sama lain secara fisik.

Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi begitu pula mobilitas tinggi dari aspek kependudukan di seluruh negara di dunia, telah mengakibatkan migrasi besarbesaran penduduk satu negara ke negara lain.

Dalam konteks migrasi tersebut turut dibawa serta paham-paham dan ideologi yang bertolak belakang dan berlawanan dengan ideologi bangsa setempat termasuk adat istiadat masyarakatnya.

Contoh nyata dan telah berdampak luar biasa adalah perkembangan terorisme yang telah ditetapkan UN HighLevel Panel on Threats, Challenges and Changes (2004) sebagai salah ancaman terbesar abad ini ber­lanjut dengan munculnya ISIS yang bertujuan mem­ben­tuk "negara khilafah" di seluruh dunia.

Dalam konteks Perppu Ormas 2017, uraian di atas menegaskan bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa telah "ber­ubah wajah", baik dari aspek kuantitas maupun kualitasnya.

Salah satu perubahan besar adalah pada cara yang dilaksanakan untuk mendominasi suatu pandangan atau paham atas pandangan atau paham yang lain sekalipun dalam "payung" agama yang sama se­ba­gai­mana terjadi pada dunia Islam saat ini.

Pandangan atau paham bersumber pada ajaran agama Islam yang dikembangkan golongan masyarakat tertentu dengan pemikiran bersifat radikal telah menimbulkan konflik-konflik sosial horizontal dan bahkan telah terjadi "ancaman kekerasan, baik secara psikis maupun secara fisikt terhadap kelompok agama lain, bahkan dalam satu kelompok agama yang sama.


Analisis Hukum

UU RI Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keormasan yang di­un­dangkan pada tanggal 22 Juli 2013 merupakan undang-undang bersifat regulatif yang memuat asas, tujuan, fungsi, dan syarat pendirian ormas dilengkapi dengan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 61 yang meliputi sanksi: peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah: penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Jenis ketentuan sanksi administratif di atas tidak sepadan atau sebanding, salah satu dari tiga jenis kelompok tindakan ormas yang dilarang dicantumkan pada Pasal 59 Bab XVI Larangan.

Kelompok tindakan yang dilarang (Pasal 59 ayat 2) tersebut adalah a) melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau go­long­an; b) melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, c) melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, d) melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya, e) melakukan kegiatan yang men­jadi tugas dan wewenang pe­negak hukum sesuai dengan ke­tentuan peraturan perundang-undangan.

Kelima tindakan yang dilarang tersebut di atas adalah termasuk tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan 156 a KUHP, Pasal 107, Pasal 107 a sd Pasal 107 e KUHP, dan ketentuan yang diatur dalam Buku III KUHP.

Berdasarkan kajian tersebut terbukti bahwa UU Ormas 2013; pertama, tidak menempatkan ormas sebagai subjek hukum pidana, sedangkan KUHP tidak berlaku bagi subjek badan hukum selain badan usa­ha dengan bentuk perseroan terbatas.

Kedua, tidak memberikan jaminan kepastian hukum adil terhadap tindakan yang nyata-nyata merupakan pelanggaran administratif terhadap tindakan yang merupakan pelanggaran hukum pi­dana, dan sebaliknya.

Ketiga, telah melanggar asas perlakuan sama di muka hukum (equality before the law) di antara para pelaku tindakan yang termasuk dilarang berdasarkan ketentuan Pasal 59 UU Ormas 2013.

Keempat, UU Ormas 2013 telah tidak memenuhi asas lex certa yang diakui universal dan sistem hukum pidana Indonesia.

Kelima, tidak sesuai dan sejalan dengan sistematika pembagian sistem hukum antara sistem hukum administratif, sistem hukum perdata, dan sistem hukum pidana yang bertentangan dengan penormaan suatu tindakan administratif yang seharusnya dibedakan dengan tindakan pidana.

Keenam, tidak mempertimbangkan dampak sosial yang luas dalam masyarakat dari tindakan pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana mengakibatkan di satu sisi kepentingan perlindungan masyarakat luas terabaikan, dan di sisi lain, kewajiban negara melindungi kepentingan masyarakat luas tidak bisa dilaksanakan secara segera, efektif, dan tuntas untuk mencegah dampak sosial yang lebih besar dari tin­dakan ormas yang melanggar ketentuan Larangan dalam UU Ormas 2013.

Ketujuh, UU Ormas 2013 menempatkan negara sangat lemah dan tidak berwibawa untuk mampu menjaga stabilitas sosial dan politik yang pada gilirannya melemahkan stabilitas ekonomi masyarakat.

Berdasarkan tujuh kesimpulan di atas, jelas bahwa, pertama, UU Ormas 2013 telah tidak memadai, tidak efektif, dan tidak optimal tuntas karena tidak memberikan alas hukum kuat dan bersifat segera untuk mengatasi dan mencegah tindakan ormas yang melanggar UU Ormas 2013 serta untuk men­cegah dan atau mengatasi dampak sosial ekonomi yang lebih luas.

Kedua, UU Ormas 2013 sangat rentan dan ber­po­ten­si menghadapi kegagalan da­lam melindungi hak dan ke­be­basan orang lain serta kehidupan masyarakat yang tertib, damai dan sejahtera.

Prinsip Due Process
of Law

Apakah Perppu Ormas 2017 melanggar prinsip due process of law ? Pertanyaan ini merupakan pembacaan penulis terhadap beberapa keterangan ahli pemohon uji materi Perppu Ormas 2017 di hadapan sidang MKRI. Dalam kesempatan ini, perkenankan penulis menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, prinsip due process of law diakui dalam sistem hu­kum pidana yang berasal dari Magna Charta dan Habeas Corpus serta diakui dalam sistem hukum common law, kemudian dikembangkan di dalam sistem hukum civil law.

Prinsip due process of law merupakan keniscayaan dalam proses peradilan pidana yang bertujuan melindungi hak asasi tersangka sejak mulai proses penyidikan sampai proses pemeriksaan di si­dang pengadilan.

Kedua, prinsip umum dalam proses legislasi sekaligus parameter kebaikan suatu undang-undang dan merupakan norma dasar negara hukum (fundamentalnormen des rechtstaat) adalah asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas (J.Rem­melink, 2003).

Ketiga, tidak benar bahwa Perppu Ormas 2017 melanggar due process of law dengan alasan proses pembubaran tidak melalui proses peradilan sebagaimana telah dimuat dalam Pasal 71-Pasal 78 UU Ormas 2013.

Prinsip due process of law tidak tergantung dari pengaturan atas suatu proses peradilan semata-mata, melainkan tergantung dan sangat penting apakah di dalam proses peradilan, termohon, pemohon, atau tersangka dan penuntut, telah memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan undang-undang acara yang berlaku.

Keempat, Perppu Ormas 2017 justru telah menempatkan ormas dan pengurus serta anggotanya, yaitu dalam posisi di­untungkan untuk memperoleh kepastian hukum karena telah memangkas tenggat waktu relatif singkat dalam memutuskan sanksi pembubaran dibandingkan dengan UU Ormas 2013 yang membutuhkan waktu tunggu dengan tenggat waktu lebih dari 100 hari bahkan lebih dari 400 hari.

Kelima, Perppu Ormas 2017 telah memberikan alas hukum bagi ormas yang dikenai sanksi peringatan, penghentian kegiatan, sampai dengan pembubaran melalui jalur proses administrasi negara.

Begitu pula bagi ormas yang dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 A, tetapi tetap memperoleh hak yang diatur di dalam UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Indonesia.

Keenam, ketentuan sanksi pidana di dalam Perppu Ormas 2017 telah memenuhi tujuan pe­midanaan, yaitu pertama, tujuan penjeraan terhadap ormas yang telah melakukan tindak pidana diwajibkan menjalani hukuman disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran yang telah dilakukan; dan kedua, tujuan pemulihan dan ter­akhir yang di­dasarkan pada prinsip ultimum remedium.

Artinya penerapan sanksi pidana hanya ditujukan terhadap ormas yang telah me­langgar ketentuan sanksi administratif sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 59 sampai dengan Pasal 62 Perppu Ormas 2017.

Ketujuh, Perppu Ormas 2017 telah mengutamakan proses hukum dengan mendahulukan sanksi administratife sebagai primum remedium dan sanksi pidana sebagai ultimum remedium, sanksi yang hanya diterapkan jika sanksi administratif telah tidak efektif, kecuali tindakan ormas yang nyata terbukti melanggar ketentuan KUHP.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7695 seconds (0.1#10.140)