Mabruk untuk Jakarta!

Rabu, 18 Oktober 2017 - 06:40 WIB
Mabruk untuk Jakarta!
Mabruk untuk Jakarta!
A A A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation

SENIN, 16 Oktober 2017, terjadi terjadi pergantian kepemimpinan di Ibu kota Indonesia, DKI Jakarta. Setelah melalui pra-kampanye dan kampanye yang cukup sengit dan panas, akhirnya terpilihlah Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai gubernur dan wakil gubernur periode lima tahun ke depan.

Tentu yang pertama saya ingin sampaikan adalah “tahniah” (ungkapan selamat) kepada gubernur dan wakil gubernur atas amanah yang diberikan kepada mereka. Ungkapan selamat tidak kurang juga kepada warga Jakarta, bahkan Indonesia, atas terpilihnya gubernur Ibu Kota yang baru.

Semoga pelantikan mereka adalah awal dari perjalanan, yang saya yakin ke depannya penuh tantangan dalam upaya membawa Jakarta yang lebih baik, lebih maju, dan yang terpenting penduduknya merasa lebih nyaman serta bahagia.

Terlepas dari hiruk pikuk politik yang membosankan bahkan terkadang memuakkan, ketika kandidat telah terpilih maka itu adalah realita politik. Tentu dalam bahasa agama itu adalah realita langit atau takdir Illahi yang telah terjadi.

Karenanya semua pihak, baik yang mendukung atau tidak mendukung harus sadar bahwa itulah memang realita yang harus diterima. Mungkin dalam bahasa teman-teman di Jawa mari semua legowo dengan hasil Pilkada DKI Jakarta itu.

Dengan kata lain, janganlah dipupuk kebiasaan lama “dendam politik” (political revenge) ini menjadi tradisi bangsa ini. Apalagi ngeyel tak henti mencari celah untuk disalahkan walau tidak salah.

Saya juga sangat yakin jika di sisi lain gubernur dan wakil gubernur terpilih sadar betul bahwa mereka terpilih bukan hanya untuk melayani yang memilih mereka, tapi untuk warga Jakarta. Mereka adalah pemimpin terpilih untuk menjadi pelayan bagi semuanya.

Euforia Umat
Kemenangan Anies-Sandi tentunya menjadi kegembiraan dan kebanggaan umat Jakarta, bahkan Indonesia. Tentu hal itu sangat wajar. Sama saja kegembiraan teman-teman yang mendukung calon lain ketika calonnya memenangkan pemilihan di lain waktu.

Yang saya mungkin perlu ingatkan adalah tradisi Islam dalam menyikapi amanah kekuasaan. Bahwa Islam tidak menghendaki amanah itu disambut dengan kegembiraan yang berlebihan, apalagi dengan rasa keangkuhan. Bahkan sebaliknya harusnya disambut dengan rasa tawadhu (rendah hati) dan syukur tinggi kepada Tuhan, diikuti oleh komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

Kemenangan Anies-Sandi ini boleh jadi pertaruhan tersendiri bagi perjalanan kolektif umat Islam di Jakarta, bahkan Indonesia. Walaupun sebenarnya tidak harus demikian. Karena Islam tentunya jauh lebih besar dan hebat dari seorang gubernur atau wakil gubernur.

Tapi bagaimanapun juga terpilihnya kedua orang ini melalui proses dan dukungan penuh umat Islam Jakarta bahkan Indonesia. Ini yang barangkali mendasari sehingga sebelum pelantikannya, gubernur dan wakilnya memulai prosesinya dari Masjid Sunda Kelapa.

Maka amanah yang diemban Anies-Sandi memiliki konsekwensi multi. Di satu sisi akan ada pihak-pihak yang akan bersorak dan bertepuk jika keduanya gagal melaksanakan amanah tersebut. Bahkan boleh jadi mereka ini akan menggali segala kemungkinan untuk menyalahkan.

Kebahagiaan mereka ada pada kegagalan gubernur dan wakil gubernur. Lebih jauh bahkan dengan kekuatan ekonomi akan melakukan segala manuver untuk menggagalkan program-program gubernur dan wakil gubernur.

Di sisi lain tentu karena perjuangan dan dukungan umat Islam maka akan ada tuntutan dan harapan besar untuk mendukung agenda-agenda keumatan. Bahkan boleh jadi tuntutan itu bersifat parsial sifatnya. Jika tidak maka umat akan kembali melabelnya sebagai gubernur dan wakil gubernur yang tidak memenuhi janji.

Tapi mungkin yang paling berat adalah tumbuhnya persepsi di sebagian kalangan jika terpilihnya gubernur dan wakil gubernur yang beragama Islam serta didukung sepenuh oleh umat Islam sekaligus juga juga mewakili idealisme politik Islam. Yaitu politik yang egalitarian, inklusif, dan berorientasi pelayanan masyarakat.

Tentu perasaan keterwakilan ini menjadi beban tersendiri bagi sang gubernur dan wakil gubernur. Karena sudah pasti kesalahan yang dilakukannya nanti, dan itu memungkinkan sekali sebagai manusia, akan menyeret juga wajah Islam.

Lalu bagaimana menyikapi semua itu? Hal terbaik adalah mengambil jalan “do what you got to do policy”. Lakukan saja apa yang menjadi tuntutan tugas dan amanah. Terbawa arus dan hiruk pikuk kepentingan “partisan” hanya akan mengganggu konsentrasi kerja ke depan.

Harapan semua tentunya adalah bagaimana kebijakan yang diambilnya tidak menguntungkan sepihak dan merugikan sepihak. Apalagi jika ada kesengajaan merendahkan atau melecehkan komponen masyarakat tertentu.

Pada akhirnya kepemimpinan itu adalah amanah. Amanah dari Allah, pencipta langit dan bumi, sekaligus juga amanah dari rakyat yang memimpikan pemimpin yang memang amanah, berkepribadian dan berintegritas, tapi juga memiliki kapabilitas yang mumpuni.

Ingat, amanah itu akan dipertanggung jawabkan tidak saja di hadapan warga dan anggota Dewan. Tapi yang terpenting di hadapan mahkamah Illahi di akhirat nanti. Semoga gubernur dan wakil gubernur selalu dijaga di jalan-Nya dan dikuatkan oleh Allah.

Sekali lagi, mabruk!
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0715 seconds (0.1#10.140)