TNI dan Tantangan ke Depan

Senin, 09 Oktober 2017 - 07:37 WIB
TNI dan Tantangan ke Depan
TNI dan Tantangan ke Depan
A A A
Dr H Jazuli Juwaini MA
Ketua Fraksi PKS/Anggota Komisi I DPR

TENTARA Nasional Indonesia (TNI) baru saja merayakan hari ulang tahun yang ke-72. Seluruh rakyat Indonesia tentu berharap TNI semakin kuat dalam mempertahankan kedaulatan negara. Untuk itu, TNI dituntut memiliki kemampuan profesional yang andal dalam mendefinisikan dan menghadapi setiap ancaman yang mengganggu keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat yang sama negara dituntut untuk memberikan daya dukung yang memadai (minimum essential force) guna menunjang tugas pokok TNI tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI ditempatkan sebagai alat negara di bidang pertahanan dan menjadi komponen utama sistem pertahanan negara. Dalam posisi peran tersebut, fungsi TNI dijelaskan secara terperinci sebagai; (1) penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; (2) penindak terhadap setiap bentuk ancaman; dan (3) pemulih terhadap kondisi keamanan ne­gara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.

Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Tugas pokok tersebut dilakukan dengan dua jenis operasi militer yaitu operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Ada 14 jenis operasi militer selain perang, di antaranya mengatasi gerakan separatis, pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan dan objek vital nasional strategis, dan lain-lain.

Sejalan dengan semangat reformasi TNI, keseluruhan tugas di atas harus dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Reformasi TNI menegaskan satu prinsip bahwa TNI (dan Polri) tidak boleh berpolitik praktis dan tunduk pada kekuasaan atau otoritas sipil negara guna melaksanakan keputusan politik negara.

Ke depan TNI sebagai kekuatan pertahanan negara menghadapi tantangan dan ancaman keamanan yang terus berkembang-bahkan baru sama sekali—yang membutuhkan kebijakan dan strategi kesiapsiagaan yang tepat.


Tipologi (Baru) Ancaman Negara

Seiring dengan perkembangan global, definisi ancaman nasional telah bergeser dari ancaman tradisional (militer) kepada ancaman non­tradisional (nonmiliter) meskipun ancaman militer tidak benar-benar (tidak akan pernah) hilang. Pergeseran ini dipahami dengan baik oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo beserta jajarannya. Setidaknya hal itu ditunjukkan dalam berbagai materi yang dipresentasikan oleh Panglima maupun jajaran TNI, baik dalam forum resmi (RDP Komisi I) maupun forum-forum diskusi publik ketika menjelaskan po­tensi bangsa berikut ancamannya pada masa kini.

Berulang kali Panglima TNI misalnya menjelaskan bahwa perang masa kini didominasi oleh perang tidak langsung yang dimainkan oleh kekuatan-kekuatan besar di luar negara untuk mendapatkan keuntungan dan/atau melemahkan negara tersebut atau yang lebih dikenal dengan istilah “proxy war“. Di samping itu, negara juga menghadapi apa yang disebut “cyber war“, yaitu pelemahan keamanan negara melalui akses terbuka—baik yang diperoleh secara legal atau ilegal—data-data negara dan warganya melalui jejaring information and communication technology (ICT).

Menghadapi tipologi (karakteristik) perang yang demikian butuh kemampuan pertahanan sesuai yang didukung kualitas (kompetensi dan kapabilitas) prajurit serta daya dukung peralatannya. Pun, tipologi perang baru ini juga tidak bisa diselesaikan atau dihadapi oleh pasukan TNI an sich, tetapi membutuhkan partisipasi dan/atau pelibatan seluruh elemen bangsa serta rakyat Indonesia. Dalam konteks ini doktrin kemanunggalan TNI dengan rakyat semakin relevan, bahkan kontekstual.

Realitas tersebut tentu saja membutuhkan kebijakan dan strategi pertahanan yang dinamis. Otoritas kebijakan pertahanan (dalam hal ini Menteri Pertahanan dan Panglima TNI) dituntut untuk mampu mendayagunakan seluruh potensi bangsa dan negara untuk menghadapi ancaman aktual ter­sebut secara efektif dan efisien.


Kebutuhan Minimal Persenjataan

Dewasa ini TNI dihadapkan pada kondisi persenjataan (alutsista) yang belum ideal. Tentu kita semua berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan alutsista yang ideal, bukan hanya dalam soal kapasitas dan jumlahnya, tetapi juga kesesuaiannya dengan tipologi dan karakteristik ancaman terhadap keamanan dan pertahanan negara sebagaimana telah diulas.

Betapapun anggaran negara belum mampu untuk memenuhi kebutuhan minimal TNI, kita tetap harus menempatkannya sebagai prioritas dalam membangun TNI ke depan. Tidak ada negara yang kuat kecuali didukung dengan sistem pertahanan dan persenjataan yang memadai untuk menjaga kedaulatan negara tersebut.

Pemenuhan kebutuhan alutsista dan peningkatan kompetensi prajurit TNI disesuaikan dengan tipologi ancaman menjadi tantangan tersendiri bagi TNI ke depan. Panglima TNI dituntut untuk mempersiapkan, mengembangkan, dan meningkatkan kemampuan prajurit sesuai kebutuhan akan ancaman. Bagaimana misalnya TNI merumuskan kemampuan atau kapabilitas prajurit menghadapi “proxy war“ dan “cyber war“. Apa sistem persenjataan dan pertahanan yang perlu disiapkan dan dikembangkan untuk menghadapi jenis perang yang seperti itu.

Tak kalah penting adalah bagaimana TNI mendayagunakan seluruh potensi bangsa (rakyat Indonesia) untuk menghadapi tipologi ancaman baru itu. Tentang bagaimana membangun kesadaran dan pemahaman yang sama terhadap tipologi ancaman aktual dan bagaimana memiliki sikap dan respons yang tepat menghadapi ancaman tersebut.

Dalam konteks ini penulis dapat memahami, bahkan mendukung dan mengapresiasi, langkah-langkah Panglima TNI untuk menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan terhadap ancaman “proxy war“ dan “cyber war“. Panglima acapkali mengingatkan bahwa konflik horizontal yang terjadi di antara elemen masyarakat harus diwaspadai sebagai strategi “proxy war“ yang dilakukan oleh pihak-pihak lain (di luar negara) dan para kompradornya yang tidak ingin bangsa ini menjadi besar. Untuk itu, jangan mau diadu domba atau jatuh dalam konflik dengan sesama anak bangsa.

Apa yang kerap diserukan atau diingatkan oleh Panglima TNI tersebut layak kita respons dengan serius. TNI tentu mendambakan kemanunggalan dengan rakyat karena di sanalah kunci kekuatannya dalam mempertahankan kedaulatan republik. Akhirnya kita ucapkan Dirgahayu ke-72 TNI. Semoga semakin kuat dan jaya, Indonesia makin hebat dan bermartabat!
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6147 seconds (0.1#10.140)
pixels