Tutup Buku PKI
A
A
A
Prof Dr Farouk Muhammad
Guru Besar PTIK/STIK
Pro-kontra pemutaran film G30S/PKI yang terjadi beberapa waktu yang lalu mengindikasikan dua hal. Pertama, adanya kekhawatiran (atau kecurigaan) PKI akan bangkit lagi. Ini terjadi lebih karena adanya aksi-reaksi atas upaya atau langkah-langkah politik eks PKI dan/atau keturunannya. Kedua, adanya kesadaran sejarah untuk mengukuhkan Pancasila dan NKRI sebagai platform bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga setiap ancaman yang datang harus diwaspadai, terlebih ancaman yang datang dari (”kebangkitan kembali”) PKI.
Kita memang menyaksikan tingginya animo masyarakat untuk memutar film ini di berbagai daerah selama satu pekan kemarin. Acara nobar bukan hanya dilaksanakan oleh jajaran TNI—yang memang diperintahkan langsung oleh Panglima TNI—, nyatanya pemutaran film juga dilakukan oleh struktur masyarakat (kelurahan/RW/ RT), lembaga-lembaga pendidikan, partai politik, dan ormas. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga mengikuti acara nobar film ini di Bogor di sela-sela kesibukannya. Pun belakangan film ini juga diputar oleh TVRI dan salah satu televisi swasta.
Secara objektif pemutaran film-film berlatar sejarah—bukan hanya film G30S/PKI—sesungguhnya sangat penting untuk menanamkan pelajaran sejarah kepada generasi bangsa. Negara berkepentingan untuk menanamkan nilai-nilai sejarah tersebut untuk menumbuhkan jiwa dan semangat nasionalisme, patriotisme, dan penghargaan atas jasa-jasa/ perjuangan para pahlawan.
Memaafkan
Bukan Melupakan
Penulis pribadi berpandangan bahwa sebagai pembelajaran sejarah peristiwa kelam pengkhianatan dan pembantaian yang dilakukan oleh PKI sejak tahun 1948 dan puncaknya pada tahun 1965 tidaklah bisa dilupakan. Akan tetapi, tentu tidak baik bagi bangsa ini untuk memelihara dendam yang berkepanjangan.
Bangsa Indonesia, untuk sebagian besarnya, sejatinya tidak ada yang menyimpan dendam itu bahkan telah membuka pintu maaf bagi eks PKI dan keturunannya. Buktinya banyak di antara mereka diterima luas di masyarakat, bekerja dalam beragam profesi bahkan di instansi-instansi pemerintah dan/atau lembaga negara, serta mendapatkan hak-hak yang sama sebagai warga negara Indonesia.
Untuk sekian lama, terutama sejak reformasi 1998, bangsa ini sebenarnya tidak lagi fokus dengan isu PKI. Tapi, begitu muncul aksi-aksi berorientasi politik seperti pengorganisasian massa eks PKI/keturunannya menyerukan tuntutan pencabutan TAP MPRS XXV/1966; desakan pelurusan sejarah pembantaian PKI; dan permintaan maaf negara atas tuduhan pelanggaran HAM, serta gerakan-gerakan politik lainnya yang bisa dipersepsi sebagai (bias) kebangkitan PKI; isu bangkitnya PKI mencuat kembali. Apalagi, kemudian muncul kasus-kasus penemuan atribut dan simbol-simbol PKI di beberapa daerah, lengkaplah kecurigaan publik terhadap ”kebangkitan kembali PKI”.
Secara de facto dan de jure, PKI telah dibubarkan tidak lama setelah peristiwa G30S dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966. Ketetapan MPRS itu sampai sekarang masih berlaku bahkan dikukuhkan kembali oleh MPR era reformasi dengan Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003. Bersamaan dengan itu, TAP MPR terakhir memastikan agar pembubaran dan pelarangan PKI diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi, dan hak asasi manusia.
Dengan landasan yuridis yang demikian kuat adalah wajar aksi penolakan PKI dan ajaran komunisme di kalangan masyarakat. Hal yang wajar pula jika tumbuh kesadaran dan kewaspadaan bahaya laten komunis. Kewaspadaan ini selayaknya dipandang sebagai sikap peduli bangsa terhadap bahaya yang bisa mengancam eksistensi negara yang berdasarkan ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Kesadaran masyarakat untuk mengenang peristiwa melalui penayangan (nobar) film G30S/PKI tidak perlu disikapi secara reaktif bahwa hal itu hanya akan membuka luka bangsa dan sebagainya. Terlalu kuat fakta kekejaman PKI sepanjang tahun 1948 hingga 1965 yang didukung bukti dan pengakuan saksi-saksi. Sebaliknya sangat tidak relevan memperdebatkan keterlibatan dan kesalahan PKI dalam tragedi 1965 dengan bukti-bukti yang ada tersebut.
Rekonsiliasi dengan eks PKI dan keturunannya seyogianya ditempatkan dalam koridor kemanusiaan dan relasi sosial sebagaimana telah berlangsung baik selama ini, tapi bukan dalam konteks politik sebagaimana disebutkan di atas. Inilah yang justru akan membuka luka lama dan menyebabkan konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Mari akhiri ini semua ini dengan seruan: ”tutup buku PKI”. Jangan ada yang memancing-mancing dengan berbagai upaya politik yang jelas kontraproduktif bagi upaya rekonsiliasi bangsa.
Tuntutan (aksi) massa kepada pemerintah agar meminta maaf atas pembunuhan aktivis PKI—sebagai reaksi kemarahan publik atas kekejaman-kekejaman PKI sejak 1948-1965—merupakan satu bagian yang harus ditutup rapat. Sebaliknya, bangsa ini akan berusaha menutup buku atas kekejaman PKI di masa itu dan tidak akan mengungkit atau melimpahkan kesalahan itu pada generasi setelah mereka (keturunan eks PKI) sepanjang mereka berkomitmen untuk membangun bangsa ini berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kembali ke Pancasila
Dengan seluruh penjelasan di atas, satu-satunya langkah rekonsiliatif yang menjadi pilihan bagi kita adalah menerima dengan sepenuh hati Pancasila sebagai konsensus bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah dasar negara kita yang harus diterima secara konsekuen oleh siapa pun, termasuk eks PKI dan keturunannya.
PKI dan komunisme tidak punya ruang di negara ini. Selain karena sejarah pengkhianatan dan pembantaian yang mereka lakukan, organisasi ini meyakini dan menyebarkan paham tidak bertuhan/tidak percaya Tuhan (ateisme) yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila, terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penulis menduga aksi ”kebangkitan kembali PKI” yang diprakarsai oleh keturunan aktivis PKI 1965 lebih dimotivasi oleh pengalaman pahit mereka pada era setelah G30S/PKI menghadapi kebijakan ”Litsus (Penelitian Khusus)” yang menutup pintu bagi mereka mengabdikan diri pada instansi-instansi pemerintah—satu kebijakan yang tidak proporsional di masa itu. Pun, kebijakan tersebut sejak era reformasi telah dikoreksi karena eks PKI telah mendapatkan hukuman negara, organisasinya terlarang, dan kesalahan mereka tidak bisa dilimpahkan kepada anak-cucu keturunannya.
Kita tentu punya harapan besar kepada eks PKI dan keturunannya untuk sama-sama mengabdi kepada bangsa dan negara Indonesia dengan menjadi bagian warga bangsa yang senantiasa mengejawantahkan dan menyebarkan Pancasila di Bumi Pertiwi ini. Jangan sekali-kali menghidupkan (kembali) gerakan komunisme di negeri ini karena jelas akan mendapatkan perlawanan yang kuat dari seluruh rakyat Indonesia.
Penulis berharap semangat ke-Pancasila-an mereka—seperti para aktivis anti-PKI—bukan sekadar buah bibir, tetapi tertanam dalam lubuk hati yang dalam. Jika itu benar, gagasan ”tutup buku PKI” semestinya bukan sesuatu yang harus ditolak—mengutip Menteri Pertahanan dalam beberapa pernyataan di muka publik—agar kita bisa sama-sama membangun dan membela negara ini. Dengan cara itulah rekonsiliasi kebangsaan bisa terwujud dan kita bisa menatap masa depan yang lebih baik.
Guru Besar PTIK/STIK
Pro-kontra pemutaran film G30S/PKI yang terjadi beberapa waktu yang lalu mengindikasikan dua hal. Pertama, adanya kekhawatiran (atau kecurigaan) PKI akan bangkit lagi. Ini terjadi lebih karena adanya aksi-reaksi atas upaya atau langkah-langkah politik eks PKI dan/atau keturunannya. Kedua, adanya kesadaran sejarah untuk mengukuhkan Pancasila dan NKRI sebagai platform bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga setiap ancaman yang datang harus diwaspadai, terlebih ancaman yang datang dari (”kebangkitan kembali”) PKI.
Kita memang menyaksikan tingginya animo masyarakat untuk memutar film ini di berbagai daerah selama satu pekan kemarin. Acara nobar bukan hanya dilaksanakan oleh jajaran TNI—yang memang diperintahkan langsung oleh Panglima TNI—, nyatanya pemutaran film juga dilakukan oleh struktur masyarakat (kelurahan/RW/ RT), lembaga-lembaga pendidikan, partai politik, dan ormas. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga mengikuti acara nobar film ini di Bogor di sela-sela kesibukannya. Pun belakangan film ini juga diputar oleh TVRI dan salah satu televisi swasta.
Secara objektif pemutaran film-film berlatar sejarah—bukan hanya film G30S/PKI—sesungguhnya sangat penting untuk menanamkan pelajaran sejarah kepada generasi bangsa. Negara berkepentingan untuk menanamkan nilai-nilai sejarah tersebut untuk menumbuhkan jiwa dan semangat nasionalisme, patriotisme, dan penghargaan atas jasa-jasa/ perjuangan para pahlawan.
Memaafkan
Bukan Melupakan
Penulis pribadi berpandangan bahwa sebagai pembelajaran sejarah peristiwa kelam pengkhianatan dan pembantaian yang dilakukan oleh PKI sejak tahun 1948 dan puncaknya pada tahun 1965 tidaklah bisa dilupakan. Akan tetapi, tentu tidak baik bagi bangsa ini untuk memelihara dendam yang berkepanjangan.
Bangsa Indonesia, untuk sebagian besarnya, sejatinya tidak ada yang menyimpan dendam itu bahkan telah membuka pintu maaf bagi eks PKI dan keturunannya. Buktinya banyak di antara mereka diterima luas di masyarakat, bekerja dalam beragam profesi bahkan di instansi-instansi pemerintah dan/atau lembaga negara, serta mendapatkan hak-hak yang sama sebagai warga negara Indonesia.
Untuk sekian lama, terutama sejak reformasi 1998, bangsa ini sebenarnya tidak lagi fokus dengan isu PKI. Tapi, begitu muncul aksi-aksi berorientasi politik seperti pengorganisasian massa eks PKI/keturunannya menyerukan tuntutan pencabutan TAP MPRS XXV/1966; desakan pelurusan sejarah pembantaian PKI; dan permintaan maaf negara atas tuduhan pelanggaran HAM, serta gerakan-gerakan politik lainnya yang bisa dipersepsi sebagai (bias) kebangkitan PKI; isu bangkitnya PKI mencuat kembali. Apalagi, kemudian muncul kasus-kasus penemuan atribut dan simbol-simbol PKI di beberapa daerah, lengkaplah kecurigaan publik terhadap ”kebangkitan kembali PKI”.
Secara de facto dan de jure, PKI telah dibubarkan tidak lama setelah peristiwa G30S dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966. Ketetapan MPRS itu sampai sekarang masih berlaku bahkan dikukuhkan kembali oleh MPR era reformasi dengan Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003. Bersamaan dengan itu, TAP MPR terakhir memastikan agar pembubaran dan pelarangan PKI diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi, dan hak asasi manusia.
Dengan landasan yuridis yang demikian kuat adalah wajar aksi penolakan PKI dan ajaran komunisme di kalangan masyarakat. Hal yang wajar pula jika tumbuh kesadaran dan kewaspadaan bahaya laten komunis. Kewaspadaan ini selayaknya dipandang sebagai sikap peduli bangsa terhadap bahaya yang bisa mengancam eksistensi negara yang berdasarkan ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Kesadaran masyarakat untuk mengenang peristiwa melalui penayangan (nobar) film G30S/PKI tidak perlu disikapi secara reaktif bahwa hal itu hanya akan membuka luka bangsa dan sebagainya. Terlalu kuat fakta kekejaman PKI sepanjang tahun 1948 hingga 1965 yang didukung bukti dan pengakuan saksi-saksi. Sebaliknya sangat tidak relevan memperdebatkan keterlibatan dan kesalahan PKI dalam tragedi 1965 dengan bukti-bukti yang ada tersebut.
Rekonsiliasi dengan eks PKI dan keturunannya seyogianya ditempatkan dalam koridor kemanusiaan dan relasi sosial sebagaimana telah berlangsung baik selama ini, tapi bukan dalam konteks politik sebagaimana disebutkan di atas. Inilah yang justru akan membuka luka lama dan menyebabkan konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Mari akhiri ini semua ini dengan seruan: ”tutup buku PKI”. Jangan ada yang memancing-mancing dengan berbagai upaya politik yang jelas kontraproduktif bagi upaya rekonsiliasi bangsa.
Tuntutan (aksi) massa kepada pemerintah agar meminta maaf atas pembunuhan aktivis PKI—sebagai reaksi kemarahan publik atas kekejaman-kekejaman PKI sejak 1948-1965—merupakan satu bagian yang harus ditutup rapat. Sebaliknya, bangsa ini akan berusaha menutup buku atas kekejaman PKI di masa itu dan tidak akan mengungkit atau melimpahkan kesalahan itu pada generasi setelah mereka (keturunan eks PKI) sepanjang mereka berkomitmen untuk membangun bangsa ini berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kembali ke Pancasila
Dengan seluruh penjelasan di atas, satu-satunya langkah rekonsiliatif yang menjadi pilihan bagi kita adalah menerima dengan sepenuh hati Pancasila sebagai konsensus bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah dasar negara kita yang harus diterima secara konsekuen oleh siapa pun, termasuk eks PKI dan keturunannya.
PKI dan komunisme tidak punya ruang di negara ini. Selain karena sejarah pengkhianatan dan pembantaian yang mereka lakukan, organisasi ini meyakini dan menyebarkan paham tidak bertuhan/tidak percaya Tuhan (ateisme) yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila, terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penulis menduga aksi ”kebangkitan kembali PKI” yang diprakarsai oleh keturunan aktivis PKI 1965 lebih dimotivasi oleh pengalaman pahit mereka pada era setelah G30S/PKI menghadapi kebijakan ”Litsus (Penelitian Khusus)” yang menutup pintu bagi mereka mengabdikan diri pada instansi-instansi pemerintah—satu kebijakan yang tidak proporsional di masa itu. Pun, kebijakan tersebut sejak era reformasi telah dikoreksi karena eks PKI telah mendapatkan hukuman negara, organisasinya terlarang, dan kesalahan mereka tidak bisa dilimpahkan kepada anak-cucu keturunannya.
Kita tentu punya harapan besar kepada eks PKI dan keturunannya untuk sama-sama mengabdi kepada bangsa dan negara Indonesia dengan menjadi bagian warga bangsa yang senantiasa mengejawantahkan dan menyebarkan Pancasila di Bumi Pertiwi ini. Jangan sekali-kali menghidupkan (kembali) gerakan komunisme di negeri ini karena jelas akan mendapatkan perlawanan yang kuat dari seluruh rakyat Indonesia.
Penulis berharap semangat ke-Pancasila-an mereka—seperti para aktivis anti-PKI—bukan sekadar buah bibir, tetapi tertanam dalam lubuk hati yang dalam. Jika itu benar, gagasan ”tutup buku PKI” semestinya bukan sesuatu yang harus ditolak—mengutip Menteri Pertahanan dalam beberapa pernyataan di muka publik—agar kita bisa sama-sama membangun dan membela negara ini. Dengan cara itulah rekonsiliasi kebangsaan bisa terwujud dan kita bisa menatap masa depan yang lebih baik.
(mhd)