Tutup Buku PKI

Kamis, 05 Oktober 2017 - 08:00 WIB
Tutup Buku PKI
Tutup Buku PKI
A A A
Prof Dr Farouk Muhammad
Guru Besar PTIK/STIK

Pro-kontra pemutaran film G30S/PKI yang ter­jadi beberapa waktu yang lalu mengindikasikan dua hal. Pertama, adanya kekhawatiran (atau kecurigaan) PKI akan bangkit lagi. Ini terjadi lebih karena adanya aksi-reaksi atas upaya atau langkah-langkah po­l­itik eks PKI dan/atau ke­turun­annya. Kedua, adanya kesadar­an sejarah untuk mengukuhkan Pancasila dan NKRI sebagai plat­form bersama dalam ke­hidupan berbangsa dan ber­negara se­hing­ga setiap ancam­an yang da­tang harus di­was­padai, terlebih ancaman yang datang dari (”kebangkitan kem­bali”) PKI.

Kita memang menyaksikan tingginya animo masyarakat untuk memutar film ini di be­rbagai daerah selama satu pe­kan kemarin. Acara nobar bukan hanya dilaksanakan oleh jajaran TNI—yang me­mang d­iperin­tah­­kan langsung oleh Panglima TNI—, nyatanya pe­mutaran film juga dilakukan oleh struktur masyarakat (ke­lurah­an/RW/ RT), lembaga-lem­baga pen­didik­an, partai politik, dan ormas. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga mengi­kuti acara nobar film ini di Bogor di sela-sela kesibuk­an­nya. Pun belakangan film ini juga diputar oleh TVRI dan salah satu televisi swasta.

Secara objektif pemutaran film-film berlatar sejarah—bukan hanya film G30S/PKI—sesungguhnya sangat penting untuk menanamkan pelajaran sejarah kepada generasi bangsa. Negara berkepentingan untuk menanamkan nilai-nilai se­jarah tersebut untuk menum­buh­kan jiwa dan semangat nasionalisme, patriotisme, dan penghargaan atas jasa-jasa/ perjuangan para pahlawan.

Memaafkan
Bukan Melupakan

Penulis pribadi ber­pan­dang­an bahwa sebagai pembelajaran sejarah peristiwa kelam peng­khianatan dan pembantaian yang dilakukan oleh PKI sejak tahun 1948 dan puncaknya pada tahun 1965 tidaklah bisa dilupakan. Akan tetapi, tentu tidak baik bagi bangsa ini untuk memelihara dendam yang ber­kepanjangan.

Bangsa Indonesia, untuk se­bagian besarnya, sejatinya ti­dak ada yang menyimpan den­dam itu bahkan telah membuka pintu maaf bagi eks PKI dan ke­turunannya. Buktinya ba­nyak di antara mereka di­terima luas di masyarakat, bekerja dalam beragam profesi bahkan di instansi-instansi pemerintah dan/atau lembaga ne­gara, serta men­dapat­kan hak-hak yang sama sebagai warga negara Indonesia.

Untuk sekian lama, ter­utama sejak reformasi 1998, bangsa ini sebenarnya tidak lagi fokus dengan isu PKI. Tapi, be­gitu muncul aksi-aksi ber­orien­tasi politik seperti pengor­gani­sasian massa eks PKI/ke­turun­annya menyerukan tuntutan pencabutan TAP MPRS XXV/1966; desakan pelurusan sejarah pembantaian PKI; dan permintaan maaf negara atas tuduhan pelanggaran HAM, serta gerakan-gerakan politik lainnya yang bisa dipersepsi sebagai (bias) kebangkitan PKI; isu bangkitnya PKI mencuat kembali. Apalagi, kemudian muncul kasus-kasus penemuan atribut dan simbol-simbol PKI di beberapa daerah, lengkaplah kecurigaan publik terhadap ”kebangkitan kembali PKI”.

Secara de facto dan de jure, PKI telah dibubarkan tidak lama setelah peristiwa G30S dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966. Ketetapan MPRS itu sampai sekarang masih ber­laku bahkan dikukuhkan kem­bali oleh MPR era reformasi de­ngan Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003. Bersamaan de­ngan itu, TAP MPR terakhir me­mas­ti­kan agar pembubaran dan pe­larangan PKI diberlakukan de­ngan berkeadilan dan meng­hormati hukum, prinsip demo­krasi, dan hak asasi manusia.

Dengan landasan yuridis yang demikian kuat adalah wajar aksi penolakan PKI dan ajaran komunisme di kalangan ma­sya­rakat. Hal yang wajar pula jika tumbuh kesadaran dan kewas­padaan bahaya laten komunis. Kewaspadaan ini selayaknya dipandang sebagai sikap peduli bangsa terhadap bahaya yang bisa mengancam eksistensi ne­gara yang ber­dasarkan ideologi Pancasila dan UUD 1945.

Kesadaran masyarakat untuk mengenang peristiwa melalui penayangan (nobar) film G30S/PKI tidak perlu di­sikapi secara reaktif bahwa hal itu hanya akan membuka luka bangsa dan sebagainya. Terlalu kuat fakta kekejaman PKI sepanjang tahun 1948 hingga 1965 yang didukung bukti dan pengakuan saksi-saksi. Sebalik­nya sangat tidak relevan mem­perdebatkan keterlibatan dan kesalahan PKI dalam tragedi 1965 dengan bukti-bukti yang ada tersebut.

Rekonsiliasi dengan eks PKI dan keturunannya seyogianya ditempatkan dalam koridor kemanusiaan dan relasi sosial sebagaimana telah berlangsung baik selama ini, tapi bukan da­lam konteks politik se­bagai­mana disebutkan di atas. Inilah yang justru akan membuka luka lama dan menyebabkan konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Mari akhiri ini se­mua ini dengan seruan: ”tutup buku PKI”. Jangan ada yang memancing-mancing dengan berbagai upaya politik yang jelas kontraproduktif bagi upaya rekonsiliasi bangsa.

Tuntutan (aksi) massa ke­pada pemerintah agar me­minta maaf atas pembunuhan aktivis PKI—sebagai reaksi ke­marah­an publik atas ke­kejam­an-ke­kejaman PKI sejak 1948-1965—merupakan satu bagian yang harus ditutup rapat. Sebaliknya, bangsa ini akan berusaha me­nutup buku atas kekejaman PKI di masa itu dan tidak akan mengungkit atau melimpahkan kesalahan itu pada generasi setelah mereka (keturunan eks PKI) sepanjang mereka ber­komit­men untuk membangun bangsa ini ber­dasarkan Panca­sila dan UUD 1945.

Kembali ke Pancasila
Dengan seluruh penjelasan di atas, satu-satunya langkah rekon­siliatif yang menjadi pilih­an bagi kita adalah menerima dengan sepenuh hati Pancasila sebagai konsensus bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah dasar negara kita yang harus diterima secara konsekuen oleh siapa pun, termasuk eks PKI dan ke­turunannya.

PKI dan komunisme tidak punya ruang di negara ini. Selain karena sejarah pengkhianatan dan pembantaian yang mereka lakukan, organisasi ini meya­kini dan menyebarkan paham tidak bertuhan/tidak percaya Tuhan (ateisme) yang jelas-jelas bertentangan dengan Panca­sila, terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Penulis menduga aksi ”ke­bangkitan kembali PKI” yang diprakarsai oleh keturunan aktivis PKI 1965 lebih dimo­tivasi oleh pengalaman pahit me­reka pada era setelah G30S/PKI meng­hadapi kebijak­an ”Litsus (Pene­liti­an Khusus)” yang me­nutup pintu bagi mereka meng­abdikan diri pada instansi-instansi pe­me­rintah—satu ke­bijakan yang tidak proporsional di masa itu. Pun, kebijakan tersebut sejak era reformasi telah dikoreksi karena eks PKI telah mendapatkan hukuman negara, organisasinya ter­larang, dan kesalahan mereka tidak bisa dilimpahkan kepada anak-cucu keturunannya.

Kita tentu punya harapan besar kepada eks PKI dan ke­turunannya untuk sama-sama mengabdi kepada bangsa dan negara Indonesia dengan men­jadi bagian warga bangsa yang senantiasa mengejawantahkan dan menyebarkan Pancasila di Bumi Pertiwi ini. Jangan sekali-kali menghidupkan (kembali) gerakan komunisme di negeri ini karena jelas akan men­dapat­kan perlawanan yang kuat dari seluruh rakyat Indonesia.

Penulis berharap semangat ke-Pancasila-an mereka—se­perti para aktivis anti-PKI—bukan sekadar buah bibir, tetapi tertanam dalam lubuk hati yang dalam. Jika itu benar, gagasan ”tutup buku PKI” semestinya bukan sesuatu yang harus di­tolak—mengutip Menteri Per­tahanan dalam beberapa per­nyataan di muka publik—agar kita bisa sama-sama mem­bangun dan membela negara ini. Dengan cara itulah rekon­siliasi kebangsaan bisa ter­wujud dan kita bisa menatap masa depan yang lebih baik.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4136 seconds (0.1#10.140)