OTT KPK
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Unpad
Operasi tangkap tangan yang populer dikenal dengan OTT oleh KPK telah ditempatkan sebagai posisi strategis bagi KPK dalam banyak kasus yang melibatkan pejabat tinggi/penyelenggara negara selama kurun waktu 2015-2017.
Awal pertama OTT terjadi pada kasus (alm) Mulyana W Kusumah dan berhasil sampai diputus pengadilan dalam kasus KPU dan berturut-turut pimpinan KPU lainnya. OTT yang sering didahului dengan penyadapan tentu dalam praktik lebih mudah daripada proses penyelidikan yang seharusnya dilakukan penyelidik KPK.
Mengapa? Karena setelah laporan masyarakat, maka penyelidik harus melaksanakan pengumpulan bukti dan keterangan (pulbaket) yang tidak mudah sampai memperoleh bukti permulaan yang cukup (Bukperckp).
Penyadapan memudahkan KPK untuk mengetahui siapa saja, dimana, dan waktu (akan) terjadi "transaksi", paling tidak KPK telah memiliki data tentang locus dan tempus delicti dengan mudah serta tinggal memperoleh barang bukti saja yang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi atau calon tersangka.
Semua perkara tipikor hasil OTT telah memperoleh putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dan selalu KPK dimenangkan sampai tingkat kasasi di MA.
Mengamati seluruh rangkaian peristiwa penanganan kasus tipikor oleh KPK melalui tindakan OTT, sukses diukur dari seberapa banyak perkara divonis bersalah dan pelakunya dihukum.
Namun, apakah telah sesuai dengan prinsip due process of law , masih perlu dipersoalkan. Pengertian tertangkap tangan (TT) menurut Pasal 1 angka 19 KUHAP adalah:
"tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera setelah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu."
Pengertian TT dimaksud adalah peristiwa seketika terjadi atau red-handed; bukan peristiwa yang telah lama diketahui aparat penegak hukum dan kemudian dilakukan penangkapan/penahanan.
Karena model tindakan terakhir ini termasuk tindakan penjebakan atau entrapment yang hanya diakui dan diperbolehkan dilakukan dalam UU RI Nomor 35/2009 Pasal 75 huruf (j), melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery ), didahului tindakan interdiksi terhadap peredaran gelap narkotika..., dan huruf (i) setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dilakukan penyadapan terkait penyalahgunaan dan peredaran narkotika ilegal.
Ketentuan UU Narkotika tersebut jelas memberikan wewenang penuh dalam penyidikan setelah memperoleh bukti permulaan untuk melakukan penyadapan sehingga terdapat kepastian hukum bahwa subjek yang ditangkap dan ditahan telah dijebak terlebih dulu dan dibenarkan UU.
Model tindakan hukum dalam UU Narkotika tersebut selain tidak diatur dan dilarang di UU RI Nomor 31/1999 yang diubah UU RI Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga termasuk konsep hukum interdiksi atau pengintaian yang hanya berlaku dalam UU Narkotika saja.
Praktik KPK dalam OTT telah menggunakan dua tindakan tersebut (interdiction and entrapment ) yang berarti penyidik KPK telah mengadopsi tanpa kewenangan yang telah dimiliki penyidik BNN; bahkan praktik KPK telah dilaksanakan dalam proses penyelidikan sehingga KPK telah melakukan tiga jenis tindakan yang melanggar UU (interdiction , entrapment , dan dalam proses penyelidikan).
Sedangkan dalam UU Narkotika tindakan tersebut hanya bisa dilaksanakan dalam proses penyidikan. OTT KPK yang tidak memiliki dasar hukum kuat dari aspek yuridis hukum pidana menimbulkan masalah pelanggaran prinsip due process of law , bahkan pelanggaran hak asasi tersangka terlepas dari putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena dalam sistem hukum pidana yang diakui universal diutamakan cara mencapai tujuan bukan tujuan menghalalkan segala cara termasuk pelanggaran hukum.
Putusan majelis hakim pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap telah memenangkan perkara tipikor tidak bisa dipersalahkan, akan tetapi putusan pengadilan tersebut telah melegalkan perbuatan ilegal OTT KPK dari kacamata sistem peradilan pidana sehingga tergolong ke dalam "peradilan sesat" atau miscarriage of justice.
Tindakan yang dikatakan sebagai OTT KPK justru sering dilakukan ketika calon tersangka tidak sedang melakukan tindak pidana dan tidak sedang menerima atau melekat padanya barang bukti hasil tipikor atau digunakan untuk melakukan tipikor.
Seperti kasus terakhir Wali Kota Batu, ER, ditangkap ketika selepas mandi atau Akil Mochtar sedang belanja di Plaza dan juga Bupati Kutai Kartanegara. KPK dalam pembelaannya pasti mengatakan tindakan OTT berdasarkan SOP KPK. Namun demikian, peraturan pimpinan KPK dalam bentuk SOP tidak boleh bertentangan baik dengan UU (UU KPK, UU Tipikor, dan UU KUHAP).
Alasan bahwa KPK memiliki wewenang lex specialis telah ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) UU KPK karena prosedur khusus dalam UU lain tidak berlaku berdasarkan UU KPK, hanya ditentukan secara limitatif vide Pasal 12 UU KPK, tidak termasuk OTT yang penjebakan.
Artikel Prof Edy O Hiarej tentang OTT KPK (29 September 2017) telah membenarkan OTT KPK dan menyusun suatu justifikasi analogis terkait hasil OTT dengan percobaan melakukan tindak pidana (Pasal 53 KUHP).
Sedangkan dalam sistem hukum pidana Common Law S ystem dan Civil Law System , termasuk sistem hukum pidana Indonesia larangan analogi diharamkan (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dan lagi pula dua ketentuan, yaitu tertangkap tangan dan percobaan diatur dalam bab yang berbeda (tertangkap tangan dalam ketentuan umum Bab I; percobaan Bab II); dua kekeliruan telah dilakukan yaitu mempersamakan tertangkap tangan dan percobaan.
Sedangkan dalam percobaan disyaratkan telah ada perbuatan permulaan pelaksanaan yang telah dilakukan pelakunya. Sementara yang terjadi dalam praktik OTT KPK, perbuatan permulaan dimaksud justru dilakukan dan dipersiapkan penyelidik KPK sendiri/rekayasa.
Artikel Prof Edy fokus pada hasil OTT yang juga keliru disamakan dengan percobaan (Pasal 53 KUHP), sejatinya soal mendasar adalah OTT sebagai cara memperoleh bukti permulaan yang cukup.
Dalam pandangan saya justru cara yang keliru dan melanggar hukum karena perolehan hasilnya merupakan bukti yang diperoleh secara illegal atau illegal evidence dan illegal eividence is not evidence at all, demikian menurut Konvenan Hak-Hak Sipil dan Hak Politik PBB (1976).
Artikel tersebut telah membenarkan cara KPK melakukan OTT yang ilegal. Lebih jauh perlu dipersoalkan surat perintah OTT, apakah dalam surat perintah penyelidikan atau penyidikan karena merupakan dua subjek dengan tujuan berbeda menurut KUHAP. OTT KPK jelas dapat dipraperadilankan.
Guru Besar Emeritus Unpad
Operasi tangkap tangan yang populer dikenal dengan OTT oleh KPK telah ditempatkan sebagai posisi strategis bagi KPK dalam banyak kasus yang melibatkan pejabat tinggi/penyelenggara negara selama kurun waktu 2015-2017.
Awal pertama OTT terjadi pada kasus (alm) Mulyana W Kusumah dan berhasil sampai diputus pengadilan dalam kasus KPU dan berturut-turut pimpinan KPU lainnya. OTT yang sering didahului dengan penyadapan tentu dalam praktik lebih mudah daripada proses penyelidikan yang seharusnya dilakukan penyelidik KPK.
Mengapa? Karena setelah laporan masyarakat, maka penyelidik harus melaksanakan pengumpulan bukti dan keterangan (pulbaket) yang tidak mudah sampai memperoleh bukti permulaan yang cukup (Bukperckp).
Penyadapan memudahkan KPK untuk mengetahui siapa saja, dimana, dan waktu (akan) terjadi "transaksi", paling tidak KPK telah memiliki data tentang locus dan tempus delicti dengan mudah serta tinggal memperoleh barang bukti saja yang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi atau calon tersangka.
Semua perkara tipikor hasil OTT telah memperoleh putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dan selalu KPK dimenangkan sampai tingkat kasasi di MA.
Mengamati seluruh rangkaian peristiwa penanganan kasus tipikor oleh KPK melalui tindakan OTT, sukses diukur dari seberapa banyak perkara divonis bersalah dan pelakunya dihukum.
Namun, apakah telah sesuai dengan prinsip due process of law , masih perlu dipersoalkan. Pengertian tertangkap tangan (TT) menurut Pasal 1 angka 19 KUHAP adalah:
"tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera setelah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu."
Pengertian TT dimaksud adalah peristiwa seketika terjadi atau red-handed; bukan peristiwa yang telah lama diketahui aparat penegak hukum dan kemudian dilakukan penangkapan/penahanan.
Karena model tindakan terakhir ini termasuk tindakan penjebakan atau entrapment yang hanya diakui dan diperbolehkan dilakukan dalam UU RI Nomor 35/2009 Pasal 75 huruf (j), melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery ), didahului tindakan interdiksi terhadap peredaran gelap narkotika..., dan huruf (i) setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dilakukan penyadapan terkait penyalahgunaan dan peredaran narkotika ilegal.
Ketentuan UU Narkotika tersebut jelas memberikan wewenang penuh dalam penyidikan setelah memperoleh bukti permulaan untuk melakukan penyadapan sehingga terdapat kepastian hukum bahwa subjek yang ditangkap dan ditahan telah dijebak terlebih dulu dan dibenarkan UU.
Model tindakan hukum dalam UU Narkotika tersebut selain tidak diatur dan dilarang di UU RI Nomor 31/1999 yang diubah UU RI Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga termasuk konsep hukum interdiksi atau pengintaian yang hanya berlaku dalam UU Narkotika saja.
Praktik KPK dalam OTT telah menggunakan dua tindakan tersebut (interdiction and entrapment ) yang berarti penyidik KPK telah mengadopsi tanpa kewenangan yang telah dimiliki penyidik BNN; bahkan praktik KPK telah dilaksanakan dalam proses penyelidikan sehingga KPK telah melakukan tiga jenis tindakan yang melanggar UU (interdiction , entrapment , dan dalam proses penyelidikan).
Sedangkan dalam UU Narkotika tindakan tersebut hanya bisa dilaksanakan dalam proses penyidikan. OTT KPK yang tidak memiliki dasar hukum kuat dari aspek yuridis hukum pidana menimbulkan masalah pelanggaran prinsip due process of law , bahkan pelanggaran hak asasi tersangka terlepas dari putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena dalam sistem hukum pidana yang diakui universal diutamakan cara mencapai tujuan bukan tujuan menghalalkan segala cara termasuk pelanggaran hukum.
Putusan majelis hakim pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap telah memenangkan perkara tipikor tidak bisa dipersalahkan, akan tetapi putusan pengadilan tersebut telah melegalkan perbuatan ilegal OTT KPK dari kacamata sistem peradilan pidana sehingga tergolong ke dalam "peradilan sesat" atau miscarriage of justice.
Tindakan yang dikatakan sebagai OTT KPK justru sering dilakukan ketika calon tersangka tidak sedang melakukan tindak pidana dan tidak sedang menerima atau melekat padanya barang bukti hasil tipikor atau digunakan untuk melakukan tipikor.
Seperti kasus terakhir Wali Kota Batu, ER, ditangkap ketika selepas mandi atau Akil Mochtar sedang belanja di Plaza dan juga Bupati Kutai Kartanegara. KPK dalam pembelaannya pasti mengatakan tindakan OTT berdasarkan SOP KPK. Namun demikian, peraturan pimpinan KPK dalam bentuk SOP tidak boleh bertentangan baik dengan UU (UU KPK, UU Tipikor, dan UU KUHAP).
Alasan bahwa KPK memiliki wewenang lex specialis telah ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) UU KPK karena prosedur khusus dalam UU lain tidak berlaku berdasarkan UU KPK, hanya ditentukan secara limitatif vide Pasal 12 UU KPK, tidak termasuk OTT yang penjebakan.
Artikel Prof Edy O Hiarej tentang OTT KPK (29 September 2017) telah membenarkan OTT KPK dan menyusun suatu justifikasi analogis terkait hasil OTT dengan percobaan melakukan tindak pidana (Pasal 53 KUHP).
Sedangkan dalam sistem hukum pidana Common Law S ystem dan Civil Law System , termasuk sistem hukum pidana Indonesia larangan analogi diharamkan (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dan lagi pula dua ketentuan, yaitu tertangkap tangan dan percobaan diatur dalam bab yang berbeda (tertangkap tangan dalam ketentuan umum Bab I; percobaan Bab II); dua kekeliruan telah dilakukan yaitu mempersamakan tertangkap tangan dan percobaan.
Sedangkan dalam percobaan disyaratkan telah ada perbuatan permulaan pelaksanaan yang telah dilakukan pelakunya. Sementara yang terjadi dalam praktik OTT KPK, perbuatan permulaan dimaksud justru dilakukan dan dipersiapkan penyelidik KPK sendiri/rekayasa.
Artikel Prof Edy fokus pada hasil OTT yang juga keliru disamakan dengan percobaan (Pasal 53 KUHP), sejatinya soal mendasar adalah OTT sebagai cara memperoleh bukti permulaan yang cukup.
Dalam pandangan saya justru cara yang keliru dan melanggar hukum karena perolehan hasilnya merupakan bukti yang diperoleh secara illegal atau illegal evidence dan illegal eividence is not evidence at all, demikian menurut Konvenan Hak-Hak Sipil dan Hak Politik PBB (1976).
Artikel tersebut telah membenarkan cara KPK melakukan OTT yang ilegal. Lebih jauh perlu dipersoalkan surat perintah OTT, apakah dalam surat perintah penyelidikan atau penyidikan karena merupakan dua subjek dengan tujuan berbeda menurut KUHAP. OTT KPK jelas dapat dipraperadilankan.
(nag)