Indonesia Tak Mungkin Lupakan PKI

Jum'at, 29 September 2017 - 09:00 WIB
Indonesia Tak Mungkin Lupakan PKI
Indonesia Tak Mungkin Lupakan PKI
A A A
M Bambang Pranowo
Guru Besar UIN Ciputat, Rektor Universitas Mathla'ul Anwar Banten

Tahun 1973-1975, waktu bertugas di Pulau Buru sebagai rohaniawan, saya banyak berbincang dengan "orang-orang PKI" yang menjadi tapol di sana. Waktu pertama tiba di Pulau Buru, saya agak kaget karena ternyata tak sedikit orang PKI yang pengetahuan Islamnya lumayan. Saya bertanya, kenapa mereka ikut PKI? Alasannya karena PKI berjanji akan menyejahterakan kehidupan rakyat kecil seperti petani gurem dan buruh. PKI juga berjanji akan membagi-bagikan tanah pertanian yang saat itu dikuasai orang-orang kaya-tuan tanah, pengusaha, dan penguasa. Siapa yang tidak tertarik?

Soal ideologi PKI yang anti-Tuhan, banyak di antara mereka tidak tahu. Mereka hanya tertarik karena PKI berjanji akan memeratakan distribusi ekonomi. Padahal, bagi umat Islam soal anti-Tuhan ini sangat sensitif. Di Jawa Tengah, misalnya, tahun 64 dan awal 65, ketoprak dengan lakon "Patine Gusti Allah" sudah masuk ke desa-desa. Ketoprak bentukan para seniman Lekra ini saat itu seakan menguasai panggung di sebagian wilayah Pulau Jawa.

Sejumlah tapol di Pulau Buru sempat bercerita kepada saya, PKI memang berniat merebut kekuasaan. PKI ingin menjadikan Indonesia sebagai negara sosialis yang berkiblat ke Uni Soviet. Tapi sayangnya, PKI terburu-buru melaksanakan aksinya tanpa memperhitungkan kekuatan sendiri. Akibatnya, kami ini jadi korban.

Penghuni Pulau Buru memang bermacam-macam. Ada kader PKI tulen yang pantas dipulauburukan, ada pula kiai kampung yang sekadar simpatisan tanpa tahu apa itu PKI. Bahkan, ada pula yang dituduh PKI hanya karena salah seorang keluarganya aktif di PKI. Namun, satu hal yang jelas, seperti diceritakan tapol yang PKI tulen, tujuan partai komunis ini ingin menjadikan Indonesia sebagai negara sosialis komunis berkiblat ke Rusia. Jadi bohong besar kalau ada orang-orang dari keluarga aktivis PKI menyatakan Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi karena perselisihan intern di kalangan petinggi militer, khususnya di Angkatan Darat.

Korban peristiwa G30S PKI memang banyak. Namun, menurut Jenderal Abdul Haris Nasution, jika PKI menang niscaya jumlah korbannya di Indonesia lebih banyak lagi. Apa yang dikatakan Pak Nasution itu nyata-nyata terjadi di Uni Soviet, China, dan Kamboja. Dalam buku The Black Book of Communism-Crimes, Terror, Repression (Mark Kramer, editor) tersaji data pembantaian manusia oleh partai komunis yang sangat mengerikan dalam jumlah sangat fantastis. Selama lima tahun (1917-1923), Lenin membantai setengah juta manusia di Uni Soviet. Penggantinya, Stalin dari tahun 1925-1953, membantai 40 juta rakyat Rusia. Kemudian Mao Zedong di China (1947-1976), membunuh 40 juta rakyatnya demi tegaknya komunisme. Jangan lupa pula, Rejim Komunis Polpot di Kamboja (Khmer), selama 4 tahun (1975-1979) membantai 2,5 juta rakyat.

Sekarang bayangkan seandainya Indonesia dikuasai PKI? Berapa orang yang akan dibantai? Sebab di mana pun ketika komunisme berhasil menguasai sebuah negara, selalu terjadi pemusnahan manusia. Stephen Courtois-salah seorang kontributor tulisan dalam buku The Black Book of Communism-Crimes, Terror, Repression, misalnya, menyatakan bahwa orang-orang komunis di 72 negara telah membunuh 120 juta orang untuk menggapai kekuasaannya.

Dr. Mutiara, peneliti perbandingan ideologi, menyatakan satu-satunya ideologi yang mewariskan ajarannya dan juga "dendam"-nya dalam struktur keluarga hanya komunisme. Itulah sebabnya, setiap negara yang dikuasai komunisme, pembantaian massal merupakan "ritual" yang tak terelakkan.

Di Indonesia sendiri ambisi komunisme untuk menguasai pemerintahan ditunjukkan sejak tahun pertama proklamasi. Sejarah mencatat, baru dua bulan setelah Indonesia merdeka, PKI sudah berkhianat dan menusuk pemerintahan yang sah dari belakang. Pada tahun 1945, PKI melakukan sedikitnya delapan kali pengkhianatan dan teror terhadap pemerintahan yang sah.

Pertama, pada 8 Oktober 1945, Gerakan Bawah Tanah PKI membentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dengan tujuan menjatuhkan pemerintah yang sah. Kedua, pada 15 Oktober 1945, AMRI Slawi pimpinan Sakirman dan AMRI Talang pimpinan Kutil meneror menangkap dan membunuh sejumlah pejabat pemerintah di Tegal.

Ketiga, pada 17 Oktober 1945, tokoh komunis Banten Ce' Mamat yang terpilih sebagai Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) membentuk DPRS (Dewan Pemerintahan Rakyat Serang) dan merebut pemerintahan Keresidenan Banten melalui teror dengan kekuatan massanya. Keempat, pada 18 Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat yang dipimpin Tokoh Komunis Tangerang, Ahmad Khoirun, membentuk laskar yang diberi nama Ubel-Ubel dan mengambil alih kekuasaan pmerintahan Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara.

Kelima, pada 21 Oktober 1945, PKI dibangun kembali secara terbuka dengan tujuan untuk makar terhadap pemerintah. Keenam, pada 4 November 1945, API dan AMRI menyerbu Kantor Pemda Tegal dan Markas TKR, tapi gagal. Lalu, membentuk Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah untuk merebut kekuasaan di Keresidenan Pekalongan yang meliputi Brebes, Tegal, dan Pemalang.

Ketujuh, pada 9 Desember 1945, PKI Banten pimpinan Ce' Mamat menculik dan membunuh Bupati Lebak R. Hardiwinangun di Jembatan Sungai Cimancak. Kedelapan, pada 12 Desember 1945, Ubel-Ubel Mauk yang dinamakan Laskar Hitam di bawah pimpinan Usman membunuh tokoh nasional Oto Iskandar Dinata.

Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 sampai Muso kembali ke Indonesia (1948), setelah "sekolah Marxisme dan Leninisme" di Uni Soviet se­lama 12 tahun, gerakan komunis terus melakukan berbagai upaya merebut kekuasaan. Begitu Muso pulang, gerakan komunis makin intensif. Pada Juli 1948, Muso menggalang pemogokan buruh di Klaten. Pada Agustus 1948, PKI membakar pameran HUT RI ke-3 di Taman Sriwedari, Surakarta. Pada September 1948, Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo dan dua perwira polisi dicegat massa PKI di Ngawi dan dibunuh serta jenazahnya dibuang di dalam hutan. Pada bulan yang sama, PKI menculik para kiai Pesantren Takeran di Magetan. KH Sulaiman Zuhdi Affandi digelandang secara keji oleh PKI dan dikubur hidup-hidup di sumur pembantaian Desa Koco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Di sumur tersebut, kemudian ditemukan 108 kerangka jenazah korban kebiadaban PKI.

Selain itu, ratusan orang ditangkap dan dibantai PKI di Pabrik Gula Gorang Gareng. Puncaknya, pada 18 September 1948, Kolonel Djokosujono dan Sumarsono mendeklarasikan Negara Republik Soviet Indonesia dengan Muso sebagai Presiden dan Amir Syarifoeddin Harahap sebagai Perdana Menteri. Sehari setelah deklarasi tersebut, PKI merebut Madiun, lalu menguasai Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Sukoharjo, Wonogiri, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang, Cepu, serta kota-kota lainnya. Ribuan orang tewas selama PKI menguasai daerah-daerah itu. Pemberontakan ini baru berakhir pada 30 Oktober 1948, ketika Muso, Amir Syarifuddin, Suripno, Djokosujono, Maruto Darusman, Sajogo, dan pimpinan PKI yang lain ditangkap dan kemudian dihukum mati.

Gambaran di atas menunjukkan bagaimana karakter PKI. Ia terus merongrong NKRI mulai dari lahir (merdeka) sampai sekarang. Meski sudah dibubarkan dan dilarang keberadaannya di Indonesia, PKI terus mencoba hidup lagi de­ngan berbagai cara. Benar, komunisme global secara ideologi telah tergilas kapitalisme, tapi karakter PKI yang terus merongrong NKRI masih terus ada.

Orang-orang yang berdalih PKI sudah tidak berbahaya karena ideologinya telah mati sejak hancurnya Uni Soviet dan me­rebaknya kapitalisme di China, mereka jelas-jelas menihilkan fakta bahwa Ku Klux Kan dan Neo Nazi-keduanya sudah terlarang di Amerika dan Jerman-sampai sekarang masih berusaha untuk hidup. Sejumlah peristiwa pembunuhan dan terorisme di Amerika dan Jerman, misalnya, dilakukan dua kelompok terlarang tersebut.

Karena itu, kita bangsa Indonesia tetap harus waspada terhadap bahaya laten komunisme. Sejarah Indonesia tak akan pernah bisa menghapus dan melupakan peristiwa G30S PKI.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8923 seconds (0.1#10.140)