Preseden Pengembalian Blok East Natuna

Rabu, 27 September 2017 - 08:15 WIB
Preseden Pengembalian...
Preseden Pengembalian Blok East Natuna
A A A
Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi UGM dan mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas

BERDASARKAN kajian keekonomian dari delapan blok minyak dan gas (migas) yang ditugaskan pemerintah kepada Pertamina hanya Blok East Natuna (BEN) yang tidak ekonomis dengan menggunakan skema Gross Split Contract (GSC). Padahal cadangan Gas BEN diproyeksikan yang paling besar mencapai se­kitar 226 trillion cubic feet (TCF), tapi kandungan CO2 juga tinggi sekitar 72%.

Sedangkan ketujuh blok migas terdiri dari Sanga-sanga, South East Sumatra, Ogan Komering, Tuban, Attaka, NSO, dan Tengah, dinilai masih ekonomis dengan menggunakan skema GSC. Awalnya BEN akan dikembangkan oleh konsorsium terdiri atas Pertamina, ExxonMobil, dan PTT Thailand, dengan menggunakan skema production sharing contract (PSC).

Dengan skema PSC, konsorsium yang dipimpin Pertamina menargetkan produksi antara 7.000 hingga 15.000 barrel per day (BOD). Namun, dengan berlakunya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 8/2017 tentang GSC, konsorsium harus mengubah skema kontrak dari PSC menjadi GSC. Perubahan itu yang menjadi salah satu pemicu bagi ExxonMobil untuk hengkang dari konsorsium.

Perubahan skema kontrak dan mundurnya ExxonMobil sebagai anggota konsorsium memang menyulitkan bagi Pertamina untuk mengelola BEN. Terlebih, dengan skema GSC, Pertamina tidak lagi memperoleh penggantian investasi (capex) dan biaya operasi (opex) dalam cost recovery. Pertamina juga harus mengeluarkan biaya pemulihan tambang yang dikenal dengan abandonment site restoration (ASR). Hasil kajian keekonomian menyebutkan penggunaan GSC dan adanya ASR yang menyebabkan BEN tidak ekonomis sehingga Pertamina meminta waktu kepada Menteri ESDM untuk mengkaji ulang keekonomian BEN.

Rupanya Kementerian ESDM tidak berkenan memberikan waktu tambahan bagi Pertamina untuk melakukan kajian ulang. Melalui Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, Pertamina tidak perlu lagi melakukan kajian ulang keekonomian, tapi lebih baik BEN segera dikembalikan ke pemerintah.

Arcandra juga mengemukakan, Kementerian ESDM akan segera melelang BEN begitu Pertamina sudah mengembalikan kepada pemerintah, mengingat peminat yang banyak untuk mengelola BEN.

Preseden Buruk

Pengembalian BEN itu akan memberikan preseden buruk tidak hanya bagi Pertamina, tetapi juga bagi pemerintah, terutama dalam upaya memberlakukan skema GSC bagi kontraktor untuk semua kontrak lahan migas yang baru.

Pengembalian satu lahan migas yang tidak ekonomis dari delapan lahan migas dapat menorehkan citra bahwa Pertamina hanya akan menjalankan penugasan pemerintah untuk mengelola lahan migas yang menguntungkan secara ekonomis. Sedangkan lahan migas yang diproyeksikan tidak menguntungkan, Pertamina akan mengembalikannya kepada pemerintah.

Padahal sebagai BUMN yang 100% sahamnya dikuasai pemerintah, selain harus mencetak laba untuk menyetor dividen kepada pemegang saham, Pertamina juga diwajibkan menjalankan penugasan pemerintah yang acap kali merugikan Pertamina.

Selain itu, dalam kebijakan penerapan GSC, Pertamina diharapkan sebagai perintis untuk memulai penerapan GSC sebelum kontraktor lain yang sebagian besar masih wait and see dalam menggunakan GSC. Kalau pengembalian BEN karena tidak ekonomis, salah satunya disebabkan penerapan GSC akan membuat kontraktor lain semakin tidak tertarik menggunakan skema GSC.

Kontraktor akan mengatakan bahwa Pertamina tidak tertarik menggunakan skema GSC, apalagi kontraktor lainnya. Sebagai perintis penggunaan GSC, Pertamina mestinya membuktikan lebih dulu bahwa skema GSC lebih flesksibel, efisien, dan tetap menguntungkan.

Tidak ada alasan bagi pemerintah menolak permintaan tambahan waktu Pertamina dalam mengkaji keekonomian BEN. Bukan malah mendesak Pertamina agar segera mengembalikan BEN dalam tempo sesingkatnya. Berikan waktu kepada Pertamina untuk menghitung ulang dengan memasukkan variabel kenaikan besaran bagi hasil hingga 5% seperti diatur dalam Permen ESDM.

Pemerintah juga harus mempertimbangkan penurunan biaya ASR hingga pengelolaan BEN bisa mencapai keekonomian. Setelah memutuskan memberikan pengelolaan lahan migas kepada Pertamina, pemerintah semestinya memberikan keleluasaan bagi Pertamina mencari ganti partnership yang baru dalam konsorsium secara Business to Business (B2B), bukan melelangnya untuk mendapatkan kontraktor baru.

Penugasan pemerintah mengelola lahan migas kepada Pertamina di negerinya sendiri sesungguhnya sebagai salah satu upaya mencapai kedaulatan energi seperti yang diamanahkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Apalagi setelah lebih setengah abad, pengelolaan lahan migas selalu didominasi kontraktor asing hingga mencapai 89%.

Pemberian prioritas kepada Pertamina untuk mengambil alih lahan migas dari kontraktor asing yang sudah habis masa kontraknya dan pemberian lahan migas baru akan memberikan kesempatan bagi Pertamina mengelola kekayaan alam bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, seperti yang diamanahkan konstitusi. Kalau dasarnya konstitusi, sesungguhnya pamali bagi Pertamina mengembalikan lahan migas yang sudah diserahkan kepada Pertamina sebagai penugasan pengelolaan lahan migas.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0605 seconds (0.1#10.140)