Mencermati Singapura
A
A
A
Prof Dr Tirta N Mursitama, PhD
Ketua Departemen Hubungan Internasional Binus University, Analis Senior KENTA Institute
Terpilihnya Halimah Yacob, 63, sebagai presiden Singapura untuk 6 tahun ke depan menuai kontroversi. Paling tidak bila dilihat dari beberapa hal. Pertama, aturan konstitusi yang hanya memberikan kesempatan kepada etnik Melayu menjadi presiden pada periode kali ini. Kedua, Halimah menduduki jabatan presiden tanpa pemilihan suara karena kandidat lain tidak memenuhi syarat. Ketiga, publik Singapura menyebutnya sebagai reserved election (pemilihan yang telah disiapkan tanpa bertanding) sehingga mencederai proses pemilihan presiden yang tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Tulisan ini berupa analisis tentang bagaimana mencermati peristiwa ini dalam konteks perkembangan Singapura di tengah semakin menguatnya sistem demokrasi liberal di ranah global.
Dua Pandangan
Terdapat dua sudut pandang yang dapat digunakan untuk menjelaskan kontroversi tersebut. Pertama, pandangan demokrasi liberal yang menjamin hak-hak warga negara dan kebebasan yang mereka miliki dalam konstitusi negara. Dalam kaitan ini termasuk berpartisipasi dalam pemilihan umum baik di tingkat lokal maupun secara nasional.
Bila mengikuti pandangan ini, peristiwa pemilihan presiden di Singapura kali ini jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi liberal. Warga negara Singapura tidak dapat menyampaikan aspirasi untuk memilih pemimpinnya. Hal ini juga bukan kabar yang baik bagi para aktivis prodemokrasi karena terjadi pengebirian hak dasar individu.
Beberapa sentimen yang muncul dapat digunakan sebagai ilustrasi. Beberapa netizen mengkritik pemerintah karena tidak tersalurkan hak pilih mereka. Sementara di sisi lain, muncul kekecewaan di kalangan etnik Melayu karena merasa tidak ada gunanya berjuang meraih mimpi-mimpi yang menjadi hak mereka sebagai etnik minoritas Melayu ketika di tingkat nasional ternyata etnik Melayu diberi giliran sebagai presiden tanpa pemilihan.
Kritikan dan kekecewaan warga Singapura dalam konteks semakin menguatnya demokrasi liberal diperjuangkan belakangan ini, memang bisa dipahami. Namun sejarah pembangunan ekonomi dan politik Singapura dari merdeka hingga dekade 1990-an semestinya tidak membuat kita heran terhadap fenomena ini. Peristiwa ini biasa saja karena memang negara ini tidak menganut asas demokrasi liberal.
Singapura menjadi salah satu negara penting yang dijuluki Asian Tiger yang menandai East Asian Economic Miracle pada dekade 1980-an karena keberhasilannya mengontrol ketat stabilitas politik dan redistribusi sumber daya ekonominya. Kepemimpinan perdana menteri yang kuat termanifestasi dalam satu negara pembangunan (developmental state) yang membawa Singapura maju dan sangat kompetitif di antara negara-negara lain.
Kedua, pandangan yang mengaitkan antara etnik dan demokrasi. Banyak varian yang berkembang antara lain consociational democracy (Lipjhart, 1969, 1977) hingga integrative approach dari Horowitz (1985; 1991) atau centripetalism (Reily, 2001; Horowitz, 2014). Dengan berbagai variasi pengertian di antara terminologi tersebut, namun pada intinya, pandangan-pandangan ini berusaha memperhitungkan keberadaan etnik dalam kehidupan demokrasi pada sebuah negara untuk mengurangi atau menghilangkan konflik politik yang tajam.
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengakomodasi etnik tertentu dalam sistem politik negara tersebut untuk mencapai tujuan negara. Tujuan tersebut bisa beragam antara lain kestabilan politik, redistribusi kekuasaan dan sumber daya ekonomi yang pada gilirannya mencapai kesejahteraan rakyat. Sepertinya dalam konteks ini, pandangan kedua lebih tepat digunakan untuk memandang terpilihnya Halimah Yacob sebagai Presiden Singapura enam tahun ke depan dengan tanpa pemilihan.
Sebagai negara yang mayoritas etnisnya adalah Chinese, lalu diikuti India, Singapura hanya memiliki etnis Melayu sebesar 13% sehingga menjadi minoritas. Hubungan antaretnis inilah yang mereka jaga. Konstitusi pun terakhir kali diubah untuk memberikan kesempatan etnik Melayu menjadi presiden berikutnya. Di sini tampak bahwa peristiwa seputar pemilihan presiden ini tidak bisa dilepaskan dari ciri khas sosial budaya, ekonomi, dan politik Singapura selama ini.
Arti Strategis
Adakah arti strategis yang bisa dipelajari dari peristiwa ini? Sosok pribadi Halimah Yacoblah yang menjadi kunci. Rekam jejak yang bagus dan integritasnya telah teruji sebagai anak beretnik Melayu lahir dari ayah seorang keturunan India dan ibu Melayu. Halimah berjuang sejak kecil bersama ibundanya yang telah ditinggal ayahandanya meninggal sejak Halimah berusia 5 tahun. Mereka berjualan makanan untuk bertahan hidup hingga Halimah meneruskan kuliah sarjana dan pascasarjana di National University of Singapore.
Pada masa krisis global melanda Asia pada akhir 1990-an, Halimah gigih membela hak-hak buruh Singapura yang juga sangat tertekan akibat krisis. Sebagai aktivis perempuan pembela hak kaum minoritas pun konsisten dilakukan. Karier politiknya pun terus berlanjut hingga mencapai puncak menjadi ketua parlemen Singapura mewakili People’s Action Party (PAP), partai penguasa. Jabatan publik prestius ini yang mengantarnya memenuhi persyaratan sebagai kandidat presiden dari sektor publik.
Pendeknya, Halimah Yacob telah melewati ujiannya sendiri sebagai pribadi dalam kehidupan keluarganya maupun dalam kehidupan politik di ranah publik hingga menjadi presiden. Terlepas dari sistem politik Singapura yang sepertinya memuluskan menjadi presiden, tetapi kualitas pribadi Halimah Yacob sangat layak menjadi presiden Singapura yang baru.
Halimah representasi triple minority, yaitu perempuan, Melayu, dan muslim. Bagi negeri multietnis seperti Singapura, hal ini sempurna. Atribut ini yang semestinya dapat dimanfaatkan oleh Singapura ke dalam (domestik) dan ke luar (regional dan internasional). Posisi presiden yang merupakan simbol bukan berarti tidak strategis bagi Halimah maupun Singapura. Urusan domestik memang lebih banyak ditentukan perdana menteri, tetapi sebagai penjaga akhir harta/aset negara (national reserves) perlu otoritas presiden untuk melindunginya.
Secara regional, leverage Singapura dapat ditingkatkan untuk terlibat lebih aktif dalam misi kemanusiaan dan perdamaian seperti mengatasi konflik perbatasan, terorisme, dan masalah etnis di Asia Tenggara. Hal ini memang terlihat utopia tetapi mempertimbangkan sosok pribadi Halimah, kontribusi seperti itu bukannya tidak mungkin dilakukan. Apalagi, bila Halimah ingin dingat memiliki legacy penting yang dikenang sepanjang sejarah Singapura.
Bagi Indonesia yang bisa dipikirkan dari peristiwa Pemilihan Presiden Singapura adalah bagaimana mengelola sistem politik Indonesia berdasarkan nilai-nilai sosial budaya yang telah tumbuh berkembang sepanjang sejarah nusantara yang multietnis ini secara adil tanpa mencederai hak-hak individu atau kelompok yang berasal dari etnis tertentu. Bukannya belajar menghalalkan cara-cara nondemokratis dalam proses pemilihan presiden untuk kepentingan kelompok tertentu.
Ketua Departemen Hubungan Internasional Binus University, Analis Senior KENTA Institute
Terpilihnya Halimah Yacob, 63, sebagai presiden Singapura untuk 6 tahun ke depan menuai kontroversi. Paling tidak bila dilihat dari beberapa hal. Pertama, aturan konstitusi yang hanya memberikan kesempatan kepada etnik Melayu menjadi presiden pada periode kali ini. Kedua, Halimah menduduki jabatan presiden tanpa pemilihan suara karena kandidat lain tidak memenuhi syarat. Ketiga, publik Singapura menyebutnya sebagai reserved election (pemilihan yang telah disiapkan tanpa bertanding) sehingga mencederai proses pemilihan presiden yang tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Tulisan ini berupa analisis tentang bagaimana mencermati peristiwa ini dalam konteks perkembangan Singapura di tengah semakin menguatnya sistem demokrasi liberal di ranah global.
Dua Pandangan
Terdapat dua sudut pandang yang dapat digunakan untuk menjelaskan kontroversi tersebut. Pertama, pandangan demokrasi liberal yang menjamin hak-hak warga negara dan kebebasan yang mereka miliki dalam konstitusi negara. Dalam kaitan ini termasuk berpartisipasi dalam pemilihan umum baik di tingkat lokal maupun secara nasional.
Bila mengikuti pandangan ini, peristiwa pemilihan presiden di Singapura kali ini jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi liberal. Warga negara Singapura tidak dapat menyampaikan aspirasi untuk memilih pemimpinnya. Hal ini juga bukan kabar yang baik bagi para aktivis prodemokrasi karena terjadi pengebirian hak dasar individu.
Beberapa sentimen yang muncul dapat digunakan sebagai ilustrasi. Beberapa netizen mengkritik pemerintah karena tidak tersalurkan hak pilih mereka. Sementara di sisi lain, muncul kekecewaan di kalangan etnik Melayu karena merasa tidak ada gunanya berjuang meraih mimpi-mimpi yang menjadi hak mereka sebagai etnik minoritas Melayu ketika di tingkat nasional ternyata etnik Melayu diberi giliran sebagai presiden tanpa pemilihan.
Kritikan dan kekecewaan warga Singapura dalam konteks semakin menguatnya demokrasi liberal diperjuangkan belakangan ini, memang bisa dipahami. Namun sejarah pembangunan ekonomi dan politik Singapura dari merdeka hingga dekade 1990-an semestinya tidak membuat kita heran terhadap fenomena ini. Peristiwa ini biasa saja karena memang negara ini tidak menganut asas demokrasi liberal.
Singapura menjadi salah satu negara penting yang dijuluki Asian Tiger yang menandai East Asian Economic Miracle pada dekade 1980-an karena keberhasilannya mengontrol ketat stabilitas politik dan redistribusi sumber daya ekonominya. Kepemimpinan perdana menteri yang kuat termanifestasi dalam satu negara pembangunan (developmental state) yang membawa Singapura maju dan sangat kompetitif di antara negara-negara lain.
Kedua, pandangan yang mengaitkan antara etnik dan demokrasi. Banyak varian yang berkembang antara lain consociational democracy (Lipjhart, 1969, 1977) hingga integrative approach dari Horowitz (1985; 1991) atau centripetalism (Reily, 2001; Horowitz, 2014). Dengan berbagai variasi pengertian di antara terminologi tersebut, namun pada intinya, pandangan-pandangan ini berusaha memperhitungkan keberadaan etnik dalam kehidupan demokrasi pada sebuah negara untuk mengurangi atau menghilangkan konflik politik yang tajam.
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengakomodasi etnik tertentu dalam sistem politik negara tersebut untuk mencapai tujuan negara. Tujuan tersebut bisa beragam antara lain kestabilan politik, redistribusi kekuasaan dan sumber daya ekonomi yang pada gilirannya mencapai kesejahteraan rakyat. Sepertinya dalam konteks ini, pandangan kedua lebih tepat digunakan untuk memandang terpilihnya Halimah Yacob sebagai Presiden Singapura enam tahun ke depan dengan tanpa pemilihan.
Sebagai negara yang mayoritas etnisnya adalah Chinese, lalu diikuti India, Singapura hanya memiliki etnis Melayu sebesar 13% sehingga menjadi minoritas. Hubungan antaretnis inilah yang mereka jaga. Konstitusi pun terakhir kali diubah untuk memberikan kesempatan etnik Melayu menjadi presiden berikutnya. Di sini tampak bahwa peristiwa seputar pemilihan presiden ini tidak bisa dilepaskan dari ciri khas sosial budaya, ekonomi, dan politik Singapura selama ini.
Arti Strategis
Adakah arti strategis yang bisa dipelajari dari peristiwa ini? Sosok pribadi Halimah Yacoblah yang menjadi kunci. Rekam jejak yang bagus dan integritasnya telah teruji sebagai anak beretnik Melayu lahir dari ayah seorang keturunan India dan ibu Melayu. Halimah berjuang sejak kecil bersama ibundanya yang telah ditinggal ayahandanya meninggal sejak Halimah berusia 5 tahun. Mereka berjualan makanan untuk bertahan hidup hingga Halimah meneruskan kuliah sarjana dan pascasarjana di National University of Singapore.
Pada masa krisis global melanda Asia pada akhir 1990-an, Halimah gigih membela hak-hak buruh Singapura yang juga sangat tertekan akibat krisis. Sebagai aktivis perempuan pembela hak kaum minoritas pun konsisten dilakukan. Karier politiknya pun terus berlanjut hingga mencapai puncak menjadi ketua parlemen Singapura mewakili People’s Action Party (PAP), partai penguasa. Jabatan publik prestius ini yang mengantarnya memenuhi persyaratan sebagai kandidat presiden dari sektor publik.
Pendeknya, Halimah Yacob telah melewati ujiannya sendiri sebagai pribadi dalam kehidupan keluarganya maupun dalam kehidupan politik di ranah publik hingga menjadi presiden. Terlepas dari sistem politik Singapura yang sepertinya memuluskan menjadi presiden, tetapi kualitas pribadi Halimah Yacob sangat layak menjadi presiden Singapura yang baru.
Halimah representasi triple minority, yaitu perempuan, Melayu, dan muslim. Bagi negeri multietnis seperti Singapura, hal ini sempurna. Atribut ini yang semestinya dapat dimanfaatkan oleh Singapura ke dalam (domestik) dan ke luar (regional dan internasional). Posisi presiden yang merupakan simbol bukan berarti tidak strategis bagi Halimah maupun Singapura. Urusan domestik memang lebih banyak ditentukan perdana menteri, tetapi sebagai penjaga akhir harta/aset negara (national reserves) perlu otoritas presiden untuk melindunginya.
Secara regional, leverage Singapura dapat ditingkatkan untuk terlibat lebih aktif dalam misi kemanusiaan dan perdamaian seperti mengatasi konflik perbatasan, terorisme, dan masalah etnis di Asia Tenggara. Hal ini memang terlihat utopia tetapi mempertimbangkan sosok pribadi Halimah, kontribusi seperti itu bukannya tidak mungkin dilakukan. Apalagi, bila Halimah ingin dingat memiliki legacy penting yang dikenang sepanjang sejarah Singapura.
Bagi Indonesia yang bisa dipikirkan dari peristiwa Pemilihan Presiden Singapura adalah bagaimana mengelola sistem politik Indonesia berdasarkan nilai-nilai sosial budaya yang telah tumbuh berkembang sepanjang sejarah nusantara yang multietnis ini secara adil tanpa mencederai hak-hak individu atau kelompok yang berasal dari etnis tertentu. Bukannya belajar menghalalkan cara-cara nondemokratis dalam proses pemilihan presiden untuk kepentingan kelompok tertentu.
(zik)