Negara & Layanan Kesehatan
A
A
A
Nurul Ghufron
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember
PROFESIONAL kesehatan merupakan manusia mulia, dia sebagian kecil manusia terpilih yang beriktikad mendedikasikan diri bagi sehat dan selamatnya orang lain. Di hadapan tenaga medis, kesehatan dan keselamatan jiwa adalah yang utama dan segalanya.
Rumah sakit di mana tenaga medis bekerja, bukan sekadar berkumpulnya profesional dan ahli kesehatan yang terampil dengan segala sarana prasarananya. Namun lebih dari itu, rumah sakit adalah akumulasi spirit dan etik para manusia mulia yang mencintai dan berdedikasi pada kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, karenanya pantas tenaga medis mulia di hadapan Tuhan.
Dalam struktur ketatanegaraan tenaga medis juga memiliki posisi yang mulia, dia pengejawantah tujuan negara dalam melindungi hak dasarnya. Negara kita memandang bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pasal 28 H Ayat (1) UUD NKRI 1945 menegaskan: ”setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”, kemudian dalam Pasal 34 Ayat (3) dinyatakan: ”negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Pemuliaan negara terhadap insan medis telah begitu besar mulai regulasi yang begitu kuat, hak keuangan dan administrasi yang begitu besar.
Karena itu, negara juga harus memastikan bahwa warga negara akan mendapat layanan kesehatan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan.
Namun pada Minggu (3/9) ini, kembali kita dientakkan berita meninggalnya seorang bayi karena layanan kesehatan yang diperlukan tidak diberikan karena tidak mampu membayar. Bayi malang Tiara Debora, putri pasangan suami istri Henny Silalahi dan Rudianto Simanjorang semestinya masuk pediatric intensive care unit (PICU), demikian saran dokter jaga.
Namun karena sang orang tua tak mampu membayar biaya administrasi sekitar Rp19 juta, pihak rumah sakit tidak memberikan layanan tersebut sebelum dibayar. Ibaan orang tua pada pukul 03.00 WIB yang sedang kebingungan antara keselamatan jiwa dan biaya, tak mampu meruntuhkan keangkuhan hukum ekonomi dari jasa, bayar dulu layanan kemudian. Akhirnya bayi mungil Debora mengembuskan napas terakhir.
Dalam pandangan Kepala Dinkes DKI Jakarta Koesmedi Priharto, dalam fase gawat darurat penanganan tidak ada kesalahan. Namun setelah dokter memberi pelayanan medis, disarankan perlu dipindahkan ke ruang PICU. Saat proses pindah ke ruang PICU itulah, orang tua Debora harus mengurus administrasi pembiayaan, membayar 50% agar Debora bisa dipindahkan.
Orang tua Debora tidak mampu menyediakan biaya pada saat itu juga dan berjanji untuk memenuhinya siang harinya, tapi permohonan itu tidak dikabulkan, Debora tidak dipindahkan ke uang PICU. Selain itu, pihak rumah sakit juga lalai karena meminta keluarga Debora mencari rumah sakit untuk rujukan. Mencari rumah sakit rujukan itu seharusnya menjadi tugas rumah sakit, bukan pasien.
Bagaimanapun kasus ini telah merenggut nyawa Debora, secara hukum perlu dipertanggungjawabkan. Negara harus progresif tidak boleh membiarkan masyarakat yang secara ekonomi dan posisi lemah di hadapan rumah sakit, memperjuangkan sendiri hak kesehatannya melawan rumah sakit.
Secara hukum kelalaian rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata, pidana, ataupun administrasi. Namun, perselisihan antara pasien dan rumah sakit adalah perselisihan yang tidak imbang. Pada umumnya masyarakat dalam posisi yang lemah dalam berbagai aspek, baik ekonomi, pengetahuan, maupun posisi karena kebutuhan layanan. Untuk itu, negara harus hadir. Negara melalui aparaturnya harus lebih sensitif untuk aktif melindungi dan melayani pembelaan hak kesehatan warganya.
Kelalaian rumah sakit sebagaimana disampaikan oleh Kepala Dinkes DKI tersebut, dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan: Pertama, UU Kesehatan Pasal 190 Ayat (1) yaitu ”pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Ayat (2) atau Pasal 85 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.
Dalam hal mengakibatkan kecacatan atau kematian dalam Ayat (2) dinyatakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar, di mana Pasal 32 Ayat (2) menegaskan bahwa ”dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/ atau meminta uang muka”. Pasal 85 Ayat (2) menegaskan bahwa ”fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu”.
Kedua, dalam kasus ini, perawat sudah meminta izin kepada atasannya dan atas perintah atasan Debora tidak dimasukkan PICU, artinya perbuatan perawat bukan lagi perbuatan pribadi, tapi perbuatan sistemik yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan korporasi (rumah sakit). Dalam hal korporasi, Pasal 201 Ayat (1) menegaskan ”dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 Ayat (1) dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan tiga kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 Ayat (1).
Kemudian pada Ayat (2) menyatakan, ”selain pidana denda korporasi tersebut dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum.
Kasus rendahnya sensitivitas layanan kesehatan berhadapan dengan faktor ekonomi bukan hanya satu kali ini, telah banyak kasus sebelumnya. Kasus ini juga harus dilihat sebagai kegagalan negara dalam meregulasi dan mengawasi guna memastikan layanan kesehatan oleh rumah sakit yang sesuai standar bagi.
Rumah sakit beroperasi atas izin, maka pemerintah sebagai pemberi izin berkewajiban untuk mengawasi layanan kesehatan standar operasional prosedur kesehatan (SOP). Jadi, kalau ada rumah sakit yang tidak sesuai SOP, adalah kelemahan pengawasan oleh pemerintah yang harus dipertanggungjawabkan pula.
Posisi kepala Dinas Kesehatan DKI yang proaktif mendatangi rumah sakit sebelum meminta klarifikasi dari orang tua selaku pengadu, sangat memprihatinkan. Dia seakan berdiri di depan untuk melindungi rumah sakit. Negara harus hadir untuk melindungi yang lemah, bukan sebaliknya.
Untuk itu, ke depan diharapkan; pertama, aparat yang berwenang baik dari teknis kesehatan maupun aparat hukum harus progresif. Jangan biarkan orang tua Debora mencari dan mengais keadilan atas meninggalnya putrinya tersebut sendirian. Baik dari sisi pidana maupun aspek gugatan keperdataan.
Tidak mungkin masyarakat yang tidak mampu untuk membiayai layanan kesehatannya akan mampu untuk membiayai gugatan perdata kepada rumah sakit. Demikian halnya aparat penegak hukum, penyidik dalam kasus yang sudah menjadi pengetahuan umum ini harus secara proaktif menunjukkan perlindungannya bagi masyarakat.
Kasus ini bukan jenis delik aduan yang tidak perlu menunggu laporan, apalagi pengaduan korban. Kedua, karena itu ke depan kementerian kesehatan harus aktif untuk memonitor dan mengevaluasi guna memastikan standard operating procedure (SOP) rumah sakit menempatkan keselamatan dan kesehatan menjadi yang utama, bukan biaya.
Selama ini rumah sakit masih banyak yang berorientasi bisnis di atas sakitnya orang sehingga kehilangan ruh kemuliaannya sebagai penyelamat jiwa manusia. Langkah negara dalam menegakkan hukum terhadap kelalaian rumah sakit bukan saja menyembuhkan luka korban, juga sebagai langkah preventif guna melindungi warga.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember
PROFESIONAL kesehatan merupakan manusia mulia, dia sebagian kecil manusia terpilih yang beriktikad mendedikasikan diri bagi sehat dan selamatnya orang lain. Di hadapan tenaga medis, kesehatan dan keselamatan jiwa adalah yang utama dan segalanya.
Rumah sakit di mana tenaga medis bekerja, bukan sekadar berkumpulnya profesional dan ahli kesehatan yang terampil dengan segala sarana prasarananya. Namun lebih dari itu, rumah sakit adalah akumulasi spirit dan etik para manusia mulia yang mencintai dan berdedikasi pada kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, karenanya pantas tenaga medis mulia di hadapan Tuhan.
Dalam struktur ketatanegaraan tenaga medis juga memiliki posisi yang mulia, dia pengejawantah tujuan negara dalam melindungi hak dasarnya. Negara kita memandang bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pasal 28 H Ayat (1) UUD NKRI 1945 menegaskan: ”setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”, kemudian dalam Pasal 34 Ayat (3) dinyatakan: ”negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Pemuliaan negara terhadap insan medis telah begitu besar mulai regulasi yang begitu kuat, hak keuangan dan administrasi yang begitu besar.
Karena itu, negara juga harus memastikan bahwa warga negara akan mendapat layanan kesehatan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan.
Namun pada Minggu (3/9) ini, kembali kita dientakkan berita meninggalnya seorang bayi karena layanan kesehatan yang diperlukan tidak diberikan karena tidak mampu membayar. Bayi malang Tiara Debora, putri pasangan suami istri Henny Silalahi dan Rudianto Simanjorang semestinya masuk pediatric intensive care unit (PICU), demikian saran dokter jaga.
Namun karena sang orang tua tak mampu membayar biaya administrasi sekitar Rp19 juta, pihak rumah sakit tidak memberikan layanan tersebut sebelum dibayar. Ibaan orang tua pada pukul 03.00 WIB yang sedang kebingungan antara keselamatan jiwa dan biaya, tak mampu meruntuhkan keangkuhan hukum ekonomi dari jasa, bayar dulu layanan kemudian. Akhirnya bayi mungil Debora mengembuskan napas terakhir.
Dalam pandangan Kepala Dinkes DKI Jakarta Koesmedi Priharto, dalam fase gawat darurat penanganan tidak ada kesalahan. Namun setelah dokter memberi pelayanan medis, disarankan perlu dipindahkan ke ruang PICU. Saat proses pindah ke ruang PICU itulah, orang tua Debora harus mengurus administrasi pembiayaan, membayar 50% agar Debora bisa dipindahkan.
Orang tua Debora tidak mampu menyediakan biaya pada saat itu juga dan berjanji untuk memenuhinya siang harinya, tapi permohonan itu tidak dikabulkan, Debora tidak dipindahkan ke uang PICU. Selain itu, pihak rumah sakit juga lalai karena meminta keluarga Debora mencari rumah sakit untuk rujukan. Mencari rumah sakit rujukan itu seharusnya menjadi tugas rumah sakit, bukan pasien.
Bagaimanapun kasus ini telah merenggut nyawa Debora, secara hukum perlu dipertanggungjawabkan. Negara harus progresif tidak boleh membiarkan masyarakat yang secara ekonomi dan posisi lemah di hadapan rumah sakit, memperjuangkan sendiri hak kesehatannya melawan rumah sakit.
Secara hukum kelalaian rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata, pidana, ataupun administrasi. Namun, perselisihan antara pasien dan rumah sakit adalah perselisihan yang tidak imbang. Pada umumnya masyarakat dalam posisi yang lemah dalam berbagai aspek, baik ekonomi, pengetahuan, maupun posisi karena kebutuhan layanan. Untuk itu, negara harus hadir. Negara melalui aparaturnya harus lebih sensitif untuk aktif melindungi dan melayani pembelaan hak kesehatan warganya.
Kelalaian rumah sakit sebagaimana disampaikan oleh Kepala Dinkes DKI tersebut, dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan: Pertama, UU Kesehatan Pasal 190 Ayat (1) yaitu ”pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Ayat (2) atau Pasal 85 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.
Dalam hal mengakibatkan kecacatan atau kematian dalam Ayat (2) dinyatakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar, di mana Pasal 32 Ayat (2) menegaskan bahwa ”dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/ atau meminta uang muka”. Pasal 85 Ayat (2) menegaskan bahwa ”fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu”.
Kedua, dalam kasus ini, perawat sudah meminta izin kepada atasannya dan atas perintah atasan Debora tidak dimasukkan PICU, artinya perbuatan perawat bukan lagi perbuatan pribadi, tapi perbuatan sistemik yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan korporasi (rumah sakit). Dalam hal korporasi, Pasal 201 Ayat (1) menegaskan ”dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 Ayat (1) dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan tiga kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 Ayat (1).
Kemudian pada Ayat (2) menyatakan, ”selain pidana denda korporasi tersebut dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum.
Kasus rendahnya sensitivitas layanan kesehatan berhadapan dengan faktor ekonomi bukan hanya satu kali ini, telah banyak kasus sebelumnya. Kasus ini juga harus dilihat sebagai kegagalan negara dalam meregulasi dan mengawasi guna memastikan layanan kesehatan oleh rumah sakit yang sesuai standar bagi.
Rumah sakit beroperasi atas izin, maka pemerintah sebagai pemberi izin berkewajiban untuk mengawasi layanan kesehatan standar operasional prosedur kesehatan (SOP). Jadi, kalau ada rumah sakit yang tidak sesuai SOP, adalah kelemahan pengawasan oleh pemerintah yang harus dipertanggungjawabkan pula.
Posisi kepala Dinas Kesehatan DKI yang proaktif mendatangi rumah sakit sebelum meminta klarifikasi dari orang tua selaku pengadu, sangat memprihatinkan. Dia seakan berdiri di depan untuk melindungi rumah sakit. Negara harus hadir untuk melindungi yang lemah, bukan sebaliknya.
Untuk itu, ke depan diharapkan; pertama, aparat yang berwenang baik dari teknis kesehatan maupun aparat hukum harus progresif. Jangan biarkan orang tua Debora mencari dan mengais keadilan atas meninggalnya putrinya tersebut sendirian. Baik dari sisi pidana maupun aspek gugatan keperdataan.
Tidak mungkin masyarakat yang tidak mampu untuk membiayai layanan kesehatannya akan mampu untuk membiayai gugatan perdata kepada rumah sakit. Demikian halnya aparat penegak hukum, penyidik dalam kasus yang sudah menjadi pengetahuan umum ini harus secara proaktif menunjukkan perlindungannya bagi masyarakat.
Kasus ini bukan jenis delik aduan yang tidak perlu menunggu laporan, apalagi pengaduan korban. Kedua, karena itu ke depan kementerian kesehatan harus aktif untuk memonitor dan mengevaluasi guna memastikan standard operating procedure (SOP) rumah sakit menempatkan keselamatan dan kesehatan menjadi yang utama, bukan biaya.
Selama ini rumah sakit masih banyak yang berorientasi bisnis di atas sakitnya orang sehingga kehilangan ruh kemuliaannya sebagai penyelamat jiwa manusia. Langkah negara dalam menegakkan hukum terhadap kelalaian rumah sakit bukan saja menyembuhkan luka korban, juga sebagai langkah preventif guna melindungi warga.
(whb)