Laporan Annan
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder & Director, Atma Jaya Institute of Public Policy
INDONESIA yang diwakili oleh Ibu Retno Marsudi sebagai menteri luar negeri telah bertemu dengan kunci pemerintah Myanmar yaitu Daw Aung San Suu Kyi yang menjabat sebagai state counsellor dan Jenderal Senior U Min Aung Hlaing yang menjabat sebagai panglima angkatan bersenjata.
Inti dari pertemuan tersebut selain membicarakan tentang penawaran kerja sama kemanusiaan yang lebih dalam lagi terkait kasus Rohingya, juga meminta pemerintah Myanmar untuk melaksanakan empat elemen kondisi yang terdiri atas: (1) mengembalikan stabilitas dan keamanan; (1) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; (3) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa memandang suku dan agama; dan (4) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan.
Poin ke-5 atau terakhir adalah bahwa rekomendasi Laporan Komisi Penasihat untuk Rakhine State yang dipimpin oleh Kofi Annan perlu dapat segera diimplementasikan. Laporan ini menjadi penting untuk disebutkan karena ini adalah salah satu laporan yang menjadi sumber informasi terbaru yang dilakukan secara semi-independen dan diakui pemerintah Myanmar.
Artinya, pada saat Indonesia melalui menteri luar negeri menekankan kepada pemerintah Myanmar untuk melaksanakan dengan konsisten laporan tersebut maka sesungguhnya tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia melakukan intervensi karena laporan itu berasal dari dalam negeri Myanmar sendiri.
Pemerintah Myanmar menyanggupi akan melaksanakan rekomendasi laporan tersebut dan secara konkret mengatakan akan membentuk dua komisi. Komisi pertama untuk mengoordinasi lembaga-lembaga yang terkait dengan implementasi laporan tersebut. Adapun Komisi kedua adalah komisi penasihat yang akan mengawasi implementasi dari laporan itu atau mengawasi kerja dari komisi pertama.
Laporan ini diawali ketika pada Desember 2016, sebelum kasus mengungsinya etnis Rohingya dua pekan lalu, Daw Aung San Suu Kyi yang menjabat sebagai state counsellor meminta Kofi Annan Foundation dan Office of the State Counsellor untuk mendirikan sebuah Advisory Commission on Rakhine State atau sebuah Komisi Penasihat Negara (bagian) Rakhine.
Negara memberikan mandat kepada komisi ini untuk memeriksa tantangan kompleks yang dihadapi Rakhine dan untuk mengajukan tanggapan terhadap tantangan tersebut. Komisi ini bekerja selama 12 bulan dan melakukan wawancara kepada sejumlah pejabat penting yang terkait, dari pusat hingga daerah serta seluruh anggota parlemen, organisasi sipil, para pemimpin agama, dan para individu penting lain.
Secara metodologis, penyusunan laporan ini juga bisa disebut benar-benar independen karena dalam proses konsultasi dan penyusunannya dibutuhkan persetujuan dari pemerintah. Artinya, ada beberapa informasi yang belum masuk atau diinterpretasikan dari sudut pandang negara. Contoh adalah bahwa komisi ini tidak menggunakan istilah “Bengali” maupun “Rohingya” untuk merujuk kelompok yang kemudian disebut hanya sebagai “muslim” atau “komunitas muslim di Rakhine”. Definisi ini tidak termasuk muslim Kaman, yang hanya akan disebut sebagai “Kaman”.
Namun di sisi lain, dengan disetujuinya beberapa langkah itu maka secara eksplisit pemerintah mengakui siap untuk menjalankannya. Komisi ini bahkan sempat ditolak sejumlah pihak sehingga membatasi informasi penting yang dapat digunakan.
Laporan ini menghasilkan beberapa hal penting, yaitu gambaran tentang kondisi ekonomi-politik di Rakhine State. Laporan ini menghasilkan rekomendasi untuk 17 tema di mana masing-masing tema terdapat secara khusus hal yang harus dilakukan pemerintah Myanmar di mana jumlah keseluruhannya ada 88 langkah.
Myanmar adalah sebuah negara federasi yang terdiri atas 13 negara bagian dan 1 wilayah khusus. Negara Bagian Rakhine adalah salah satu negara bagian termiskin di Myanmar yang dalam sejarahnya penuh dengan ketegangan konflik antarkomunitas dan menjadi topik perdebatan. Negara bagian ini memiliki potensi besar di dalam sektor minyak dan gas, tetapi sebagian besar tetap tidak dieksploitasi untuk kesejahteraan.
Laporan itu menyimpulkan tiga krisis utama di Negara Bagian Rakhine State. Pertama adalah krisis pembangunan. Negara Rakhine memiliki kemiskinan kronis yang dialami semua jenjang masyarakat. Negara ini juga mengalami keterbelakangan di segala bidang dibandingkan negara-negara lainnya.
Konflik yang berkepanjangan, kepemilikan lahan yang tidak terjamin, dan kurangnya peluang mata pencarian telah mengakibatkan banyak penduduk melakukan migrasi baik ke negara bagian lain maupun ke luar negeri. Hal ini menyebabkan angkatan kerja menjadi semakin berkurang dan merongrong prospek pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Komunitas Rakhine maupun muslim merasa terpinggirkan dan tidak berdaya dengan keputusan yang diambil pemerintah pusat. Tingkat kemiskinan negara bagian adalah 78%, hampir dua kali lipat tingkat nasional 37,54%, ini refleksi kemiskinan di negara ini. Semua komunitas di Rakhine menderita kemiskinan, pelayanan sosial yang buruk, dan kelangkaan kesempatan mencari nafkah.
Negara Bagian Rakhine juga mencerminkan dalamnya krisis hak asasi manusia. Hampir semua lapisan masyarakat menderita kekerasan dan pelecehan, tidak memiliki identitas kewarganegaraan dan terjadinya diskriminasi yang membuat masyarakat Rohingya rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Muslim Rohingya di Rakhine merupakan komunitas tanpa kewarganegaraan tunggal terbesar di dunia. Masyarakat menghadapi sejumlah pembatasan yang memengaruhi hak-hak dasar dan banyak aspek kehidupan sehari-hari mereka. Sekitar 120.000 orang masih tinggal di kamp-kamp pengungsi internal (pengungsi internal).
Masyarakat telah ditolak mewakili politik, dan umumnya dikecualikan dari politik Myanmar. Upaya oleh pemerintah untuk memverifikasi klaim kewarganegaraan telah gagal untuk memenangkan kepercayaan baik dari komunitas muslim maupun Rakhine pada umumnya. Rakhine juga mengalami krisis keamanan.
Komisi menyaksikan sendiri semua komunitas memiliki ketakutan yang dalam, terutama dengan warisan kekerasan tahun 2012 yang segar dalam banyak pemikiran. Sementara muslim Rohingya membenci pengucilan yang berlanjut; tetapi komunitas Rakhine juga khawatir akan menjadi minoritas di masa depan Myanmar. Pemisahan etnis dalam masyarakat telah memperburuk prospek saling pengertian.
Singkat kata, suasana di lapangan di Rakhine terbilang pelik dan memprihatinkan. Paling prioritas saat ini adalah peningkatan upaya pemerintah agar semua anggota masyarakat merasa aman dan dengan berbuat demikian kohesi antarkelompok di sana dapat berangsur pulih.
Dunia berusaha optimistis bahwa pemerintah Myanmar dapat mulai mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi Annan, namun harapan ini terkendala dengan penolakan dari kelompok militer. Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan laporan itu mengandung beberapa informasi yang tidak benar dan terlalu banyak penyederhanaan. Ia bahkan mengatakan laporan itu perlu dikoreksi agar mendapatkan pandangan dari sisi pemerintah.
Situasi ini menunjukkan bahwa desakan Indonesia kepada pemerintah Myanmar melakukan implementasi laporan Annan masih menemui kendala. Jika bukan pemerintah Myanmar yang berbesar hati dalam melakukan perubahan, meskipun narasi laporan membuat telinga panas, maka kondisi di Rakhine masih akan berlarut-larut seperti sekarang. Penderitaan etnis Rohingya masih belum akan selesai dalam waktu dekat.
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder & Director, Atma Jaya Institute of Public Policy
INDONESIA yang diwakili oleh Ibu Retno Marsudi sebagai menteri luar negeri telah bertemu dengan kunci pemerintah Myanmar yaitu Daw Aung San Suu Kyi yang menjabat sebagai state counsellor dan Jenderal Senior U Min Aung Hlaing yang menjabat sebagai panglima angkatan bersenjata.
Inti dari pertemuan tersebut selain membicarakan tentang penawaran kerja sama kemanusiaan yang lebih dalam lagi terkait kasus Rohingya, juga meminta pemerintah Myanmar untuk melaksanakan empat elemen kondisi yang terdiri atas: (1) mengembalikan stabilitas dan keamanan; (1) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; (3) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa memandang suku dan agama; dan (4) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan.
Poin ke-5 atau terakhir adalah bahwa rekomendasi Laporan Komisi Penasihat untuk Rakhine State yang dipimpin oleh Kofi Annan perlu dapat segera diimplementasikan. Laporan ini menjadi penting untuk disebutkan karena ini adalah salah satu laporan yang menjadi sumber informasi terbaru yang dilakukan secara semi-independen dan diakui pemerintah Myanmar.
Artinya, pada saat Indonesia melalui menteri luar negeri menekankan kepada pemerintah Myanmar untuk melaksanakan dengan konsisten laporan tersebut maka sesungguhnya tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia melakukan intervensi karena laporan itu berasal dari dalam negeri Myanmar sendiri.
Pemerintah Myanmar menyanggupi akan melaksanakan rekomendasi laporan tersebut dan secara konkret mengatakan akan membentuk dua komisi. Komisi pertama untuk mengoordinasi lembaga-lembaga yang terkait dengan implementasi laporan tersebut. Adapun Komisi kedua adalah komisi penasihat yang akan mengawasi implementasi dari laporan itu atau mengawasi kerja dari komisi pertama.
Laporan ini diawali ketika pada Desember 2016, sebelum kasus mengungsinya etnis Rohingya dua pekan lalu, Daw Aung San Suu Kyi yang menjabat sebagai state counsellor meminta Kofi Annan Foundation dan Office of the State Counsellor untuk mendirikan sebuah Advisory Commission on Rakhine State atau sebuah Komisi Penasihat Negara (bagian) Rakhine.
Negara memberikan mandat kepada komisi ini untuk memeriksa tantangan kompleks yang dihadapi Rakhine dan untuk mengajukan tanggapan terhadap tantangan tersebut. Komisi ini bekerja selama 12 bulan dan melakukan wawancara kepada sejumlah pejabat penting yang terkait, dari pusat hingga daerah serta seluruh anggota parlemen, organisasi sipil, para pemimpin agama, dan para individu penting lain.
Secara metodologis, penyusunan laporan ini juga bisa disebut benar-benar independen karena dalam proses konsultasi dan penyusunannya dibutuhkan persetujuan dari pemerintah. Artinya, ada beberapa informasi yang belum masuk atau diinterpretasikan dari sudut pandang negara. Contoh adalah bahwa komisi ini tidak menggunakan istilah “Bengali” maupun “Rohingya” untuk merujuk kelompok yang kemudian disebut hanya sebagai “muslim” atau “komunitas muslim di Rakhine”. Definisi ini tidak termasuk muslim Kaman, yang hanya akan disebut sebagai “Kaman”.
Namun di sisi lain, dengan disetujuinya beberapa langkah itu maka secara eksplisit pemerintah mengakui siap untuk menjalankannya. Komisi ini bahkan sempat ditolak sejumlah pihak sehingga membatasi informasi penting yang dapat digunakan.
Laporan ini menghasilkan beberapa hal penting, yaitu gambaran tentang kondisi ekonomi-politik di Rakhine State. Laporan ini menghasilkan rekomendasi untuk 17 tema di mana masing-masing tema terdapat secara khusus hal yang harus dilakukan pemerintah Myanmar di mana jumlah keseluruhannya ada 88 langkah.
Myanmar adalah sebuah negara federasi yang terdiri atas 13 negara bagian dan 1 wilayah khusus. Negara Bagian Rakhine adalah salah satu negara bagian termiskin di Myanmar yang dalam sejarahnya penuh dengan ketegangan konflik antarkomunitas dan menjadi topik perdebatan. Negara bagian ini memiliki potensi besar di dalam sektor minyak dan gas, tetapi sebagian besar tetap tidak dieksploitasi untuk kesejahteraan.
Laporan itu menyimpulkan tiga krisis utama di Negara Bagian Rakhine State. Pertama adalah krisis pembangunan. Negara Rakhine memiliki kemiskinan kronis yang dialami semua jenjang masyarakat. Negara ini juga mengalami keterbelakangan di segala bidang dibandingkan negara-negara lainnya.
Konflik yang berkepanjangan, kepemilikan lahan yang tidak terjamin, dan kurangnya peluang mata pencarian telah mengakibatkan banyak penduduk melakukan migrasi baik ke negara bagian lain maupun ke luar negeri. Hal ini menyebabkan angkatan kerja menjadi semakin berkurang dan merongrong prospek pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Komunitas Rakhine maupun muslim merasa terpinggirkan dan tidak berdaya dengan keputusan yang diambil pemerintah pusat. Tingkat kemiskinan negara bagian adalah 78%, hampir dua kali lipat tingkat nasional 37,54%, ini refleksi kemiskinan di negara ini. Semua komunitas di Rakhine menderita kemiskinan, pelayanan sosial yang buruk, dan kelangkaan kesempatan mencari nafkah.
Negara Bagian Rakhine juga mencerminkan dalamnya krisis hak asasi manusia. Hampir semua lapisan masyarakat menderita kekerasan dan pelecehan, tidak memiliki identitas kewarganegaraan dan terjadinya diskriminasi yang membuat masyarakat Rohingya rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Muslim Rohingya di Rakhine merupakan komunitas tanpa kewarganegaraan tunggal terbesar di dunia. Masyarakat menghadapi sejumlah pembatasan yang memengaruhi hak-hak dasar dan banyak aspek kehidupan sehari-hari mereka. Sekitar 120.000 orang masih tinggal di kamp-kamp pengungsi internal (pengungsi internal).
Masyarakat telah ditolak mewakili politik, dan umumnya dikecualikan dari politik Myanmar. Upaya oleh pemerintah untuk memverifikasi klaim kewarganegaraan telah gagal untuk memenangkan kepercayaan baik dari komunitas muslim maupun Rakhine pada umumnya. Rakhine juga mengalami krisis keamanan.
Komisi menyaksikan sendiri semua komunitas memiliki ketakutan yang dalam, terutama dengan warisan kekerasan tahun 2012 yang segar dalam banyak pemikiran. Sementara muslim Rohingya membenci pengucilan yang berlanjut; tetapi komunitas Rakhine juga khawatir akan menjadi minoritas di masa depan Myanmar. Pemisahan etnis dalam masyarakat telah memperburuk prospek saling pengertian.
Singkat kata, suasana di lapangan di Rakhine terbilang pelik dan memprihatinkan. Paling prioritas saat ini adalah peningkatan upaya pemerintah agar semua anggota masyarakat merasa aman dan dengan berbuat demikian kohesi antarkelompok di sana dapat berangsur pulih.
Dunia berusaha optimistis bahwa pemerintah Myanmar dapat mulai mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi Annan, namun harapan ini terkendala dengan penolakan dari kelompok militer. Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan laporan itu mengandung beberapa informasi yang tidak benar dan terlalu banyak penyederhanaan. Ia bahkan mengatakan laporan itu perlu dikoreksi agar mendapatkan pandangan dari sisi pemerintah.
Situasi ini menunjukkan bahwa desakan Indonesia kepada pemerintah Myanmar melakukan implementasi laporan Annan masih menemui kendala. Jika bukan pemerintah Myanmar yang berbesar hati dalam melakukan perubahan, meskipun narasi laporan membuat telinga panas, maka kondisi di Rakhine masih akan berlarut-larut seperti sekarang. Penderitaan etnis Rohingya masih belum akan selesai dalam waktu dekat.
(poe)