Rohingya dan Isu Nasional Indonesia
A
A
A
Kombes Pol Slamet Pribadi
Divisi Humas Mabes Polri
KISAH pilu etnis Rohingya di Myanmar adalah cerita lama, yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Kenyataan ini tidak terlepas dari sejarah kebangsaan di negara tetangga tersebut, dari rezim yang satu ke rezim berikutnya, sampai dengan dipimpin Aung San Suu Kyi sekarang ini.
Apapun ceritanya, peristiwa itu ada di negara tetangga dan itu menjadi otoritas penuh Pemerintah Myanmar untuk menyelesaikannya. Tentunya kebijakan itu menjadi domain Myanmar yang harus bertanggung jawab untuk mengatasinya.
Namun kemudian isu ini merembet karena etnis Rohingya yang eksodus menuju negara-negara tetangga, termasuk Indonesia. Eksodusnya para pengungsi tersebut memunculkan simpati dunia, dari sisi kemanusiaan dan agama, meskipun sebenarnya konfliknya tersebut bukan persoalan agama. Namun simpati warga Indonesia mengarah kepada soal kemanusiaan dan nasib sesama agama, yang dipandang sebagai orang teraniaya teramat sangat.
Reaksi di Indonesia sangat luar biasa, mulai dari para petinggi negara ini, termasuk Presiden Jokowi hingga masyarakat awam, baik muslim maupun non-muslim. Semuanya mendesak pemerintah Myanmar segera mengatasi persoalan ini.
Demo dukungan merebak dari seluruh penjuru Indonesia. Bahkan dukungan itu sampai dengan terjadinya pelemparan bom molotov ke Kedubes Myanmar di Jakarta. Padahal tempat itu mempunyai otoritas khusus sebagai sebuah negara yang berdaulat, dalam hal ini Myanmar.
Di sisi lain karena ada sudut pandang berbeda yang dipersepsikan sebagai penganiayaan terhadap agama tertentu, maka ekspresi simpatinya diwujudkan dalam bentuk pengepungan terhadap Candi Borobudur, yang selama ini dipersepsikan sebagai tempat ibadah umat tertentu. Padahal kita tahu bahwa Candi Borobudur masuk dalam keajaiban dunia.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto menyampaikan, melalui perintah khusus Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian kepada jajaran, khususnya Polda Jawa Tengah, bahwa pengepungan itu dilarang keras. Selain melanggar aturan, aksi tersebut merusak situs sejarah dan khasanah nasional serta dunia.
Kemudian memindahkan persoalan negara lain ke negeri sendiri dengan cara-cara yang melanggar ketenteraman umum dan undang-undang adalah sebuah jalan berpikir yang bertentangan dengan kehendak khalayak.
Hal tersebut adalah tindakan yang berlebihan dan itu menguras energi, yang mestinya bisa disalurkan dengan cara-cara yang lebih positip dan beradab. Misalnya mendoakan keselamatan para pengungsi Rohingya hingga mengirimkan bantuan kemanusiaan berupa kebutuhan hidup para pengungsi.
Indonesia adalah negara yang sangat terhormat di dalam pergaulan internasional. Dikenal sebagai bangsa yang ramah, pandai menyelesaikan persoalan internal secara baik, kondisi keamanan dan ketertiban masyarakatnya bagus meskipun dengan beragam suku, agama, ras dan antargolongan.
Maka tidaklah perlu memindahkan persoalan negara tetangga ke dalam pergaulan sosial di Indonesia, meski dengan alasan apapun, termasuk isu SARA. Masih ada cara lain yang lebih indah.
Divisi Humas Mabes Polri
KISAH pilu etnis Rohingya di Myanmar adalah cerita lama, yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Kenyataan ini tidak terlepas dari sejarah kebangsaan di negara tetangga tersebut, dari rezim yang satu ke rezim berikutnya, sampai dengan dipimpin Aung San Suu Kyi sekarang ini.
Apapun ceritanya, peristiwa itu ada di negara tetangga dan itu menjadi otoritas penuh Pemerintah Myanmar untuk menyelesaikannya. Tentunya kebijakan itu menjadi domain Myanmar yang harus bertanggung jawab untuk mengatasinya.
Namun kemudian isu ini merembet karena etnis Rohingya yang eksodus menuju negara-negara tetangga, termasuk Indonesia. Eksodusnya para pengungsi tersebut memunculkan simpati dunia, dari sisi kemanusiaan dan agama, meskipun sebenarnya konfliknya tersebut bukan persoalan agama. Namun simpati warga Indonesia mengarah kepada soal kemanusiaan dan nasib sesama agama, yang dipandang sebagai orang teraniaya teramat sangat.
Reaksi di Indonesia sangat luar biasa, mulai dari para petinggi negara ini, termasuk Presiden Jokowi hingga masyarakat awam, baik muslim maupun non-muslim. Semuanya mendesak pemerintah Myanmar segera mengatasi persoalan ini.
Demo dukungan merebak dari seluruh penjuru Indonesia. Bahkan dukungan itu sampai dengan terjadinya pelemparan bom molotov ke Kedubes Myanmar di Jakarta. Padahal tempat itu mempunyai otoritas khusus sebagai sebuah negara yang berdaulat, dalam hal ini Myanmar.
Di sisi lain karena ada sudut pandang berbeda yang dipersepsikan sebagai penganiayaan terhadap agama tertentu, maka ekspresi simpatinya diwujudkan dalam bentuk pengepungan terhadap Candi Borobudur, yang selama ini dipersepsikan sebagai tempat ibadah umat tertentu. Padahal kita tahu bahwa Candi Borobudur masuk dalam keajaiban dunia.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto menyampaikan, melalui perintah khusus Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian kepada jajaran, khususnya Polda Jawa Tengah, bahwa pengepungan itu dilarang keras. Selain melanggar aturan, aksi tersebut merusak situs sejarah dan khasanah nasional serta dunia.
Kemudian memindahkan persoalan negara lain ke negeri sendiri dengan cara-cara yang melanggar ketenteraman umum dan undang-undang adalah sebuah jalan berpikir yang bertentangan dengan kehendak khalayak.
Hal tersebut adalah tindakan yang berlebihan dan itu menguras energi, yang mestinya bisa disalurkan dengan cara-cara yang lebih positip dan beradab. Misalnya mendoakan keselamatan para pengungsi Rohingya hingga mengirimkan bantuan kemanusiaan berupa kebutuhan hidup para pengungsi.
Indonesia adalah negara yang sangat terhormat di dalam pergaulan internasional. Dikenal sebagai bangsa yang ramah, pandai menyelesaikan persoalan internal secara baik, kondisi keamanan dan ketertiban masyarakatnya bagus meskipun dengan beragam suku, agama, ras dan antargolongan.
Maka tidaklah perlu memindahkan persoalan negara tetangga ke dalam pergaulan sosial di Indonesia, meski dengan alasan apapun, termasuk isu SARA. Masih ada cara lain yang lebih indah.
(poe)