Aspek Multidimensional Kurban
A
A
A
Dr. Tika Widiastuti, SE., MSi
Dosen Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair
Wahyuningsih, SEI
Alumni Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair
KURBAN merupakan salah satu ibadah sunah bagi umat Islam yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah setiap tahunnya. Bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim, kurban menjadi salah satu momen kebahagiaan tidak hanya bagi yang menunaikan, tapi juga bagi yang menerima sebagian dari penyembelihan hewan kurban. Hal ini mengingat ibadah ini memiliki banyak sekali aspek kebermanfaatan yang dapat ditinjau dari berbagai aspek atau dimensi.
Pada dimensi ibadah, kurban merupakan ibadah yang dikerjakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya Hari Raya Idul Adha dan merupakan amal saleh yang paling utama pada bulan Dzulhijjah. Ibadah kurban juga bagian dari refleksi keimanan dan rasa syukur atas nikmat Allah yang tak terhitung pada manusia. Iman kepada para Rasul yang memberikan keteladanan dalam beribadah, utamanya dalam ibadah kurban. Hal ini sebagaimana terkonfirmasi dalam perjalanan sejarah bahwa ibadah kurban pertama kali dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim dan terus berlanjut sampai Nabi dan Rasul terakhir yakni Rasulullah Muhammad, yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin hingga masa kini.
Pada dimensi kesehatan, kurban dapat menjadi salah satu momentum untuk meningkatkan kesadaran akan pemenuhan komposisi protein yang baik bagi masyarakat. Hal ini mengingat konsumsi daging di Indonesia pada 2017 masih tergolong rendah yakni 2,9 kg/orang setiap tahunnya. Padahal, menurut Badan Konsultasi Gizi IPB, pemenuhan konsumsi daging minimal harus mencapai 12,2 kg/orang dalam setahun. Menurut Kementerian Perdagangan, kondisi tersebut diakibatkan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat yang berakibat ketidakmampuan masyarakat untuk membeli daging. Sementara menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), terdapat sekitar 30% dari total penduduk Indonesia yang status kesejahteraannya terendah dengan kelompok masyarakat semacam ini memiliki pengeluaran yang rendah dan konsumsi daging yang juga rendah.
Pada dimensi ekonomi, kurban terbukti membantu para peternak, pemasok, jagal yang bekerja di rumah potong, dan stakeholder yang lain untuk meningkatkan kesejahteraannya. Permintaan hewan kurban berupa kambing, sapi, maupun kerbau meningkat drastis. Hal ini sebagai akibat dari bertambahnya jumlah kaum muslimin yang berkurban setiap tahunnya. Bahkan, di berbagai tempat kelebihan permintaan menjelang hari H melebihi jumlah penawaran hewan kurban yang mampu disediakan oleh para petani maupun para pemasok.
Dimensi lain yang sangat dipengaruhi secara signifikan oleh pelaksanaan ibadah kurban ini adalah dimensi sosial. Ibadah kurban menjadi jembatan sosial antara golongan yang mampu berkurban yang mayoritas didominasi oleh kelompok menengah ke atas kepada golongan bawah. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, terdapat 30% dari total populasi di Indonesia memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah, di mana konsumsi dagingnya juga turut rendah. Bahkan di berbagai pelosok Indonesia, tidak sedikit lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terjun lapangan mengantarkan daging-daging kurban agar juga dapat dinikmati oleh masyarakat yang termarginalkan. Ada suatu semangat gotong-royong, kebersamaan dan juga wujud mikro dari pemerataan ekonomi dan sosial yang terlihat dari pelaksanaan kurban oleh masyarakat.
Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa ibadah kurban memiliki dampak yang bersifat multidimensi kepada masyarakat. Ada banyak manfaat yang begitu besar dirasakan oleh masyarakat di hari raya Idul Adha. Meski demikian, ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak dalam rangka optimalisasi kurban tersebut.
Pertama, stigma masyarakat akan harga hewan kurban yang dianggap terlalu mahal sehingga menghambat masyarakat yang ingin berkurban. Apabila dilihat dari sudut pandang ekonomis maka permasalahan ini tidak terlepas dari kehadiran inflasi, yakni gejala kenaikan harga-harga komoditas secara umum di pasaran yang termasuk juga pada komoditas hewan ternak untuk kurban. Namun, pada dasarnya dengan perekonomian yang senantiasa tumbuh dan indikator pendapatan yang terus naik seperti upah minimum regional (UMR), maka kenaikan harga hewan ternak dapat terkompensasi. Di sisi lain, kesadaran religius dan sosial masyarakat khususnya umat Islam sebagai pelaku kurban harus ditingkatkan, termasuk dakwah oleh para ulama agar stigma di atas dapat diminimalisasi dan praktik kurban tetap terus berjalan.
Kedua, inisiasi tabungan kurban oleh sejumlah masyarakat pada sektor komunitas, baitul mal wat tamwil (BMT), dan lembaga zakat apabila dioptimalkan dapat menjadi potensi sumber dana keuangan mikro. Tabungan dapat dianggap seperti simpanan dengan jangka waktu maksimal satu tahun. Apabila sektor-sektor di atas, khususnya BMT dan lembaga zakat sebagai lembaga formal mampu untuk mendorong peningkatan dana tabungan kurban dengan jangka waktu yang cukup dan dikelola pada sektor keuangan yang tepat, maka akan dihasilkan return yang bisa digunakan untuk menambah pendanaan program-program sosial di samping mencegah nilai dana tabung kurban yang akan tergerus oleh inflasi.
Ketiga, penjualan hewan kurban di Indonesia sering tidak tertata, bersifat insidental, dan menggunakan jalan raya atau pedestrian. Hal ini jelas mengganggu para pengguna jalan yang dapat terganggu oleh aroma tidak sedap yang ditimbulkan oleh hewan ternak dan kotorannya. Selain itu, kotoran dari hewan ternak yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi bibit penyakit dan sumber pencemaran tanah, air, dan udara di sekitarnya. Maka itu, penjualan hewan kurban hendaknya diarahkan agar berada pada suatu lokasi yang terintegrasi tapi tetap tersebar sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat. Selain itu, penjualan hewan kurban secara nontunai melalui platform online juga perlu ditingkatkan sehingga perputaran transaksi kurban dapat meningkat dan gangguan yang ditimbulkan dari penjualan hewan kurban dapat dihilangkan. Namun, penjualan secara online membutuhkan adanya pengawasan dan verifikasi dari lembaga terkait seperti dinas peternakan dan dinas perdagangan di tingkat lokal maupun Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan di tingkat nasional.
Keempat, konsep manajemen kurban secara nasional perlu dirumuskan. Di satu sisi, aktivitas kurban adalah aktivitas filantropi yang berpusat pada swadaya masyarakat. Intervensi pemerintah yang terlalu dalam pada sektor ini justru dapat membatasi ruang gerak kurban yang sarat dengan nilai kesadaran religius masyarakat. Meski demikian, pemerintah dapat mengarahkan program-program yang terkait aktivitas kurban, khususnya yang dijalankan oleh lembaga-lembaga zakat dapat sejalan dengan program pemerintah, khususnya pengentasan kemiskinan. Diskusi, komunikasi, dan pemetaan data kemiskinan antara pemerintah dan lembaga-lembaga zakat dapat dilakukan sehingga masyarakat, khususnya kaum duafa secara inklusif dapat menerima kurban tanpa ada yang tertinggal. Data-data seperti indeks kemiskinan multidimensional, data kondisi nutrisi masyarakat miskin, dan data lain yang terkait juga relevan untuk memaksimalkan penyaluran kurban bagi masyarakat yang betul-betul membutuhkan.
Dosen Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair
Wahyuningsih, SEI
Alumni Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair
KURBAN merupakan salah satu ibadah sunah bagi umat Islam yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah setiap tahunnya. Bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim, kurban menjadi salah satu momen kebahagiaan tidak hanya bagi yang menunaikan, tapi juga bagi yang menerima sebagian dari penyembelihan hewan kurban. Hal ini mengingat ibadah ini memiliki banyak sekali aspek kebermanfaatan yang dapat ditinjau dari berbagai aspek atau dimensi.
Pada dimensi ibadah, kurban merupakan ibadah yang dikerjakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya Hari Raya Idul Adha dan merupakan amal saleh yang paling utama pada bulan Dzulhijjah. Ibadah kurban juga bagian dari refleksi keimanan dan rasa syukur atas nikmat Allah yang tak terhitung pada manusia. Iman kepada para Rasul yang memberikan keteladanan dalam beribadah, utamanya dalam ibadah kurban. Hal ini sebagaimana terkonfirmasi dalam perjalanan sejarah bahwa ibadah kurban pertama kali dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim dan terus berlanjut sampai Nabi dan Rasul terakhir yakni Rasulullah Muhammad, yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin hingga masa kini.
Pada dimensi kesehatan, kurban dapat menjadi salah satu momentum untuk meningkatkan kesadaran akan pemenuhan komposisi protein yang baik bagi masyarakat. Hal ini mengingat konsumsi daging di Indonesia pada 2017 masih tergolong rendah yakni 2,9 kg/orang setiap tahunnya. Padahal, menurut Badan Konsultasi Gizi IPB, pemenuhan konsumsi daging minimal harus mencapai 12,2 kg/orang dalam setahun. Menurut Kementerian Perdagangan, kondisi tersebut diakibatkan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat yang berakibat ketidakmampuan masyarakat untuk membeli daging. Sementara menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), terdapat sekitar 30% dari total penduduk Indonesia yang status kesejahteraannya terendah dengan kelompok masyarakat semacam ini memiliki pengeluaran yang rendah dan konsumsi daging yang juga rendah.
Pada dimensi ekonomi, kurban terbukti membantu para peternak, pemasok, jagal yang bekerja di rumah potong, dan stakeholder yang lain untuk meningkatkan kesejahteraannya. Permintaan hewan kurban berupa kambing, sapi, maupun kerbau meningkat drastis. Hal ini sebagai akibat dari bertambahnya jumlah kaum muslimin yang berkurban setiap tahunnya. Bahkan, di berbagai tempat kelebihan permintaan menjelang hari H melebihi jumlah penawaran hewan kurban yang mampu disediakan oleh para petani maupun para pemasok.
Dimensi lain yang sangat dipengaruhi secara signifikan oleh pelaksanaan ibadah kurban ini adalah dimensi sosial. Ibadah kurban menjadi jembatan sosial antara golongan yang mampu berkurban yang mayoritas didominasi oleh kelompok menengah ke atas kepada golongan bawah. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, terdapat 30% dari total populasi di Indonesia memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah, di mana konsumsi dagingnya juga turut rendah. Bahkan di berbagai pelosok Indonesia, tidak sedikit lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terjun lapangan mengantarkan daging-daging kurban agar juga dapat dinikmati oleh masyarakat yang termarginalkan. Ada suatu semangat gotong-royong, kebersamaan dan juga wujud mikro dari pemerataan ekonomi dan sosial yang terlihat dari pelaksanaan kurban oleh masyarakat.
Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa ibadah kurban memiliki dampak yang bersifat multidimensi kepada masyarakat. Ada banyak manfaat yang begitu besar dirasakan oleh masyarakat di hari raya Idul Adha. Meski demikian, ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak dalam rangka optimalisasi kurban tersebut.
Pertama, stigma masyarakat akan harga hewan kurban yang dianggap terlalu mahal sehingga menghambat masyarakat yang ingin berkurban. Apabila dilihat dari sudut pandang ekonomis maka permasalahan ini tidak terlepas dari kehadiran inflasi, yakni gejala kenaikan harga-harga komoditas secara umum di pasaran yang termasuk juga pada komoditas hewan ternak untuk kurban. Namun, pada dasarnya dengan perekonomian yang senantiasa tumbuh dan indikator pendapatan yang terus naik seperti upah minimum regional (UMR), maka kenaikan harga hewan ternak dapat terkompensasi. Di sisi lain, kesadaran religius dan sosial masyarakat khususnya umat Islam sebagai pelaku kurban harus ditingkatkan, termasuk dakwah oleh para ulama agar stigma di atas dapat diminimalisasi dan praktik kurban tetap terus berjalan.
Kedua, inisiasi tabungan kurban oleh sejumlah masyarakat pada sektor komunitas, baitul mal wat tamwil (BMT), dan lembaga zakat apabila dioptimalkan dapat menjadi potensi sumber dana keuangan mikro. Tabungan dapat dianggap seperti simpanan dengan jangka waktu maksimal satu tahun. Apabila sektor-sektor di atas, khususnya BMT dan lembaga zakat sebagai lembaga formal mampu untuk mendorong peningkatan dana tabungan kurban dengan jangka waktu yang cukup dan dikelola pada sektor keuangan yang tepat, maka akan dihasilkan return yang bisa digunakan untuk menambah pendanaan program-program sosial di samping mencegah nilai dana tabung kurban yang akan tergerus oleh inflasi.
Ketiga, penjualan hewan kurban di Indonesia sering tidak tertata, bersifat insidental, dan menggunakan jalan raya atau pedestrian. Hal ini jelas mengganggu para pengguna jalan yang dapat terganggu oleh aroma tidak sedap yang ditimbulkan oleh hewan ternak dan kotorannya. Selain itu, kotoran dari hewan ternak yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi bibit penyakit dan sumber pencemaran tanah, air, dan udara di sekitarnya. Maka itu, penjualan hewan kurban hendaknya diarahkan agar berada pada suatu lokasi yang terintegrasi tapi tetap tersebar sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat. Selain itu, penjualan hewan kurban secara nontunai melalui platform online juga perlu ditingkatkan sehingga perputaran transaksi kurban dapat meningkat dan gangguan yang ditimbulkan dari penjualan hewan kurban dapat dihilangkan. Namun, penjualan secara online membutuhkan adanya pengawasan dan verifikasi dari lembaga terkait seperti dinas peternakan dan dinas perdagangan di tingkat lokal maupun Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan di tingkat nasional.
Keempat, konsep manajemen kurban secara nasional perlu dirumuskan. Di satu sisi, aktivitas kurban adalah aktivitas filantropi yang berpusat pada swadaya masyarakat. Intervensi pemerintah yang terlalu dalam pada sektor ini justru dapat membatasi ruang gerak kurban yang sarat dengan nilai kesadaran religius masyarakat. Meski demikian, pemerintah dapat mengarahkan program-program yang terkait aktivitas kurban, khususnya yang dijalankan oleh lembaga-lembaga zakat dapat sejalan dengan program pemerintah, khususnya pengentasan kemiskinan. Diskusi, komunikasi, dan pemetaan data kemiskinan antara pemerintah dan lembaga-lembaga zakat dapat dilakukan sehingga masyarakat, khususnya kaum duafa secara inklusif dapat menerima kurban tanpa ada yang tertinggal. Data-data seperti indeks kemiskinan multidimensional, data kondisi nutrisi masyarakat miskin, dan data lain yang terkait juga relevan untuk memaksimalkan penyaluran kurban bagi masyarakat yang betul-betul membutuhkan.
(mhd)