Mengkaji Lagi Kebijakan Lima Hari Sekolah

Rabu, 30 Agustus 2017 - 07:25 WIB
Mengkaji Lagi Kebijakan...
Mengkaji Lagi Kebijakan Lima Hari Sekolah
A A A
SUWENDI
Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah

JURU Bicara Presiden Johan Budi pada Senin (21/8/2017) menyampaikan informasi terkait kebijakan lima hari sekolah (5HS).

Sebagaimana dikutip oleh beberapa media, bila peraturan presiden (Perpres) terbit, Permendikbud tak akan punya kekuatan lagi. Dengan kata lain, Perpres tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang akan dilahirkan itu akan membatalkan Permendikbud Nomor 23/2017 tentang Hari Sekolah.

Meski pernyataan itu diungkapkan oleh juru bicara presiden, tampaknya kita perlu terus melihat kepastian berikutnya. Masih ingat dalam benak kita, pada 20 Juni 2017 Ketua Umum MUI KH Maruf Amin menyampaikan bahwa presiden merespons aspirasi yang berkembang di masyarakat dan ormas Islam. Karena itu, presiden akan melakukan penataan ulang aturan lima hari sekolah.

Bagi sebagian besar masyarakat, pernyataan KH Maruf Amin itu dipahami sebagai bentuk pembatalan atas Permendikbud Nomor 23/2017 tentang Hari Sekolah itu. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Mendikbud dan seluruh jajaran Kemendikbud secara masif dan bergerilya melakukan sosialisasi dan pemberlakuan kebijakan 5HS.

Bagi Mendikbud, kebijakan 5HS itu tidak dibatalkan, tetapi akan diperkuat dengan Perpres. Dalam konteks pembatalan 5HS, setidaknya ada dua poin penting yang harus termaktub dalam Perpres tentang Penguatan Pendidikan Karakter itu.

Pertama, pada ketentuan penutup atau pasal peralihan yang biasanya terdapat di akhir harus dinyatakan secara tegas bahwa ”Pada saat Perpres ini mulai berlaku, Permedikbud Nomor 23/2017 tentang Hari Sekolah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

Ayat ini harus dinyatakan secara sharih dan tegas agar tidak ada penafsiran yang beragam (multitafsir) dan tidak ada ruang yang digunakan untuk ber-hilah.Sebab, dalam draf Perpres yang beredar, setidaknya ada opsi lain pada ketentuan penutup, yang berbunyi: ”Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penguatan pendidikan karakter dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini”.

Jika pilihan terakhir yang tertera dalam Perpres ini, bisa jadi Permendikbud Nomor 23/ 2017 tetap berlaku. Sebab, proses pembuktian akan pertentangan antara Permendikbud Nomor 23/2017 dengan Perpres tentang Penguatan Pendidikan Karakter perlu penelaahan lebih lanjut. Tidak otomatis dipahami secara bertentangan.

Kedua, Perpres sebaiknya tidak mengatur atas pelaksanaan pendidikan karakter itu pada lima atau enam hari dalam satu minggu pada jalur pendidikan formal. Peraturan Presiden ini meregulasi terkait pendidikan karakter sehingga perlu ada afirmasi bahwa penguatan pendidikan karakter itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

Pendidikan karakter terjadi di satuan pendidikan, masyarakat, dan keluarga. Ketiganya harus didudukkan sebagai tiga tumpu pendidikan secara sinergis dan tidak menjadi subordinasi.

Oleh karenanya, proses pendidikan karakter itu terjadi di mana pun dan kapan pun. Pendidikan karakter tidak hanya terjadi pada hari-hari tertentu, apalagi dibatasi lima atau enam hari dalam satu minggu.

Kedua syarat inilah yang menurut hemat penulis perlu ditulis di dalam Perpres tentang Penguatan Pendidikan Karakter itu. Jika kedua syarat ini benar-benar tertera di dalam Perpres, penulis memiliki ketetapan kuat bahwa kebijakan 5HS tidak ada dasarnya sama sekali.

Namun demikian, kalaupun harus mengakomodasi atas pelaksanaan 5HS sehingga pilihan 5HS harus muncul dalam Perpres tersebut, maka itu harus dilakukan dengan syarat yang ketat.

Pertama, pelaksanaan 5HS tidak ditetapkan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Namun, ketentuan pelaksanaan 5HS itu diputuskan langsung oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.

Hal ini didasarkan atas konsistensi terhadap prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS), sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Prinsip MBS memastikan bahwa otonomi penyelenggaraan pendidikan sangat besar ditentukan oleh satuan pendidikan sesuai karakteristik dan keunggulannya masing-masing, bukan oleh pemerintah.

Oleh karenanya, dalam konteks ini, Permendikbud Nomor 23/2017 itu sejatinya kontraproduktif dengan UU Nomor 20/2003 itu sendiri.

Kedua, pelaksanaan 5HS pada satuan pendidikan itu harus terjamin ketersediaan guru dan tenaga kependidikan yang memadai. Dalam kondisi saat ini, kita mengalami kekurangan guru pendidikan agama Islam (GPAI) yang sangat besar.

Data Kementerian Agama, saat ini sekolah mengalami kekurangan GPAI yang tidak kurang dari 22.000 untuk seluruh Indonesia. Oleh karenanya, sering kali kita temui sekolah dengan jumlah siswa ratusan jiwa hanya satu GPAI pada sekolah tersebut. Belum lagi, jika GPAI itu berjenis kelamin perempuan, yang secara teknis ketika Jumat kesulitan mencari khatib Jumat.

Ketiga, ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah harus benar-benar lengkap dan terjamin sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan 5HS.

Sarana ruang kelas untuk belajar sehingga tidak terjadi double-shift, ketersediaan air bersih dan MCK yang menjamin kebutuhan para siswa dan guru, ruang ibadah yang bersih dan dapat menampung seluruh siswa, ketersediaan kantin bersih dan sehat, serta sarana transportasi yang memadai, mau tidak mau menjadi sebuah keharusan jika sekolah tersebut akan memutuskan pelaksanaan 5HS.

Keempat, pelaksanaan 5HS tidak berbenturan dengan kearifan lokal masyarakat sekitar, termasuk tidak mengganggu pelaksanaan pendidikan keagamaan Islam yang telah berlangsung di masyarakat tersebut, seperti telah berjalannya pendidikan di madrasah diniyah takmiliyah, pondok pesantren atau pendidikan Alquran.

Layanan pendidikan keagamaan Islam ini telah berdiri dan hadir di tengah-tengah masyarakat jauh sebelum Indonesia merdeka. Dari lembaga-lembaga inilah telah lahir berbagai tokoh dan generasi bangsa yang memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Bahkan pendidikan karakter jauh telah dibuktikan secara nyata oleh layanan pendidikan keagamaan Islam itu.

Kita sering melihat dan mendengar terjadinya tawuran justru pada siswa-siswa sekolah. Namun kita jarang untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali terjadinya tawuran di kalangan santri-santri madrasah diniyah, pondok pesantren, atau pendidikan Alquran.

Dengan demikian, melaksanakan 5HS yang mematikan layanan pendidikan di madrasah diniyah takmiliyah, pondok pesantren, atau pendidikan Alquran, sesungguhnya telah menggagalkan penyelenggaraan pendidikan karakter itu sendiri.

Kelima, pelaksanaan 5HS harus diputuskan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama sekitar sekolah. Sekolah bukanlah lembaga pendidikan yang dimiliki oleh dunianya sendiri, namun berada di tengah-tengah masyarakat sekitar.

Sekolah harus peka dan memperhatikan terhadap situasi masyarakat sekitar. Sekolah yang tidak melibatkan masyarakat sekitar merupakan sekolah yang gagal atas fungsi dirinya sebagai lembaga pendidikan.

Kelima syarat terebut perlu untuk ditegaskan secara nyata, jika di dalam Perpres itu membuka atas pelaksanaan 5HS. Syarat-syarat tersebut pada hakikatnya untuk membentengi dan mengawal agar penguatan pendidikan karakter agar benar-benar berjalan dengan semestinya.

Sebab, pada dasarnya antara kebijakan 5HS dan penguatan pendidikan karakter tidak memiliki relevansi secara signifikan. Namun jika harus diakomodasi juga, perlu persyaratan-persyaratan yang disepakati secara tegas.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0565 seconds (0.1#10.140)