Mesin Kemerdekaan Bernama Biodiversity

Sabtu, 26 Agustus 2017 - 09:10 WIB
Mesin Kemerdekaan Bernama...
Mesin Kemerdekaan Bernama Biodiversity
A A A
IGG Maha Adi
Penggiat Ekoliterasi Indonesia

SEMANGAT kemerdekaan jarang disangkutkan pada isu keanekaragaman hayati (biodiversity). Padahal, Indonesia dapat memakai kekayaan hayatinya untuk menggerakkan mesin perekonomian lebih kuat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Sejak gandum pertama dibudidayakan manusia di kawasan Bulan Sabit Kesuburan (Fertility Crescent) 11.000 tahun lalu, biodiversity mulai diatur untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Sayangnya, hubungan manusia-biodiversity tidak berkembang lebih jauh dari hubungan instrumental; biodiversity hanya bernilai selama dia berguna untuk manusia. Di masyarakat modern, keanekaragaman hayati selalu berada dalam tekanan yang konstan karena dipahami sebagai entitas satu dimensi, yaitu objek ekonomi belaka. Selama dia tidak bisa dikuantifikasi secara ekonomi atau dipanen untuk memenuhi kebutuhan manusia, eksistensinya dianggap tidak berarti.

Jalan Alam & Jalan Ekonomi
Perlombaan menemukan surga rempah-rempah Maluku telah mendorong penjelajahan dan kolonialisme Eropa di seluruh dunia pada abad ke-13. Indonesia memang memiliki ”posisi sempurna” untuk pertumbuhan berbagai spesies hewan dan tumbuhan karena diuntungkan oleh posisi geografis dan kondisi geomorfologisnya. Iklim yang tidak ekstrem serta sinar matahari dan curah hujan yang cukup sepanjang tahun membuat semua tumbuh subur.

Bila digabungkan darat dan laut, biodiversity Indonesia menjadi yang terkaya di dunia. Luas Indonesia hanya 1,3% dari luas bumi, tetapi diperkirakan 15% dari total kekayaan hayati yang sudah tercatat di dunia dapat ditemui di Indonesia. Dari Kepulauan Raja Ampat Papua saja ditemukan sekitar 537 jenis terumbu karang atau 75% dari seluruh spesies terumbu karang yang pernah ditemukan di bumi.

Keunggulan alam juga membuat Indonesia memiliki berbagai rasa kopi, sapi bali, tembakau deli, karet, kelapa sawit, bermacam-macam kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Sampai hari ini Indonesia masih menjadi eksportir utama pala, kayu manis, cengkeh, lada, dan menyumbang 16% produksi kakao dan 7% kebutuhan kopi dunia, serta eksportir utama minyak sawit mentah. Ekspor produk pertanian Indonesia tahun 2015 hanya USD5,6 miliar atau 3,49% dari total ekspor. Namun, nilainya lebih besar dibandingkan produk sampingan minyak bumi, tambang, dan gas yang terus menurun, belum terhitung 19,45% sumbangan hasil olahan kelapa dan kelapa sawit untuk ekspor di sektor industri.

Tahun 2009, The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB) mengeluarkan laporan yang memberikan gambaran nilai ekonomi global dari biodiversity. Untuk farmasi bernilai USD640 miliar, bioteknologi USD70 miliar, bibit pertanian USD30 miliar, atau suplemen herbal USD22 miliar, belum terhitung ekoturisme dan nilai nonekonomi, seperti nilai sosial, budaya, dan religi. Diperkirakan 40% perdagangan dunia berbasis produk atau olahan biologis.

Jalan Kepunahan

Namun, biodiversity sesuatu yang rapuh. Di daerah tropis seperti Indonesia, ekosistem membutuhkan waktu yang lama untuk pulih. Tanah di hutan hujan tropis miskin unsur hara dan jika dibiarkan terkena matahari langsung akan cepat menjadi kritis. Spesies di daerah tropis juga lebih sensitif terhadap kenaikan suhu lingkungan dibandingkan kawasan lainnya.

Laporan The International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List mengungkapkan, selama periode 2001-2012 terjadi peningkatan risiko kepunahan fauna di Indonesia antara 279%-2.733%. Selain itu, tahun 2014 Indonesia mempunyai 24,3 juta lahan kritis yang mengurangi nilai biodiversity. Indonesia juga salah satu yang terendah alokasi dana untuk taman nasional, hanya USD4/hektare/tahun.

Kenyataannya, sumbangan ekspor komoditas berbasis biodiversity untuk perekonomian nasional terus menurun karena meningkatnya impor produk pertanian. Pada periode 2003-2013, nilai impor melonjak dari USD3,34 miliar menjadi USD14,90 miliar. Akibatnya, petani yang tertarik mengembangkan varietas padi, buah, sayur, atau ternak semakin berkurang karena semua produk impor ada di pasar.

Akhirnya, banyak jenis biodiversity lokal yang bernilai ekonomi akan terancam punah. Apa yang mengkhawatirkan dari akselerasi pembangunan adalah kecenderungannya terjebak pada myopic policy, yaitu fokus pada output material jangka pendek, dengan mengorbankan modal masa depan berupa kerusakan hutan, sungai, danau, gunung, ikan, dan terumbu karang.

Jalan Masa Depan

Presiden Joko Widodo memberikan sertifikat hutan kepada 12 komunitas adat. Tetapi, memastikan ekosistem ini dikelola secara berkelanjutan adalah isu lebih besar. Pada 1997, Costa Rica mulai memberikan insentif kepada setiap warga negara atau komunitas yang mampu menjaga hutan mereka sebesar USD20 setiap 0,4 hektare per tahun. Inilah awal konsep Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang kini diterima secara internasional.

Karena keanekaragaman hayati adalah isu lintas sektoral dan bidang, pengelolaannya sebaiknya dilakukan satu badan nasional. Badan ini akan membantu pemerintah membuat satu kebijakan dan strategi pengelolaan biodiversity, termasuk bagaimana memberi nilai tambah yang signifikan untuk perekonomian nasional. Tanpa satu lembaga yang kuat, sulit melakukan koordinasi, harmonisasi, apalagi nilai tambah.

Jalan dan Mitos

Tersebutlah Antaeus, sang raksasa Yunani. Dia mendapatkan kekuatan dari ibunya, Gaia, Dewi Bumi. Kapan saja tubuhnya menyentuh bumi, dia akan hidup kembali. Tahu akan kelemahan ini, dalam satu pertarungan, Hercules mengangkat dan menahan tubuh Antaeus di udara sampai dia lemah dan hancur. Keterpisahan dari bumi memang selalu menjadi penghalang dalam cara kita menilai alam. Mungkinkah kita sedang menjalani takdir Antaeus?
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.6743 seconds (0.1#10.140)