Menguji Akuntabilitas Pengelolaan Dana Haji
A
A
A
Erika Takidah
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
DALAM sepekan terakhir tiba-tiba dana haji menjadi pusat perbincangan berbagai kalangan, baik politisi, pemerintah, para ulama hingga rakyat biasa. Sesaat setelah Presiden Joko Widodo mengusulkan bahwa dana haji akan dimanfaatkan untuk pembiayaan infrastruktur, seketika itu pula riuh kalangan masyarakat ingin membahas topik ini.
Tayangan serta tulisan pro kontra mengenai dana haji menghiasi panggung-panggung diskusi dan media cetak. Para pakar mencoba menganalisis dari berbagai sudut pandang, sisi fiqih, psikologis umat, kondisi keuangan negara, pelayanan haji yang diberikan dan banyak lagi.
Sedangkan masyarakat yang notabene adalah pemilik dana yang sesungguhnya hanya mencoba memahami sambil bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengan dana haji milik kami. Polemik dana haji ini pun bukanlah berita baru. Dana haji milik calon jamaah haji Indonesia per tahun 2017 diperkirakan sekitar Rp92 triliun, tentunya angka yang fantastis dan menggiurkan.
Dana ini milik umat yang dikumpulkan untuk biaya menunaikan ibadah haji. Sementara urusan haji ditangani oleh Ditjen Haji dan Umrah Kementerian Agama RI. Sudah banyak pihak yang bertanya, dana sebanyak itu disimpan d imana? Dikelola untuk apa? Lembaga keuangan manakah yang menampung dana ini? Dan, masih banyak pertanyaan-pertanyaan atas keberadaan dana ini.
Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut karena masyarakat sebenarnya menunjukkan tingkat kepercayaan yang rendah pada pemerintah namun masyarakat tidak memiliki pilihan lain untuk menyetorkan dana haji apalagi dengan kondisi keuangan yang tidak mencukupi. Dengan mendaftar dan menyerahkan setoran BPIH (biaya penyelenggaraan ibadah haji) sebesar Rp25 juta pun masih harus menunggu sampai belasan tahun.
Di sisi lain pemerintah tidak mengedepankan prinsip transparansi atas pengelolaan dana haji ini. Ada secercah harapan hadir saat UU Nomor 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji disahkan. Dengan demikian ada regulasi yang jelas mengatur pengelolaan dana haji milik masyarakat.
Dalam UU tersebut dengan tegas mengatur pengelolaan dana haji dengan “mengharamkan” penempatan dana tersebut pada instrumen non-halal atau berbasis bunga, ini artinya dana haji harus ditempatkan di lembaga keuangan berbasis syariah. Walaupun implementasi dari UU ini pun masih harus diawasi terus oleh masyarakat namun minimal keresahan masyarakat bisa terobati bahwa dana yang disetorkan tidak akan tercampur oleh bunga dan riba.
Berbagai alternatif investasi menjadi pilihan untuk pengelolaan dana haji. Selama ini dana haji banyak ditempatkan diinstrumen sukuk. Penggunaan dana haji untuk infrastruktur memang masih diwacanakan oleh presiden akhir-akhir ini. Wacana inilah yang justru mendapatkan reaksi dari umat.
Membangun Kepercayaan Umat
Kegelisahan umat atas pengelolaan dana haji telah tercermin dari banyaknya keluhan saat melaksanakan ibadah haji. Indonesia dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia mendapatkan pelayanan yang minimalis, apalagi jika dibandingkan dengan negeri jiran Malaysia yang dapat mengelola jamaahnya lebih baik.
Padahal dari sisi biaya yang dikeluarkan oleh calon jamaah selisihnya tidak banyak. Kepercayaan umat terus merosot apalagi Kementerian yang mengelola dana haji ini rawan praktik korupsi. Namun tidak ada kata terlambat untuk terus memperbaiki sistem yang ada.
Langkah awal adalah membangun kepercayaan umat, dengan dilantiknya Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) pada tanggal 26 Juli 2017 lalu. Proses seleksi yang ketat dan memakan waktu lama akhirnya memilih orang-orang yang independen, profesional dan kompeten untuk mengemban amanah pengelolaan dana haji setelah sekian lama pengelolaan keuangan haji hanya menjadi misteri bagi umat.
Lembaga BPKH ini dipertaruhkan untuk meraih kepercayaan umat, dibutuhkan niat yang baik dengan membuka akses informasi mengenai dana haji ini secara transparan dan akuntabel. Tentunya banyak tahapan yang harus dilalui untuk menarik kepercayaan umat, karena disaat yang bersamaan membangun kepercayaan umat ini harus beradu dengan berbagai konflik psikologis dan konflik kepentingan.
Di hari-hari pertamanya BPKH harus bekerja keras untuk membuktikan integritasnya sehingga kepercayaan masyarakat bertambah. Jika kepercayaan masyarakat sudah dalam kategori yang tinggi maka kemanapun dana haji ditempatkan tidak akan menjadi masalah bagi mereka.
Menguatkan Tata Kelola
Permasalahan pengelolaan dana haji tidak otomatis selesai dengan dibentuknya BPKH ini. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Walaupun personil BPKH ini adalah orang-orang terpilih yang sudah teruji integritas dan kejujurannya, namun tata kelola lembaga ini haruslah dikuatkan.
Ujian awal lembaga ini adalah membuktikan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan dana haji yang akan diambil, dapat dipertanggungjawabkan baik dari sisi fiqih maupun sisi keuangan. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang penuh atas penempatan dana sampai pada imbal hasil yang diberikan.
BPKH harus membuktikan bahwa semua penempatan dana harus sesuai dengan akad syariah. Koordinasi antar lembaga seperti Dewan Syariah Nasional MUI, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberatasan Korupsi, Ikatan Akuntan Indonesia, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan dan masih banyak lagi harus ikut berpartisipasi menguatkan tata kelola lembaga ini dengan serius.
Bercermin pada Lembaga Tabung Haji Malaysia, ketika dukungan dari masyarakat dan pemerintah kuat maka lembaga akan menjadi kuat. Pengelolaan keuangan dana haji harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika diibaratkan maka calon jamaah haji pemilik dana adalah stakeholders dari lembaga ini, mereka memiliki hak penuh untuk mengetahui dana yang mereka miliki ditempatkan dimana dan berkembang sampai sejauh mana. Selain itu hal yang ditunggu oleh masyarakat adalah kinerja lembaga atas perencanaan program dan proses juga tujuan yang akan dicapai secara efektif dan efisien.
Dana haji adalah dana milik umat, dana calon jamaah haji yang mungkin disaat mengumpulkannya perlu perjuangan yang berat. Tentunya mengelola lembaga ini tidak bisa sembarangan maka wajib untuk berpedoman pada tata kelola lembaga yang baik (good governance) karena tanggung jawab yang dipikul adalah tanggung jawab vertikal dan horizontal, tanggungjawab dunia dan akhirat.
Inilah tantangan berat bagi pemerintah demi mewujudkan pengelolaan dana haji yang akuntabel. Namun jika BPKH bisa membuktikan itu semua, maka harapan pengelolaan haji yang profesional di Indonesia akan menjadi suatu keniscayaan.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
DALAM sepekan terakhir tiba-tiba dana haji menjadi pusat perbincangan berbagai kalangan, baik politisi, pemerintah, para ulama hingga rakyat biasa. Sesaat setelah Presiden Joko Widodo mengusulkan bahwa dana haji akan dimanfaatkan untuk pembiayaan infrastruktur, seketika itu pula riuh kalangan masyarakat ingin membahas topik ini.
Tayangan serta tulisan pro kontra mengenai dana haji menghiasi panggung-panggung diskusi dan media cetak. Para pakar mencoba menganalisis dari berbagai sudut pandang, sisi fiqih, psikologis umat, kondisi keuangan negara, pelayanan haji yang diberikan dan banyak lagi.
Sedangkan masyarakat yang notabene adalah pemilik dana yang sesungguhnya hanya mencoba memahami sambil bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengan dana haji milik kami. Polemik dana haji ini pun bukanlah berita baru. Dana haji milik calon jamaah haji Indonesia per tahun 2017 diperkirakan sekitar Rp92 triliun, tentunya angka yang fantastis dan menggiurkan.
Dana ini milik umat yang dikumpulkan untuk biaya menunaikan ibadah haji. Sementara urusan haji ditangani oleh Ditjen Haji dan Umrah Kementerian Agama RI. Sudah banyak pihak yang bertanya, dana sebanyak itu disimpan d imana? Dikelola untuk apa? Lembaga keuangan manakah yang menampung dana ini? Dan, masih banyak pertanyaan-pertanyaan atas keberadaan dana ini.
Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut karena masyarakat sebenarnya menunjukkan tingkat kepercayaan yang rendah pada pemerintah namun masyarakat tidak memiliki pilihan lain untuk menyetorkan dana haji apalagi dengan kondisi keuangan yang tidak mencukupi. Dengan mendaftar dan menyerahkan setoran BPIH (biaya penyelenggaraan ibadah haji) sebesar Rp25 juta pun masih harus menunggu sampai belasan tahun.
Di sisi lain pemerintah tidak mengedepankan prinsip transparansi atas pengelolaan dana haji ini. Ada secercah harapan hadir saat UU Nomor 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji disahkan. Dengan demikian ada regulasi yang jelas mengatur pengelolaan dana haji milik masyarakat.
Dalam UU tersebut dengan tegas mengatur pengelolaan dana haji dengan “mengharamkan” penempatan dana tersebut pada instrumen non-halal atau berbasis bunga, ini artinya dana haji harus ditempatkan di lembaga keuangan berbasis syariah. Walaupun implementasi dari UU ini pun masih harus diawasi terus oleh masyarakat namun minimal keresahan masyarakat bisa terobati bahwa dana yang disetorkan tidak akan tercampur oleh bunga dan riba.
Berbagai alternatif investasi menjadi pilihan untuk pengelolaan dana haji. Selama ini dana haji banyak ditempatkan diinstrumen sukuk. Penggunaan dana haji untuk infrastruktur memang masih diwacanakan oleh presiden akhir-akhir ini. Wacana inilah yang justru mendapatkan reaksi dari umat.
Membangun Kepercayaan Umat
Kegelisahan umat atas pengelolaan dana haji telah tercermin dari banyaknya keluhan saat melaksanakan ibadah haji. Indonesia dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia mendapatkan pelayanan yang minimalis, apalagi jika dibandingkan dengan negeri jiran Malaysia yang dapat mengelola jamaahnya lebih baik.
Padahal dari sisi biaya yang dikeluarkan oleh calon jamaah selisihnya tidak banyak. Kepercayaan umat terus merosot apalagi Kementerian yang mengelola dana haji ini rawan praktik korupsi. Namun tidak ada kata terlambat untuk terus memperbaiki sistem yang ada.
Langkah awal adalah membangun kepercayaan umat, dengan dilantiknya Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) pada tanggal 26 Juli 2017 lalu. Proses seleksi yang ketat dan memakan waktu lama akhirnya memilih orang-orang yang independen, profesional dan kompeten untuk mengemban amanah pengelolaan dana haji setelah sekian lama pengelolaan keuangan haji hanya menjadi misteri bagi umat.
Lembaga BPKH ini dipertaruhkan untuk meraih kepercayaan umat, dibutuhkan niat yang baik dengan membuka akses informasi mengenai dana haji ini secara transparan dan akuntabel. Tentunya banyak tahapan yang harus dilalui untuk menarik kepercayaan umat, karena disaat yang bersamaan membangun kepercayaan umat ini harus beradu dengan berbagai konflik psikologis dan konflik kepentingan.
Di hari-hari pertamanya BPKH harus bekerja keras untuk membuktikan integritasnya sehingga kepercayaan masyarakat bertambah. Jika kepercayaan masyarakat sudah dalam kategori yang tinggi maka kemanapun dana haji ditempatkan tidak akan menjadi masalah bagi mereka.
Menguatkan Tata Kelola
Permasalahan pengelolaan dana haji tidak otomatis selesai dengan dibentuknya BPKH ini. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Walaupun personil BPKH ini adalah orang-orang terpilih yang sudah teruji integritas dan kejujurannya, namun tata kelola lembaga ini haruslah dikuatkan.
Ujian awal lembaga ini adalah membuktikan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan dana haji yang akan diambil, dapat dipertanggungjawabkan baik dari sisi fiqih maupun sisi keuangan. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang penuh atas penempatan dana sampai pada imbal hasil yang diberikan.
BPKH harus membuktikan bahwa semua penempatan dana harus sesuai dengan akad syariah. Koordinasi antar lembaga seperti Dewan Syariah Nasional MUI, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberatasan Korupsi, Ikatan Akuntan Indonesia, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan dan masih banyak lagi harus ikut berpartisipasi menguatkan tata kelola lembaga ini dengan serius.
Bercermin pada Lembaga Tabung Haji Malaysia, ketika dukungan dari masyarakat dan pemerintah kuat maka lembaga akan menjadi kuat. Pengelolaan keuangan dana haji harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika diibaratkan maka calon jamaah haji pemilik dana adalah stakeholders dari lembaga ini, mereka memiliki hak penuh untuk mengetahui dana yang mereka miliki ditempatkan dimana dan berkembang sampai sejauh mana. Selain itu hal yang ditunggu oleh masyarakat adalah kinerja lembaga atas perencanaan program dan proses juga tujuan yang akan dicapai secara efektif dan efisien.
Dana haji adalah dana milik umat, dana calon jamaah haji yang mungkin disaat mengumpulkannya perlu perjuangan yang berat. Tentunya mengelola lembaga ini tidak bisa sembarangan maka wajib untuk berpedoman pada tata kelola lembaga yang baik (good governance) karena tanggung jawab yang dipikul adalah tanggung jawab vertikal dan horizontal, tanggungjawab dunia dan akhirat.
Inilah tantangan berat bagi pemerintah demi mewujudkan pengelolaan dana haji yang akuntabel. Namun jika BPKH bisa membuktikan itu semua, maka harapan pengelolaan haji yang profesional di Indonesia akan menjadi suatu keniscayaan.
(whb)