Negara Tanpa Peradilan

Jum'at, 25 Agustus 2017 - 08:45 WIB
Negara Tanpa Peradilan
Negara Tanpa Peradilan
A A A
M Nasir Djamil
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS

BEBERAPA waktu belakangan masyarakat digegerkan dengan sejumlah langkah pemerintah yang dipandang kurang memperhatikan sensitifitas isu-isu demokrasi kontemporer. Salah satu yang membetot perhatian adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) yang melahirkan polemik dan menjadi pemicu ketegangan di masyarakat.

Parahnya, polemik ketidakjelasan lahirnya Perppu Ormas ini kian meruncing. Pasalnya, di tengah ketidakjelasan pengaturan yang dapat menimbulkan pasal ‘karet’ ini, pemerintah gencar mengkaji ormas-ormas apa saja yang layak dibubarkan berdasarkan perppu tersebut. Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang pertama merasakan kerasnya Perppu ini. Tidak tanggung-tanggung, Kapolri menyatakan telah mengantongi sejumlah nama ormas yang layak dibubarkan sesuai kriteria Perppu tersebut.

Tidak mudah memahami situasi kebatinan pemerintah akhir-akhir ini. Selain kerap menimbulkan kegaduhan, pemerintah justru dengan mudah menggunakan tafsir tunggal ‘situasi genting’ sebagai alasan pembenar lahirnya Perppu Ormas ini.

Meskipun dalam penjelasan perppu, merujuk argumentasi Pasal 4 ICCPR/kovenan internasional tentang hak sipil dan politik, namun penjelasan itu tidak jelas membedakan situasi daruratnya (emergency situation). Padahal dalam hukum ketatanegaraan hal ini dibedakan menjadi dua, staatsnoodrecht dan noodstaatsrecht. Tanpa kejelasan kualifikasi posisi situasi itu, maka pemerintah bisa setiap saat menggunakan otoritasnya membubarkan ormas.

Terlihat sekali jika kemudian langkah ini melahirkan persepsi publik bahwa pemerintah memiliki potensi sikap represif dan tanpa kompromi yang terkadang ditempatkan pada situasi yang kurang tepat. Fungsi pemerintah yang sejatinya memberikan pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan, justru dikesampingkan.

Perppu Ormas juga dipandang sebagai sikap curiga pemerintah yang berlebihan terhadap rakyatnya sendiri. Sulit rasanya situasi seperti ini membendung persepsi publik tentang potensi represif, otoriter, bahkan diktator dari rezim.

Persepsi ini mungkin berlebihan. Namun, dalih sikap pemerintah dengan ngotot mengeluarkan Perppu Ormas ini tidak mudah mengesampingkan kegelisahan publik tersebut. Apalagi sejumlah kondisi sebelumnya pemerintah dihadapkan pada perkembangan maraknya organisasi masyarakat yang dinilai bertentangan dengan UUD RI 1945 dan Pancasila akhir-akhir ini.

Apalagi tidak sedikit ormas yang melakukan kekerasan terhadap individu atau kelompok yang dianggap berbeda dengan cara main hakim sendiri, eigenrichting atau persekusi. Tentu, kondisi ini tidak baik dan mengancam keutuhan bangsa Indonesia yang beragam serta mengingkari sejarah berdirinya negara ini.

Namun, sekalipun konteks tersebut perlu perhatian khusus pemerintah, terbitnya Perppu dengan muatan substansi yang membubarkan ormas tanpa melalui mekanisme keberatan, atau alasan yang biasanya dibuktikan melalui proses peradilan, memungkinkan pemerintah akan berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya. Ancaman pembubaran ormas tanpa proses pengadilan harus diakui mengancam kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat.

Nihilisme

Sejumlah ketidakjelasan ini menunjukan pola nihilisme peradilan yang diterapkan pemerintah. Nihilisme sebagaimana yang sering dihubungkan dengan Friedrich Nietzsche, merupakan terminologi untuk menggambarkan apa saja yang dulu diangggap bernilai dan bermakna, kini sudah mulai memudar dan menuju keruntuhan.

Dalam kaitannya dengan terminologi tersebut, terbitnya perppu ini seakan memangkas proses hukum yang seharusnya ditempuh, terutama menegakan hukum atas segala tindakan ormas yang telah melanggar hukum. Padahal, pertanggungjawaban hukum itu menjadi penting sebagai pijakan apakah negara ini bekerja dan patuh pada prinsip-prinsip negara hukum. Impunitas atas pelaku kekerasan sesungguhnya pekerjaan yang mendasar bagi pemerintah dan jajaran penegak hukum.

Selain itu, Perppu Ormas dirasakan berlebihan dan tidak tepat menempatkan standar hukum HAM internasional, serta mencederai prinsip-prinsip negara hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD RI 1945. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah kemunduran demokrasi dan ancaman kebebasan sipil dalam berekspresi, berpendapat, berserikat, berkumpul dan merendahkan kualitas perlindungan hak asasi manusia. Kondisi ini jelas menunjukan nihilisme peradilan dan HAM dalam penerbitan Perppu Ormas ini.

Untuk itu DPR mestinya menjadi solusi terhadap persoalan ini. Beberapa hari lagi, DPR akan memasuki masa sidang, sebagaimana ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perppu yang buat oleh pemerintah harus diajukan kepada DPR.

Kini saatnya DPR untuk melihat secara kritis dan lebih cermat apakah unsur kegentingan yang memaksa dalam lahirnya Perppu Nomor 2/2017 itu benar terjadi atau sekadar akan terjadi. Tentu sebagai corong utama suara rakyat, DPR harus dapat mengembalikan jalannya negara demokratis ini ke rel yang tepat dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi dan perhormatan terhadap Hak Asasi Manusia.

Meski keberadaan Undang-Undang Nomor 14/2013 tentang Ormas dirasa sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, namun menggantinya dengan melahirkan Perppu yang represif bukanlah solusi yang tepat. Pemerintah diharapkan dapat kembali pada fungsi yang sebenarnya, bukan justru sebagai pemicu kegaduhan nasional. Apalagi menjadi sosok pemerintah yang otoriter. Semoga tidak terjadi.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1048 seconds (0.1#10.140)