Tanggapi FDS Sesuai Hukum
A
A
A
Nurul Ghufron
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember
MENTERI pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 23/2017 tentang Hari Sekolah (Permen 23/17). Dalam Pasal 2 menetapkan hari masuk sekolah 8 jam dalam 1 hari atau 40 jam selama 5 hari dalam 1 (satu) minggu (FDS), hari sekolah ini mengubah hari sekolah yang sebelumnya 6 hari seminggu, 6 jam per hari. Publik langsung merespons secara masif. NU paling keras menolak, mengingat siswa kemudian akan pulang sekolah pada jam 16.00, ini mengancam lembaga madrasah, yang biasanya beroperasi dari pukul 14.00-17.00.
Landasan penerbitan Permen No 23/17 ini, Mendikbud menjelaskan: "Semangat PP No 19/2017 tentang Guru, sebetulnya ada dua isu yang terkait dengan lima hari kerja. Pertama, masalah beban kerja guru. Di dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru & Dosen) beban kerja guru itu minimal 24 jam tatap muka di kelas dalam seminggu. Jadi, selama ini kerja guru itu hanya diakui tatkala berada di depan kelas. Ternyata dalam praktiknya, banyak guru yang tidak bisa memenuhi. Beberapa tahun terakhir anggaran untuk tunjangan profesi guru ini menjadi Silpa (sisa anggaran) yang cukup besar. Kedua, di dalam hari sekolah, delapan jam itu termasuk pelaksanaan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dalam rangka program Penguatan Pendidikan Karakter (P2K), salah satu Program Aksi dari Nawacita, janji kampanye Jokowi-JK di bidang pendidikan, yaitu pendidikan karakter.
Tulisan ini mencoba mengurai secara yuridis karena kebijakan FDS ini diterbitkan dengan produk hukum peraturan menteri. Perspektif yuridis ini dipilah dari spirit hukum, substansi, dan harmonisasinya dengan peraturan perundangan.
Pertama, linearitas spirit, apakah semangat tersebut tertuang dan tepat memberikan pengaturan kepada subjek yang dituju. Dalam konsideran Permen ditegaskan bahwa untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan perkembangan era globalisasi, perlu penguatan karakter bagi peserta didik melalui restorasi pendidikan karakter di sekolah. Asumsinya, restorasi pendidikan karakter dilakukan FDS. Sulit dipahami bagaimana korelasi restorasi pendidikan karakter dengan FDS tersebut.
Apalagi, secara lisan Mendikbud menjelaskan bahwa penerbitan Permen ini semangat untuk meningkatkan beban kerja bagi guru mata pelajaran tertentu, misalnya antropologi, bahasa asing, agama, yang selama ini tidak dapat memenuhi beban kerjanya. Padahal, masalahnya bukan pada kekurangan jam sekolah, tetapi distribusi jam pelajaran yang merupakan turunan dari kurikulum yang memberikan porsi yang minim untuk pelajaran tersebut.
Jangan bebani siswa hanya untuk mendapatkan tunjangan profesi guru. Pun demikian dengan pendidikan karakter, bukan masalah kurangnya waktu, kedisiplinan, kejujuran, daya juang, dan karakter lainnya adalah proses internalisasi teladan karakter dalam setiap proses pendidikan, bukan bergantung pada waktu dan mata pelajaran tertentu.
Kedua, dasar hukum yang menjadi landasan pengaturan Permen FDS ini adalah PP No 19/2017 tentang Guru, yang jelas-jelas hanya subjek yang diatur adalah "guru" sehingga semestinya aturan turunan dari PP ini hanya untuk dan tertuju kepada guru, sangat tidak adil demi memenuhi kebutuhan beban kerja guru, tapi siswa yang tidak ada sangkut pautnya dengan tunjangan sertifikasi guru juga terbebani. Lebih dari itu, PP No 19/2017 adalah perubahan dari PP No 74/2008 tentang Guru yang merupakan implementasi UU Guru & Dosen, dari Pasal 10 sampai Pasal 40.
Dalam Pasal 35 Ayat (2) ditegaskan, beban kerja guru minimal 24 jam dan maksimal 40 jam per minggu. Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Jadi, tidaklah benar bahwa beban kerja guru hanya diperhitungkan pada saat tatap muka di kelas karena proses perencanaan, menilai hasil pembelajaran tidak terbatas di kelas. Apalagi jika guru kemudian masih dapat melaksanakan tugas tambahan ekstra dan kokurikuler, baik di dalam maupun di luar sekolah.
Ketiga, harmonisasi horizontal, dalam Permen ini juga masih bermasalah karena terkesan melemahkan keberadaan madrasah diniyah yang diatur dalam PP No 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Permen ini terkesan mencoba mengalienasi secara struktural keberadaan madrasah diniyah yang memulai pembelajarannya pada pukul 14.00-17.00, dengan FDS ini, siswa yang juga bersekolah di madrasah diniyah harus berhenti. Karena walau dimungkinkan sekolah untuk bekerja sama dengan madrasah diniyah, kemudian madrasah yang ditunjuk tentu adalah pilihan sekolahnya. Padahal, banyak siswa telah bermadrasah di madrasah yang tidak ditunjuk oleh sekolah.
Beban Permen ini untuk memperkuat pendidikan karakter sekaligus menambah beban kerja guru khususnya pelajaran tertentu, tak harus dengan menambah jam sekolah. Pendidikan karakter dan penyeimbangan beban kerja guru cukup diselesaikan dengan perubahan kurikulum. Sebab, pendidikan karakter dan pemerataan jam kerja guru itu adalah dampak minimnya jam pelajaran tertentu yang didesain dari kurikulum. Sebaliknya, menambah jam sekolah tapi tidak ada desain pemerataan, maka penambahan jam itu tidak otomatis meningkatkan jam pelajaran yang kurang. Kemungkinan itu sangat logis karena Permen No 23/2017 tidak mengarahkan mata pelajaran apa yang harus ditambah dengan penambahan jam sekolah ini.
Akhirnya, bagaimana pun Permen ini telah sah, hanya ada dua mekanisme untuk me-review. Pertama, eksekutif review dengan meminta pihak mendikbud untuk merevisi atau bahkan mencabutnya, pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan serta meminta mendiskusikan secara rasional dan kepala dingin. Kalaupun cara pertama tidak menemukan titik temu, masih ada cara kedua.
Kedua, judicial review , yaitu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan kepada Mahkamah Agung untuk menguji dengan dasar peraturan di atasnya. Itulah mekanisme hukum dalam negara hukum kita. Langkah keberatan nonhukum andai pun dapat menjadi presseur, tapi dapat meretakkan kohesivitas berbangsa. Kita telah memilih bernegara hukum, maka lakukanlah proses dialektika kenegaraan berdasar hukum, termasuk menanggapi terbitnya Permen No 23/2017 ini.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember
MENTERI pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 23/2017 tentang Hari Sekolah (Permen 23/17). Dalam Pasal 2 menetapkan hari masuk sekolah 8 jam dalam 1 hari atau 40 jam selama 5 hari dalam 1 (satu) minggu (FDS), hari sekolah ini mengubah hari sekolah yang sebelumnya 6 hari seminggu, 6 jam per hari. Publik langsung merespons secara masif. NU paling keras menolak, mengingat siswa kemudian akan pulang sekolah pada jam 16.00, ini mengancam lembaga madrasah, yang biasanya beroperasi dari pukul 14.00-17.00.
Landasan penerbitan Permen No 23/17 ini, Mendikbud menjelaskan: "Semangat PP No 19/2017 tentang Guru, sebetulnya ada dua isu yang terkait dengan lima hari kerja. Pertama, masalah beban kerja guru. Di dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru & Dosen) beban kerja guru itu minimal 24 jam tatap muka di kelas dalam seminggu. Jadi, selama ini kerja guru itu hanya diakui tatkala berada di depan kelas. Ternyata dalam praktiknya, banyak guru yang tidak bisa memenuhi. Beberapa tahun terakhir anggaran untuk tunjangan profesi guru ini menjadi Silpa (sisa anggaran) yang cukup besar. Kedua, di dalam hari sekolah, delapan jam itu termasuk pelaksanaan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dalam rangka program Penguatan Pendidikan Karakter (P2K), salah satu Program Aksi dari Nawacita, janji kampanye Jokowi-JK di bidang pendidikan, yaitu pendidikan karakter.
Tulisan ini mencoba mengurai secara yuridis karena kebijakan FDS ini diterbitkan dengan produk hukum peraturan menteri. Perspektif yuridis ini dipilah dari spirit hukum, substansi, dan harmonisasinya dengan peraturan perundangan.
Pertama, linearitas spirit, apakah semangat tersebut tertuang dan tepat memberikan pengaturan kepada subjek yang dituju. Dalam konsideran Permen ditegaskan bahwa untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan perkembangan era globalisasi, perlu penguatan karakter bagi peserta didik melalui restorasi pendidikan karakter di sekolah. Asumsinya, restorasi pendidikan karakter dilakukan FDS. Sulit dipahami bagaimana korelasi restorasi pendidikan karakter dengan FDS tersebut.
Apalagi, secara lisan Mendikbud menjelaskan bahwa penerbitan Permen ini semangat untuk meningkatkan beban kerja bagi guru mata pelajaran tertentu, misalnya antropologi, bahasa asing, agama, yang selama ini tidak dapat memenuhi beban kerjanya. Padahal, masalahnya bukan pada kekurangan jam sekolah, tetapi distribusi jam pelajaran yang merupakan turunan dari kurikulum yang memberikan porsi yang minim untuk pelajaran tersebut.
Jangan bebani siswa hanya untuk mendapatkan tunjangan profesi guru. Pun demikian dengan pendidikan karakter, bukan masalah kurangnya waktu, kedisiplinan, kejujuran, daya juang, dan karakter lainnya adalah proses internalisasi teladan karakter dalam setiap proses pendidikan, bukan bergantung pada waktu dan mata pelajaran tertentu.
Kedua, dasar hukum yang menjadi landasan pengaturan Permen FDS ini adalah PP No 19/2017 tentang Guru, yang jelas-jelas hanya subjek yang diatur adalah "guru" sehingga semestinya aturan turunan dari PP ini hanya untuk dan tertuju kepada guru, sangat tidak adil demi memenuhi kebutuhan beban kerja guru, tapi siswa yang tidak ada sangkut pautnya dengan tunjangan sertifikasi guru juga terbebani. Lebih dari itu, PP No 19/2017 adalah perubahan dari PP No 74/2008 tentang Guru yang merupakan implementasi UU Guru & Dosen, dari Pasal 10 sampai Pasal 40.
Dalam Pasal 35 Ayat (2) ditegaskan, beban kerja guru minimal 24 jam dan maksimal 40 jam per minggu. Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Jadi, tidaklah benar bahwa beban kerja guru hanya diperhitungkan pada saat tatap muka di kelas karena proses perencanaan, menilai hasil pembelajaran tidak terbatas di kelas. Apalagi jika guru kemudian masih dapat melaksanakan tugas tambahan ekstra dan kokurikuler, baik di dalam maupun di luar sekolah.
Ketiga, harmonisasi horizontal, dalam Permen ini juga masih bermasalah karena terkesan melemahkan keberadaan madrasah diniyah yang diatur dalam PP No 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Permen ini terkesan mencoba mengalienasi secara struktural keberadaan madrasah diniyah yang memulai pembelajarannya pada pukul 14.00-17.00, dengan FDS ini, siswa yang juga bersekolah di madrasah diniyah harus berhenti. Karena walau dimungkinkan sekolah untuk bekerja sama dengan madrasah diniyah, kemudian madrasah yang ditunjuk tentu adalah pilihan sekolahnya. Padahal, banyak siswa telah bermadrasah di madrasah yang tidak ditunjuk oleh sekolah.
Beban Permen ini untuk memperkuat pendidikan karakter sekaligus menambah beban kerja guru khususnya pelajaran tertentu, tak harus dengan menambah jam sekolah. Pendidikan karakter dan penyeimbangan beban kerja guru cukup diselesaikan dengan perubahan kurikulum. Sebab, pendidikan karakter dan pemerataan jam kerja guru itu adalah dampak minimnya jam pelajaran tertentu yang didesain dari kurikulum. Sebaliknya, menambah jam sekolah tapi tidak ada desain pemerataan, maka penambahan jam itu tidak otomatis meningkatkan jam pelajaran yang kurang. Kemungkinan itu sangat logis karena Permen No 23/2017 tidak mengarahkan mata pelajaran apa yang harus ditambah dengan penambahan jam sekolah ini.
Akhirnya, bagaimana pun Permen ini telah sah, hanya ada dua mekanisme untuk me-review. Pertama, eksekutif review dengan meminta pihak mendikbud untuk merevisi atau bahkan mencabutnya, pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan serta meminta mendiskusikan secara rasional dan kepala dingin. Kalaupun cara pertama tidak menemukan titik temu, masih ada cara kedua.
Kedua, judicial review , yaitu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan kepada Mahkamah Agung untuk menguji dengan dasar peraturan di atasnya. Itulah mekanisme hukum dalam negara hukum kita. Langkah keberatan nonhukum andai pun dapat menjadi presseur, tapi dapat meretakkan kohesivitas berbangsa. Kita telah memilih bernegara hukum, maka lakukanlah proses dialektika kenegaraan berdasar hukum, termasuk menanggapi terbitnya Permen No 23/2017 ini.
(wib)