Kejahatan Perdagangan Orang
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Co-founder; Director, Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu
KEJAHATAN perdagangan orang (human trafficking) adalah tindak melanggar hukum yang juga merupakan pelanggaran berat HAM karena memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain dengan mengupayakan persetujuan dari korban melalui cara-cara intimidasi, penipuan, kekerasan, penculikan, dan pemalsuan data dengan tujuan eksploitasi dan perbudakan.
Tidak jarang korban menyetujui dirinya dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain karena telah dicabuli, disiksa, berutang, atau dibohongi. Bentuk kerja paksa yang umum ditemui adalah perbudakan seksual, pengambilan organ tubuh, serta bekerja tanpa upah layak dan dalam suasana kerja yang tidak manusiawi.
Perempuan dan anak-anak adalah korban utama perdagangan manusia walaupun belakangan juga diidentifikasi bahwa laki-laki yang bekerja sebagai awak kapal juga rentan menjadi korban perdagangan orang. Rata-rata kapal yang berlayar tidaklah memonitor satu per satu awaknya dan ketika kapal berlayar antarbatas negara, bahkan di negara ketiga, maka lebih sulit dilakukan pemantauan akan kehidupan awak kapal.
Yang memprihatinkan adalah karena usia korban bergerak semakin muda. Untuk perempuan kini rata-rata korban berusia 12 tahun, apalagi dengan maraknya fenomena virgin sex tourism di mana para oknum tidak bertanggung jawab sengaja mencari anak-anak yang masih perawan untuk menghindari penyakit seksual.
Ada pula yang sengaja dinikahi dalam kurun waktu tertentu untuk kemudian diceraikan atas nama skema kawin kontrak. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan kontrak rentan menjadi korban perdagangan orang juga.
Kejahatan perdagangan orang melibatkan pasar dan nilai transaksi yang masif alias sangat besar dan sangat mahal. Teknologi informasi yang semakin canggih membuat para perekrut dengan mudah menjangkau orang muda hingga ke dusun dan desa terpencil.
Dengan modal kamera kecil dan komputer, seorang anak dapat menjadi korban kekerasan seksual karena divideokan secara tidak senonoh untuk konsumsi orang dewasa. Alat kedokteran juga semakin canggih sehingga tenaga medis tanpa pengetahuan tinggi pun dapat melakukan bedah untuk mengambil organ tubuh dan membantu kelahiran bayi-bayi yang kemudian diambil dan dijual.
Orang-orang yang berhasil diyakinkan akan ada kehidupan yang lebih baik di tempat yang baru, entah lewat modus pekerjaan, magang, beasiswa, ataupun pernikahan, namun kurang paham akan kerentanan dirinya, dapat dengan mudah menjadi korban perdagangan orang.
Jangan dikira para korban perdagangan orang adalah orang miskin dan berpendidikan rendah. Saat ini di Indonesia para perekrut sudah masuk ke jalur pendidikan tinggi, bahkan untuk pendidikan S-2, dengan skema penipuan beasiswa dan magang.
Para guru dengan sadar ataupun tidak, akibat kelalaian mereka mengecek keabsahan suatu program atau bahkan karena menerima iming-iming honor tertentu, mengorbankan muridnya sendiri. Hal yang sama juga kerap ditemui terjadi pada orang tua yang menjual anak-anaknya.
Jangan dikira pula bahwa yang menjadi korban adalah mereka yang melalui jalur-jalur ke luar negeri yang ilegal karena para penggiat di Indonesia mulai mendata bahwa tak kurang dari 85% kasus perdagangan manusia justru melibatkan skema-skema legal, dengan pengumuman yang resmi dan dokumen keberangkatan yang legal pula.
ILO atau Organisasi Buruh Internasional pernah melakukan penelitian tentang perdagangan orang yang terjadi di dalam suatu negara atau lintas negara pada 2012. ILO hanya menganalisis kerja paksa saja sebagai salah satu bentuk perdagangan. ILO menyebutkan ada 20,9 juta korban terjebak dalam perbudakan modern.
Perempuan dan anak perempuan adalah kelompok terbesar yang menjadi korban yakni sebanyak 11,4 juta (55%) dibandingkan 9,5 juta (45%) kelompok pria dan anak laki- laki yang diperdagangkan. Dari sisi usia, 74% korban berusia di atas 18 tahun sementara sisanya berada di bawah usia tersebut.
Perempuan dan anak perempuan mewakili bagian yang lebih besar dari jumlah tersebut, yaitu 11,4 juta (55%), dibandingkan dengan 9,5 juta (45%) pria dan anak laki-laki. Orang dewasa lebih terpengaruh daripada anak-anak 74% (15,4 juta) korban jatuh dalam kelompok usia 18 tahun ke atas, sedangkan anak-anak berusia 17 tahun ke bawah mewakili 26% dari total (atau 5,5 juta anak-anak korban).
Dari jumlah total 20,9 juta pekerja paksa, 18,7 juta (90%) dieksploitasi dalam ekonomi swasta yang dimiliki oleh perorangan atau perusahaan. Dari jumlah tersebut, 4,5 juta (22%) adalah korban eksploitasi seksual paksa, dan 14,2 juta (68%) adalah korban eksploitasi kerja paksa di dalam kegiatan ekonomi seperti pertanian, konstruksi, pekerjaan rumah tangga atau manufaktur.
Sisanya 2,2 juta (10%) berada dalam bentuk kerja paksa yang dipaksakan oleh negara misalnya di penjara atau dalam pekerjaan yang dipaksakan oleh militer negara atau oleh angkatan bersenjata pemberontak.
Kita patut mengkhawatirkan perkembangan ini karena dari distribusi korban, wilayah Asia Pasifik (AP) menyumbang jumlah pekerja paksa terbesar yaitu 11,7 juta atau 56% dari total global. Angka tertinggi kedua ditemukan di Afrika (AFR) sebesar 3,7 juta (18%), diikuti oleh Amerika Latin dan Karibia (LA) dengan 1,8 juta korban (9%).
Ekonomi yang Dikembangkan dan Uni Eropa (DE & UE) mencapai 1,5 juta (7%) pekerja paksa, sementara negara-negara Eropa Tengah, Tenggara, dan Timur (non-Uni Eropa) dan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CSEE) mencatat 1,6 juta (7%) korban. Ada sekitar 600.000 (3%) korban di Timur Tengah (ME).
Di ASEAN, Indonesia dan Malaysia adalah yang memiliki korban perdagangan orang terbanyak di antara negara-negara anggota yang lain. Sebab itu, penting bagi Indonesia untuk aktif dalam ASEAN untuk memberantas kejahatan ini karena ruang lingkupnya yang lintas batas.
ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara berusaha mengantisipasi perkembangan kejahatan ini dengan menyepakati Konvensi Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (ACTIP) yang implementasinya dikawal oleh unit-unit di bawah kementerian dan lembaga yang mengurus tindak pidana lintas batas (SOMTC – Senior Official Meetings on Transnational Crime).
Implementasi Konvensi ini sudah disepakati pada 2016 di Jakarta bahwa dimensinya tidak hanya penegakan hukum, tetapi juga HAM. Artinya, para penegak hukum peduli pada ihwal yang dilihat dan dialami oleh korban maupun pelaku sehingga akar masalah dapat lebih diselesaikan dan otak kejahatan ditangkap.
Tugas ini tidak mudah karena memerlukan koordinasi tidak hanya dari lembaga penegak hukum seperti polisi di tiap negara, tapi melibatkan kementerian imigrasi dan dalam negeri. Ada pula kementerian lain yang harus dilibatkan seperti Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk menangani korban, atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menangani pencegahannya.
Beratnya tugas tersebut membuat banyak pihak yang skeptis, terutama dari negara-negara anggota ASEAN bahwa pemberantasan tindak pidana berdimensi ramah HAM ini akan lancar.
Sebab itu, akar masalahnya bukan masalah legal atau ilegal, tetapi bagaimana mengontrol kejahatan itu sedini mungkin dari dalam negara itu sendiri sehingga korban-korban bisa teridentifikasi dan otak kejahatan diidentifikasi dan ditangkap. Pendekatan HAM ini juga menuntut negara agar “bersih” dalam arti konsekuen menyikapi aparat pemerintah yang menjadi oknum dengan membiarkan dan memfasilitasi kejahatan.
Selain itu, bila negara melakukan razia prostitusi, para perempuan dan anak yang sebetulnya adalah korban perdagangan orang harus dipandang sebagai layaknya korban dan bukannya justru menerima sanksi akibat prostitusi.
Indonesia dalam lima tahun terakhir ini sudah tidak lagi sebagai negara korban, tetapi menjadi negara transit, pengirim dan penerima perdagangan manusia. Maka dari itu, solusi yang diperlukan Indonesia untuk memberantas tindak pidana ini tidak cukup sebatas hukum, tapi juga memberdayakan dan memberi pendekatan kepada korban dan orang-orang yang rentan.
Indonesia wajib mendorong dan menginspirasi negara-negara ASEAN untuk menerapkan pendekatan HAM untuk mencegah, melakukan pemberantasan dan penuntutan hukum, menolong korban dan menghubungkan kerja sama di tingkat domestik ke tingkat nasional.
Saya sebagai wakil Indonesia di Komisi HAM ASEAN (AICHR) juga mengusulkan lima instrumen ramah HAM yang dapat dilakukan bersama-sama negara anggota ASEAN. Pertama, menyepakati di tingkat regional untuk penerapan pendekatan HAM dalam memberantas perdagangan orang.
Indonesia perlu segera meratifikasi Konvensi ASEAN untuk pemberantasan perdagangan orang (ACTIP). Saat ini ratifikasi ACTIP sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Juni lalu dan kini berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk diproses sebagai undang-undang.
Apabila ada kesepakatan, kedua, kita dapat membuka hotline pengaduan dan identifikasi kasus. Hotline ini tentu harus ramah dengan korban dalam arti tidak membuat korban takut atau tidak nyaman ketika melapor.
Tahap ketiga adalah penyusunan prosedur penanganan TPPO oleh Senior Official Meeting on Transnational Crime yang terintegrasi dengan kejahatan transnasional lain. Tahap keempat adalah dibangunnya rumah aman terstandar di ASEAN yang memberi layanan lengkap bagi korban, serta membentuk jaringan database untuk LSM yang mendukung upaya ini di ASEAN.
Co-founder; Director, Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu
KEJAHATAN perdagangan orang (human trafficking) adalah tindak melanggar hukum yang juga merupakan pelanggaran berat HAM karena memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain dengan mengupayakan persetujuan dari korban melalui cara-cara intimidasi, penipuan, kekerasan, penculikan, dan pemalsuan data dengan tujuan eksploitasi dan perbudakan.
Tidak jarang korban menyetujui dirinya dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain karena telah dicabuli, disiksa, berutang, atau dibohongi. Bentuk kerja paksa yang umum ditemui adalah perbudakan seksual, pengambilan organ tubuh, serta bekerja tanpa upah layak dan dalam suasana kerja yang tidak manusiawi.
Perempuan dan anak-anak adalah korban utama perdagangan manusia walaupun belakangan juga diidentifikasi bahwa laki-laki yang bekerja sebagai awak kapal juga rentan menjadi korban perdagangan orang. Rata-rata kapal yang berlayar tidaklah memonitor satu per satu awaknya dan ketika kapal berlayar antarbatas negara, bahkan di negara ketiga, maka lebih sulit dilakukan pemantauan akan kehidupan awak kapal.
Yang memprihatinkan adalah karena usia korban bergerak semakin muda. Untuk perempuan kini rata-rata korban berusia 12 tahun, apalagi dengan maraknya fenomena virgin sex tourism di mana para oknum tidak bertanggung jawab sengaja mencari anak-anak yang masih perawan untuk menghindari penyakit seksual.
Ada pula yang sengaja dinikahi dalam kurun waktu tertentu untuk kemudian diceraikan atas nama skema kawin kontrak. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan kontrak rentan menjadi korban perdagangan orang juga.
Kejahatan perdagangan orang melibatkan pasar dan nilai transaksi yang masif alias sangat besar dan sangat mahal. Teknologi informasi yang semakin canggih membuat para perekrut dengan mudah menjangkau orang muda hingga ke dusun dan desa terpencil.
Dengan modal kamera kecil dan komputer, seorang anak dapat menjadi korban kekerasan seksual karena divideokan secara tidak senonoh untuk konsumsi orang dewasa. Alat kedokteran juga semakin canggih sehingga tenaga medis tanpa pengetahuan tinggi pun dapat melakukan bedah untuk mengambil organ tubuh dan membantu kelahiran bayi-bayi yang kemudian diambil dan dijual.
Orang-orang yang berhasil diyakinkan akan ada kehidupan yang lebih baik di tempat yang baru, entah lewat modus pekerjaan, magang, beasiswa, ataupun pernikahan, namun kurang paham akan kerentanan dirinya, dapat dengan mudah menjadi korban perdagangan orang.
Jangan dikira para korban perdagangan orang adalah orang miskin dan berpendidikan rendah. Saat ini di Indonesia para perekrut sudah masuk ke jalur pendidikan tinggi, bahkan untuk pendidikan S-2, dengan skema penipuan beasiswa dan magang.
Para guru dengan sadar ataupun tidak, akibat kelalaian mereka mengecek keabsahan suatu program atau bahkan karena menerima iming-iming honor tertentu, mengorbankan muridnya sendiri. Hal yang sama juga kerap ditemui terjadi pada orang tua yang menjual anak-anaknya.
Jangan dikira pula bahwa yang menjadi korban adalah mereka yang melalui jalur-jalur ke luar negeri yang ilegal karena para penggiat di Indonesia mulai mendata bahwa tak kurang dari 85% kasus perdagangan manusia justru melibatkan skema-skema legal, dengan pengumuman yang resmi dan dokumen keberangkatan yang legal pula.
ILO atau Organisasi Buruh Internasional pernah melakukan penelitian tentang perdagangan orang yang terjadi di dalam suatu negara atau lintas negara pada 2012. ILO hanya menganalisis kerja paksa saja sebagai salah satu bentuk perdagangan. ILO menyebutkan ada 20,9 juta korban terjebak dalam perbudakan modern.
Perempuan dan anak perempuan adalah kelompok terbesar yang menjadi korban yakni sebanyak 11,4 juta (55%) dibandingkan 9,5 juta (45%) kelompok pria dan anak laki- laki yang diperdagangkan. Dari sisi usia, 74% korban berusia di atas 18 tahun sementara sisanya berada di bawah usia tersebut.
Perempuan dan anak perempuan mewakili bagian yang lebih besar dari jumlah tersebut, yaitu 11,4 juta (55%), dibandingkan dengan 9,5 juta (45%) pria dan anak laki-laki. Orang dewasa lebih terpengaruh daripada anak-anak 74% (15,4 juta) korban jatuh dalam kelompok usia 18 tahun ke atas, sedangkan anak-anak berusia 17 tahun ke bawah mewakili 26% dari total (atau 5,5 juta anak-anak korban).
Dari jumlah total 20,9 juta pekerja paksa, 18,7 juta (90%) dieksploitasi dalam ekonomi swasta yang dimiliki oleh perorangan atau perusahaan. Dari jumlah tersebut, 4,5 juta (22%) adalah korban eksploitasi seksual paksa, dan 14,2 juta (68%) adalah korban eksploitasi kerja paksa di dalam kegiatan ekonomi seperti pertanian, konstruksi, pekerjaan rumah tangga atau manufaktur.
Sisanya 2,2 juta (10%) berada dalam bentuk kerja paksa yang dipaksakan oleh negara misalnya di penjara atau dalam pekerjaan yang dipaksakan oleh militer negara atau oleh angkatan bersenjata pemberontak.
Kita patut mengkhawatirkan perkembangan ini karena dari distribusi korban, wilayah Asia Pasifik (AP) menyumbang jumlah pekerja paksa terbesar yaitu 11,7 juta atau 56% dari total global. Angka tertinggi kedua ditemukan di Afrika (AFR) sebesar 3,7 juta (18%), diikuti oleh Amerika Latin dan Karibia (LA) dengan 1,8 juta korban (9%).
Ekonomi yang Dikembangkan dan Uni Eropa (DE & UE) mencapai 1,5 juta (7%) pekerja paksa, sementara negara-negara Eropa Tengah, Tenggara, dan Timur (non-Uni Eropa) dan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CSEE) mencatat 1,6 juta (7%) korban. Ada sekitar 600.000 (3%) korban di Timur Tengah (ME).
Di ASEAN, Indonesia dan Malaysia adalah yang memiliki korban perdagangan orang terbanyak di antara negara-negara anggota yang lain. Sebab itu, penting bagi Indonesia untuk aktif dalam ASEAN untuk memberantas kejahatan ini karena ruang lingkupnya yang lintas batas.
ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara berusaha mengantisipasi perkembangan kejahatan ini dengan menyepakati Konvensi Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (ACTIP) yang implementasinya dikawal oleh unit-unit di bawah kementerian dan lembaga yang mengurus tindak pidana lintas batas (SOMTC – Senior Official Meetings on Transnational Crime).
Implementasi Konvensi ini sudah disepakati pada 2016 di Jakarta bahwa dimensinya tidak hanya penegakan hukum, tetapi juga HAM. Artinya, para penegak hukum peduli pada ihwal yang dilihat dan dialami oleh korban maupun pelaku sehingga akar masalah dapat lebih diselesaikan dan otak kejahatan ditangkap.
Tugas ini tidak mudah karena memerlukan koordinasi tidak hanya dari lembaga penegak hukum seperti polisi di tiap negara, tapi melibatkan kementerian imigrasi dan dalam negeri. Ada pula kementerian lain yang harus dilibatkan seperti Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk menangani korban, atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menangani pencegahannya.
Beratnya tugas tersebut membuat banyak pihak yang skeptis, terutama dari negara-negara anggota ASEAN bahwa pemberantasan tindak pidana berdimensi ramah HAM ini akan lancar.
Sebab itu, akar masalahnya bukan masalah legal atau ilegal, tetapi bagaimana mengontrol kejahatan itu sedini mungkin dari dalam negara itu sendiri sehingga korban-korban bisa teridentifikasi dan otak kejahatan diidentifikasi dan ditangkap. Pendekatan HAM ini juga menuntut negara agar “bersih” dalam arti konsekuen menyikapi aparat pemerintah yang menjadi oknum dengan membiarkan dan memfasilitasi kejahatan.
Selain itu, bila negara melakukan razia prostitusi, para perempuan dan anak yang sebetulnya adalah korban perdagangan orang harus dipandang sebagai layaknya korban dan bukannya justru menerima sanksi akibat prostitusi.
Indonesia dalam lima tahun terakhir ini sudah tidak lagi sebagai negara korban, tetapi menjadi negara transit, pengirim dan penerima perdagangan manusia. Maka dari itu, solusi yang diperlukan Indonesia untuk memberantas tindak pidana ini tidak cukup sebatas hukum, tapi juga memberdayakan dan memberi pendekatan kepada korban dan orang-orang yang rentan.
Indonesia wajib mendorong dan menginspirasi negara-negara ASEAN untuk menerapkan pendekatan HAM untuk mencegah, melakukan pemberantasan dan penuntutan hukum, menolong korban dan menghubungkan kerja sama di tingkat domestik ke tingkat nasional.
Saya sebagai wakil Indonesia di Komisi HAM ASEAN (AICHR) juga mengusulkan lima instrumen ramah HAM yang dapat dilakukan bersama-sama negara anggota ASEAN. Pertama, menyepakati di tingkat regional untuk penerapan pendekatan HAM dalam memberantas perdagangan orang.
Indonesia perlu segera meratifikasi Konvensi ASEAN untuk pemberantasan perdagangan orang (ACTIP). Saat ini ratifikasi ACTIP sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Juni lalu dan kini berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk diproses sebagai undang-undang.
Apabila ada kesepakatan, kedua, kita dapat membuka hotline pengaduan dan identifikasi kasus. Hotline ini tentu harus ramah dengan korban dalam arti tidak membuat korban takut atau tidak nyaman ketika melapor.
Tahap ketiga adalah penyusunan prosedur penanganan TPPO oleh Senior Official Meeting on Transnational Crime yang terintegrasi dengan kejahatan transnasional lain. Tahap keempat adalah dibangunnya rumah aman terstandar di ASEAN yang memberi layanan lengkap bagi korban, serta membentuk jaringan database untuk LSM yang mendukung upaya ini di ASEAN.
(poe)