Belajar Lagi? Ah, Basi!
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Alumnus SMA Negeri 9, Yogyakarta
Di sela-sela kegaduhan akibat kejadian-kejadian perundungan, sebaris pernyataan penting terlontar dari Pekanbaru. "Anak-anak Indonesia harus belajar, belajar, belajar keras." Begitu pesan Presiden Jokowi pada Hari Anak Nasional, 23 Juli 2017. Pak Jokowi menambahkan, "Anak-anak tidak boleh mem-bully."
Berhadapan dengan sosok yang dituakan, petuah Pak Jokowi tentu patut diangguki. Itikad baik beliau tak disangsikan sama sekali. Tapi alamak! Sebagai orang yang pernah berada di peringkat 30 dari 33 siswa sekelas, saya sanggup bersaksi betapa dorongan untuk belajar giat, senyatanya tidak berefek linear. Petuah agar giat belajar malah mendemotivasi. Yang paling membebani adalah pilihan kata itu sendiri: belajar. Atas dasar itulah, tatkala mendengar pidato Pak Jokowi, saat itu pula saya membatin: tidakkah pesan "belajar, belajar, belajar" kini terdengar klise? Kata itu, apalagi jika diulang-ulang, memunculkan perasaan begah di ulu hati dan getir di lidah. Kepala pun terasa pengap. Kiasan itu bukan mengada-ada. Survei yang dilakukan Indiana University beberapa tahun lalu, misalnya, menemukan bahwa dua dari tiga siswa merasa bosan dalam rutinitas belajar mereka saban hari.
Adakah metode lain, atau setidaknya adakah kata lain (selain "belajar"), yang bisa dipakai dan lebih manjur agar anak-anak senang mencari pengetahuan baru?
Juga, selama ini masyarakat sudah sangat sering melontar kerisauan tentang tingginya beban belajar dan panjangnya jam belajar anak. Karena aktivitas belajar hari ini lebih berat daripada tahun-tahun silam, maka anak sesungguhnya tidak lagi membutuhkan peringatan agar mau belajar dengan rajin. Beban dan waktu sebegitu berat dipandang telah membuat anak-anak jenuh dan letih. Namun orang tua tak bisa mengelak. Di benak khalayak, beban pelajaran yang tinggi berujung pada standar prestasi akademis yang tinggi pula.
Untuk memastikan agar anak bisa selamat dalam pergulatan akademis itu, orang tua pun mengirim anak mereka ke bimbingan belajar. Iklim persaingan di lingkungan akademis semacam itu yang disebut Farley dan Sprigg (2014) sebagai kultur yang ideal bagi mewabahnya perundungan. Kompetisi di sekolah pada gilirannya menguras stamina anak. Stamina yang anjlok akan memengaruhi kesiapan belajar dan berisiko buruk bagi kesehatan anak.
Pesan tentang pentingnya belajar tampaknya memang telah sampai di atas ambang toleransi kebanyakan anak. Anak masa kini sudah terkondisi untuk khawatir bahkan sejak usia lebih belia ketimbang anak pada masa-masa terdahulu. Peneliti Michael Bernard (2007) menambahkan, 40% siswa menaruh perasaan cemas yang berlebihan, serta satu dari lima siswa mencapai titik depresi. Impitan yang datang dari tuntutan belajar berpadu dengan kerisauan anak akan jati dirinya serta keinginan untuk bisa diterima oleh teman-teman sepantaran usia.
Riset Bernard memang dilakukan di Australia. Namun hampir bisa dipastikan, apabila penelitian yang sama diselenggarakan di sini, hasilnya bakal "sebelas dua belas". Sebagai dampak langsung kegiatan belajar yang berat itu, anak bisa keliru memilih jalan keluar. Yakni mengatasi kebosanan serta keletihan mereka dengan menampilkan perilaku impulsif dan tindak-tanduk agresif. Termasuk merundung, berkelahi, dan serbaneka kenakalan yang Pak Jokowi larang tempo hari. Kelakuan yang lebih ekstrem bahkan bisa berupa tindakan brutal menghabisi sesama warga sekolah atau kampus, sebagaimana dicatat guru besar psikologi Katherine Ramsland (2016). Pada poin inilah para orang tua patut mencermati ulang kebiasaan mereka menasihati anak-anak. Pasalnya, tingkah laku kekerasan anak justru tidak tertutup kemungkinan merupakan buah dari pompaan semangat yang dilakukan orang tua dengan luar biasa derasnya dan berpusat pada kata belajar.
Daripada melulu memberikan fatwa tentang belajar, dan itu memuakkan serta dapat berdampak kontraproduktif, orang tua perlu lebih sering memberi nasihat tentang pemenuhan kepentingan-kepentingan lainnya yang juga melekat pada diri anak. Bahwa, ambil contoh, anak perlu lebih banyak bermain kreatif bersama teman-teman, teratur salat lima waktu, rajin minum susu, menabung agar bisa disedekahkan ke yatim, menanam pohon, memelihara binatang, dan keasyikan-keasyikan lainnya yang membuat dunia anak-anak lebih berwarna.
Sulit disanggah, menyampaikan petuah ternyata butuh keterampilan juga. Orang tua, apalagi saya, perlu memperkaya wawasan dan perbendaharaan kata serta cita rasa dalam membangun narasi di hadapan anak. Seiring dengan itu, orang tua patut mengasah kepekaan diri agar bisa menyelami apa yang anak-anak sukai dan tidak sukai.
Imbuh Profesor Thomas Plante (2014), kebanyakan petuah kebaikan berlalu saja dari perhatian. Petuah akan lebih mengena lewat contoh, suri tauladan. Alhasil, agar nasihatnya di Pekanbaru bisa lebih punya efek dorong, Pak Jokowi sendiri harus terus-menerus menjalankan laku sebagai seorang pembelajar sejati. Sebagaimana Bung Karno yang tak berhenti menulis dan menelurkan gagasan-gagasan besar, atau Pak Habibie yang terus meneliti dan berinovasi di bidang teknologi, atau Gus Dur yang juga menghasilkan pemikiran-pemikiran filosofis, atau Pak SBY yang mencipta lagu, demikian pula Pak Jokowi. Ia kudu menghasilkan suatu legacy yang kentara membuktikan bahwa orang nomor satu di Indonesia memang selalu dahaga akan ilmu.
Pada sisi lain, anak-anak juga punya kepentingan akan nasihat yang lebih bervariasi, tidak tentang kewajiban belajar melulu. Dengan pengetahuan yang baik akan kepentingan atau hak-hak mereka selaku anak-anak, mereka bisa menagih orang tua bahkan negara tentang seberapa jauh hak itu sudah terealisasi.
Semoga petuah Pak Jokowi agar anak-anak "belajar, belajar, belajar" tidak cepat masuk telinga kanan dan gampang keluar telinga kiri. Pesan Pak Jokowi juga diharapkan tidak membuat orang tua kian terobsesi mengeleskan anak-anak mereka. Keletihan akademis niscaya berakibat kontraproduktif bagi anak-anak-dan nantinya-bagi Indonesia. Allahu a'lam.
Alumnus SMA Negeri 9, Yogyakarta
Di sela-sela kegaduhan akibat kejadian-kejadian perundungan, sebaris pernyataan penting terlontar dari Pekanbaru. "Anak-anak Indonesia harus belajar, belajar, belajar keras." Begitu pesan Presiden Jokowi pada Hari Anak Nasional, 23 Juli 2017. Pak Jokowi menambahkan, "Anak-anak tidak boleh mem-bully."
Berhadapan dengan sosok yang dituakan, petuah Pak Jokowi tentu patut diangguki. Itikad baik beliau tak disangsikan sama sekali. Tapi alamak! Sebagai orang yang pernah berada di peringkat 30 dari 33 siswa sekelas, saya sanggup bersaksi betapa dorongan untuk belajar giat, senyatanya tidak berefek linear. Petuah agar giat belajar malah mendemotivasi. Yang paling membebani adalah pilihan kata itu sendiri: belajar. Atas dasar itulah, tatkala mendengar pidato Pak Jokowi, saat itu pula saya membatin: tidakkah pesan "belajar, belajar, belajar" kini terdengar klise? Kata itu, apalagi jika diulang-ulang, memunculkan perasaan begah di ulu hati dan getir di lidah. Kepala pun terasa pengap. Kiasan itu bukan mengada-ada. Survei yang dilakukan Indiana University beberapa tahun lalu, misalnya, menemukan bahwa dua dari tiga siswa merasa bosan dalam rutinitas belajar mereka saban hari.
Adakah metode lain, atau setidaknya adakah kata lain (selain "belajar"), yang bisa dipakai dan lebih manjur agar anak-anak senang mencari pengetahuan baru?
Juga, selama ini masyarakat sudah sangat sering melontar kerisauan tentang tingginya beban belajar dan panjangnya jam belajar anak. Karena aktivitas belajar hari ini lebih berat daripada tahun-tahun silam, maka anak sesungguhnya tidak lagi membutuhkan peringatan agar mau belajar dengan rajin. Beban dan waktu sebegitu berat dipandang telah membuat anak-anak jenuh dan letih. Namun orang tua tak bisa mengelak. Di benak khalayak, beban pelajaran yang tinggi berujung pada standar prestasi akademis yang tinggi pula.
Untuk memastikan agar anak bisa selamat dalam pergulatan akademis itu, orang tua pun mengirim anak mereka ke bimbingan belajar. Iklim persaingan di lingkungan akademis semacam itu yang disebut Farley dan Sprigg (2014) sebagai kultur yang ideal bagi mewabahnya perundungan. Kompetisi di sekolah pada gilirannya menguras stamina anak. Stamina yang anjlok akan memengaruhi kesiapan belajar dan berisiko buruk bagi kesehatan anak.
Pesan tentang pentingnya belajar tampaknya memang telah sampai di atas ambang toleransi kebanyakan anak. Anak masa kini sudah terkondisi untuk khawatir bahkan sejak usia lebih belia ketimbang anak pada masa-masa terdahulu. Peneliti Michael Bernard (2007) menambahkan, 40% siswa menaruh perasaan cemas yang berlebihan, serta satu dari lima siswa mencapai titik depresi. Impitan yang datang dari tuntutan belajar berpadu dengan kerisauan anak akan jati dirinya serta keinginan untuk bisa diterima oleh teman-teman sepantaran usia.
Riset Bernard memang dilakukan di Australia. Namun hampir bisa dipastikan, apabila penelitian yang sama diselenggarakan di sini, hasilnya bakal "sebelas dua belas". Sebagai dampak langsung kegiatan belajar yang berat itu, anak bisa keliru memilih jalan keluar. Yakni mengatasi kebosanan serta keletihan mereka dengan menampilkan perilaku impulsif dan tindak-tanduk agresif. Termasuk merundung, berkelahi, dan serbaneka kenakalan yang Pak Jokowi larang tempo hari. Kelakuan yang lebih ekstrem bahkan bisa berupa tindakan brutal menghabisi sesama warga sekolah atau kampus, sebagaimana dicatat guru besar psikologi Katherine Ramsland (2016). Pada poin inilah para orang tua patut mencermati ulang kebiasaan mereka menasihati anak-anak. Pasalnya, tingkah laku kekerasan anak justru tidak tertutup kemungkinan merupakan buah dari pompaan semangat yang dilakukan orang tua dengan luar biasa derasnya dan berpusat pada kata belajar.
Daripada melulu memberikan fatwa tentang belajar, dan itu memuakkan serta dapat berdampak kontraproduktif, orang tua perlu lebih sering memberi nasihat tentang pemenuhan kepentingan-kepentingan lainnya yang juga melekat pada diri anak. Bahwa, ambil contoh, anak perlu lebih banyak bermain kreatif bersama teman-teman, teratur salat lima waktu, rajin minum susu, menabung agar bisa disedekahkan ke yatim, menanam pohon, memelihara binatang, dan keasyikan-keasyikan lainnya yang membuat dunia anak-anak lebih berwarna.
Sulit disanggah, menyampaikan petuah ternyata butuh keterampilan juga. Orang tua, apalagi saya, perlu memperkaya wawasan dan perbendaharaan kata serta cita rasa dalam membangun narasi di hadapan anak. Seiring dengan itu, orang tua patut mengasah kepekaan diri agar bisa menyelami apa yang anak-anak sukai dan tidak sukai.
Imbuh Profesor Thomas Plante (2014), kebanyakan petuah kebaikan berlalu saja dari perhatian. Petuah akan lebih mengena lewat contoh, suri tauladan. Alhasil, agar nasihatnya di Pekanbaru bisa lebih punya efek dorong, Pak Jokowi sendiri harus terus-menerus menjalankan laku sebagai seorang pembelajar sejati. Sebagaimana Bung Karno yang tak berhenti menulis dan menelurkan gagasan-gagasan besar, atau Pak Habibie yang terus meneliti dan berinovasi di bidang teknologi, atau Gus Dur yang juga menghasilkan pemikiran-pemikiran filosofis, atau Pak SBY yang mencipta lagu, demikian pula Pak Jokowi. Ia kudu menghasilkan suatu legacy yang kentara membuktikan bahwa orang nomor satu di Indonesia memang selalu dahaga akan ilmu.
Pada sisi lain, anak-anak juga punya kepentingan akan nasihat yang lebih bervariasi, tidak tentang kewajiban belajar melulu. Dengan pengetahuan yang baik akan kepentingan atau hak-hak mereka selaku anak-anak, mereka bisa menagih orang tua bahkan negara tentang seberapa jauh hak itu sudah terealisasi.
Semoga petuah Pak Jokowi agar anak-anak "belajar, belajar, belajar" tidak cepat masuk telinga kanan dan gampang keluar telinga kiri. Pesan Pak Jokowi juga diharapkan tidak membuat orang tua kian terobsesi mengeleskan anak-anak mereka. Keletihan akademis niscaya berakibat kontraproduktif bagi anak-anak-dan nantinya-bagi Indonesia. Allahu a'lam.
(zik)