Mencegah KPK Keluar Koridor Hukum
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
Presidium KAHMI 2012/2017
PEMERINTAH, DPR, dan rakyat telah memberi kepercayaan dan dukungan penuh kepada KPK untuk memerangi korupsi. Namun, kepercayaan dan dukungan itu tidak boleh disalahgunakan, atau menjadi alasan bagi oknum penyidik KPK bertindak semena-mena dan keluar koridor hukum.
Setiap sosok koruptor harus ditangkap, menjalani proses hukum yang berkeadilan, dan diganjar sanksi hukum maksimal. Komitmen bersama ini sudah menjadi harga mati. Sudah puluhan tahun negara dan rakyat dirugikan serta menderita karena praktik korupsi yang amat sulit dihentikan.
Karena kesulitan itu pula, negara akhirnya harus menghadirkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melalui Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002. Artinya, penugasan KPK itu sudah berjalan 15 tahun. Dalam rentang waktu sepanjang itu, KPK sudah banyak berbuat. Untuk semua itu, apresiasi yang setinggi-tingginya patut diberikan kepada KPK dan seluruh jajarannya.
Akan tetapi, apakah internal KPK selama belasan tahun itu bersih dari masalah? Dan, dari aspek tata kelola, apakah KPK sudah dikendalikan dengan cara yang benar menurut UU dan etika lembaga negara? Publik tidak banyak tahu karena KPK cenderung menghindar dan tertutup. Gagasan atau inisiatif untuk melakukan koreksi selalu dihadang dengan tuduhan ingin melemahkan KPK.
Lazimnya, sebuah institusi yang all out menghindar dari pengawasan atau kebijakan korektif lebih karena alasan ketidakberesan pada aspek tata kelola. Muara dari ketidakberesan itu umumnya adalah human error. Untuk menutup-nutupi ketidakberesan itu, segala cara akan digunakan.
Paling ampuh tentu saja melempar tuduhan bahwa para penggagas kebijakan korektif untuk KPK bertujuan melemahkan KPK. Cara ini ampuh karena diasumsikan pasti dipercaya publik dan publik akan ikut bersuara untuk mencegah setiap koreksi terhadap KPK.
Pertanyaannya adalah mengapa harus takut untuk dikoreksi? Orang akan menjadi pengecut ketika sadar dirinya tidak bersih. Ketika kepercayaan diberikan secara berlebih tanpa pengawasan, mengharamkan kritik serta minus keterbukaan, akan muncul dorongan untuk berperilaku aji mumpung dengan bertindak semau gue. Hanya orang bodoh yang bisa membenarkan dan menerima gejala demikian.
Namun, akan selalu ada cara dan jalan. Seperti kata pepatah, Banyak Jalan Menuju Roma. Tanpa rekayasa, momentum untuk melakukan koreksi terhadap KPK datang begitu saja, ketika muncul kasus dugaan kesaksian palsu yang dituduhkan kepada Miryam S Haryani, dalam sidang perkara dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Bantahan resmi dan tertulis dari Miryam kemudian memunculkan pertanyaan siapa yang sebenarnya berbohong? Miryam atau oknum penyidik KPK? Karena kasus ini sangat serius, lahirlah dorongan untuk menghadirkan Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk Hak Angket terhadap KPK.
Kasus dugaan kesaksian palsu oleh oknum penyidik KPK itu menjadi pemicu yang melengkapi alasan atau pertimbangan untuk menghadirkan Pansus. Sebelumnya sudah terdapat beberapa alasan untuk melakukan koreksi terhadap KPK, antara lain pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) KPK tidak sesuai peraturan perundang-undangan. Tata kelola kelembagaan harus diperbaiki KPK.
Lalu, ada kasus pembocoran informasi kepada media tertentu, dan pembocoran dokumen penting yang bersifat rahasia, seperti BAP, sprindik dan surat cekal. Juga terjadi insubordinasi atau perlawanan terhadap keputusan pimpinan KPK.
Kendati sebagian publik menolak dan mencibir, DPR tetap membentuk pansus itu sebagai pengejawantahan fungsi pengawasan. Ketika melakukan pendalaman masalah dengan turun ke lapangan, Pansus DPR mencatat sejumlah temuan, termasuk temuan yang berasal dari penuturan beberapa narapidana kasus korupsi. Memang, publik tidak harus memercayai penuturan atau keluh kesah mereka.
Tetapi menjadi kewajiban Pansus DPR untuk mencatat dan menampung informasi dari para narapidana itu. Sebab, selama menjalani proses hukum, mereka mengalami dan merasakan langsung perlakuan KPK. Informasi dari mereka tetap penting sebagai acuan untuk mempelajari kemungkinan penyimpangan atau tindakan bernuansa abuse of power.
Introspeksi
Semua gambaran tidak elok itu mengalir begitu saja. Paling mengejutkan tentu saja apa yang diungkapkan oleh pakar hukum pidana Romli Atmasasmita. Kepada Pansus Hak Angket KPK, dia mengaku sejak lama merasakan ada permasalahan di internal KPK. Hal yang sama juga dirasakan sejumlah anggota DPR, khususnya Komisi III DPR sebagai mitra KPK.
Tidak berhenti sampai di situ, Prof Romli mengungkap data atau kasus yang membuat semua anggota Pansus nyaris tercengang. Menurut dia, ada 36 orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan alat bukti permulaan yang tak cukup.
"Ada 36 tersangka bukti permulaannya enggak cukup. Saya katakan bukan satu. Kalau 36 enggak ngerti saya. Level Polsek saja enggak mungkin begini," ujar Romli.
Salah satu contoh kasus yang dituturkan cukup rinci oleh Prof Romli adalah kasus Hadi Poernomo. Saat mengunjungi beberapa narapidana kasus korupsi di lembaga pemasyarakatan (lapas) di Sukamiskin Bandung dan Pondok Bambu, Jakarta, Pansus DPR coba mendalami proses pemeriksaan dan penyidikan di KPK yang dialami mereka.
Pansus juga mendalami masalah denda yang sudah dibayarkan, karena berkait langsung dengan besaran pengembalian kerugian negara. Pansus memang mendapatkan sejumlah cerita tak sedap, termasuk dugaan arogansi oknum penyidik. Sekali lagi, semua penuturan para narapidana itu bersifat sepihak sehingga belum memenuhi syarat untuk dipercaya.
Namun, penuturan Prof Romli dan dugaan kesaksian palsu yang dituduhkan kepada Miryam sepertinya mengonfirmasi tindakan semena-mena oleh oknum penyidik KPK. Prof Romli sudah menyebut contoh kasus Hadi Poernomo, sementara Miryam dengan berani telah membuat bantahan tertulis yang dialamatkan kepada Pansus DPR.
Dugaan tindakan semena-mena inilah yang juga akan di dalam Pansus DPR; sebab ketika seorang penyidik bertindak semena-mena dalam memeriksa dan menetapkan seorang tersangka, hasil akhirnya adalah pengadilan sesat.
KPK memang berhak membantah beberapa tudingan itu, tetapi tidak cukup hanya di media dengan mengatakan semua tudingan itu tidak benar. KPK harus terbuka kepada publik tentang bagaimana kondisi internal terkini. Penegakan hukum tidak boleh dilakukan dengan lebih dulu melakukan pelanggaran hukum atau etika sebagai penegak hukum.
Oknum penyidik yang bertindak semena-mena dalam proses hukum adalah kejahatan serius. Kalau KPK coba menutup-nutupi tindakan semena-mena oknum penyidik, sama artinya KPK telah menyalahgunakan kepercayaan publik.
Kalau oknum penyidik tidak memaksakan kehendak dan memperlakukan para tersangka dengan baik dan benar, tidak mungkin para narapidana itu melancarkan serangan balik, karena apa yang mereka tuturkan tidak akan mengurangi hukuman mereka. Bahkan, mereka pun berpotensi dituntut balik oleh KPK dengan tuduhan mencemarkan nama baik atau memberi kesaksian palsu.
Setelah 15 tahun bekerja, KPK harus mau dan berani melakukan introspeksi atau dievaluasi oleh lembaga negara yang punya kompetensi untuk itu. Kalau terus menolak menghadapi Pansus DPR, mereka yang mampu berpikir jernih akan langsung menilai KPK memang tidak bersih.
Tidak ada alasan untuk takut terhadap Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK. Pasalnya, fungsi pengawasan dan penyelidikan atas semua langkah serta kebijakan KPK oleh DPR sebenarnya sudah berjalan melalui forum rapat kerja dengan Komisi III DPR.
Bahkan, melalui Hak Budget, DPR pun memiliki kekuatan untuk mengendalikan KPK. Dengan demikian, sudah terbukti bahwa DPR juga berupaya memperkuat KPK dengan hak budget dan fungsi pengawasan itu. KPK tak perlu berlebihan menyikapi Pansus Hak Angket.
Yakinlah, tidak semua manusia di DPR itu iblis atau penjahat dan tidak semua di KPK itu malaikat atau manusia tanpa cela. Percayalah, KPK sebagai rajawali tetaplah rajawali. Dia tidak akan pernah menjadi perkutut meski semua orang ingin mengubahnya menjadi perkutut.
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
Presidium KAHMI 2012/2017
PEMERINTAH, DPR, dan rakyat telah memberi kepercayaan dan dukungan penuh kepada KPK untuk memerangi korupsi. Namun, kepercayaan dan dukungan itu tidak boleh disalahgunakan, atau menjadi alasan bagi oknum penyidik KPK bertindak semena-mena dan keluar koridor hukum.
Setiap sosok koruptor harus ditangkap, menjalani proses hukum yang berkeadilan, dan diganjar sanksi hukum maksimal. Komitmen bersama ini sudah menjadi harga mati. Sudah puluhan tahun negara dan rakyat dirugikan serta menderita karena praktik korupsi yang amat sulit dihentikan.
Karena kesulitan itu pula, negara akhirnya harus menghadirkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melalui Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002. Artinya, penugasan KPK itu sudah berjalan 15 tahun. Dalam rentang waktu sepanjang itu, KPK sudah banyak berbuat. Untuk semua itu, apresiasi yang setinggi-tingginya patut diberikan kepada KPK dan seluruh jajarannya.
Akan tetapi, apakah internal KPK selama belasan tahun itu bersih dari masalah? Dan, dari aspek tata kelola, apakah KPK sudah dikendalikan dengan cara yang benar menurut UU dan etika lembaga negara? Publik tidak banyak tahu karena KPK cenderung menghindar dan tertutup. Gagasan atau inisiatif untuk melakukan koreksi selalu dihadang dengan tuduhan ingin melemahkan KPK.
Lazimnya, sebuah institusi yang all out menghindar dari pengawasan atau kebijakan korektif lebih karena alasan ketidakberesan pada aspek tata kelola. Muara dari ketidakberesan itu umumnya adalah human error. Untuk menutup-nutupi ketidakberesan itu, segala cara akan digunakan.
Paling ampuh tentu saja melempar tuduhan bahwa para penggagas kebijakan korektif untuk KPK bertujuan melemahkan KPK. Cara ini ampuh karena diasumsikan pasti dipercaya publik dan publik akan ikut bersuara untuk mencegah setiap koreksi terhadap KPK.
Pertanyaannya adalah mengapa harus takut untuk dikoreksi? Orang akan menjadi pengecut ketika sadar dirinya tidak bersih. Ketika kepercayaan diberikan secara berlebih tanpa pengawasan, mengharamkan kritik serta minus keterbukaan, akan muncul dorongan untuk berperilaku aji mumpung dengan bertindak semau gue. Hanya orang bodoh yang bisa membenarkan dan menerima gejala demikian.
Namun, akan selalu ada cara dan jalan. Seperti kata pepatah, Banyak Jalan Menuju Roma. Tanpa rekayasa, momentum untuk melakukan koreksi terhadap KPK datang begitu saja, ketika muncul kasus dugaan kesaksian palsu yang dituduhkan kepada Miryam S Haryani, dalam sidang perkara dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Bantahan resmi dan tertulis dari Miryam kemudian memunculkan pertanyaan siapa yang sebenarnya berbohong? Miryam atau oknum penyidik KPK? Karena kasus ini sangat serius, lahirlah dorongan untuk menghadirkan Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk Hak Angket terhadap KPK.
Kasus dugaan kesaksian palsu oleh oknum penyidik KPK itu menjadi pemicu yang melengkapi alasan atau pertimbangan untuk menghadirkan Pansus. Sebelumnya sudah terdapat beberapa alasan untuk melakukan koreksi terhadap KPK, antara lain pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) KPK tidak sesuai peraturan perundang-undangan. Tata kelola kelembagaan harus diperbaiki KPK.
Lalu, ada kasus pembocoran informasi kepada media tertentu, dan pembocoran dokumen penting yang bersifat rahasia, seperti BAP, sprindik dan surat cekal. Juga terjadi insubordinasi atau perlawanan terhadap keputusan pimpinan KPK.
Kendati sebagian publik menolak dan mencibir, DPR tetap membentuk pansus itu sebagai pengejawantahan fungsi pengawasan. Ketika melakukan pendalaman masalah dengan turun ke lapangan, Pansus DPR mencatat sejumlah temuan, termasuk temuan yang berasal dari penuturan beberapa narapidana kasus korupsi. Memang, publik tidak harus memercayai penuturan atau keluh kesah mereka.
Tetapi menjadi kewajiban Pansus DPR untuk mencatat dan menampung informasi dari para narapidana itu. Sebab, selama menjalani proses hukum, mereka mengalami dan merasakan langsung perlakuan KPK. Informasi dari mereka tetap penting sebagai acuan untuk mempelajari kemungkinan penyimpangan atau tindakan bernuansa abuse of power.
Introspeksi
Semua gambaran tidak elok itu mengalir begitu saja. Paling mengejutkan tentu saja apa yang diungkapkan oleh pakar hukum pidana Romli Atmasasmita. Kepada Pansus Hak Angket KPK, dia mengaku sejak lama merasakan ada permasalahan di internal KPK. Hal yang sama juga dirasakan sejumlah anggota DPR, khususnya Komisi III DPR sebagai mitra KPK.
Tidak berhenti sampai di situ, Prof Romli mengungkap data atau kasus yang membuat semua anggota Pansus nyaris tercengang. Menurut dia, ada 36 orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan alat bukti permulaan yang tak cukup.
"Ada 36 tersangka bukti permulaannya enggak cukup. Saya katakan bukan satu. Kalau 36 enggak ngerti saya. Level Polsek saja enggak mungkin begini," ujar Romli.
Salah satu contoh kasus yang dituturkan cukup rinci oleh Prof Romli adalah kasus Hadi Poernomo. Saat mengunjungi beberapa narapidana kasus korupsi di lembaga pemasyarakatan (lapas) di Sukamiskin Bandung dan Pondok Bambu, Jakarta, Pansus DPR coba mendalami proses pemeriksaan dan penyidikan di KPK yang dialami mereka.
Pansus juga mendalami masalah denda yang sudah dibayarkan, karena berkait langsung dengan besaran pengembalian kerugian negara. Pansus memang mendapatkan sejumlah cerita tak sedap, termasuk dugaan arogansi oknum penyidik. Sekali lagi, semua penuturan para narapidana itu bersifat sepihak sehingga belum memenuhi syarat untuk dipercaya.
Namun, penuturan Prof Romli dan dugaan kesaksian palsu yang dituduhkan kepada Miryam sepertinya mengonfirmasi tindakan semena-mena oleh oknum penyidik KPK. Prof Romli sudah menyebut contoh kasus Hadi Poernomo, sementara Miryam dengan berani telah membuat bantahan tertulis yang dialamatkan kepada Pansus DPR.
Dugaan tindakan semena-mena inilah yang juga akan di dalam Pansus DPR; sebab ketika seorang penyidik bertindak semena-mena dalam memeriksa dan menetapkan seorang tersangka, hasil akhirnya adalah pengadilan sesat.
KPK memang berhak membantah beberapa tudingan itu, tetapi tidak cukup hanya di media dengan mengatakan semua tudingan itu tidak benar. KPK harus terbuka kepada publik tentang bagaimana kondisi internal terkini. Penegakan hukum tidak boleh dilakukan dengan lebih dulu melakukan pelanggaran hukum atau etika sebagai penegak hukum.
Oknum penyidik yang bertindak semena-mena dalam proses hukum adalah kejahatan serius. Kalau KPK coba menutup-nutupi tindakan semena-mena oknum penyidik, sama artinya KPK telah menyalahgunakan kepercayaan publik.
Kalau oknum penyidik tidak memaksakan kehendak dan memperlakukan para tersangka dengan baik dan benar, tidak mungkin para narapidana itu melancarkan serangan balik, karena apa yang mereka tuturkan tidak akan mengurangi hukuman mereka. Bahkan, mereka pun berpotensi dituntut balik oleh KPK dengan tuduhan mencemarkan nama baik atau memberi kesaksian palsu.
Setelah 15 tahun bekerja, KPK harus mau dan berani melakukan introspeksi atau dievaluasi oleh lembaga negara yang punya kompetensi untuk itu. Kalau terus menolak menghadapi Pansus DPR, mereka yang mampu berpikir jernih akan langsung menilai KPK memang tidak bersih.
Tidak ada alasan untuk takut terhadap Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK. Pasalnya, fungsi pengawasan dan penyelidikan atas semua langkah serta kebijakan KPK oleh DPR sebenarnya sudah berjalan melalui forum rapat kerja dengan Komisi III DPR.
Bahkan, melalui Hak Budget, DPR pun memiliki kekuatan untuk mengendalikan KPK. Dengan demikian, sudah terbukti bahwa DPR juga berupaya memperkuat KPK dengan hak budget dan fungsi pengawasan itu. KPK tak perlu berlebihan menyikapi Pansus Hak Angket.
Yakinlah, tidak semua manusia di DPR itu iblis atau penjahat dan tidak semua di KPK itu malaikat atau manusia tanpa cela. Percayalah, KPK sebagai rajawali tetaplah rajawali. Dia tidak akan pernah menjadi perkutut meski semua orang ingin mengubahnya menjadi perkutut.
(maf)