Tembakau pun Punya Legenda
A
A
A
Mohamad Sobary
Budayawan
SEORANG sahabat, Pak Tosi, bercerita mengenai cara orang China memproses pembuatan teh yang cermat, hati-hati, dan profesional untuk menghasilkan teh berkualitas tinggi. Rasanya khas dan tak bisa dicarikan bandingannya pada jenis teh lain. Para "tester" sejati akan selalu tahu jika ada tiruan atau pemalsuan agar kelihatan setara dengan teh tersebut.
Syahdan, di Hang Zhou ada sebutan Long Qing Cha, artinya Sumur Naga. Disebut begitu karena konon sumur itu dulu ditemukan raja. Seperti lazim di mana-mana, apa yang berhubungan dengan raja memiliki makna istimewa. Di Hang Zhou, tanah di sekitar sumur itu menghasilkan teh berkualitas tinggi yang tak bisa dibandingkan dengan teh dari daerah lain. Ini jenis teh hijau, yang bukan hanya untuk minuman biasa, tetapi juga minuman yang mengandung vitamin C. Harganya mahal. Maklumlah kita karena teh itu ada hubungan psikologis dengan raja.
Kualitas teh tersebut pertama-tama diuji rasanya, berdasarkan ukuran-ukuran empirik dan nyata karena lidah tak berbohong. Kecuali itu—ini yang mengangkat lebih tinggi kualitas tadi—ada bumbu legenda mengenai asal-usul daerah yang memproduksi minuman istimewa tersebut. Legenda itu benda yang tak kasatmata, yang boleh jadi bisa keliru, tapi dia membangun cita rasa tersendiri. Legenda mungkin lalu menghasilkan sebuah "image", yang membuat suatu jenis produk bisa begitu luar biasa pengaruhnya di pasaran. "Image" mampu mengubah produk bumi—benda duniawi—menjadi seolah produk dewa-dewa di Sorgaloka. Jarak bumi dan surga pasti sangat jauh, tapi image mampu membuatnya begitu dekat.
Itulah pesona teh dari Sumur Naga: Long Qing Cha. Produk itu seolah membalik alam kesadaran kita. Di Taiwan, menurut kisah Pak Tosi juga, ada Kao San Cha, artinya Gunung Tinggi. Di gunung ini diproduksi pula jenis teh lain yang kelihatannya juga mampu mengubah dirinya menjadi sebuah legenda. Jika teh dibangga-banggakan oleh penjualnya, dan oleh merek yang melekat pada bungkusnya sebagai produk Kao San Cha, Gunung Tinggi, orang langsung terpesona. Kesadaran kritisnya lenyap.
Di negeri kita tembakau pun punya legenda. Mungkin tak kalah istimewa dibandingkan dengan legenda teh di negeri China tadi. Di berbagai tempat orang menyebut emas hijau untuk kata ganti nama tembakau. Produk dunia pertanian itu memancarkan kewibawaan besar ketika pemerintah memiliki rasa peduli pada petani tembakau. Kepedulian itu bukan tanda kebaikan hati. Pemerintah pertama-tama memang wajib punya rasa peduli karena dia memanggul mandat konstitusi untuk memberi petani perlindungan. Selebihnya, sambil menjalankan mandat itu, pemerintah juga memperoleh keuntungan besar, luar biasa besar, dari cukai kretek yang tak bisa diperoleh dari sumber lain.
Sekarang, ketika gempuran dunia internasional yang mengenakan jubah kesehatan makin menekan dan menekan produk tembakau dan olahannya, petani tembakau sempoyongan. Apalagi, gempuran itu juga didukung kekuatan dalam negeri. Pemerintahan yang lalu, ketika Presiden merasa Amerika Serikat itu negerinya yang kedua, sama sekali tak peduli pada nasib petani tembakau. Tetapi, para petani itu tampak begitu gagah melakukan perlawanan.
Pukulan datang bertubi-tubi dengan segenap kutukan keji, tapi petani tembakau tetap gigih dalam perjuangan menegakkan hak hidup mereka. Dan, di Gunung Sumbing yang biru dan membisu itu orang bicara mengenai legenda tembakau. Pertama, legenda yang berhubungan dengan tokoh penemu bibit itu dan legenda mengenai produk tembakau di lereng timur gunung tersebut.
Penemu bibit itu seorang tokoh tua yang disebut Ki Ageng Makukuhan, Ki Ageng Kedu Prabu Makukuhan, Sunan Kedu, Sunan Makukuhan, dan Wali Agung Makukuhan, seorang murid Sunan Kudus. Nama ini berkibar begitu agung di dunia Islam dan di kalangan petani tembakau di Temanggung. Tembakau punya legenda yang melekat pada sebuah nama besar yang memesona. Dengan sendirinya tembakau terbawa oleh keharuman nama itu.
Kedua, legenda nyata yang lahir dari kualitas tembakau Srinthil, produk Desa Lamuk, di lereng timur Gunung Sumbing. Produk di situ istimewa. Tembakaunya berbau khas: mirip campuran bau dodol jenang Kudus dan bau salak yang sudah matang. Bau asem, tapi segar dan harum. Harganya sejuta rupiah per kilo gram.
Apa kurang istimewanya tembakau? Baunya saja sudah membentuk legenda tersendiri. Harganya membikin orang kaget. Sejuta rupiah per kilogram? Di sini, kalau tembakau disebut emas hijau, sebutan itu jelas tak berlebihan. Sebuah bangsa—atau potongan kecil dari kehidupan bangsa yang besar ini—punya sisi kehidupan seperti itu? Mereka layak untuk merasa bangga. Juga, ketika diancam untuk dihancurkan.
Rasa bangga kaum tani itu mengagumkan. Mereka kekuatan lokal, dan mungkin kecil secara ekonomi maupun politik. Tapi, jerit perjuangan mereka bukan hanya bertaraf nasional, melainkan global. Bagi mereka, kelihatannya bangga rasa bangga dalam diri mereka bukan berhenti pada kebanggaan itu sendiri. Mereka mengolah rasa bangga itu menjadi sejenis sikap dan kesadaran ideologis yang kental. Tembakau bagian dari identitas nasional kita. Lebih-lebih kalau kita bicara mengenai kretek.
Tembakau dan kretek tak mudah dipisahkan. Kata kretek itu mereka dengungkan sebagai bentuk kesadaran ideologis yang tegas dalam deklarasi laskar kretek pada sekitar akhir 2012. Kretek bukan rokok. Bagi mereka, rokok itu artinya rokok putih, yang tak setara dengan kualitas kretek. Kretek juga menjadi sejenis bahasa dan simbol perlawanan mereka terhadap kekuatan jahat yang membawa semangat penghancuran.
Mereka tak ingin dibikin hancur. Mereka siap sedia untuk menjaga corak kerja sama dengan dunia industri yang sudah terbina sejak lama. Jalinan kerja sama ini menjadi kekuatan nyata. Ini modal. Mereka melawan apa yang asing. Kebijakan nasional yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Tahun 2012 dulu memang kebijakan kita, tapi semangatnya tidak lokal, tidak nasional. Ini kebijakan yang sangat mendukung kepentingan global, modal global, dan pasar global.
Kesadaran mengenai kebijakan yang serbaglobal itu tanda bahwa secara ideologis mereka tampak kuat, yang layak menjadi modal dalam percaturan global. Mereka hidup secara komplet. Kesadaran ideologis mereka punya. Legenda dunia tembakau pun mereka punya. Mungkin mereka punya segalanya, kecuali kekuasaan membuat regulasi.
Budayawan
SEORANG sahabat, Pak Tosi, bercerita mengenai cara orang China memproses pembuatan teh yang cermat, hati-hati, dan profesional untuk menghasilkan teh berkualitas tinggi. Rasanya khas dan tak bisa dicarikan bandingannya pada jenis teh lain. Para "tester" sejati akan selalu tahu jika ada tiruan atau pemalsuan agar kelihatan setara dengan teh tersebut.
Syahdan, di Hang Zhou ada sebutan Long Qing Cha, artinya Sumur Naga. Disebut begitu karena konon sumur itu dulu ditemukan raja. Seperti lazim di mana-mana, apa yang berhubungan dengan raja memiliki makna istimewa. Di Hang Zhou, tanah di sekitar sumur itu menghasilkan teh berkualitas tinggi yang tak bisa dibandingkan dengan teh dari daerah lain. Ini jenis teh hijau, yang bukan hanya untuk minuman biasa, tetapi juga minuman yang mengandung vitamin C. Harganya mahal. Maklumlah kita karena teh itu ada hubungan psikologis dengan raja.
Kualitas teh tersebut pertama-tama diuji rasanya, berdasarkan ukuran-ukuran empirik dan nyata karena lidah tak berbohong. Kecuali itu—ini yang mengangkat lebih tinggi kualitas tadi—ada bumbu legenda mengenai asal-usul daerah yang memproduksi minuman istimewa tersebut. Legenda itu benda yang tak kasatmata, yang boleh jadi bisa keliru, tapi dia membangun cita rasa tersendiri. Legenda mungkin lalu menghasilkan sebuah "image", yang membuat suatu jenis produk bisa begitu luar biasa pengaruhnya di pasaran. "Image" mampu mengubah produk bumi—benda duniawi—menjadi seolah produk dewa-dewa di Sorgaloka. Jarak bumi dan surga pasti sangat jauh, tapi image mampu membuatnya begitu dekat.
Itulah pesona teh dari Sumur Naga: Long Qing Cha. Produk itu seolah membalik alam kesadaran kita. Di Taiwan, menurut kisah Pak Tosi juga, ada Kao San Cha, artinya Gunung Tinggi. Di gunung ini diproduksi pula jenis teh lain yang kelihatannya juga mampu mengubah dirinya menjadi sebuah legenda. Jika teh dibangga-banggakan oleh penjualnya, dan oleh merek yang melekat pada bungkusnya sebagai produk Kao San Cha, Gunung Tinggi, orang langsung terpesona. Kesadaran kritisnya lenyap.
Di negeri kita tembakau pun punya legenda. Mungkin tak kalah istimewa dibandingkan dengan legenda teh di negeri China tadi. Di berbagai tempat orang menyebut emas hijau untuk kata ganti nama tembakau. Produk dunia pertanian itu memancarkan kewibawaan besar ketika pemerintah memiliki rasa peduli pada petani tembakau. Kepedulian itu bukan tanda kebaikan hati. Pemerintah pertama-tama memang wajib punya rasa peduli karena dia memanggul mandat konstitusi untuk memberi petani perlindungan. Selebihnya, sambil menjalankan mandat itu, pemerintah juga memperoleh keuntungan besar, luar biasa besar, dari cukai kretek yang tak bisa diperoleh dari sumber lain.
Sekarang, ketika gempuran dunia internasional yang mengenakan jubah kesehatan makin menekan dan menekan produk tembakau dan olahannya, petani tembakau sempoyongan. Apalagi, gempuran itu juga didukung kekuatan dalam negeri. Pemerintahan yang lalu, ketika Presiden merasa Amerika Serikat itu negerinya yang kedua, sama sekali tak peduli pada nasib petani tembakau. Tetapi, para petani itu tampak begitu gagah melakukan perlawanan.
Pukulan datang bertubi-tubi dengan segenap kutukan keji, tapi petani tembakau tetap gigih dalam perjuangan menegakkan hak hidup mereka. Dan, di Gunung Sumbing yang biru dan membisu itu orang bicara mengenai legenda tembakau. Pertama, legenda yang berhubungan dengan tokoh penemu bibit itu dan legenda mengenai produk tembakau di lereng timur gunung tersebut.
Penemu bibit itu seorang tokoh tua yang disebut Ki Ageng Makukuhan, Ki Ageng Kedu Prabu Makukuhan, Sunan Kedu, Sunan Makukuhan, dan Wali Agung Makukuhan, seorang murid Sunan Kudus. Nama ini berkibar begitu agung di dunia Islam dan di kalangan petani tembakau di Temanggung. Tembakau punya legenda yang melekat pada sebuah nama besar yang memesona. Dengan sendirinya tembakau terbawa oleh keharuman nama itu.
Kedua, legenda nyata yang lahir dari kualitas tembakau Srinthil, produk Desa Lamuk, di lereng timur Gunung Sumbing. Produk di situ istimewa. Tembakaunya berbau khas: mirip campuran bau dodol jenang Kudus dan bau salak yang sudah matang. Bau asem, tapi segar dan harum. Harganya sejuta rupiah per kilo gram.
Apa kurang istimewanya tembakau? Baunya saja sudah membentuk legenda tersendiri. Harganya membikin orang kaget. Sejuta rupiah per kilogram? Di sini, kalau tembakau disebut emas hijau, sebutan itu jelas tak berlebihan. Sebuah bangsa—atau potongan kecil dari kehidupan bangsa yang besar ini—punya sisi kehidupan seperti itu? Mereka layak untuk merasa bangga. Juga, ketika diancam untuk dihancurkan.
Rasa bangga kaum tani itu mengagumkan. Mereka kekuatan lokal, dan mungkin kecil secara ekonomi maupun politik. Tapi, jerit perjuangan mereka bukan hanya bertaraf nasional, melainkan global. Bagi mereka, kelihatannya bangga rasa bangga dalam diri mereka bukan berhenti pada kebanggaan itu sendiri. Mereka mengolah rasa bangga itu menjadi sejenis sikap dan kesadaran ideologis yang kental. Tembakau bagian dari identitas nasional kita. Lebih-lebih kalau kita bicara mengenai kretek.
Tembakau dan kretek tak mudah dipisahkan. Kata kretek itu mereka dengungkan sebagai bentuk kesadaran ideologis yang tegas dalam deklarasi laskar kretek pada sekitar akhir 2012. Kretek bukan rokok. Bagi mereka, rokok itu artinya rokok putih, yang tak setara dengan kualitas kretek. Kretek juga menjadi sejenis bahasa dan simbol perlawanan mereka terhadap kekuatan jahat yang membawa semangat penghancuran.
Mereka tak ingin dibikin hancur. Mereka siap sedia untuk menjaga corak kerja sama dengan dunia industri yang sudah terbina sejak lama. Jalinan kerja sama ini menjadi kekuatan nyata. Ini modal. Mereka melawan apa yang asing. Kebijakan nasional yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Tahun 2012 dulu memang kebijakan kita, tapi semangatnya tidak lokal, tidak nasional. Ini kebijakan yang sangat mendukung kepentingan global, modal global, dan pasar global.
Kesadaran mengenai kebijakan yang serbaglobal itu tanda bahwa secara ideologis mereka tampak kuat, yang layak menjadi modal dalam percaturan global. Mereka hidup secara komplet. Kesadaran ideologis mereka punya. Legenda dunia tembakau pun mereka punya. Mungkin mereka punya segalanya, kecuali kekuasaan membuat regulasi.
(mhd)