Komunikasi Elite Politik
A
A
A
Dr Gun Gun Heryanto MSi
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
KONTESTASI elektoral 2019 mulai menghangat. Beragam manuver mulai diuji coba oleh sejumlah kalangan seiring dengan mulai jelasnya tahapan pascapengesahan UU Pemilu.
Elite partai politik mulai membuka diri, berkomunikasi dan saling menjajaki peluang- peluang yang memungkinkan mereka bertemu dalam kesepakatan. Dalam ranah kajian komunikasi politik, lazimnya hal ini disebut zone of possible agreement (ZOPA). Membuka area komunikasi yang lebih fleksibel, untuk memperoleh kesepahaman yang bisa menjadi landasan kesepakatan bersama di masa mendatang. Pertemuan SBY dengan Prabowo di Cikeas, sarat dengan komunikasi politik, terutama memberi pesan politik secara sadar dan sengaja bahwa mereka mulai mengonsolidasikan poros kekuatan yang akan menjadi penantang petahana.
Konteks Komunikasi
Setiap peristiwa komunikasi politik, harus selalu dibaca konteksnya. Paling tidak, ada tiga konteks komunikasi dari silaturahmi SBY-Prabowo tersebut. Pertama, momentum kesamaan sikap dari beberapa partai dalam menyikapi isu strategis di UU Pemilu. Partai Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat seirama mengambil sikap walk out dari paripurna pembahasan UU Pemilu.
Sikap keempat partai ini menimbulkan sentimen positif di antara elite partai mereka. Kesamaan sikap, menjadikan mereka diidentifikasi sebagai “poros tandingan” dari poros partai-partai penyokong pemerintahan. Ada konstruksi politis di wilayah opini publik, bahwa partai-partai yang mendukung dan menolak isu krusial seperti presidential threshold dan konversi suara di UU Pemilu tersebut, merupakan gambaran awal peta kongsi di gelanggang permainan 2019.
Kedua,konteksnya adalah kepentinganbersamadiantarapartai- partai di luar kekuasaan yang muncul sebagai dampak ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20% kursi DPRatau25% suara sah nasional. Dengan disahkannya UU Pemilu tersebut, mengharuskan para elite partai melakukan positioning. Di atas kertas, dengan angka PT 20% kursi DPR, dan peta dukungan pada Jokowi dari sejumlah partai, membuat ikhtiar untuk membentuk poros ketiga lebih sulit diwujudkan.
Saat ini, di atas kertas, Jokowi mendapat dukungan hingga 69,2% kursi di DPR atau 68,84 suara sah secara nasional dari tujuh partai pendukung pemerintah. Jika pun PAN dengan 8,8% kursi di DPR RI atau 7,59 suara sah nasional keluar dari barisan koalisi pendukung Jokowi, komposisi partai pemerintah masih 60,4% kursi DPR. Dengan dukungan PPP, Partai NasDem, Partai Golkar, dan Partai Hanura, yang sudah mendeklarasikan dukungannya, Jokowi mengantongi modal 32,5% kursi di DPR atau 35,61% suara sah nasional. Realitas dukungan ini sudah melampaui ketentuan presidential threshold.
Tinggal menunggu sikap PDIP yang memiliki 19,5% kursi di DPR atau 18,95% suara sah nasional, PKB 8,4% kursi di DPR atau 9,04% suara sah nasional. Komposisi ini, tentu menjadi stimulan pergerakan kekuatan di luar kekuasaan seperti Gerindra, PKS, Demokrat, dan mungkin juga PAN. Oleh karenanya, membaca konteks komunikasi politik SBY-Prabowo juga tak bisa dilepaskan dari konstelasi ini. Mereka harus menjajaki kemungkinan koalisi karena dengan ambang batas 20% kursi DPR tadi, peluang hanya ada dua kongsi dalam kandidasi semakin besar.
Akan tetapi, masih mungkin peta berubah jika judicial review atas UU Pemilu terutama tentang angka ambang batas pencalonan presiden dikabulkan. Seandainya MK memutuskan ambang batas 0%, maka pola akan kembali asimetris dan potensi kongsi kembali akan cair. Jika ini terjadi, masih memungkinkan empat pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu Presiden 2019. Konteks ketiga, peran figur dalam pergerakan partai-partai. Biasanya inisiasi kongsi politik akan sangat bergantung pada figur utamanya.
Thomas Carothers, dalam tulisannya Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies, di Jurnal Carnegie Endowment in International Peace (2006), mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric yang didominasi suatu lingkaran kecil elite politisi. Partai sangat bergantung pada tokoh utamanya, jika patronnya bertemu dan membuka komunikasi politik dengan kekuatan lain, bisa dipastikan keputusan kongsi akan sangat ditentukan oleh sikap si tokoh utama dibanding mekanisme keorganisasian partai.
Di situlah letak posisi strategis SBY dan Prabowo yang menjadi lokomotif dibawa ke mana melajunya Partai Demokrat dan Partai Gerindra. Kedua sosok ini bukanlah sosok yang akrab satu sama lain dan kerap tak satu pandangan. Akan tetapi, mereka menjadi sosok simbolik yang akan menggerakkan manuver dan langkah partai masing-masing di gelanggang pertarungan 2019.
Poros Hambalang- Cikeas?
Bisa jadi usai pertemuan SBY-Prabowo di Cikeas akan ada pertemuan-pertemuan lainnya yang melibatkan kedua elite partai atau level di bawahnya. Yang jelas, lintasan menuju Pilpres 2019 yang sudah digelar usai disahkannya UU Pemilu mulai dijajaki dan dipergunakan, sambil uji reaksi publik melalui pesan komunikasi politik yang dikirim dari Cikeas kemarin malam. Namun, benarkah pertemuan tersebut sudah mengerucut pada pembentukan poros Hambalang-Cikeas?
Menurut penulis, masih terlalu prematur untuk membuat penyimpulan. Langkah komunikasi politik SBY-Prabowo baru menjadi prakondisi bagi kedua belah pihak mengonsolidasikan kekuatan internal masing-masing, sambil membuka peluang kerja samakerja sama strategis untuk menjadi kekuatan efektif di luar kekuasaan. Simpulan bahwa akan ada paket Prabowo-AHY adalah over simplikasi pada sejumlah situasi dinamis yang harus dilihat sebagai realitas yang masih mungkin terjadi. Koalisi banyak partai di Indonesia pascareformasi menghadirkan pola koopsi atau kongsi yang sering gonta-ganti pasangan.
Tentu saja dalam membuat paket pasangan kandidat partai akan mempertimbangkan sejumlah faktor, antara lain modal dasar elektoral seperti elektabilitas, popularitas, dan akseptabilitas nama-nama yang bisa diujicobakan dalam persepsi opini publik. Langkah ini dalam komunikasi politik sering disebut sebagai trust building (membangun kepercayaan). Masingmasing pihak akan melakukan banyak aktivitas yang memperkuat branding dirinya melalui ragam aktivitas publisitas politik, public relations politik, dan lain-lain.
Tujuan utamanya adalah dia mendapat “tempat khusus” dalam kognisi khalayak. Jadi, hingga awal 2018 akan jadi “panggung” para bakal calon mengelola kesan (impression management) dirinya sejalan dengan upaya mereka mendapatkan legitimasi berupa kepercayaan dan dukungan nyata kekuatan politik seperti parpol serta jaringan simpul-simpul suara warga.
Partai Demokrat tentu saja akan mencoba mendorong AHY di pusaran 2019, dan tahu persis gelanggang pertarungan masih menyisakan dua pemain utamanya, yakni Jokowi dan Prabowo. Wajar jika pertemuan saling menjajaki pun dimulai. Meski masih tekateki, akankah silaturahmi berujung happy atau menjadi elegi di kemudian hari?
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
KONTESTASI elektoral 2019 mulai menghangat. Beragam manuver mulai diuji coba oleh sejumlah kalangan seiring dengan mulai jelasnya tahapan pascapengesahan UU Pemilu.
Elite partai politik mulai membuka diri, berkomunikasi dan saling menjajaki peluang- peluang yang memungkinkan mereka bertemu dalam kesepakatan. Dalam ranah kajian komunikasi politik, lazimnya hal ini disebut zone of possible agreement (ZOPA). Membuka area komunikasi yang lebih fleksibel, untuk memperoleh kesepahaman yang bisa menjadi landasan kesepakatan bersama di masa mendatang. Pertemuan SBY dengan Prabowo di Cikeas, sarat dengan komunikasi politik, terutama memberi pesan politik secara sadar dan sengaja bahwa mereka mulai mengonsolidasikan poros kekuatan yang akan menjadi penantang petahana.
Konteks Komunikasi
Setiap peristiwa komunikasi politik, harus selalu dibaca konteksnya. Paling tidak, ada tiga konteks komunikasi dari silaturahmi SBY-Prabowo tersebut. Pertama, momentum kesamaan sikap dari beberapa partai dalam menyikapi isu strategis di UU Pemilu. Partai Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat seirama mengambil sikap walk out dari paripurna pembahasan UU Pemilu.
Sikap keempat partai ini menimbulkan sentimen positif di antara elite partai mereka. Kesamaan sikap, menjadikan mereka diidentifikasi sebagai “poros tandingan” dari poros partai-partai penyokong pemerintahan. Ada konstruksi politis di wilayah opini publik, bahwa partai-partai yang mendukung dan menolak isu krusial seperti presidential threshold dan konversi suara di UU Pemilu tersebut, merupakan gambaran awal peta kongsi di gelanggang permainan 2019.
Kedua,konteksnya adalah kepentinganbersamadiantarapartai- partai di luar kekuasaan yang muncul sebagai dampak ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20% kursi DPRatau25% suara sah nasional. Dengan disahkannya UU Pemilu tersebut, mengharuskan para elite partai melakukan positioning. Di atas kertas, dengan angka PT 20% kursi DPR, dan peta dukungan pada Jokowi dari sejumlah partai, membuat ikhtiar untuk membentuk poros ketiga lebih sulit diwujudkan.
Saat ini, di atas kertas, Jokowi mendapat dukungan hingga 69,2% kursi di DPR atau 68,84 suara sah secara nasional dari tujuh partai pendukung pemerintah. Jika pun PAN dengan 8,8% kursi di DPR RI atau 7,59 suara sah nasional keluar dari barisan koalisi pendukung Jokowi, komposisi partai pemerintah masih 60,4% kursi DPR. Dengan dukungan PPP, Partai NasDem, Partai Golkar, dan Partai Hanura, yang sudah mendeklarasikan dukungannya, Jokowi mengantongi modal 32,5% kursi di DPR atau 35,61% suara sah nasional. Realitas dukungan ini sudah melampaui ketentuan presidential threshold.
Tinggal menunggu sikap PDIP yang memiliki 19,5% kursi di DPR atau 18,95% suara sah nasional, PKB 8,4% kursi di DPR atau 9,04% suara sah nasional. Komposisi ini, tentu menjadi stimulan pergerakan kekuatan di luar kekuasaan seperti Gerindra, PKS, Demokrat, dan mungkin juga PAN. Oleh karenanya, membaca konteks komunikasi politik SBY-Prabowo juga tak bisa dilepaskan dari konstelasi ini. Mereka harus menjajaki kemungkinan koalisi karena dengan ambang batas 20% kursi DPR tadi, peluang hanya ada dua kongsi dalam kandidasi semakin besar.
Akan tetapi, masih mungkin peta berubah jika judicial review atas UU Pemilu terutama tentang angka ambang batas pencalonan presiden dikabulkan. Seandainya MK memutuskan ambang batas 0%, maka pola akan kembali asimetris dan potensi kongsi kembali akan cair. Jika ini terjadi, masih memungkinkan empat pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu Presiden 2019. Konteks ketiga, peran figur dalam pergerakan partai-partai. Biasanya inisiasi kongsi politik akan sangat bergantung pada figur utamanya.
Thomas Carothers, dalam tulisannya Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies, di Jurnal Carnegie Endowment in International Peace (2006), mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric yang didominasi suatu lingkaran kecil elite politisi. Partai sangat bergantung pada tokoh utamanya, jika patronnya bertemu dan membuka komunikasi politik dengan kekuatan lain, bisa dipastikan keputusan kongsi akan sangat ditentukan oleh sikap si tokoh utama dibanding mekanisme keorganisasian partai.
Di situlah letak posisi strategis SBY dan Prabowo yang menjadi lokomotif dibawa ke mana melajunya Partai Demokrat dan Partai Gerindra. Kedua sosok ini bukanlah sosok yang akrab satu sama lain dan kerap tak satu pandangan. Akan tetapi, mereka menjadi sosok simbolik yang akan menggerakkan manuver dan langkah partai masing-masing di gelanggang pertarungan 2019.
Poros Hambalang- Cikeas?
Bisa jadi usai pertemuan SBY-Prabowo di Cikeas akan ada pertemuan-pertemuan lainnya yang melibatkan kedua elite partai atau level di bawahnya. Yang jelas, lintasan menuju Pilpres 2019 yang sudah digelar usai disahkannya UU Pemilu mulai dijajaki dan dipergunakan, sambil uji reaksi publik melalui pesan komunikasi politik yang dikirim dari Cikeas kemarin malam. Namun, benarkah pertemuan tersebut sudah mengerucut pada pembentukan poros Hambalang-Cikeas?
Menurut penulis, masih terlalu prematur untuk membuat penyimpulan. Langkah komunikasi politik SBY-Prabowo baru menjadi prakondisi bagi kedua belah pihak mengonsolidasikan kekuatan internal masing-masing, sambil membuka peluang kerja samakerja sama strategis untuk menjadi kekuatan efektif di luar kekuasaan. Simpulan bahwa akan ada paket Prabowo-AHY adalah over simplikasi pada sejumlah situasi dinamis yang harus dilihat sebagai realitas yang masih mungkin terjadi. Koalisi banyak partai di Indonesia pascareformasi menghadirkan pola koopsi atau kongsi yang sering gonta-ganti pasangan.
Tentu saja dalam membuat paket pasangan kandidat partai akan mempertimbangkan sejumlah faktor, antara lain modal dasar elektoral seperti elektabilitas, popularitas, dan akseptabilitas nama-nama yang bisa diujicobakan dalam persepsi opini publik. Langkah ini dalam komunikasi politik sering disebut sebagai trust building (membangun kepercayaan). Masingmasing pihak akan melakukan banyak aktivitas yang memperkuat branding dirinya melalui ragam aktivitas publisitas politik, public relations politik, dan lain-lain.
Tujuan utamanya adalah dia mendapat “tempat khusus” dalam kognisi khalayak. Jadi, hingga awal 2018 akan jadi “panggung” para bakal calon mengelola kesan (impression management) dirinya sejalan dengan upaya mereka mendapatkan legitimasi berupa kepercayaan dan dukungan nyata kekuatan politik seperti parpol serta jaringan simpul-simpul suara warga.
Partai Demokrat tentu saja akan mencoba mendorong AHY di pusaran 2019, dan tahu persis gelanggang pertarungan masih menyisakan dua pemain utamanya, yakni Jokowi dan Prabowo. Wajar jika pertemuan saling menjajaki pun dimulai. Meski masih tekateki, akankah silaturahmi berujung happy atau menjadi elegi di kemudian hari?
(dam)