UU Pemilu dan Konstelasi PT

Selasa, 25 Juli 2017 - 08:31 WIB
UU Pemilu dan Konstelasi...
UU Pemilu dan Konstelasi PT
A A A
Firman Noor
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

Rapat Paripurna DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang salah satunya berisikan ketentuan adanya ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT). Hal ini didahului dengan aksi walk out yang dilakukan empat fraksi, yakni Fraksi Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS, yang tidak menginginkan dilakukannya voting pengambilan keputusan paket lima isu krusial atas pemilu.

Mengenai PT sudah sejak setidaknya lima tahun lalu sebagian besar pengamat dan akademisi mengatakan bahwa PT tidak diperlukan. Setelah MK di awal tahun 2014 memutuskan pemilihan serentak, alasan untuk menolak PT diperkuat oleh adanya semangat "keserentakan". Semangat itu berlandaskan keinginan kuat rakyat untuk tidak lagi mengistimewakan pileg atau pilpres karena tidak ingin lagi adanya keterpenjaraan teknis pelaksanaan pilpres oleh pileg dan sebaliknya. Juga tidak ingin dihindari keterpenjaraan alasan pemberian dukungan akibat pengaruh hasil sebuah pemilihan atas pemilihan yang lain.

Secara politis hal ini demi menciptakan demokrasi yang lebih partisipatif-aspiratif dan pemerintahan yang lebih terbebas dari oportunisme politik yang berujung pada oligarki sebagai dampak kongkalikong di antara partai-partai pendukung dan presiden. Selain itu secara teknis pelaksanaannya jelas problematis mengingat sebuah momen politik yang telah terjadi pada 2014 (lima tahun sebelumnya) dijadikan patokan sebuah gelaran politik pada tahun 2019.

Apakah kehidupan politik telah demikian terhentinya sehingga hasil-hasil pagelaran politik di masa lampau dianggap masih relevan dan memiliki daya legitimasi yang sama persis dengan kondisi saat ini? Padahal jelas Indonesia termasuk negara dengan tingkat volatilitas politik yang tinggi.

PDIP, misalnya, pada 1999 berhasil mendapatkan kursi 33,1%, tetapi hanya berselang lima tahun kemudian turun men­jadi 19,8%. Sementara itu Demokrat yang hanya mendapatkan kursi 10,1% pada 2004, secara spektakuler meningkat menjadi 26,8% pada 2009 untuk kemudian turun lagi menjadi 10,9% lima tahun kemudian.

Jangan ditanya jumlah partai pengisi parlemen. Dari masa ke masa baik jumlah maupun pesertanya juga fluktuatif. Hal ini menunjukkan adanya perubahan tren aspirasi politik rakyat Indonesia yang jelas sama sekali tidak dapat diprediksi. Jelaslah kadar legitimasi sebuah partai dapat jatuh bangun setiap lima tahun sekali dengan proporsi yang kadang cukup tajam.

Dengan dijadikannya hasil Pileg 2014 sebagai patokan kandidasi dalam Pilpres 2019 demikian, tidak salah pula jika ada kesan mengistimewakan pileg atas pilpres dan memunculkan nuansa diskriminatif dan pertanyaan besar mengapa hanya Pilpres 2019 saja yang ditentukan oleh hasil Pileg 2014?

Kemudian apakah dengan dukungan 20% ada jaminan pemerintahan akan kuat? Tentu tidak juga. Kasus yang terjadi di Inggris saat ini menunjukkan bahwa dengan memiliki dukungan 50% lebih saja pemerintahan Theresa May dianggap sulit dapat mewujudkan pemerintahan yang kuat dan stabil. Bahkan beberapa kalangan berani memprediksi bahwa usia pemerintahan May tidak lebih dari enam bulan lagi.

Baiklah, kasus May itu memang terjadi dalam sistem parlementer. Namun yang menarik adalah kasus-kasus yang terjadi dalam sistem presidensial justru menunjukkan situasi yang unik. Dalam pemerintahan, pemerintahan minoritas dalam sistem presidensial pada umumnya dapat tetap survive hingga masa baktinya selesai. Hasil penelitian Jose A Cheibub (2002, 2006) atas jalannya pemerintahan presidensial di berbagai negara menyimpulkan anggapan adanya korelasi kuat antara pemerintahan minoritas dan gonjang-ganjing pemerintahan yang menyebabkan presiden berhenti di tengah jalan adalah sama sekali tidak meyakinkan.

Untuk kasus Indonesia juga tidak perlu dikhawatirkan karena nantinya tetap saja ada pihak yang tergiur untuk loncat pagar (dengan berbagai alasan yang indah-indah) untuk akhirnya mendukung pemerintah sepenuh hati. Karena memang sejatinya pragmatisme adalah ideologi yang dianut sebagian besar partai-partai kita. Situasi pascapemilu di era Reformasi menunjukkan adanya tren perpindahan dukungan semacam itu.

Rapat Paripurna dan Nuansa Politis 2019
Hal yang menarik adalah bahwa hampir semua mereka yang melakukan walk out adalah partai-partai yang memiliki kader-kader yang layak jual pada bursa kandidat presiden atau wakil presiden. Hal lain adalah partai-partai itu berada dalam posisi sebagai partai-partai dengan suara berkisar 6-11% pada pemilu terakhir.

Dengan perolehan itu, partai-partai tersebut cukup menghitung tertutupnya peluang untuk dapat mencalonkan kandidat mereka dengan mudah manakala PT diberlakukan. Selain itu, kecuali PAN, mereka juga enggan untuk begitu saja melebur dalam koalisi pendukung Jokowi pada 2019. Posisi PAN dalam hal ini menjadi unik. PAN tampak seperti PKS di era Pemerintah SBY. Bagi sebagian kalangan, sikap PAN tersebut menunjukkan lemahnya loyalitas, oleh karenanya layak untuk mendapat penalti, yakni dikeluarkan dari jajaran koalisi pemerintah. Namun, bagi yang lain, sikap PAN kali ini patut mendapat perhatian karena menunjukkan konsistensi memperjuangkan sikap atas dasar kepentingan yang tidak selamanya bersifat mengamankan kekuasaan.

Adapun partai-partai yang gigih untuk menelurkan kebijakan ini terbagi dua. Pertama adalah partai-partai dengan hasil pileg yang lumayan. Dengan perolehan kursi tersebut, baik PDIP maupun Golkar punya kepentingan untuk mengamankan kandidat-kandidat­nya, baik untuk posisi presiden ataupun wapres pada 2019. Di balik alasan-alasan normatif yang dikemukakan keduanya, kepentingan di atas jelas tidak dapat dimungkiri. Singkatnya, manuver mereka kali ini terkait dengan upaya untuk menang mudah dalam Pilpres 2019.

Kedua adalah partai-partai lain di luar PDIP dan Golkar yang tidak punya kader yang cukup meyakinkan, terutama untuk posisi presiden. Selain itu partai-partai ini pun hanya memiliki suara berkisar 5-9% hingga akan selalu berada dalam bayang-bayang partai-partai semacam PDIP atau Golkar. Dalam mendukung UU ini mereka banyak terdorong oleh kepentingan untuk tetap menjadi bagian pemilik kekuasaan hingga beberapa tahun ke depan. Terlihat jelas sekali partai-partai ingin tetap ikut "gerbong Jokowi" yang berdasarkan kalkulasi mereka adalah kandidat potensial dengan koalisi yang paling mungkin terbentuk meski adanya persyaratan tinggi (20%) sekalipun.

Pertarungan politik dalam episode pengesahan UU Penyelenggaraan Pemilu ini singkatnya adalah pertarungan di antara mereka yang berpotensi melakukan kandidasi yang dimeriahkan oleh partai-partai nirkandidat potensial, tetapi tetap ingin menjadi bagian dari kekuasaan. Prosesi pengesahan UU ini sesungguhnya merupakan ujian bagi sejauh mana partai-partai dapat membuat aturan bernegara terbebas dari godaan kekuasaan sekaligus berpikir jauh ke depan mendidik rakyat untuk mengedepankan akal sehat dan rela untuk bersikap konsisten terhadap konstitusi.

Dengan melihat hasil akhir gelaran ini tampak kepentingan berkuasa tetap menjadi panglima, yang sayangnya dapat menggeser begitu saja logika dan aturan main.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7701 seconds (0.1#10.140)