Ironi Anak Sebagai Target Pasar

Jum'at, 21 Juli 2017 - 09:02 WIB
Ironi Anak Sebagai Target...
Ironi Anak Sebagai Target Pasar
A A A
Dr Edy Purwo Saputro SE MSi
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

DUNIA anak tidak lagi dianggap sebagai ceruk kecil pasar, tetapi sudah menjadi target pasar yang harus digarap untuk memberikan profit bagi korporasi. Hal ini tentu sah dalam kepentingan usaha, tetapi di sisi lain, eksploi­tasi anak mengonsumsi produk ditawarkan justru menjadi perhatian riil bagi banyak pihak. Hal ini dianggap serius agar anak-anak tidak terjerumus konsumerisme.

Eksploitasi ini bisa dikonotasikan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Padahal tema Hari Anak Nasional 2017 adalah ”Perlindungan Anak Di­mulai Dari Keluarga”. Persepsi bahwa anak-anak tidak lagi diasumsikan sebagai objek pasar menjadi acuan penting dari tema Hari Anak Nasional 2017, apalagi dikaitkan anak-anak sebagai target pasar narkoba. Hal ini tidak terlepas dari semakin banyak korban anak-anak terjerumus narkoba. Data menunjukkan 70% dari 4 juta pecandu narkoba adalah anak-anak usia 14-20 tahun. Padahal mereka adalah usia produktif. Fakta ini tentu sangat ironis dan mengkhawatirkan bagi generasi mendatang.

Begitu besar potensi pasar anak-anak, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara beralasan jika dunia usaha bersemangat membuat segmentasi pasar anak-anak. Dalam teoritis pemasaran, segmentasi yang tepat harus dilanjutkan dengan penetapan targeting yang bisa difokuskan terkait aspek demografis dan geografis, termasuk juga pendidikan, sosial budaya, dan lifestyle. Selanjutnya dilakukan positioning dengan tepat sehingga tujuan segmentasi tercapai, terutama terkait omzet dan target pasarnya.

Oleh karena itu, eksploitasi pasar anak juga merefleksikan kekerasan terhadap anak dengan asumsi anak-anak sebagai objek semata, sementara peran sebagai subjek cenderung diabaikan. Hal ini terutama terjadi di perkotaan, sementara kasus yang di perdesaan cenderung masih rendah, meski tidak tertutup kemungkinan menjadi ancaman dalam konteks jangka panjang.

Serius

Salah satu riset yang menarik dipaparkan bahwa anak-anak usia 4-12 tahun ternyata dapat menjadi sumber investasi terbesar dari pasar industri dan besarnya bisa mencapai Rp5 triliun per tahun. Hal ini didasarkan hasil survei Frontier Marketing and Reseach Consultant (FMRC) atas segmen anak-anak yang disebut ”Kids Market Survey” beberapa waktu lalu di lima kota besar yang melibatkan responden 2.500 anak dan responden ibu 1.500 orang di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan.

Hasil itu menjadi sangat besar jika dikaitkan kondisi riil saat ini. Oleh karena itu, beralasan jika kini dunia anak-anak menjadi market share yang sangat potensial digarap secara riil dan lebih serius lagi. Sebab keberadaan mereka tidak lagi dianggap sebagai ceruk, tetapi justru berubah menjadi market share. Artinya, tanpa disadari ini adalah bentuk eksploitasi dan kekerasan terhadap anak dalam konteks pemasaran.

Merujuk pada hasil Kid Market Survey, maka beberapa top line finding yang dapat diperhatikan misalnya, profil demografi, pola tidur anak, penggunaan uang saku dan menabung, jajanan anak, pengaruh anak terhadap pembelian keluarga, kegiatan anak-anak sehari-hari, pola membaca anak, pola anak menonton televisi, tokoh idola, cita-cita dan kesukaan, serta perawatan waktu sakit. Artinya, ada banyak potensi bisa digarap dari market share anak-anak. Realitas ini tidak hanya berlaku di perkotaan, tapi juga menyeluruh termasuk di perdesaan. Paling tidak, dari satu kasus tokoh idola anak-anak saja, maka bisa digarap berbagai produk yang lekat dengan market share itu sendiri bagi aspek profit untuk dunia usaha korporasi.

Di sisi lain, kebutuhan ter­hadap kesehatan anak tentu juga menjadi nilai penting, misalnya fokus pada masa tumbuh kembang sehingga lahir berbagai tipe dan jenis susu formula. Meskipun pemerintah getol kampanye pentingnya ASI, tapi kebutuhan terhadap susu formula anak tidak bisa lagi ditepis. Bahkan, dengan kam­panye dan iklan yang semakin bombastis, kini semakin jamak ibu-ibu muda di perkotaan lebih percaya susu formula untuk mendukung proses tumbuh kembang anak.

Selain itu, berbagai tipe-jenis obat-obatan untuk menjamin kesehatan anak-anak juga makin banyak dan marak beredar. Perhatian dan kepedulian ibu-ibu muda terhadap jaminan kesehatan anak-anak juga ikut memperkuat potensi pasar dari dunia kesehatan untuk anak-anak di masa depan. Oleh karena itu, kasus vaksin palsu juga menjadi bentuk kekerasan terhadap anak dalam konteks kesehatan dan jaminan kualitas SDM.

Prospek
Pendidikan anak juga tidak bisa lepas dari bidikan market share yang menjanjikan. Kesadaran terhadap mutu pendidikan dan kualitas SDM telah memacu pendidikan anak, yaitu mulai dari level pembelajaran playgroup sampai jenjang pendidikan SD, tentu tak bisa lepas dari komitmen menciptakan SDM berkualitas bagi kemajuan kehidupan anak pada kemudian hari. Jargon iklan yang dijual seolah sama, yaitu kualitas pendidikan anak adalah investasi untuk masa depan anak-anak itu sendiri.

Pendidikan yang baik akan memberikan jaminan investasi lebih baik sehingga pendidikan mahal adalah identik dengan jaminan investasi itu sendiri. Oleh karena itu, janganlah heran kalau ada banyak sekolah playgroup di perkotaan yang tarifnya dolar dengan dalih ber­standar internasional identik dengan kualitas. Fakta ini pada akhirnya juga rentan memicu ketimpangan kualitas pendidikan antara di perkotaan dan perdesaan yang berdampak serius terhadap kemajuan tumbuh kembang anak dan prestasinya.

Semua harapan di balik market share anak-anak memang bukan isapan jempol semata. Sebab segmen anak-anak berdasar studi Atittude Interest Opinion merupakan pangsa pasar masa depan yang prospektif. Bahkan, TV pun berani memasang prime time bagi jam tayang anak-anak bisa disisipkan berbagai iklan untuk mendulang profit di balik market share anak-anak tersebut, termasuk juga iklan tabungan yang mengacu target pasar anak-anak.

Data menunjukkan jumlah jam menonton TV anak, yaitu 30-35 jam per pekan atau 1.560-1.820 jam per tahun. Angka ini jauh lebih besar dibanding dengan jam belajar di SD yang tidak sampai 1.000 jam per tahun. Artinya, segmentasi anak sebagai target pasar tidak terlepas dari kepentingan ekonomi bisnis. Meskipun di sisi lain perlu juga mempertimbangkan anak sebagai subjek penting pembangunan. Karena ke depan mereka akan menjadi SDM berkualitas yang meneruskan pembangunan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0726 seconds (0.1#10.140)