Nestapa Petani Tebu

Kamis, 20 Juli 2017 - 08:45 WIB
Nestapa Petani Tebu
Nestapa Petani Tebu
A A A
Khudori
Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)

SATU beban berat yang bakal dipikul petani tebu, yakni pajak pertambahan nilai (PPN) gula 10%, batal diterapkan. Ditjen Pajak akan mengusulkan gula petani ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak kena pajak. Agar atas penyerahan gula, para petani tidak dikenai PPN. Ini sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Di perpres ini pemerintah menetapkan kebutuhan pokok ada 11: beras, kedelai bahan baku tahu/tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar (bandeng, kembung, dan tongkol/tuna/cakalang).

Sambil menunggu realisasi aturan, untuk sementara waktu petani tebu bisa sedikit bernafas lega. Namun, bukan berarti nestapa yang menghimpit petani tebu telah hilang. Satu di antara kebijakan yang dikeluhkan petani tebu adalah penetapan harga eceran tertinggi (HET) gula. Kementerian Perdagangan menetapkan HET gula bersamaan dengan minyak goreng dan daging beku. Kebijakan dibuat menjelang Ramadan. Cakupan kebijakan ini terbatas pada pasar ritel modern yang jadi anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Pengusaha ritel anggota Aprindo wajib menjual gula, minyak goreng kemasan sederhana, dan daging beku sesuai HET masing-masing Rp12.500/kg, Rp11.000/liter, dan Rp80.000/kg. Kewajiban berlangsung lima bulan: 10 April hingga 10 September 2017.

Pemerintah memilih intervensi harga di ritel karena dua hal. Pertama , rantai pasok di ritel modern sederhana dan pendek. Kedua , semua perusahaan berizin dan terdaftar resmi sehingga datanya lengkap. Kalau mereka membandel, pemerintah memiliki sejumlah instrumen untuk memberi hukuman. Karena itu, ketika diajak berdialog dan diminta menyepakati tingkat keuntungan wajar, mereka boleh dibilang tidak melawan.

Gula misalnya disepakati harga jual dari produsen dan distributor dalam kemasan 1 kg Rp11.900 dan dalam kemasan 50 kg Rp10.900/kg. Artinya, saat dijual di ritel modern dengan HET Rp12.500/kg keuntungan peritel antara Rp600 hingga Rp1.600/kg atau 5% hingga 12,8%. Masalahnya, penetapan HET Rp12.500/kg akan memengaruhi pembentukan harga lelang gula di tingkat petani. Menurut kalkulasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), biaya pokok produksi gula dengan rendemen 7% pada 2017 sebesar Rp10.500/kg. Karena itu, APTRI mengusulkan harga patokan pemerintah Rp11.500/kg gula. Kalkulasi ini menunjukkan, HET Rp12.500/kg membuat petani merugi.

Saat ini musim giling tebu masih berlangsung. Produksi gula terus bertambah. Masalahnya, karena harga lelang rendah, gula tidak dilepas. Sebelum Ramadan, dalam pelbagai lelang gula petani tidak dilepas karena tawaran harga yang rendah. Karena terdesak kebutuhan Ramadan, petani melepas dengan harga di bawah Rp10.500/kg alias tekor. Di satu sisi, penetapan HET membuat daya beli konsumen terjaga. Di sisi lain, HET potensial membuat petani tebu merugi. Kebijakan semacam ini tentu tak bijaksana.

Harus diakui, sampai saat ini biaya produksi gula, terutama produksi pabrik gula (PG) BUMN di Jawa, masih mahal. Besar biaya produksi hampir dua kali lipat dari biaya produksi pabrik gula swasta, terutama yang ada di Lampung. Pertanyaannya, mengapa PG-PG kita tidak kompetitif? Di negara produsen dan eksportir gula utama seperti Brasil, Australia, dan Thailand, biaya pokok produksi gula hanya sekitar 50-80% dibandingkan biaya gula kita. Budi daya tebu dilakukan secara mekanisasi dan prosesnya semiotomatis di pabrik. Alokasi biaya tenaga kerja relatif kecil. Kapasitas giling PG besar: rata-rata 10.000-15.000 ton tebu per hari. PG amat efisien (Toharisman, 2014).

Selain itu, PG gula bukan hanya menghasilkan gula, tetapi produk turunan lain berbasis tebu yang bernilai ekonomi tinggi seperti etanol, listrik, dan kertas. Tebu merupakan tanaman emas yang bisa menghasilkan puluhan produk turunan bernilai tinggi. Di India kontribusi gula terhadap keuntungan perusahaan kurang dari 40%, sisanya disumbangkan dari cogen (listrik) dan etanol. Gula-cogen-etanol menjadi produk utama PG-PG di India, Australia, dan Thailand. Kebijakan gula dan produk turunannya sangat kondusif dalam mendorong pengembangan usaha. Diversifikasi produk ini juga bisa menjadi strategi keluar dari pasar gula dunia yang distortif dan harganya tidak stabil.

Di Indonesia pokok persoalan ini ada pada banyak PG yang absolete , tua dan berkapasitas giling kecil (di bawah 3.000 ton tebu per hari). Saat ini jumlah PG 62 buah, 68% pabrik tua berumur di atas 80 tahun dan 80% terdapat di Pulau Jawa. Akibat mesin tua, kinerja PG, terutama PG BUMN, tidak maksimal. Mesin bocor, nira tebu banyak yang tidak menjadi gula. Secara teoritis kita mampu mencapai rendemen 14%-15% apabila prinsip efisiensi dilakukan dengan baik. Tetapi, karena PG sudah tua, rendemen yang diraih hanya 6-7%, jauh di bawah pencapaian rendemen di era 1930-an (11-13%).

Selain itu, berbeda dengan PG swasta, PG-PG BUMN yang sebagian besar di Jawa tidak memiliki lahan sendiri. Pasokan tebu PG sepenuhnya bergantung pada lahan petani. Padahal, kondisi petani cukup beragam kemampuan finansial maupun penguasaan teknis budi daya tebu. Manajemen di lahan yang terpisah dari manajemen giling (PG) ini membuat PG tidak mudah mengintegrasikan kegiatan: tanam, tebang, angkut, dan giling. Kemunculan masalah di satu titik akan berdampak panjang pada titik-titik berikutnya.

Berbeda dengan di India, Australia, dan Thailand, orientasi utama PG di Indonesia hanya menghasilkan gula. Memang sudah ada upaya untuk mengolah tetes yang dahulu dianggap limbah menjadi etanol atau ampas tebu menjadi bahan bakar, tetapi belum maksimal. Apalagi, kebijakan industri berbasis tebu seringkali tidak konsisten. Misalnya akhir 2009 pemerintah mencanangkan swasembada gula 2014. Tetapi, pemerintah masih memberikan izin pembangunan PG rafinasi berbahan baku gula impor. Pemerintah mendorong penggunaan bahan bakar alternatif seperti bioetanol. Tetapi, bioetanol dari PT Enero, anak perusahaan PTPN X (BUMN gula), hanya terserap dalam jumlah kecil.

Dengan kondisi seperti di atas, daya saing PG-PG Indonesia relatif lemah. Dalam kondisi demikian, penetapan HET membuat petani dan PG BUMN tertekan. Meski demikian, semangat swasembada gula tidak boleh surut. Dari sejarah kita tahu, tidak ada kegiatan ekonomi di Indonesia yang lebih advanced daripada industri pergulaan. Jejak-jejaknya amat mudah ditemukan. Secara fisik misalnya PG di Jawa yang kini dikelola PTPN IX-XI dan PT Rajawali Nusantara Indonesia adalah bagian sejarah itu. PG-PG ini dibangun pada era kolonialisme Belanda abad ke-18. Di bidang riset, meski perannya tidak sebesar dahulu, masih ada Pusat Penelitian Perkebunan Gula di Pasuruan, Jawa Timur.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1461 seconds (0.1#10.140)