Akuntabilitas Pemberantasan Korupsi
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Di tengah hiruk-pikuk aktivitas Pansus Hak Angket saat ini muncul pendapat pro-kontra serta dukungan dari beberapa elemen masyarakat, termasuk para guru besar berbagai perguruan tinggi.
Hiruk-pikuk dan dukung-mendukung sekitar status KPK, keberhasilan dan kelemahan KPK dalam melaksanakan UU RI Nomor 30/2002 dan UU RI Nomor 31/1999 yang telah diubah dengan UU RI Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan korupsi.
Pendekatan makro pemberantasan korupsi tidak terletak pada isu pokok dari pro-kontra hak angket dengan berbagai macam alasannya, tetapi dari sisi outcome dibandingkan dengan output pemberantasan korupsi dalam konteks pencapaian kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Mengapa? Hal ini disebabkan negara RI adalah negara hukum kesejahteraan (Pasal 1 ayat (3) BAB I juncto Bab XIV Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945).
Amanat UUD 1945 tersebut harus dan wajib dilaksanakan pemerintah dan DPR RI serta kementerian/lembaga (K/L) sehingga fokus seluruh perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional diarahkan pada tujuan utama bangun NKRI, bukan lainnya, dan tidak terkecuali termasuk program pemerintah, lembaga penegak hukum inklusif KPK di dalam melaksanakan perintah Konstitusi UUD 1945.
Tujuan NKRI dalam bingkai konstitusi UUD 1945 tidaklah dapat dicapai bahkan tidak dijamin keberhasilannya hanya dengan pendekatan monistis, yaitu normatif yang didasari paham positivisme hukum karena pendekatan klasik abad ke-15 yang diformalkan pada abad ke-18 tertinggal dari perkembangan peradaban dunia sejak pertengahan abad ke-19 sampai saat ini.
Terlebih abad ke-20 adalah abad globalisasi perekonomian untuk mencapai kesejahteraan dunia dalam satu dunia bangsa-bangsa (world of nations).
Intinya penjeraan, termasuk pemiskinan koruptor, bukan jaminan yang layak dan patut dimasukkan ke dalam program pemerintah dalam pemberantasan korupsi yang dilaksanakan kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Dari sudut empirik telah terbukti tujuan penjeraan dari ketiga lembaga penegak hukum tersebut tidak berhasil menyelamatkan kerugian keuangan negara.
Selama 2009-2014 (lima tahun, secara perincian): kejaksaan berhasil menyelamatkan/ mengembalikan kerugian keuangan negara senilai Rp6 triliun, kepolisian Rp2 triliun, dan KPK Rp728 miliar.
Ada pun dana APBN ketiga lembaga negara tersebut mencapai Rp50 triliun secara keseluruhan termasuk KPK Rp3 triliun (laporan keuangan KPK 2009-2014).
Dari sudut aspek efisiensi, maksimisasi dan pro prosiona litas tujuan hukum pidana klasik-penjeraan lebih banyak mudarat daripada kemaslahatannya.
Bahkan fakta keadaan di lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas sampai 75% telah terjadi kontraproduktif implementasi paham positivisme hukum dengan tujuan penjeraan tersebut.
Dari aspek cost and benefit ratio (CBR), biaya makan napi/ tahanan (bama) per orang/per hari Rp15.000 dan jumlah rata-rata napi/tahanan 160.000 orang, total bama mencapai Rp2,4 miliar per hari hukuman penjara 2 tahun mencapai Rp57 miliar semakin lama semakin meningkat signifikan dana APBN yang digerus oleh tujuan klasik hukum pidana (penjeraan).
Bagaimana aspek moralitas dari hukuman, alih-alih terjadi pemulihan moralitas sosial masyarakat, khususnya narapidana/tahanan, yang terjadi demoralisasi seksual dalam kehidupan di lembaga pemasyarakatan dan ekses negatif lainnya, termasuk siklus recidive semakin tidak pernah terputus.
Mengenai narapidana korupsi, fakta di beberapa lembaga pemasyarakatan hanya berpindah tempat tidur saja tanpa efek jera yang melekat, kecuali dendam dan rasa permusuhan, tobat tidak mencapai 0,1% dari seluruh narapidana korupsi, mengapa? Ada masalah ketidakadilan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan serta fakta telah terjadi abuse of power pada pemegang mandat undang-undang atas pemberantasan korupsi.
Data rasio gini (tingkat kemiskinan) dan crime rate di 22 kota/kabupaten se-Jawa Barat menunjukkan bahwa rasio gini tinggi di wilayah kota/kabupaten miliki crime rate tinggi sehingga saya menarik kesimpulan bahwa kejahatan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, bersumber pada ketidakadilan sosial inklusif kesejahteraan sosial.
Selama masalah ini tidak teratasi, selama itu pula kejahatan sulit dicegah, apalagi hanya dengan penindakan, bukan solusi dari masalah, bahkan menciptakan masalah baru, terutama di lembaga pemasyarakatan.
Perlu ada strategi baruberbeda dari penindakan dalam pemberantasan korupsi dan disarankan ke depankan strategi pencegahan di samping penindakan dengan tujuan penjeraan yang bermaslahat bagi masyarakat dan negara.
Strategi kedua, optimalisasi pidana denda dan pidana bersyarat serta pidana kerja sosial (jika RUU KUHP telah disahkan), pidana penjara hanya untuk kejahatan serius (terorisme, pembunuhan berencana, narkoba) sehingga beban negara untuk kehidupan di lembaga pemasyarakatan dengan segala ekses negatif dapat dikurangi secara signifikan.
Khusus untuk korupsi, ketentuan Pasal 4 UU Tipikor dihapuskan untuk memasukan kerugian keuangan negara secara optimal dengan pidana bersyarat dan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 di revisi cukup satu pasal saja dengan ancaman yang sama plus pidana bersyarat dan pidana denda tanpa pidana pengganti (kurungan atau denda) diperkuat dengan perampasan aset tanpa penuntutan pidana.
Strategi pencegahan dengan pembenahan proses rekrutmen, mutasi, dan promosi pegawai negeri yang didasarkan pada meritokrasi harus dilaksanakan konsisten dan berkesinambungan.
Perubahan strategi di atas merupakan pendekatan baru (yang diusulkan) memadukan antara pendekatan normatif dengan tujuan penjeraan fisik diubah menjadi penjeraan secara finansial dan efisiensi bekerjanya hukum pidana.
Dengan demikian tidak menjadi beban negara (liabilities) yang tidak perlu, melainkan harus memberikan kontribusi signifikan untuk pemasukan keuangan negara secara nyata.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Di tengah hiruk-pikuk aktivitas Pansus Hak Angket saat ini muncul pendapat pro-kontra serta dukungan dari beberapa elemen masyarakat, termasuk para guru besar berbagai perguruan tinggi.
Hiruk-pikuk dan dukung-mendukung sekitar status KPK, keberhasilan dan kelemahan KPK dalam melaksanakan UU RI Nomor 30/2002 dan UU RI Nomor 31/1999 yang telah diubah dengan UU RI Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan korupsi.
Pendekatan makro pemberantasan korupsi tidak terletak pada isu pokok dari pro-kontra hak angket dengan berbagai macam alasannya, tetapi dari sisi outcome dibandingkan dengan output pemberantasan korupsi dalam konteks pencapaian kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Mengapa? Hal ini disebabkan negara RI adalah negara hukum kesejahteraan (Pasal 1 ayat (3) BAB I juncto Bab XIV Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945).
Amanat UUD 1945 tersebut harus dan wajib dilaksanakan pemerintah dan DPR RI serta kementerian/lembaga (K/L) sehingga fokus seluruh perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional diarahkan pada tujuan utama bangun NKRI, bukan lainnya, dan tidak terkecuali termasuk program pemerintah, lembaga penegak hukum inklusif KPK di dalam melaksanakan perintah Konstitusi UUD 1945.
Tujuan NKRI dalam bingkai konstitusi UUD 1945 tidaklah dapat dicapai bahkan tidak dijamin keberhasilannya hanya dengan pendekatan monistis, yaitu normatif yang didasari paham positivisme hukum karena pendekatan klasik abad ke-15 yang diformalkan pada abad ke-18 tertinggal dari perkembangan peradaban dunia sejak pertengahan abad ke-19 sampai saat ini.
Terlebih abad ke-20 adalah abad globalisasi perekonomian untuk mencapai kesejahteraan dunia dalam satu dunia bangsa-bangsa (world of nations).
Intinya penjeraan, termasuk pemiskinan koruptor, bukan jaminan yang layak dan patut dimasukkan ke dalam program pemerintah dalam pemberantasan korupsi yang dilaksanakan kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Dari sudut empirik telah terbukti tujuan penjeraan dari ketiga lembaga penegak hukum tersebut tidak berhasil menyelamatkan kerugian keuangan negara.
Selama 2009-2014 (lima tahun, secara perincian): kejaksaan berhasil menyelamatkan/ mengembalikan kerugian keuangan negara senilai Rp6 triliun, kepolisian Rp2 triliun, dan KPK Rp728 miliar.
Ada pun dana APBN ketiga lembaga negara tersebut mencapai Rp50 triliun secara keseluruhan termasuk KPK Rp3 triliun (laporan keuangan KPK 2009-2014).
Dari sudut aspek efisiensi, maksimisasi dan pro prosiona litas tujuan hukum pidana klasik-penjeraan lebih banyak mudarat daripada kemaslahatannya.
Bahkan fakta keadaan di lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas sampai 75% telah terjadi kontraproduktif implementasi paham positivisme hukum dengan tujuan penjeraan tersebut.
Dari aspek cost and benefit ratio (CBR), biaya makan napi/ tahanan (bama) per orang/per hari Rp15.000 dan jumlah rata-rata napi/tahanan 160.000 orang, total bama mencapai Rp2,4 miliar per hari hukuman penjara 2 tahun mencapai Rp57 miliar semakin lama semakin meningkat signifikan dana APBN yang digerus oleh tujuan klasik hukum pidana (penjeraan).
Bagaimana aspek moralitas dari hukuman, alih-alih terjadi pemulihan moralitas sosial masyarakat, khususnya narapidana/tahanan, yang terjadi demoralisasi seksual dalam kehidupan di lembaga pemasyarakatan dan ekses negatif lainnya, termasuk siklus recidive semakin tidak pernah terputus.
Mengenai narapidana korupsi, fakta di beberapa lembaga pemasyarakatan hanya berpindah tempat tidur saja tanpa efek jera yang melekat, kecuali dendam dan rasa permusuhan, tobat tidak mencapai 0,1% dari seluruh narapidana korupsi, mengapa? Ada masalah ketidakadilan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan serta fakta telah terjadi abuse of power pada pemegang mandat undang-undang atas pemberantasan korupsi.
Data rasio gini (tingkat kemiskinan) dan crime rate di 22 kota/kabupaten se-Jawa Barat menunjukkan bahwa rasio gini tinggi di wilayah kota/kabupaten miliki crime rate tinggi sehingga saya menarik kesimpulan bahwa kejahatan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, bersumber pada ketidakadilan sosial inklusif kesejahteraan sosial.
Selama masalah ini tidak teratasi, selama itu pula kejahatan sulit dicegah, apalagi hanya dengan penindakan, bukan solusi dari masalah, bahkan menciptakan masalah baru, terutama di lembaga pemasyarakatan.
Perlu ada strategi baruberbeda dari penindakan dalam pemberantasan korupsi dan disarankan ke depankan strategi pencegahan di samping penindakan dengan tujuan penjeraan yang bermaslahat bagi masyarakat dan negara.
Strategi kedua, optimalisasi pidana denda dan pidana bersyarat serta pidana kerja sosial (jika RUU KUHP telah disahkan), pidana penjara hanya untuk kejahatan serius (terorisme, pembunuhan berencana, narkoba) sehingga beban negara untuk kehidupan di lembaga pemasyarakatan dengan segala ekses negatif dapat dikurangi secara signifikan.
Khusus untuk korupsi, ketentuan Pasal 4 UU Tipikor dihapuskan untuk memasukan kerugian keuangan negara secara optimal dengan pidana bersyarat dan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 di revisi cukup satu pasal saja dengan ancaman yang sama plus pidana bersyarat dan pidana denda tanpa pidana pengganti (kurungan atau denda) diperkuat dengan perampasan aset tanpa penuntutan pidana.
Strategi pencegahan dengan pembenahan proses rekrutmen, mutasi, dan promosi pegawai negeri yang didasarkan pada meritokrasi harus dilaksanakan konsisten dan berkesinambungan.
Perubahan strategi di atas merupakan pendekatan baru (yang diusulkan) memadukan antara pendekatan normatif dengan tujuan penjeraan fisik diubah menjadi penjeraan secara finansial dan efisiensi bekerjanya hukum pidana.
Dengan demikian tidak menjadi beban negara (liabilities) yang tidak perlu, melainkan harus memberikan kontribusi signifikan untuk pemasukan keuangan negara secara nyata.
(nag)