Nasirun dalam Lakon Carangan
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
Hidup ini punya pakem. Kebanyakan orang mengikutinya dengan ketaatan mendalam karena pakem menjamin kepastian. Dalam birokrasi-mungkin terutama birokrasi pemerintah-pakem diperlakukan seperti benda suci yang bisa membuat birokrasi terasa seperti memiliki wibawa.
Cara menyusun anggaran, sistem pelaporan keuangan, dan strategi menghabiskan sisa anggaran menjelang akhir tahun, semua ada pakemnya. Pakem demi pakem pun diciptakan dan semua pegawai mati-matian menaatinya. Kita telah menempatkan pakem dalam posisi politik yang demikian istimewa sebagai sejenis pujaan bangsa.
Sikap seperti itu di kalangan kaum agamawan disebut taklid. Mungkin taklid buta. Maka terkutuklah barang siapa mempersoalkannya. Jadi, jangan ditanya mengapa pakem menguasai hidup kita.
Agama pun memiliki pakem seperti itu. Mungkin malah lebih parah. Tradisi keagamaan kita kaya akan sikap yang seolah sengaja dipelihara meskipun terasa agak menyerempet-nyerempet bahaya. Bagi kalangan yang keras menjaga sikap puritan, terlalu dekat dengan takhayul, bidah, dan khurafat telah sejak dahulu dilarang keras. Tetapi kecenderungan umat menghormati orang suci, yaitu para sufi, wali-wali dan jenis orang suci lainnya, tak jarang membuat kita mudah tergelincir dari rel puritansi itu.
Syahdan, konon di sebuah kampung ada makam orang suci yang selalu didatangi para peziarah. Ada yang berziarah demi ziarah itu sendiri. Jadi kepentingannya kurang lebih murni bersifat rohaniah. Tapi tak jarang peziarah yang datang dengan mengemban agenda ekonomi.
Beberapa di antara mereka meminta agar bisnisnya berjalan lancar dan mendatangkan banyak keuntungan. Sebagian peziarah datang minta petunjuk nomer buntut. Tapi tak seorang pun pernah berhasil memenangkan lotre itu. Siapa gerangan orang suci yang dimakamkan di situ?
Kepada peziarah yang agenda ekonominya sudah gagal total, kabarnya dia menjelaskan: "Kau kira aku ini siapa? Aku hanya seorang penjudi. Hartaku habis untuk main buntut. Karena penyesalan yang dalam, aku bunuh diri, dan kalian mengira aku orang suci?"
Rupanya sikap taklid kepada suatu jenis pakem punya sisi mengenaskan seperti itu. Kita memiliki akal dan sikap kritis, tapi kita tak menggunakannya. Kita lebih terpesona pada apa yang sudah jadi dan kelihatan pasti. Apalagi bila yang sudah jadi dan kelihatan pasti itu merupakan sejenis gelombang besar dalam suatu gaya yang sedang ngetren di dalam hidup kita. Di dunia seni lukis, gaya kontemporer memiliki pengaruh begitu besar di kalangan pelukis muda. Mengikuti suatu gaya tanpa sikap tanpa memahami konsekuensi seninya, boleh jadi sama dengan sikap taklid kaum peziarah yang mengira makam penjudi sebagai makam orang suci.
Tapi Nasirun-Pak Nas atau Pak Run-pokoknya pelukis "Nasirun van Kali Bayem" itu lain. Dia seperti tak pernah serius melihat kecenderungan yang sedang ngetren di kalangan pelukis. Ketika para pelukis muda kelihatan begitu fanatik memuja gaya kontemporer, Nasirun menertawakan dirinya sebagai mualaf kontemporer. Maksudnya, kurang-lebih, dia mengikuti gaya itu hanya sekedar meramaikan suasana, tapi hatinya sama sekali tak hanyut di dalam arus besar itu. Dia tak ikut terpesona.
Seperti pelukis mapan lainnya, Nasirun pun punya rumah. Dia tahu rumahnya di dalam tradisi. Kesetiaannya pada tradisi tak mungkin-dan ini sudah teruji-membuat seniman itu meninggalkannya. Baginya, tradisi itu bukan hanya rumah, tapi juga identitas dan kekuatan ruh penciptaan yang begitu melimpah-limpah, bagaikan datang dari sumber yang tak terbatas.
Maka, dalam kemuliaan seperti itu, apa manfaatnya mengikuti suatu gaya yang justru bisa membunuhnya? Ikut grubyuk (ikut-ikutan) seperti kaum muda dianggapnya tanda krisis identitas. Meskipun pada saat wabah kekaguman itu berkembang dia juga masih muda, dia sudah punya kemapanan sikap yang jelas. Di balik tertawanya itu, Nasirun menyatakan wawasannya yang wajib dibela. Dia merasakan adanya ketegangan antara tradisi dan modernitas yang banyak kalangan belum menemukan jawabnya.
Tapi Nasirun punya jawaban yang bagus. Idiom mualaf kontemporer tadi maknanya dia mencoba ngeli, menghanyutkan diri, tanpa keli, artinya tanpa hanyut di dalam arus yang belum tentu punya manfaat bagi hidupnya. Sikapnya jelas: jika mungkin, dia meninggalkan tradisi, untuk membangun tradisi baru yang lebih megah, lebih memesona tanpa kehilangan karakternya sebagai pelukis yang datang dari dunia Timur. Dia orang Jawa dan kelihatannya berbahagia di dalam seni tradisi Jawa yang sumber inspirasinya begitu melimpah bagaikan sumur yang tak pernah kering.
Kesetiaan Nasirun pada tradisi merupakan kesetiaan seni, bukan kesetiaan rohani yang menuntut konsistensi agar tetap setia. Nasirun bukan birokrat yang mati-matian menjaga pakem untuk keperluan pakem itu sendiri. Kesetiaan seni sebaliknya: dia harus kreatif, dan tetap kreatif dalam penciptaan demi penciptaan tanpa henti. Cintanya pada tradisi merupakan cinta yang hidup dan bergerak.
Dia juga bukan orang agama yang secara psikologis punya kecenderungan mengagumi orang suci tanpa reserve. Dia orang NU yang taat dan kritis, bukan taat buta. Dia tak mau terjebak dalam suatu lorong sempit yang membuatnya sukar memandang alam yang luas dan menawarkan banyak pesona lain.
Kesetiaan dan cintanya pada tradisi membuat Nasirun pada Januari awal tahun ini menyelenggarakan pameran akbar di Museum Nue Arts, Bandung. Di sana seniman itu memajang 500 karyanya. Pameran itu diberi judul Carangan: judul perlawanan pada pakem yang memang merupakan semangat hidupnya sebagai seniman. Dia hidup dan berkembang dari melawan dan melawan tiap apa yang dianggap pakem. Baginya pakem itu sebuah tanda kebekuan. Beku itu diam, tanpa gerak tanpa dinamika. Beku itu simbol kematian. Dan dia-yang punya daya hidup melimpah-limpah itu-lebih senang pada simbol kehidupan. Pakem pun dilabraknya dengan lakon carangan. Maka carangan demi carangan diciptakan untuk memberi tanda pada dunia bahwa dia hidup, dan mencintai kehidupan (seni) lebih dari dia mencintai dirinya sendiri.
Hidup pribadinya pun sebuah carangan. Dia melawan pakem zaman modern ini. Tiap orang punya HP dan menggenggamnya ke sana kemari. Nasirun membuat dirinya tak punya HP. Orang punya rekening bank yang membuat praktis segala cara belanja maupun menerima uang. Nasirun pasti punya. Tapi jangan ditanya berapa nomornya dan berapa isi yang tersimpan di dalamnya.
Nasirun itu orang kaya yang tak tahu jumlah kekayaannya. Dia orang kaya yang tak begitu menikmatinya. Kenikmatan Nasirun ada dalam semangat berkarya: melukis dan melukis didampingi sahabat setianya: Pufi, seekor kucing putih yang belum pernah dia lukis sebagai model. Kelihatannya, bagi Nasirun, seni tak diungkapkannya semata dalam lukisan, tapi juga dalam hidupnya sehari-hari.
Kerja fisik di rumah: menyapu, menguras kolam, mematikan lampu-lampu yang banyak jumlahnya, dan bergurau dengan Pufi, dan melukis hingga jauh malam, merupakan totalitas hidup keseniannya. Selebihnya merokok dan minum kopi. Ini juga lakon carangan dalam hidupnya demi merawat kreativitas yang menampung inspirasi yang datang tiap saat tanpa mengetuk pintu. Nasirun sendiri pun hanya sebuah lakon carangan yang tak punya pakem.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
Hidup ini punya pakem. Kebanyakan orang mengikutinya dengan ketaatan mendalam karena pakem menjamin kepastian. Dalam birokrasi-mungkin terutama birokrasi pemerintah-pakem diperlakukan seperti benda suci yang bisa membuat birokrasi terasa seperti memiliki wibawa.
Cara menyusun anggaran, sistem pelaporan keuangan, dan strategi menghabiskan sisa anggaran menjelang akhir tahun, semua ada pakemnya. Pakem demi pakem pun diciptakan dan semua pegawai mati-matian menaatinya. Kita telah menempatkan pakem dalam posisi politik yang demikian istimewa sebagai sejenis pujaan bangsa.
Sikap seperti itu di kalangan kaum agamawan disebut taklid. Mungkin taklid buta. Maka terkutuklah barang siapa mempersoalkannya. Jadi, jangan ditanya mengapa pakem menguasai hidup kita.
Agama pun memiliki pakem seperti itu. Mungkin malah lebih parah. Tradisi keagamaan kita kaya akan sikap yang seolah sengaja dipelihara meskipun terasa agak menyerempet-nyerempet bahaya. Bagi kalangan yang keras menjaga sikap puritan, terlalu dekat dengan takhayul, bidah, dan khurafat telah sejak dahulu dilarang keras. Tetapi kecenderungan umat menghormati orang suci, yaitu para sufi, wali-wali dan jenis orang suci lainnya, tak jarang membuat kita mudah tergelincir dari rel puritansi itu.
Syahdan, konon di sebuah kampung ada makam orang suci yang selalu didatangi para peziarah. Ada yang berziarah demi ziarah itu sendiri. Jadi kepentingannya kurang lebih murni bersifat rohaniah. Tapi tak jarang peziarah yang datang dengan mengemban agenda ekonomi.
Beberapa di antara mereka meminta agar bisnisnya berjalan lancar dan mendatangkan banyak keuntungan. Sebagian peziarah datang minta petunjuk nomer buntut. Tapi tak seorang pun pernah berhasil memenangkan lotre itu. Siapa gerangan orang suci yang dimakamkan di situ?
Kepada peziarah yang agenda ekonominya sudah gagal total, kabarnya dia menjelaskan: "Kau kira aku ini siapa? Aku hanya seorang penjudi. Hartaku habis untuk main buntut. Karena penyesalan yang dalam, aku bunuh diri, dan kalian mengira aku orang suci?"
Rupanya sikap taklid kepada suatu jenis pakem punya sisi mengenaskan seperti itu. Kita memiliki akal dan sikap kritis, tapi kita tak menggunakannya. Kita lebih terpesona pada apa yang sudah jadi dan kelihatan pasti. Apalagi bila yang sudah jadi dan kelihatan pasti itu merupakan sejenis gelombang besar dalam suatu gaya yang sedang ngetren di dalam hidup kita. Di dunia seni lukis, gaya kontemporer memiliki pengaruh begitu besar di kalangan pelukis muda. Mengikuti suatu gaya tanpa sikap tanpa memahami konsekuensi seninya, boleh jadi sama dengan sikap taklid kaum peziarah yang mengira makam penjudi sebagai makam orang suci.
Tapi Nasirun-Pak Nas atau Pak Run-pokoknya pelukis "Nasirun van Kali Bayem" itu lain. Dia seperti tak pernah serius melihat kecenderungan yang sedang ngetren di kalangan pelukis. Ketika para pelukis muda kelihatan begitu fanatik memuja gaya kontemporer, Nasirun menertawakan dirinya sebagai mualaf kontemporer. Maksudnya, kurang-lebih, dia mengikuti gaya itu hanya sekedar meramaikan suasana, tapi hatinya sama sekali tak hanyut di dalam arus besar itu. Dia tak ikut terpesona.
Seperti pelukis mapan lainnya, Nasirun pun punya rumah. Dia tahu rumahnya di dalam tradisi. Kesetiaannya pada tradisi tak mungkin-dan ini sudah teruji-membuat seniman itu meninggalkannya. Baginya, tradisi itu bukan hanya rumah, tapi juga identitas dan kekuatan ruh penciptaan yang begitu melimpah-limpah, bagaikan datang dari sumber yang tak terbatas.
Maka, dalam kemuliaan seperti itu, apa manfaatnya mengikuti suatu gaya yang justru bisa membunuhnya? Ikut grubyuk (ikut-ikutan) seperti kaum muda dianggapnya tanda krisis identitas. Meskipun pada saat wabah kekaguman itu berkembang dia juga masih muda, dia sudah punya kemapanan sikap yang jelas. Di balik tertawanya itu, Nasirun menyatakan wawasannya yang wajib dibela. Dia merasakan adanya ketegangan antara tradisi dan modernitas yang banyak kalangan belum menemukan jawabnya.
Tapi Nasirun punya jawaban yang bagus. Idiom mualaf kontemporer tadi maknanya dia mencoba ngeli, menghanyutkan diri, tanpa keli, artinya tanpa hanyut di dalam arus yang belum tentu punya manfaat bagi hidupnya. Sikapnya jelas: jika mungkin, dia meninggalkan tradisi, untuk membangun tradisi baru yang lebih megah, lebih memesona tanpa kehilangan karakternya sebagai pelukis yang datang dari dunia Timur. Dia orang Jawa dan kelihatannya berbahagia di dalam seni tradisi Jawa yang sumber inspirasinya begitu melimpah bagaikan sumur yang tak pernah kering.
Kesetiaan Nasirun pada tradisi merupakan kesetiaan seni, bukan kesetiaan rohani yang menuntut konsistensi agar tetap setia. Nasirun bukan birokrat yang mati-matian menjaga pakem untuk keperluan pakem itu sendiri. Kesetiaan seni sebaliknya: dia harus kreatif, dan tetap kreatif dalam penciptaan demi penciptaan tanpa henti. Cintanya pada tradisi merupakan cinta yang hidup dan bergerak.
Dia juga bukan orang agama yang secara psikologis punya kecenderungan mengagumi orang suci tanpa reserve. Dia orang NU yang taat dan kritis, bukan taat buta. Dia tak mau terjebak dalam suatu lorong sempit yang membuatnya sukar memandang alam yang luas dan menawarkan banyak pesona lain.
Kesetiaan dan cintanya pada tradisi membuat Nasirun pada Januari awal tahun ini menyelenggarakan pameran akbar di Museum Nue Arts, Bandung. Di sana seniman itu memajang 500 karyanya. Pameran itu diberi judul Carangan: judul perlawanan pada pakem yang memang merupakan semangat hidupnya sebagai seniman. Dia hidup dan berkembang dari melawan dan melawan tiap apa yang dianggap pakem. Baginya pakem itu sebuah tanda kebekuan. Beku itu diam, tanpa gerak tanpa dinamika. Beku itu simbol kematian. Dan dia-yang punya daya hidup melimpah-limpah itu-lebih senang pada simbol kehidupan. Pakem pun dilabraknya dengan lakon carangan. Maka carangan demi carangan diciptakan untuk memberi tanda pada dunia bahwa dia hidup, dan mencintai kehidupan (seni) lebih dari dia mencintai dirinya sendiri.
Hidup pribadinya pun sebuah carangan. Dia melawan pakem zaman modern ini. Tiap orang punya HP dan menggenggamnya ke sana kemari. Nasirun membuat dirinya tak punya HP. Orang punya rekening bank yang membuat praktis segala cara belanja maupun menerima uang. Nasirun pasti punya. Tapi jangan ditanya berapa nomornya dan berapa isi yang tersimpan di dalamnya.
Nasirun itu orang kaya yang tak tahu jumlah kekayaannya. Dia orang kaya yang tak begitu menikmatinya. Kenikmatan Nasirun ada dalam semangat berkarya: melukis dan melukis didampingi sahabat setianya: Pufi, seekor kucing putih yang belum pernah dia lukis sebagai model. Kelihatannya, bagi Nasirun, seni tak diungkapkannya semata dalam lukisan, tapi juga dalam hidupnya sehari-hari.
Kerja fisik di rumah: menyapu, menguras kolam, mematikan lampu-lampu yang banyak jumlahnya, dan bergurau dengan Pufi, dan melukis hingga jauh malam, merupakan totalitas hidup keseniannya. Selebihnya merokok dan minum kopi. Ini juga lakon carangan dalam hidupnya demi merawat kreativitas yang menampung inspirasi yang datang tiap saat tanpa mengetuk pintu. Nasirun sendiri pun hanya sebuah lakon carangan yang tak punya pakem.
(zik)