Ekonomi Mudik
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
AKTIVITAS sosial sepanjang Ramadan dan Idul Fitri (Lebaran) tampaknya berhasil meredam kegalauan masyarakat. Kolong langit Indonesia dikuasai berita mengenai suasana Lebaran yang penuh kemenangan dan menguatnya hubungan kekeluargaan.
Tradisi merayakan Lebaran ini dan menguatnya ikatan keluarga menciptakan budaya “mudik” yang pada dasarnya membangun ikatan keluarga yang lebih kuat antar-anggota keluarga, saudara, serta teman-teman sekampung. Sangatlah wajar, fenomena mudik di Indonesia ini menjadi gawe tahunan rutin bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Aktivitas mudik ini disinyalir merupakan khas Indonesia. Fenomena mudik memiliki dimensi sosial, budaya, dan ekonomi yang cukup besar.
Para pemudik ini membawa sebagian hartanya untuk dibagikan kepada sanak saudara dan lingkungan terdekatnya, sehingga dampak ekonomi “uang kota” ini ke daerah cukup besar. Berpengaruh pada meningkatnya konsumsi dalam bentuk pembelian baju baru, makanan khusus Lebaran, selamatan Lebaran, serta transportasi dalam bentuk budaya saling mengunjungi.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menghitung jumlah pemudik tahun ini mencapai 18.603.081 orang. Angka tersebut tumbuh sekitar 2,44% jika dibandingkan tahun lalu yang mencapai 18.160.668 orang.
Dari sisi keuangan, Direktur Indonesia Development dan Islamic Studies (IDEAS) memperkirakan sedikitnya terjadi perputaran uang sebesar Rp142,2 triliun dari para pemudik untuk keperluan transportasi, akomodasi, konsumsi, dan rekreasi selama Lebaran. IDEAS memproyeksi setidaknya ada pergerakan 33 juta orang pemudik. Jika ditambahkan dengan perhitungan tunjangan hari raya (THR) dan tingkat upah minimum provinsi, proyeksi keuangannya kembali membengkak sebesar Rp63,6 triliun.
Angka tersebut diestimasikan dari perkiraan jumlah pemudik dengan status pekerja yang mencapai 15,3 juta orang dan melakukan remitansi ke daerah asalnya. Sehingga total pergerakan keuangan selama Lebaran kemarin bisa menembus Rp205,8 triliun. Angka yang terhitung sangat bombastis untuk ukuran aktivitas dengan jenjang waktu yang hanya berjalan kurang lebih 14 hari, yang nyaris setara dengan 10% APBN 2017 atau 1,5% PDB Indonesia.
Tidak hanya kalangan pemudik saja yang rela jor-joran dalam pengeluaran. Bahkan pemerintah dari level daerah hingga nasional juga seakan tak ingin kalah untuk memforsir segala aset politiknya demi menjaga keguyuban suasana Lebaran.
Pembangunan infrastruktur, khususnya untuk sarana dan prasarana transportasi, terus digenjot hingga detik-detik akhir Ramadan. Selain itu, juga didukung dengan koordinasi kelembagaan yang berjalan efektif antara Kementerian Perhubungan, Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, serta Polri. Belum lagi dengan ide ditambahkannya cuti bersama untuk memecah puncak arus mudik agar tidak terlalu menumpuk di akhir-akhir Ramadan.
Hasilnya, angka kecelakaan yang berujung pada fatalitas, diklaim Menhub dan Kakorlantas Polri, turun berkisar 40–41,2% jika dibandingkan tahun sebelumnya. Rekayasa lalu lintas juga relatif lebih lancar, sehingga tidak mengulangi insiden tol Brebes Exit (Brexit) yang tahun lalu banyak menimbulkan korban.
Kesuksesan penyelenggaraan Lebaran juga terjadi pada indikator lainnya berupa pengendalian tingkat harga pasar (inflasi). BPS mencatat selama Juni 2017 tingkat inflasi berhasil ditekan hingga level 0,69% (mtm).
Kontribusi terbesar yang mendorong inflasi Juni 2017 dihasilkan komponen transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan yang memiliki andil 0,23%. Secara umum, fenomena inflasi pada Lebaran kali ini boleh dibilang cukup ahistoris, karena pada momen yang sama dalam tiga tahun sebelumnya rata-rata inflasi berkisar di angka 0,89% (mtm).
Komponen volatile foods yang selama ini juga paling banyak berkontribusi seiring melonjaknya konsumsi masyarakat juga berhasil ditekan secara signifikan, hanya terjadi sekitar 0,65% (mtm) sangat jauh di bawah rata-rata tiga tahun terakhir yang mencapai 1,78% (mtm).
Fenomena Klise
Di balik layar yang berkembang seputar fenomena mudik, ada beberapa hal yang dapat kita resapi sebagai hikmah yang menantang. Pertama, selama mudik terjadi, persebaran pertumbuhan yang lebih merata antardaerah, khususnya diinjeksi dari sisi spending rumah tangga (konsumsi).
Namun karena sifatnya sangat adhoc alias hanya berjalan dalam waktu yang sangat singkat, cukup sulit bagi kita berharap fenomena mudik bisa mengubah struktur perekonomian daerah agar lebih produktif. Spending selama mudik sama halnya dengan fenomena gunung es, yang secara singkat akan segera mencair, tidak kontinu, dan lebih banyak sekadar peningkatan konsumsi.
Produk yang dikonsumsi pun belum tentu merupakan produk asli dari daerah setempat, dan bisa jadi justru barang perolehan dari hasil impor antardaerah/negara. Sehingga fenomena mudik sulit kita harapkan mampu menekan tingkat ketimpangan dan mendorong pemerataan antardaerah, lebih karena pola tujuannya yang serbakurang terstruktur.
Kedua, seandainya fenomena mudik ke daerah-daerah asal bisa dipermanenkan, maka sangat mungkin angan-angan kita untuk menyaksikan pemerataan pertumbuhan di setiap daerah akan semakin dekat. Selama ini banyak tenaga kerja terampil di daerah yang lebih memilih merantau, dan ujung-ujungnya terjebak dengan kenikmatan pola aglomerasi di beberapa kutub-kutub industri. Alasan rasionalnya tentu karena ekspektasi welfare yang lebih menjanjikan.
Pola aglomerasi pada satu sisi memang bisa meningkatkan efisiensi karena didukung adanya media untuk meningkatkan efektivitas transaksi ekonomi. Namun bagi daerah-daerah yang lain sangat mungkin hanya menikmati tetesan-tetesan yang tersisa sebagai wilayah hinterland.
Semakin jauh jarak dari suatu daerah dengan wilayah aglomerasi, semakin sulit bagi mereka untuk berharap dapat turut menikmati hasil-hasil dari aglomerasi. Oleh karena itu, setiap daerah perlu lebih berani menyongsong masa depan daerahnya agar lebih cerah.
Tindakan rasionalnya perlu lebih disusun dengan matang melalui pembentukan beberapa faktor fundamental. Minimal, faktor-faktor produksi dasar aktivitas ekonomi (misalnya kualitas infrastruktur, SDM, bahan baku, layanan permodalan, juga pusat keterampilan melalui pendidikan dan kesehatan) bisa disediakan oleh pemerintah daerah.
Ketiga, fenomena mudik bisa berdampak positif secara psikologis terhadap masyarakat di daerah. Bagi kalangan migran, mudik adalah sebuah simbol kesuksesan secara moral dan ekonomi di tanah perantauan. Karena dengan kemampuannya untuk melakukan mudik, perantau dapat dianggap sukses mengelola sebagian saving-nya.
Dari cerita ini, bisa jadi akan menginspirasi banyak putra-putri daerah setempat yang masih tinggal di daerah, bahwa mereka pun seharusnya mampu berusaha dan terus survive. Namun sayangnya, inspirasi yang seperti ini sering kali bikin salah kaprah.
Bukannya mereka termotivasi untuk mengembangkan daerahnya, malah tingkat urbanisasi di beberapa kota maju tampaknya justru semakin sulit dikendalikan. Menurut pengamatan Price Waterhouse Cooper (PWC, 2014) laju urbanisasi kita menjadi yang tercepat kedua di ASEAN setelah Malaysia, dengan tingkat populasi kaum urban sudah mencapai 51,4% terhadap total penduduknya.
Sementara itu, menurut World Bank (2016), pertumbuhan urbanisasi Indonesia selama enam dasawarsa terakhir rata-rata mencapai 4,4% per tahun. Peningkatan rasio kaum urbannya juga menjadi yang tercepat di Asia.
Namun sayangnya, belum dikelola dengan baik karena efek urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonominya lebih kecil dibandingkan negara lainnya. Jika setiap 1% pertumbuhan urbanisasi di India akan menghasilkan peningkatan PDB per kapita sebesar 13%, di Tiongkok sebesar 10%, dan di Thailand meningkat 7%, sementara di Indonesia hanya memperoleh pertumbuhan PDB sebesar 4% dari setiap 1% peningkatan kaum urban. Malahan dengan adanya laju urbanisasi yang kian pesat, justru dampaknya hanya sekadar memindahkan persoalan kemiskinan yang dulunya hinggap di perdesaan menuju perkotaan.
Penulis ingin sekali menyederhanakan solusi terhadap masalah yang sekarang ini terus berkembang. Kita bisa memanfaatkan ide pembangunan desa yang pada saat ini tengah booming. Pemerintah desa kini memiliki kemampuan fiskal yang cukup kuat berkat transfer dana desa dari APBN. Belum lagi dengan sokongan alokasi dana desa (ADD) yang disisihkan dari APBD.
Seharusnya peluang ini bisa dimanfaatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan efforts untuk mengendalikan tingkat urbanisasi. Misalnya, dengan meningkatkan keterampilan bagi tenaga kerja di desa, memperbaiki sarana dan prasarana infrastruktur, memperluas layanan permodalan, menginisiasi industrialisasi dan modernisasi berbasis potensi lokal, serta menunjang sistem kelembagaan dan rantai niaga yang efektif untuk pelaku usaha di perdesaan.
Kata kuncinya terletak pada upaya bagaimana caranya agar pengelolaan sumber daya fiskal desa bisa menunjang efisiensi ekonomi di perdesaan. Muaranya, mengarah pada perluasan lapangan pekerjaan disertai peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Sehingga penduduk desa tidak perlu lagi jauh-jauh merantau hanya sekadar untuk mengais rezeki.
Meskipun pemerintah pusat sendiri tengah menghadapi fiscal pressure yang cukup berat, belum ada sedikit pun desas-desus yang membahas pemotongan dana transfer ke daerah maupun desa. Malahan, pihak kementerian/lembaga di tataran pemerintah pusat yang sedang terancam menghadapi efisiensi belanja melalui pemotongan anggaran.
Pada tahun ini, isu pembengkakan defisit anggaran juga semakin sulit dielakkan. Terbukti, saat ini sedang digagas rancangan APBN-P 2017 terkait pelonggaran defisit anggaran dari sebelumnya sebesar 2,41%, akan ditingkatkan menjadi 2,67% terhadap PDB.
Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pemerintah daerah maupun desa untuk semakin membangkitkan jiwa nasionalismenya melalui jalur kebijakan pembangunan ekonomi masyarakatnya. Jiwa-jiwa “parahita” (memperhatikan kesejahteraan orang lain) yang terbukti tumbuh subur selama Lebaran kemarin, dapat dilanjutkan sebagai media modal sosial yang semakin kuat. Mudah-mudahan pemerataan kemenangan yang terjadi pada Lebaran kemarin mampu kita pertahankan. Semoga!
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
AKTIVITAS sosial sepanjang Ramadan dan Idul Fitri (Lebaran) tampaknya berhasil meredam kegalauan masyarakat. Kolong langit Indonesia dikuasai berita mengenai suasana Lebaran yang penuh kemenangan dan menguatnya hubungan kekeluargaan.
Tradisi merayakan Lebaran ini dan menguatnya ikatan keluarga menciptakan budaya “mudik” yang pada dasarnya membangun ikatan keluarga yang lebih kuat antar-anggota keluarga, saudara, serta teman-teman sekampung. Sangatlah wajar, fenomena mudik di Indonesia ini menjadi gawe tahunan rutin bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Aktivitas mudik ini disinyalir merupakan khas Indonesia. Fenomena mudik memiliki dimensi sosial, budaya, dan ekonomi yang cukup besar.
Para pemudik ini membawa sebagian hartanya untuk dibagikan kepada sanak saudara dan lingkungan terdekatnya, sehingga dampak ekonomi “uang kota” ini ke daerah cukup besar. Berpengaruh pada meningkatnya konsumsi dalam bentuk pembelian baju baru, makanan khusus Lebaran, selamatan Lebaran, serta transportasi dalam bentuk budaya saling mengunjungi.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menghitung jumlah pemudik tahun ini mencapai 18.603.081 orang. Angka tersebut tumbuh sekitar 2,44% jika dibandingkan tahun lalu yang mencapai 18.160.668 orang.
Dari sisi keuangan, Direktur Indonesia Development dan Islamic Studies (IDEAS) memperkirakan sedikitnya terjadi perputaran uang sebesar Rp142,2 triliun dari para pemudik untuk keperluan transportasi, akomodasi, konsumsi, dan rekreasi selama Lebaran. IDEAS memproyeksi setidaknya ada pergerakan 33 juta orang pemudik. Jika ditambahkan dengan perhitungan tunjangan hari raya (THR) dan tingkat upah minimum provinsi, proyeksi keuangannya kembali membengkak sebesar Rp63,6 triliun.
Angka tersebut diestimasikan dari perkiraan jumlah pemudik dengan status pekerja yang mencapai 15,3 juta orang dan melakukan remitansi ke daerah asalnya. Sehingga total pergerakan keuangan selama Lebaran kemarin bisa menembus Rp205,8 triliun. Angka yang terhitung sangat bombastis untuk ukuran aktivitas dengan jenjang waktu yang hanya berjalan kurang lebih 14 hari, yang nyaris setara dengan 10% APBN 2017 atau 1,5% PDB Indonesia.
Tidak hanya kalangan pemudik saja yang rela jor-joran dalam pengeluaran. Bahkan pemerintah dari level daerah hingga nasional juga seakan tak ingin kalah untuk memforsir segala aset politiknya demi menjaga keguyuban suasana Lebaran.
Pembangunan infrastruktur, khususnya untuk sarana dan prasarana transportasi, terus digenjot hingga detik-detik akhir Ramadan. Selain itu, juga didukung dengan koordinasi kelembagaan yang berjalan efektif antara Kementerian Perhubungan, Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, serta Polri. Belum lagi dengan ide ditambahkannya cuti bersama untuk memecah puncak arus mudik agar tidak terlalu menumpuk di akhir-akhir Ramadan.
Hasilnya, angka kecelakaan yang berujung pada fatalitas, diklaim Menhub dan Kakorlantas Polri, turun berkisar 40–41,2% jika dibandingkan tahun sebelumnya. Rekayasa lalu lintas juga relatif lebih lancar, sehingga tidak mengulangi insiden tol Brebes Exit (Brexit) yang tahun lalu banyak menimbulkan korban.
Kesuksesan penyelenggaraan Lebaran juga terjadi pada indikator lainnya berupa pengendalian tingkat harga pasar (inflasi). BPS mencatat selama Juni 2017 tingkat inflasi berhasil ditekan hingga level 0,69% (mtm).
Kontribusi terbesar yang mendorong inflasi Juni 2017 dihasilkan komponen transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan yang memiliki andil 0,23%. Secara umum, fenomena inflasi pada Lebaran kali ini boleh dibilang cukup ahistoris, karena pada momen yang sama dalam tiga tahun sebelumnya rata-rata inflasi berkisar di angka 0,89% (mtm).
Komponen volatile foods yang selama ini juga paling banyak berkontribusi seiring melonjaknya konsumsi masyarakat juga berhasil ditekan secara signifikan, hanya terjadi sekitar 0,65% (mtm) sangat jauh di bawah rata-rata tiga tahun terakhir yang mencapai 1,78% (mtm).
Fenomena Klise
Di balik layar yang berkembang seputar fenomena mudik, ada beberapa hal yang dapat kita resapi sebagai hikmah yang menantang. Pertama, selama mudik terjadi, persebaran pertumbuhan yang lebih merata antardaerah, khususnya diinjeksi dari sisi spending rumah tangga (konsumsi).
Namun karena sifatnya sangat adhoc alias hanya berjalan dalam waktu yang sangat singkat, cukup sulit bagi kita berharap fenomena mudik bisa mengubah struktur perekonomian daerah agar lebih produktif. Spending selama mudik sama halnya dengan fenomena gunung es, yang secara singkat akan segera mencair, tidak kontinu, dan lebih banyak sekadar peningkatan konsumsi.
Produk yang dikonsumsi pun belum tentu merupakan produk asli dari daerah setempat, dan bisa jadi justru barang perolehan dari hasil impor antardaerah/negara. Sehingga fenomena mudik sulit kita harapkan mampu menekan tingkat ketimpangan dan mendorong pemerataan antardaerah, lebih karena pola tujuannya yang serbakurang terstruktur.
Kedua, seandainya fenomena mudik ke daerah-daerah asal bisa dipermanenkan, maka sangat mungkin angan-angan kita untuk menyaksikan pemerataan pertumbuhan di setiap daerah akan semakin dekat. Selama ini banyak tenaga kerja terampil di daerah yang lebih memilih merantau, dan ujung-ujungnya terjebak dengan kenikmatan pola aglomerasi di beberapa kutub-kutub industri. Alasan rasionalnya tentu karena ekspektasi welfare yang lebih menjanjikan.
Pola aglomerasi pada satu sisi memang bisa meningkatkan efisiensi karena didukung adanya media untuk meningkatkan efektivitas transaksi ekonomi. Namun bagi daerah-daerah yang lain sangat mungkin hanya menikmati tetesan-tetesan yang tersisa sebagai wilayah hinterland.
Semakin jauh jarak dari suatu daerah dengan wilayah aglomerasi, semakin sulit bagi mereka untuk berharap dapat turut menikmati hasil-hasil dari aglomerasi. Oleh karena itu, setiap daerah perlu lebih berani menyongsong masa depan daerahnya agar lebih cerah.
Tindakan rasionalnya perlu lebih disusun dengan matang melalui pembentukan beberapa faktor fundamental. Minimal, faktor-faktor produksi dasar aktivitas ekonomi (misalnya kualitas infrastruktur, SDM, bahan baku, layanan permodalan, juga pusat keterampilan melalui pendidikan dan kesehatan) bisa disediakan oleh pemerintah daerah.
Ketiga, fenomena mudik bisa berdampak positif secara psikologis terhadap masyarakat di daerah. Bagi kalangan migran, mudik adalah sebuah simbol kesuksesan secara moral dan ekonomi di tanah perantauan. Karena dengan kemampuannya untuk melakukan mudik, perantau dapat dianggap sukses mengelola sebagian saving-nya.
Dari cerita ini, bisa jadi akan menginspirasi banyak putra-putri daerah setempat yang masih tinggal di daerah, bahwa mereka pun seharusnya mampu berusaha dan terus survive. Namun sayangnya, inspirasi yang seperti ini sering kali bikin salah kaprah.
Bukannya mereka termotivasi untuk mengembangkan daerahnya, malah tingkat urbanisasi di beberapa kota maju tampaknya justru semakin sulit dikendalikan. Menurut pengamatan Price Waterhouse Cooper (PWC, 2014) laju urbanisasi kita menjadi yang tercepat kedua di ASEAN setelah Malaysia, dengan tingkat populasi kaum urban sudah mencapai 51,4% terhadap total penduduknya.
Sementara itu, menurut World Bank (2016), pertumbuhan urbanisasi Indonesia selama enam dasawarsa terakhir rata-rata mencapai 4,4% per tahun. Peningkatan rasio kaum urbannya juga menjadi yang tercepat di Asia.
Namun sayangnya, belum dikelola dengan baik karena efek urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonominya lebih kecil dibandingkan negara lainnya. Jika setiap 1% pertumbuhan urbanisasi di India akan menghasilkan peningkatan PDB per kapita sebesar 13%, di Tiongkok sebesar 10%, dan di Thailand meningkat 7%, sementara di Indonesia hanya memperoleh pertumbuhan PDB sebesar 4% dari setiap 1% peningkatan kaum urban. Malahan dengan adanya laju urbanisasi yang kian pesat, justru dampaknya hanya sekadar memindahkan persoalan kemiskinan yang dulunya hinggap di perdesaan menuju perkotaan.
Penulis ingin sekali menyederhanakan solusi terhadap masalah yang sekarang ini terus berkembang. Kita bisa memanfaatkan ide pembangunan desa yang pada saat ini tengah booming. Pemerintah desa kini memiliki kemampuan fiskal yang cukup kuat berkat transfer dana desa dari APBN. Belum lagi dengan sokongan alokasi dana desa (ADD) yang disisihkan dari APBD.
Seharusnya peluang ini bisa dimanfaatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan efforts untuk mengendalikan tingkat urbanisasi. Misalnya, dengan meningkatkan keterampilan bagi tenaga kerja di desa, memperbaiki sarana dan prasarana infrastruktur, memperluas layanan permodalan, menginisiasi industrialisasi dan modernisasi berbasis potensi lokal, serta menunjang sistem kelembagaan dan rantai niaga yang efektif untuk pelaku usaha di perdesaan.
Kata kuncinya terletak pada upaya bagaimana caranya agar pengelolaan sumber daya fiskal desa bisa menunjang efisiensi ekonomi di perdesaan. Muaranya, mengarah pada perluasan lapangan pekerjaan disertai peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Sehingga penduduk desa tidak perlu lagi jauh-jauh merantau hanya sekadar untuk mengais rezeki.
Meskipun pemerintah pusat sendiri tengah menghadapi fiscal pressure yang cukup berat, belum ada sedikit pun desas-desus yang membahas pemotongan dana transfer ke daerah maupun desa. Malahan, pihak kementerian/lembaga di tataran pemerintah pusat yang sedang terancam menghadapi efisiensi belanja melalui pemotongan anggaran.
Pada tahun ini, isu pembengkakan defisit anggaran juga semakin sulit dielakkan. Terbukti, saat ini sedang digagas rancangan APBN-P 2017 terkait pelonggaran defisit anggaran dari sebelumnya sebesar 2,41%, akan ditingkatkan menjadi 2,67% terhadap PDB.
Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pemerintah daerah maupun desa untuk semakin membangkitkan jiwa nasionalismenya melalui jalur kebijakan pembangunan ekonomi masyarakatnya. Jiwa-jiwa “parahita” (memperhatikan kesejahteraan orang lain) yang terbukti tumbuh subur selama Lebaran kemarin, dapat dilanjutkan sebagai media modal sosial yang semakin kuat. Mudah-mudahan pemerataan kemenangan yang terjadi pada Lebaran kemarin mampu kita pertahankan. Semoga!
(poe)