Bantuan Pangan Nontunai, Harga Beras dan Bulog
A
A
A
Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Seusai resmi mengubah mekanisme penyaluran Raskin/Rasta di 44 kabupaten/kota, Februari 2017, per Juni ini pembagian voucher program bantuan pangan nontunai itu dipastikan selesai. Pada tahap awal program ini akan menjangkau 1,5 juta keluarga miskin/rentan atau 9,6% dari 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) Raskin/ Rasta. Tiap bulan rumah tangga sasaran menerima transfer Rp110.000 per bulan dari bank yang ditunjuk. Data penerima diambil dari Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015.
Program melibatkan 14.000 pengecer kebutuhan pokok, terutama beras, berbasis electronic data capture (EDC). Lewat Rumah Pangan Kita yang bermitra dengan BNI, BRILink, Mandiri, dan E-Warong KUBE, Bulog diminta menyediakan beras dan gula. Beras dan gula dijual Rp8.500/kg dan Rp12.500/kg. Dengan asumsi harga beras medium Rp8.200-Rp8.500/kg, RTS mendapatkan 13 kg beras, dua kali Raskin/ Rasta yang diterima selama ini. Ini kurang dari setengah kebutuhan beras bulanan keluarga (Susenas, 2015).
Perubahan mekanisme ini tindak lanjut dari rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 2014 KPK menyarankan agar desain Raskin diubah supaya memenuhi kriteria enam tepat: tepat sasaran, jumlah, harga, waktu, kualitas, dan administrasi. Sampai saat ini enam tepat itu belum bisa ditunaikan. Empat tepat pertama jadi tanggung renteng sejumlah lembaga: BPS, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dua tepat terakhir di bawah kendali Bulog. Bulog berhasil dalam mengendalikan tepat administrasi, sebaliknya masih belum dalam tepat kualitas.
Dalam mekanisme baru ini bukan lagi Bulog yang menerima subsidi dan mengantarkan Raskin kepada masyarakat, melainkan pemerintah akan mentransfer langsung uang bantuan per bulan ke rekening RTS berkartu debit. Uang hanya bisa dibelanjakan untuk kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan telur di pengecer yang ditunjuk. Uang tidak bisa diambil tunai. Di pengecer ada beraneka ragam beras, dengan harga beragam pula. Warga miskin/rentan bisa memilih sendiri, baik harga, kualitas, maupun jumlahnya. Jika uang dalam voucher tidak habis, sisa uang menjadi tabungan
.
Dibandingkan Raskin/Rasta sekarang, skema baru dapat meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, dan administrasi. Kriteria ketepatan kualitas, harga, dan jumlah tidak lagi relevan karena masyarakat miskin/rentan dapat memilih beras sendiri. Skema baru ini juga tidak mendistorsi pasar gabah/beras, dan rumah tangga miskin/rentan tidak perlu menyediakan uang untuk menebus seperti pada Raskin/ Rasta. Selain itu, kemiskinan di 44 kabupaten/ kota diestimasi turun 0,32 poin persentase (Purbasari, 2016). Dana APBD pendamping dari kabupaten/ kota dapat dihapus dan direalokasikan untuk yang lain.
Voucher pangan ini mirip program kupon pangan (food stamps) yang diterapkan di Amerika Serikat sejak 1960. Kupon pangan adalah program bantuan buat keluarga miskin/ pengangguran untuk membeli pangan dengan mempertimbangkan jumlah anggota keluarga dan pendapatan bersih bulanan. Mereka dapat menukarkan kupon di toko yang ditunjuk. Warga tak boleh mencairkan kupon, beli alkohol, rokok, atau di luar ketentuan.
Meskipun diyakini akan lebih baik, skema penyaluran baru ini masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Pertama, harga pangan di luar Jawa relatif tinggi dibandingkan di Jawa. Artinya, RTS di luar Jawa akan menerima manfaat lebih rendah ketimbang mereka yang di Jawa. Kedua, apabila pengecer yang ditunjuk tidak menjual beras dan pangan seperti yang dianjurkan, warga perlu menambah ongkos transportasi karena harus bolak-balik. Ini membuat manfaat juga lebih rendah. Ketiga, besar bantuan sama, yakni Rp110.000 per RTS. Padahal, anggota keluarga tiap RTS beda. Idealnya, besar bantuan sesuai jumlah anggota keluarga. Keempat, siapa yang mengontrol bila setelah uang bantuan nontunai ditukar dengan pangan, lalu pangan dijual untuk membeli rokok atau pulsa?
Pertanyaan penting lain, ketika skema ini diperluas untuk 10,5 juta RTS pada 2018, bagaimana stabilisasi harga beras dan nasib Bulog? Pertanyaan ini perlu mendapatkan kepastian agar skema baru penyaluran bantuan tidak membawa kita keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Pertanyaan ini didasari oleh kenyataan bahwa setelah instrumen floor & ceiling price digantikan harga pembelian pemerintah (HPP) pada 2002 tak ada lagi instrumen riil stabilisasi harga gabah/beras. Sebagai gantinya, Raskin/Rasta yang sejak awal didesain sebagai bantuan pangan bagi keluarga miskin dialihfungsikan sebagai alat stabilisasi harga beras. Jumlah penyaluran Raskin/ Rasta 232.000 ton/bulan atau 10% dari kebutuhan beras memang besar pengaruhnya pada harga.
Ketika Raskin/Rasta diganti bantuan nontunai, secara teoritis tidak ada lagi penyaluran bantuan pangan yang dalam setahun bisa mencapai 2,8-3,4 juta ton itu. Sebagai gantinya, fungsi stabilisasi harga beras kini sepenuhnya bergantung pada kekuatan cadangan beras pemerintah (CBP). Padahal, besaran CBP saat ini hanya 350.000-an ton beras dengan kualitas medium. CBD ini setara untuk kebutuhan tiga hari. CBP ini mustahil bisa jadi instrumen pemerintah untuk mengintervensi kegagalan pasar. Selain sangat kecil, efektivitas CBD kualitas medium sebagai instrumen stabilisasi amat rendah.
Tidak banyak disadari, kini naik-turun harga beras lebih banyak ditentukan oleh beras kualitas premium. Bukan medium. Pertumbuhan permintaan beras premium mencapai 11%/tahun, mengambil pangsa 38% dari total beras yang beredar. Kelompok konsumen ini kurang peduli dengan harga beras asalkan kualitasnya bagus. Selain itu, pangsa konsumen kota kini juga mencapai 56% dari total konsumen beras. Mereka ini pun kurang peduli dengan harga beras. Sebaliknya, permintaan beras medium tumbuh hanya 9%/tahun, mengambil pangsa hanya 21%. Beras jenis ini diminati warga berpendapatan rendah, sebagian di antaranya warga miskin (Krishnamurti, 2015; Perhepi, 2016).
Terakhir, bagaimana nasib Bulog? Dari tahun ke tahun target pengadaan beras (medium) oleh Bulog terus diperbesar: dari rata-rata 1,8 juta ton periode 2003-2007 jadi 3,4 juta ton periode 2008-2009, dan 4,5 juta ton 2015-2016. Ketika Bulog diwajibkan menyerap gabah/ beras produksi domestik dalam jumlah besar, harus pula ada outlet penyalurannya. Ketika Raskin/Rasta diubah menjadi nontunai, secara teoritis tidak ada lagi penyaluran beras Bulog. Karena itu, tidak relevan dan tidak logis menugaskan Bulog menyerap gabah/beras produksi petani. Akan dikemanakan beras serapan domestik itu? Tanpa outlet penyaluran yang pasti, bisa dipastikan Bulog akan pelan-pelan bangkrut.
Beras adalah satu di antara komoditas biang inflasi. Ketika Raskin/Rasta tidak ada lagi, tidak ada pula benteng pertahanan untuk mengendalikan harga gabah/beras. Harga gabah/beras mudah terombang-ambing oleh perilaku culas para tengkulak dan pedagang. Harga gabah rentan jatuh saat panen raya. Petani sengsara karena Bulog tidak lagi menyerap gabah mereka. Sebaliknya, harga beras juga rawan melejit tinggi. Inflasi bakal meroket karena instrumen stabilisasi absen. Bagi rakyat, terutama yang miskin, inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Per September 2015, BPS menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp344.809, 73,07% di antaranya disusun dari makanan. Dari semua jenis pangan, beras paling dominan, menguras 29% pendapatan keluarga miskin. Warga bakal mendadak jatuh miskin ketika harga pangan, terutama beras, melonjak tinggi.
Agar itu tidak terjadi, ada dua jalan. Pertama, memperbesar CBP dari 0,35 juta ton jadi 1,5-2 juta ton. CBP diisi beras kualitas premium. Penggunaan CBP premium, selain untuk operasi pasar, bisa juga digunakan buat beragam program pemerintah seperti food for work, ekspor, program antikemiskinan, dan bantuan internasional. Anggarannya antara Rp15-20 triliun. Itu belum termasuk biaya pemeliharaan dan yang lain. Diperkirakan lebih besar dari Raskin saat ini: Rp21,7 triliun. Kedua, menugaskan Bulog untuk mengisi beras di outlet pembelian pangan nontunai. Cara ini tidak mengubah signifikan Raskin/Rasta, terutama dalam kaitan fungsi Raskin/Rasta sebagai stabilisasi harga gabah/beras. Lebih dari itu, cara ini membuat eksistensi Bulog sebagai penyangga harga pangan tetap terjaga.
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Seusai resmi mengubah mekanisme penyaluran Raskin/Rasta di 44 kabupaten/kota, Februari 2017, per Juni ini pembagian voucher program bantuan pangan nontunai itu dipastikan selesai. Pada tahap awal program ini akan menjangkau 1,5 juta keluarga miskin/rentan atau 9,6% dari 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) Raskin/ Rasta. Tiap bulan rumah tangga sasaran menerima transfer Rp110.000 per bulan dari bank yang ditunjuk. Data penerima diambil dari Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015.
Program melibatkan 14.000 pengecer kebutuhan pokok, terutama beras, berbasis electronic data capture (EDC). Lewat Rumah Pangan Kita yang bermitra dengan BNI, BRILink, Mandiri, dan E-Warong KUBE, Bulog diminta menyediakan beras dan gula. Beras dan gula dijual Rp8.500/kg dan Rp12.500/kg. Dengan asumsi harga beras medium Rp8.200-Rp8.500/kg, RTS mendapatkan 13 kg beras, dua kali Raskin/ Rasta yang diterima selama ini. Ini kurang dari setengah kebutuhan beras bulanan keluarga (Susenas, 2015).
Perubahan mekanisme ini tindak lanjut dari rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 2014 KPK menyarankan agar desain Raskin diubah supaya memenuhi kriteria enam tepat: tepat sasaran, jumlah, harga, waktu, kualitas, dan administrasi. Sampai saat ini enam tepat itu belum bisa ditunaikan. Empat tepat pertama jadi tanggung renteng sejumlah lembaga: BPS, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dua tepat terakhir di bawah kendali Bulog. Bulog berhasil dalam mengendalikan tepat administrasi, sebaliknya masih belum dalam tepat kualitas.
Dalam mekanisme baru ini bukan lagi Bulog yang menerima subsidi dan mengantarkan Raskin kepada masyarakat, melainkan pemerintah akan mentransfer langsung uang bantuan per bulan ke rekening RTS berkartu debit. Uang hanya bisa dibelanjakan untuk kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan telur di pengecer yang ditunjuk. Uang tidak bisa diambil tunai. Di pengecer ada beraneka ragam beras, dengan harga beragam pula. Warga miskin/rentan bisa memilih sendiri, baik harga, kualitas, maupun jumlahnya. Jika uang dalam voucher tidak habis, sisa uang menjadi tabungan
.
Dibandingkan Raskin/Rasta sekarang, skema baru dapat meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, dan administrasi. Kriteria ketepatan kualitas, harga, dan jumlah tidak lagi relevan karena masyarakat miskin/rentan dapat memilih beras sendiri. Skema baru ini juga tidak mendistorsi pasar gabah/beras, dan rumah tangga miskin/rentan tidak perlu menyediakan uang untuk menebus seperti pada Raskin/ Rasta. Selain itu, kemiskinan di 44 kabupaten/ kota diestimasi turun 0,32 poin persentase (Purbasari, 2016). Dana APBD pendamping dari kabupaten/ kota dapat dihapus dan direalokasikan untuk yang lain.
Voucher pangan ini mirip program kupon pangan (food stamps) yang diterapkan di Amerika Serikat sejak 1960. Kupon pangan adalah program bantuan buat keluarga miskin/ pengangguran untuk membeli pangan dengan mempertimbangkan jumlah anggota keluarga dan pendapatan bersih bulanan. Mereka dapat menukarkan kupon di toko yang ditunjuk. Warga tak boleh mencairkan kupon, beli alkohol, rokok, atau di luar ketentuan.
Meskipun diyakini akan lebih baik, skema penyaluran baru ini masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Pertama, harga pangan di luar Jawa relatif tinggi dibandingkan di Jawa. Artinya, RTS di luar Jawa akan menerima manfaat lebih rendah ketimbang mereka yang di Jawa. Kedua, apabila pengecer yang ditunjuk tidak menjual beras dan pangan seperti yang dianjurkan, warga perlu menambah ongkos transportasi karena harus bolak-balik. Ini membuat manfaat juga lebih rendah. Ketiga, besar bantuan sama, yakni Rp110.000 per RTS. Padahal, anggota keluarga tiap RTS beda. Idealnya, besar bantuan sesuai jumlah anggota keluarga. Keempat, siapa yang mengontrol bila setelah uang bantuan nontunai ditukar dengan pangan, lalu pangan dijual untuk membeli rokok atau pulsa?
Pertanyaan penting lain, ketika skema ini diperluas untuk 10,5 juta RTS pada 2018, bagaimana stabilisasi harga beras dan nasib Bulog? Pertanyaan ini perlu mendapatkan kepastian agar skema baru penyaluran bantuan tidak membawa kita keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Pertanyaan ini didasari oleh kenyataan bahwa setelah instrumen floor & ceiling price digantikan harga pembelian pemerintah (HPP) pada 2002 tak ada lagi instrumen riil stabilisasi harga gabah/beras. Sebagai gantinya, Raskin/Rasta yang sejak awal didesain sebagai bantuan pangan bagi keluarga miskin dialihfungsikan sebagai alat stabilisasi harga beras. Jumlah penyaluran Raskin/ Rasta 232.000 ton/bulan atau 10% dari kebutuhan beras memang besar pengaruhnya pada harga.
Ketika Raskin/Rasta diganti bantuan nontunai, secara teoritis tidak ada lagi penyaluran bantuan pangan yang dalam setahun bisa mencapai 2,8-3,4 juta ton itu. Sebagai gantinya, fungsi stabilisasi harga beras kini sepenuhnya bergantung pada kekuatan cadangan beras pemerintah (CBP). Padahal, besaran CBP saat ini hanya 350.000-an ton beras dengan kualitas medium. CBD ini setara untuk kebutuhan tiga hari. CBP ini mustahil bisa jadi instrumen pemerintah untuk mengintervensi kegagalan pasar. Selain sangat kecil, efektivitas CBD kualitas medium sebagai instrumen stabilisasi amat rendah.
Tidak banyak disadari, kini naik-turun harga beras lebih banyak ditentukan oleh beras kualitas premium. Bukan medium. Pertumbuhan permintaan beras premium mencapai 11%/tahun, mengambil pangsa 38% dari total beras yang beredar. Kelompok konsumen ini kurang peduli dengan harga beras asalkan kualitasnya bagus. Selain itu, pangsa konsumen kota kini juga mencapai 56% dari total konsumen beras. Mereka ini pun kurang peduli dengan harga beras. Sebaliknya, permintaan beras medium tumbuh hanya 9%/tahun, mengambil pangsa hanya 21%. Beras jenis ini diminati warga berpendapatan rendah, sebagian di antaranya warga miskin (Krishnamurti, 2015; Perhepi, 2016).
Terakhir, bagaimana nasib Bulog? Dari tahun ke tahun target pengadaan beras (medium) oleh Bulog terus diperbesar: dari rata-rata 1,8 juta ton periode 2003-2007 jadi 3,4 juta ton periode 2008-2009, dan 4,5 juta ton 2015-2016. Ketika Bulog diwajibkan menyerap gabah/ beras produksi domestik dalam jumlah besar, harus pula ada outlet penyalurannya. Ketika Raskin/Rasta diubah menjadi nontunai, secara teoritis tidak ada lagi penyaluran beras Bulog. Karena itu, tidak relevan dan tidak logis menugaskan Bulog menyerap gabah/beras produksi petani. Akan dikemanakan beras serapan domestik itu? Tanpa outlet penyaluran yang pasti, bisa dipastikan Bulog akan pelan-pelan bangkrut.
Beras adalah satu di antara komoditas biang inflasi. Ketika Raskin/Rasta tidak ada lagi, tidak ada pula benteng pertahanan untuk mengendalikan harga gabah/beras. Harga gabah/beras mudah terombang-ambing oleh perilaku culas para tengkulak dan pedagang. Harga gabah rentan jatuh saat panen raya. Petani sengsara karena Bulog tidak lagi menyerap gabah mereka. Sebaliknya, harga beras juga rawan melejit tinggi. Inflasi bakal meroket karena instrumen stabilisasi absen. Bagi rakyat, terutama yang miskin, inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Per September 2015, BPS menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp344.809, 73,07% di antaranya disusun dari makanan. Dari semua jenis pangan, beras paling dominan, menguras 29% pendapatan keluarga miskin. Warga bakal mendadak jatuh miskin ketika harga pangan, terutama beras, melonjak tinggi.
Agar itu tidak terjadi, ada dua jalan. Pertama, memperbesar CBP dari 0,35 juta ton jadi 1,5-2 juta ton. CBP diisi beras kualitas premium. Penggunaan CBP premium, selain untuk operasi pasar, bisa juga digunakan buat beragam program pemerintah seperti food for work, ekspor, program antikemiskinan, dan bantuan internasional. Anggarannya antara Rp15-20 triliun. Itu belum termasuk biaya pemeliharaan dan yang lain. Diperkirakan lebih besar dari Raskin saat ini: Rp21,7 triliun. Kedua, menugaskan Bulog untuk mengisi beras di outlet pembelian pangan nontunai. Cara ini tidak mengubah signifikan Raskin/Rasta, terutama dalam kaitan fungsi Raskin/Rasta sebagai stabilisasi harga gabah/beras. Lebih dari itu, cara ini membuat eksistensi Bulog sebagai penyangga harga pangan tetap terjaga.
(zik)