Qatar Pasca-Deadline
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Director & Co-founder, Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu
SIKAP politik luar negeri Indonesia adalah aktif, namun tidak berpihak atau disebut juga dengan bebas aktif. Garis politik luar negeri ini secara implisit mengandung makna bahwa kita menghormati kedaulatan kita sendiri seperti kita menghargai kedaulatan negara lain.
Dalam konteks konflik Koalisi Arab Saudi versus Koalisi Qatar, garis politik luar negeri ini diuji kembali karena negara-negara Teluk yang saat ini sedang berselisih paham adalah mitra kerja yang selama ini tidak pernah memiliki masalah serius. Semua itu negara-negara muslim dan banyak tenaga kerja kita juga yang bekerja di negara-negara tersebut baik sebagai tenaga kerja terampil maupun kurang terampil.
Keputusan bentuk keterlibatan Indonesia menjadi penting karena setelah 3 Juli 2017, di mana deadline dari Koalisi Arab Saudi (Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain) kepada Qatar telah terlampaui dan Qatar bergeming, maka Koalisi Saudi memberikan perpanjangan waktu 48 jam untuk menerima permintaan Koalisi. Jika tidak, Qatar akan menghadapi sanksi tambahan.
Permintaan dari Koalisi Saudi yakni menutup jaringan TV Al-Jazeera, menutup basis militer Turki, dan mengendurkan kerja sama dengan Iran. Selain itu, menurut sejumlah informasi yang beredar, permintaan dari Koalisi juga ternyata cukup panjang, termasuk untuk menyerahkan sejumlah tertuduh teroris, membayar kompensasi, dan patuh pada garis kebijakan negara-negara Teluk.
Meskipun kita menghormati kedaulatan negara-negara Koalisi, kita juga berkepentingan untuk membangun perdamaian di dunia. Prinsip ini juga mengharuskan kita tidak sekadar netral dan pasif, tetapi juga bisa menyimak kapan kita perlu terlibat dan sejauh mana kita harus menjaga jarak.
Ada beberapa pemikiran yang perlu kita pertimbangkan bersama dalam konteks mengimplementasikan politik luar negeri yang bebas aktif yang secara bersamaan juga mendorong perdamaian dan kerja sama yang lebih harmonis di kawasan Timur Tengah.
Sejauh ini pro-kontra untuk terlibat atau menjauh dari konflik Arab Saudi vs Qatar melahirkan pilihan apakah harus berdiri di pihak tertentu ataukah harus tetap di posisi yang netral. Satu perspektif menyatakan, Qatar harus dibela karena Qatar dianggap sebagai cerminan negara yang relatif demokratis dibandingkan negara-negara Teluk yang lain.
Qatar telah membuka dirinya sebagai pasar sekaligus sebagai investor ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Membiarkan Qatar terisolasi tanpa ruang untuk menemukan titik temu yang bisa diterima semua pihak artinya setuju membiarkan intervensi terhadap kebijakan politik dalam negeri sebuah negara.
Perspektif itu menimbang bahwa Qatar adalah sebuah negara yang sedang menjalankan open-door policy yaitu prinsip politik luar negeri yang merangkul semua pihak yang berseberangan. Qatar meyakini segala macam konflik dapat diselesaikan melalui negosiasi dan perundingan.
Sebab itu, Qatar berteman akrab dengan para petinggi Taliban, Al-Qaeda, beberapa faksi yang berafiliasi ke ISIS (Abhat Al-Nusra, Ahrar Al-Sham), Hamas, dan Ikhwanul Muslimin meskipun mereka berselisih dengan teman baik Qatar lain seperti Amerika Serikat, Israel (sebelum penyarangan di Gaza), Iran, Houti, atau Hezbollah.
Beberapa analis mengatakan kebijakan merangkul semua pihak itu kontradiktif, paradoks, atau anomali. Namun, saya melihatnya sebagai bagian dari politik bebas aktif versi Qatar karena selain ingin meningkatkan profil negaranya dengan mendapatkan kehormatan sebagai investor sehingga mitra-mitra internasionalnya bertambah, Qatar juga mencari dukungan internasional atas posisi strategisnya di konflik Timur Tengah.
Itu sebabnya Qatar bahkan mendanai kelompok-kelompok tertentu dalam perang di Suriah. Keuntungan yang didapat Qatar berteman dengan kelompok yang didefinisikan teroris oleh negara-negara Barat, yaitu kehormatan sekaligus pembuktian bahwa hubungan itu dapat menghasilkan sesuatu yang baik.
Contoh, pertukaran tahanan antara 16 prajurit Libanon dengan 13 tahanan yang berafiliasi ke Al-Nusra pada 2014, memfasilitasi pertemuan antara Taliban dengan Pemerintah AS, termasuk menegosiasikan pembebasan jurnalis AS, Peter Theo Curtis, dari tahanan Al-Nusra.
Situasi bertetangga di Timur Tengah tidak bisa serta-merta disetarakan dengan situasi bertetangga di kawasan lain. Ketidakstabilan dan porsi konflik yang tinggi di Timur Tengah pasti mendorong negara-negara di kawasan itu untuk lebih berani mengambil risiko politik tertentu.
Pandangan lain menyatakan perlu untuk mendukung tekanan Koalisi Arab Saudi kepada Qatar karena di balik manuver Qatar terdapat ambisi untuk memperluas pengaruhnya di negara-negara Timur Tengah. Meluasnya pengaruh di Timur Tengah memiliki definisi yang berbeda dari setiap negara-negara yang ikut dengan Koalisi Arab Saudi.
Arab Saudi misalnya menuduh Qatar menggunakan stasiun TV Al-Jazeera untuk mengkritik peran keluarga Kerajaan Klan Abdul Azis. Mesir mengatakan Qatar mendukung IM dengan mengkritik tindakan keras Mesir terhadap Mursi dan Ikhawanul Muslimin, sementara Bahrain musuh abadi dari Qatar yang terus berkonflik mulai dari kasus perbatasan hingga pemberian warga negara kepada warga negara Bahrain.
Tuduhan yang paling utama yang menjadi dasar isolasi terhadap Qatar oleh Koalisi Arab Saudi dan diharapkan menjadi platform bersama adalah dukungan Qatar terhadap kelompok teroris seperti ISIS.
Atau, kita harus bersikap netral saja? Dasar dari pandangan ini karena konflik negara-negara Teluk terjadi di antara negara-negara yang masih belum demokratis dalam kacamata kehidupan politik kita.
Hampir semua negara di Timur Tengah mengalami proses demokratisasi. Proses itu dimulai dari Tunisia merembet ke Mesir, Libya, Suriah, Yaman, Aljazair, Irak, dan beberapa protes yang dapat diselesaikan secara internal tanpa membesar menjadi sebuah pergerakan.
Arab Saudi, UEA, Kuwait, Bahrain, Qatar, Kuwait, dan Oman adalah negara kerajaan yang masih kuat dan belum melibatkan partisipasi masyarakat di luar anggota kerajaan. Melibatkan diri dengan berpihak dalam konflik di antara negara-negara yang belum demokratis tidak menguntungkan pada masa depan karena hanya akan memperkuat salah satu rezim yang terbukti juga membuat ketidakstabilan politik di kawasan regional.
Hampir semua negara termasuk Amerika Serikat dan Eropa yang awalnya terkesan keras terhadap Qatar tampaknya menjadi melunak. Negara-negara Barat hanya keras kepada Qatar mengenai dukungannya terhadap kelompok teroris, tetapi moderat dalam krisis Qatar.
Trump misalnya mengimbau agar negara-negara Arab bersatu dalam menghadapi perbedaan dan menyokong Kuwait untuk memediasi konflik. AS mungkin menyadari bahwa keberpihakannya akan dapat melahirkan koalisi baru yaitu antara Qatar, Turki, Iran, dan Rusia, dan pembagian kekuasaan yang bipolar seperti ini akan semakin membuat kawasan tidak stabil.
Sebagian besar negara tampaknya mulai menyadari krisis ini akan lebih baik ditangani oleh negara-negara Teluk sendiri agar tidak terpolarisasi ke mana-mana. Contoh, seiring dengan tenggat waktu yang sudah lewat, Qatar tetap bergeming dengan pendiriannya dan tidak ingin mematuhi tuntutan dari Koalisi Arab Saudi.
Kita masih buta untuk mengetahui langkah apa yang akan diambil masing-masing negara. Kita hanya berharap bahwa Qatar tidak akan menjadi Suriah baru yang porak-poranda oleh kepentingan elite politik kekuasaan di Timur Tengah.
Indonesia, menurut hemat saya, belum perlu melakukan keterlibatan yang sifatnya high profile, tetapi patut menjajaki cara-cara yang patut dipertimbangkan secara bilateral dan multilateral melalui G-20 dan PBB untuk menjaga stabilitas di Qatar dan Timur Tengah. Adalah penting dalam politik luar negeri Indonesia terus mendorong Koalisi Timur Tengah dan Qatar untuk mencari titik temu cara-cara bertetangga yang konstruktif dan dialogis, dan bukan dengan ultimatum dan adu otot.
Pengamat Hubungan Internasional
Director & Co-founder, Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu
SIKAP politik luar negeri Indonesia adalah aktif, namun tidak berpihak atau disebut juga dengan bebas aktif. Garis politik luar negeri ini secara implisit mengandung makna bahwa kita menghormati kedaulatan kita sendiri seperti kita menghargai kedaulatan negara lain.
Dalam konteks konflik Koalisi Arab Saudi versus Koalisi Qatar, garis politik luar negeri ini diuji kembali karena negara-negara Teluk yang saat ini sedang berselisih paham adalah mitra kerja yang selama ini tidak pernah memiliki masalah serius. Semua itu negara-negara muslim dan banyak tenaga kerja kita juga yang bekerja di negara-negara tersebut baik sebagai tenaga kerja terampil maupun kurang terampil.
Keputusan bentuk keterlibatan Indonesia menjadi penting karena setelah 3 Juli 2017, di mana deadline dari Koalisi Arab Saudi (Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain) kepada Qatar telah terlampaui dan Qatar bergeming, maka Koalisi Saudi memberikan perpanjangan waktu 48 jam untuk menerima permintaan Koalisi. Jika tidak, Qatar akan menghadapi sanksi tambahan.
Permintaan dari Koalisi Saudi yakni menutup jaringan TV Al-Jazeera, menutup basis militer Turki, dan mengendurkan kerja sama dengan Iran. Selain itu, menurut sejumlah informasi yang beredar, permintaan dari Koalisi juga ternyata cukup panjang, termasuk untuk menyerahkan sejumlah tertuduh teroris, membayar kompensasi, dan patuh pada garis kebijakan negara-negara Teluk.
Meskipun kita menghormati kedaulatan negara-negara Koalisi, kita juga berkepentingan untuk membangun perdamaian di dunia. Prinsip ini juga mengharuskan kita tidak sekadar netral dan pasif, tetapi juga bisa menyimak kapan kita perlu terlibat dan sejauh mana kita harus menjaga jarak.
Ada beberapa pemikiran yang perlu kita pertimbangkan bersama dalam konteks mengimplementasikan politik luar negeri yang bebas aktif yang secara bersamaan juga mendorong perdamaian dan kerja sama yang lebih harmonis di kawasan Timur Tengah.
Sejauh ini pro-kontra untuk terlibat atau menjauh dari konflik Arab Saudi vs Qatar melahirkan pilihan apakah harus berdiri di pihak tertentu ataukah harus tetap di posisi yang netral. Satu perspektif menyatakan, Qatar harus dibela karena Qatar dianggap sebagai cerminan negara yang relatif demokratis dibandingkan negara-negara Teluk yang lain.
Qatar telah membuka dirinya sebagai pasar sekaligus sebagai investor ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Membiarkan Qatar terisolasi tanpa ruang untuk menemukan titik temu yang bisa diterima semua pihak artinya setuju membiarkan intervensi terhadap kebijakan politik dalam negeri sebuah negara.
Perspektif itu menimbang bahwa Qatar adalah sebuah negara yang sedang menjalankan open-door policy yaitu prinsip politik luar negeri yang merangkul semua pihak yang berseberangan. Qatar meyakini segala macam konflik dapat diselesaikan melalui negosiasi dan perundingan.
Sebab itu, Qatar berteman akrab dengan para petinggi Taliban, Al-Qaeda, beberapa faksi yang berafiliasi ke ISIS (Abhat Al-Nusra, Ahrar Al-Sham), Hamas, dan Ikhwanul Muslimin meskipun mereka berselisih dengan teman baik Qatar lain seperti Amerika Serikat, Israel (sebelum penyarangan di Gaza), Iran, Houti, atau Hezbollah.
Beberapa analis mengatakan kebijakan merangkul semua pihak itu kontradiktif, paradoks, atau anomali. Namun, saya melihatnya sebagai bagian dari politik bebas aktif versi Qatar karena selain ingin meningkatkan profil negaranya dengan mendapatkan kehormatan sebagai investor sehingga mitra-mitra internasionalnya bertambah, Qatar juga mencari dukungan internasional atas posisi strategisnya di konflik Timur Tengah.
Itu sebabnya Qatar bahkan mendanai kelompok-kelompok tertentu dalam perang di Suriah. Keuntungan yang didapat Qatar berteman dengan kelompok yang didefinisikan teroris oleh negara-negara Barat, yaitu kehormatan sekaligus pembuktian bahwa hubungan itu dapat menghasilkan sesuatu yang baik.
Contoh, pertukaran tahanan antara 16 prajurit Libanon dengan 13 tahanan yang berafiliasi ke Al-Nusra pada 2014, memfasilitasi pertemuan antara Taliban dengan Pemerintah AS, termasuk menegosiasikan pembebasan jurnalis AS, Peter Theo Curtis, dari tahanan Al-Nusra.
Situasi bertetangga di Timur Tengah tidak bisa serta-merta disetarakan dengan situasi bertetangga di kawasan lain. Ketidakstabilan dan porsi konflik yang tinggi di Timur Tengah pasti mendorong negara-negara di kawasan itu untuk lebih berani mengambil risiko politik tertentu.
Pandangan lain menyatakan perlu untuk mendukung tekanan Koalisi Arab Saudi kepada Qatar karena di balik manuver Qatar terdapat ambisi untuk memperluas pengaruhnya di negara-negara Timur Tengah. Meluasnya pengaruh di Timur Tengah memiliki definisi yang berbeda dari setiap negara-negara yang ikut dengan Koalisi Arab Saudi.
Arab Saudi misalnya menuduh Qatar menggunakan stasiun TV Al-Jazeera untuk mengkritik peran keluarga Kerajaan Klan Abdul Azis. Mesir mengatakan Qatar mendukung IM dengan mengkritik tindakan keras Mesir terhadap Mursi dan Ikhawanul Muslimin, sementara Bahrain musuh abadi dari Qatar yang terus berkonflik mulai dari kasus perbatasan hingga pemberian warga negara kepada warga negara Bahrain.
Tuduhan yang paling utama yang menjadi dasar isolasi terhadap Qatar oleh Koalisi Arab Saudi dan diharapkan menjadi platform bersama adalah dukungan Qatar terhadap kelompok teroris seperti ISIS.
Atau, kita harus bersikap netral saja? Dasar dari pandangan ini karena konflik negara-negara Teluk terjadi di antara negara-negara yang masih belum demokratis dalam kacamata kehidupan politik kita.
Hampir semua negara di Timur Tengah mengalami proses demokratisasi. Proses itu dimulai dari Tunisia merembet ke Mesir, Libya, Suriah, Yaman, Aljazair, Irak, dan beberapa protes yang dapat diselesaikan secara internal tanpa membesar menjadi sebuah pergerakan.
Arab Saudi, UEA, Kuwait, Bahrain, Qatar, Kuwait, dan Oman adalah negara kerajaan yang masih kuat dan belum melibatkan partisipasi masyarakat di luar anggota kerajaan. Melibatkan diri dengan berpihak dalam konflik di antara negara-negara yang belum demokratis tidak menguntungkan pada masa depan karena hanya akan memperkuat salah satu rezim yang terbukti juga membuat ketidakstabilan politik di kawasan regional.
Hampir semua negara termasuk Amerika Serikat dan Eropa yang awalnya terkesan keras terhadap Qatar tampaknya menjadi melunak. Negara-negara Barat hanya keras kepada Qatar mengenai dukungannya terhadap kelompok teroris, tetapi moderat dalam krisis Qatar.
Trump misalnya mengimbau agar negara-negara Arab bersatu dalam menghadapi perbedaan dan menyokong Kuwait untuk memediasi konflik. AS mungkin menyadari bahwa keberpihakannya akan dapat melahirkan koalisi baru yaitu antara Qatar, Turki, Iran, dan Rusia, dan pembagian kekuasaan yang bipolar seperti ini akan semakin membuat kawasan tidak stabil.
Sebagian besar negara tampaknya mulai menyadari krisis ini akan lebih baik ditangani oleh negara-negara Teluk sendiri agar tidak terpolarisasi ke mana-mana. Contoh, seiring dengan tenggat waktu yang sudah lewat, Qatar tetap bergeming dengan pendiriannya dan tidak ingin mematuhi tuntutan dari Koalisi Arab Saudi.
Kita masih buta untuk mengetahui langkah apa yang akan diambil masing-masing negara. Kita hanya berharap bahwa Qatar tidak akan menjadi Suriah baru yang porak-poranda oleh kepentingan elite politik kekuasaan di Timur Tengah.
Indonesia, menurut hemat saya, belum perlu melakukan keterlibatan yang sifatnya high profile, tetapi patut menjajaki cara-cara yang patut dipertimbangkan secara bilateral dan multilateral melalui G-20 dan PBB untuk menjaga stabilitas di Qatar dan Timur Tengah. Adalah penting dalam politik luar negeri Indonesia terus mendorong Koalisi Timur Tengah dan Qatar untuk mencari titik temu cara-cara bertetangga yang konstruktif dan dialogis, dan bukan dengan ultimatum dan adu otot.
(poe)