Mengejar Infrastruktur
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih sangat concern mengejar target utama dalam kancah politiknya, dengan terus menggenjot pembangunan infrastruktur.
Sepertinya Presiden sangat kuat berpatron terhadap teori pertumbuhan ekonomi endogen, yang meletakkan komitmen politik terkait dengan pembangunan infrastruktur sebagai media untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Opini publik begitu ramai dengan paradoks seputar cita-cita yang dinilai sangat ambisius itu. Bahkan, Sang Presiden lebih memilih menutup telinga rapat-rapat saat publik tengah gaduh karena kebijakan konversi subsidi energi yang dilakukan secara besar-besaran.
Penurunan anggaran untuk subsidi telah membuka katup fiskal yang lebih longgar untuk prioritas-prioritas pembangunan lainnya. Dikutip dari publikasi Kementerian Keuangan (2017), subsidi energi dalam rancangan APBN 2017 hanya disediakan Rp77,3 triliun.
Sepanjang 2014-2017, alokasi subsidi energi berubah sangat drastis dengan penurunan sekitar 77,93%, karena pada 2014 angka subsidinya masih sangat besar mencapai Rp273 triliun. Efek positifnya membuat besar anggaran untuk pembiayaan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan trennya mengalami kenaikan.
Tercatat jika dibandingkan dengan alokasi anggaran 2014, anggaran infrastruktur 2017 mengalami eskalasi 117,3%, anggaran pendidikan meningkat 10,8%, dan anggaran kesehatan tumbuh 54%. Pertumbuhan anggaran untuk infrastruktur terlihat yang paling mencolok dibandingkan dengan pos-pos anggaran lainnya.
Presiden berkilah bahwa peningkatan anggaran infrastruktur akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan efisiensi usaha masyarakat. Meski kebijakan ini berpotensi menimbulkan kontroversi, pemerintah masih sangat berharap nantinya akan berdampak positif terhadap penguatan faktor fundamental makroekonomi Indonesia.
Hanya, kita perlu berhati-hati apakah masyarakat mampu bersabar menanti hasilhasilnya, sebab kebijakan yang dikerjakan bukanlah pilihan kebijakan instan karena buahnya sangat mungkin baru terjadi dalam jangka menengah hingga jangka panjang.
Selain berpotensi menimbulkan risiko terhadap stabilitas politik, pemangkasan anggaran untuk subsidi juga sangat dekat dengan potensi penurunan daya beli masyarakat akibat inflasi, dan peningkatan beban operasional sektor industri dan transportasi untuk postur pengeluaran biaya energi.
Pembangunan yang Lebih Mapan
Persoalan pembangunan infrastruktur di satu sisi sangat dirindukan, namun di sisi yang berlawanan bisa sangat merugikan kepentingan-kepentingan jangka pendek lainnya seiring berkurangnya dana likuiditas. Diskursus politik di kancah nasional belum lama ini juga sudah mulai menjajaki asumsi makro untuk APBN 2018.
Secara eksplisit, pemerintah dan DPR yang diwakili Komisi XI menyepakati beberapa poin penting untuk tahun depan. Asumsi makroekonomi kita disusun lumayan ketat, khususnya pertumbuhan ekonomi yang hanya ditargetkan 5,2-5,6%.
Angka tersebut memang dapat dikatakan cukup moderat, namun bisa juga menandakan bahwa pemerintah memiliki firasat yang lemah terkait daya ungkit pertumbuhan ekonomi terhadap perluasan lapangan pekerjaan dan penurunan kemiskinan. Apalagi berdasarkan fakta empiris, pengaruh pertumbuhan tampak masih belum cukup koheren untuk memenuhi asumsi-asumsi berantai lainnya. Misalnya saja terkait koherensi antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan.
Dalam satu dasawarsa terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi kita berada di kisaran 5,64%. Raihan pertumbuhan memang senantiasa besar, namun impactnya relatif kecil terhadap pengentasan kemiskinan. Berdasarkan catatan dari Kementerian Keuangan, dari setiap 1% pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan, dampaknya hanya mampu mereduksi kemiskinan sekitar 0,116% dalam periode 2010- 2012, dan 0,059% dalam periode 2013-2016.
Belum lagi kalau kita kaitkan dengan pengentasan ketimpangan. Sepanjang era otonomi/desentralisasi daerah, adanya akselerasi pertumbuhan ekonomi justru semakin memperlebar jurang ketimpangan.
Perubahannya dapat kita lihat berdasarkan indeks gini rasio nasional, dari sebelumnya di kisaran 0,30 pada awal 2000-an, beranjak menjadi 0,40-an pada satu dasawarsa berikutnya. Bahkan yang lebih menyakitkan lagi hasil temuan dari World Bank (2015), yang menyatakan bahwa total aset 1% orang terkaya sudah setara dengan hampir separuh dari total kekayaan di seluruh Indonesia.
Realita tersebut menandakan kualitas pertumbuhan ekonomi kita belum cukup sehat, karena terbukti hanya segelintir masyarakat kelas atas saja yang menikmati hasil-hasil dari pertumbuhan ekonomi.
Perihal dengan kebijakan pemerintah yang sekarang ini tengah jorjoran dalam pembangunan infrastruktur, kita kembali harus berhati-hati agar jangan sampai manfaatnya hanya mengalir kepada masyarakat kelas atas saja sehingga pemerintah perlu memastikan bahwa upaya pembangunan tidak berhenti sebatas pengembangan fisiknya, tetapi juga menyentuh aspek nonfisik seperti mekanisme kelembagaan dan perbaikan SDM.
Dengan demikian, pola pertumbuhan ekonomi kita perlu ditinjau ulang untuk direstrukturisasi. Selama ini, kita terlalu nyaman dengan pola pertumbuhan yang bertonggak pada sisi konsumsi. Padahal, daya beli dan konsumsi masyarakat akhir-akhir ini sedang terganggu akibat faktor harga yang efeknya sering berantai.
Bank Indonesia memperkirakan inflasi tahun ini akan lebih tinggi dari tahun sebelumnya, karena dorongan kenaikan harga pada kelompok tarif yang diatur pemerintah (administered prices), seperti tarif dasar listrik (TDL). Inflasi pada kelompok administered prices selama Januari- Mei 2017 sudah membubung tinggi sebesar 9,14% (yoy).
Kenaikan TDL nantinya akan berdampak besar terhadap konsumsi rumah tangga dan biaya operasional untuk sektor industri. Agar tidak sampai memupus ekspektasi pertumbuhan ekonomi, pemerintah harus mengatur kembali pilihan kebijakan yang lebih geregetuntuk mengakselerasi pertumbuhan sektor investasi.
Perbaikan di sektor investasi juga dimaksudkan agar perlahan-lahan kita tidak terlalu memaksakan pertumbuhan yang asal-muasalnya dari sektor konsumsi. Misalnya pemerintah bersama dengan otoritas moneter perlu lebih serius lagi dalam menggarap sektor kredit.
Faktor inflasi yang selama ini nyaris selalu terkendali di tingkat yang rendah, diharapkan ikut memengaruhi tingkat suku bunga agar lebih ditekan hingga angka minimum. Dengan begitu, nantinya bisa mendorong penyerapan kredit baik untuk kepentingan produksi maupun konsumsi, yang pada dasarnya sama-sama berkontribusi untuk menambah geliat perekonomian masyarakat.
Sektor kredit selama ini sering kali menjadi penyelamat ketika perkembangan di sektor riil terancam sedang buntu, khususnya bagi pengusaha ataupun masyarakat yang memiliki tabungan dan modal yang cekak. Hanya untuk sementara ini, kinerjanya banyak terganggu oleh situasi non-performing loan (NPL), net interest margin (NIM), dan tingkat penyerapan yang untuk saat ini pengelolaannya belum diupayakan secara efektif.
Poin berikutnya, pemerintah pusat perlu berbagi peran dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah investasi yang cenderung pro-labor intensive. Bahkan, fokus dalam sinkronisasi kebijakan menjadi kebutuhan yang sangat mendesak karena amat rawan diselingi adanya tumpangtindih kepentingan.
Para investor rata-rata membutuhkan adanya jaminan dari sisi regulasi pemerintah, untuk meniadakan pungutan dan aturan yang mendorong ketidakpastian usaha serta meningkatkan biaya administrasi investasi. Strategi ini juga tidak hanya dijalankan oleh pemerintah, tetapi juga perlu dukungan kelembagaan dari BI.
Wewenang utama BI di antaranya untuk menjamin agar pembiayaan non-APBN/D melalui kerja sama pemerintah dan swasta serta dengan masyarakat bisa terlaksana secara optimal. Ide ini juga selaras dengan target pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga menjadi 5%.
Syarat utama, sekali lagi, sangat mungkin membutuhkan peran semua pihak dari seluruh kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah untuk melakukan sinkronisasi program yang lebih mengarah pada pembangunan terhadap kelompok rumah tangga miskin. Dan yang terakhir, berkenaan dengan pemerataan akses pembangunan.
Dengan adanya pola pembangunan yang proporsinya sering kali dianggap timpang, pada akhirnya berdampak buruk terhadap pengentasan ketimpangan. Selama ini banyak urusan pembangunan yang dijalankan oleh kementerian yang karakternya bergerombol di wilayah perkotaan dan khususnya Pulau Jawa, termasuk di dalamnya untuk urusan infrastruktur.
Bank Dunia (2015) juga menambahkan adanya ketimpangan dalam pasar kerja. Pekerja dengan keterampilan tinggi menerima gaji yang lebih menjanjikan, sementara tenaga kerja lainnya hampir tidak memiliki peluang untuk mengembangkan keterampilan mereka.
Mereka terperangkap dalam pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan yang relatif kecil. Oleh karena itu, programprogram yang perlu didorong juga diutamakan untuk penguatan skill dan bantuan modal kerja terutama di luar Pulau Jawa. Pemerintah juga bisa menggandeng peran dari Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) atau Daerah (Jamkrida) yang selama ini banyak mendukung pelaku usaha di skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk memperbaiki aksesibilitas mereka ke lembaga keuangan.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih sangat concern mengejar target utama dalam kancah politiknya, dengan terus menggenjot pembangunan infrastruktur.
Sepertinya Presiden sangat kuat berpatron terhadap teori pertumbuhan ekonomi endogen, yang meletakkan komitmen politik terkait dengan pembangunan infrastruktur sebagai media untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Opini publik begitu ramai dengan paradoks seputar cita-cita yang dinilai sangat ambisius itu. Bahkan, Sang Presiden lebih memilih menutup telinga rapat-rapat saat publik tengah gaduh karena kebijakan konversi subsidi energi yang dilakukan secara besar-besaran.
Penurunan anggaran untuk subsidi telah membuka katup fiskal yang lebih longgar untuk prioritas-prioritas pembangunan lainnya. Dikutip dari publikasi Kementerian Keuangan (2017), subsidi energi dalam rancangan APBN 2017 hanya disediakan Rp77,3 triliun.
Sepanjang 2014-2017, alokasi subsidi energi berubah sangat drastis dengan penurunan sekitar 77,93%, karena pada 2014 angka subsidinya masih sangat besar mencapai Rp273 triliun. Efek positifnya membuat besar anggaran untuk pembiayaan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan trennya mengalami kenaikan.
Tercatat jika dibandingkan dengan alokasi anggaran 2014, anggaran infrastruktur 2017 mengalami eskalasi 117,3%, anggaran pendidikan meningkat 10,8%, dan anggaran kesehatan tumbuh 54%. Pertumbuhan anggaran untuk infrastruktur terlihat yang paling mencolok dibandingkan dengan pos-pos anggaran lainnya.
Presiden berkilah bahwa peningkatan anggaran infrastruktur akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan efisiensi usaha masyarakat. Meski kebijakan ini berpotensi menimbulkan kontroversi, pemerintah masih sangat berharap nantinya akan berdampak positif terhadap penguatan faktor fundamental makroekonomi Indonesia.
Hanya, kita perlu berhati-hati apakah masyarakat mampu bersabar menanti hasilhasilnya, sebab kebijakan yang dikerjakan bukanlah pilihan kebijakan instan karena buahnya sangat mungkin baru terjadi dalam jangka menengah hingga jangka panjang.
Selain berpotensi menimbulkan risiko terhadap stabilitas politik, pemangkasan anggaran untuk subsidi juga sangat dekat dengan potensi penurunan daya beli masyarakat akibat inflasi, dan peningkatan beban operasional sektor industri dan transportasi untuk postur pengeluaran biaya energi.
Pembangunan yang Lebih Mapan
Persoalan pembangunan infrastruktur di satu sisi sangat dirindukan, namun di sisi yang berlawanan bisa sangat merugikan kepentingan-kepentingan jangka pendek lainnya seiring berkurangnya dana likuiditas. Diskursus politik di kancah nasional belum lama ini juga sudah mulai menjajaki asumsi makro untuk APBN 2018.
Secara eksplisit, pemerintah dan DPR yang diwakili Komisi XI menyepakati beberapa poin penting untuk tahun depan. Asumsi makroekonomi kita disusun lumayan ketat, khususnya pertumbuhan ekonomi yang hanya ditargetkan 5,2-5,6%.
Angka tersebut memang dapat dikatakan cukup moderat, namun bisa juga menandakan bahwa pemerintah memiliki firasat yang lemah terkait daya ungkit pertumbuhan ekonomi terhadap perluasan lapangan pekerjaan dan penurunan kemiskinan. Apalagi berdasarkan fakta empiris, pengaruh pertumbuhan tampak masih belum cukup koheren untuk memenuhi asumsi-asumsi berantai lainnya. Misalnya saja terkait koherensi antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan.
Dalam satu dasawarsa terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi kita berada di kisaran 5,64%. Raihan pertumbuhan memang senantiasa besar, namun impactnya relatif kecil terhadap pengentasan kemiskinan. Berdasarkan catatan dari Kementerian Keuangan, dari setiap 1% pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan, dampaknya hanya mampu mereduksi kemiskinan sekitar 0,116% dalam periode 2010- 2012, dan 0,059% dalam periode 2013-2016.
Belum lagi kalau kita kaitkan dengan pengentasan ketimpangan. Sepanjang era otonomi/desentralisasi daerah, adanya akselerasi pertumbuhan ekonomi justru semakin memperlebar jurang ketimpangan.
Perubahannya dapat kita lihat berdasarkan indeks gini rasio nasional, dari sebelumnya di kisaran 0,30 pada awal 2000-an, beranjak menjadi 0,40-an pada satu dasawarsa berikutnya. Bahkan yang lebih menyakitkan lagi hasil temuan dari World Bank (2015), yang menyatakan bahwa total aset 1% orang terkaya sudah setara dengan hampir separuh dari total kekayaan di seluruh Indonesia.
Realita tersebut menandakan kualitas pertumbuhan ekonomi kita belum cukup sehat, karena terbukti hanya segelintir masyarakat kelas atas saja yang menikmati hasil-hasil dari pertumbuhan ekonomi.
Perihal dengan kebijakan pemerintah yang sekarang ini tengah jorjoran dalam pembangunan infrastruktur, kita kembali harus berhati-hati agar jangan sampai manfaatnya hanya mengalir kepada masyarakat kelas atas saja sehingga pemerintah perlu memastikan bahwa upaya pembangunan tidak berhenti sebatas pengembangan fisiknya, tetapi juga menyentuh aspek nonfisik seperti mekanisme kelembagaan dan perbaikan SDM.
Dengan demikian, pola pertumbuhan ekonomi kita perlu ditinjau ulang untuk direstrukturisasi. Selama ini, kita terlalu nyaman dengan pola pertumbuhan yang bertonggak pada sisi konsumsi. Padahal, daya beli dan konsumsi masyarakat akhir-akhir ini sedang terganggu akibat faktor harga yang efeknya sering berantai.
Bank Indonesia memperkirakan inflasi tahun ini akan lebih tinggi dari tahun sebelumnya, karena dorongan kenaikan harga pada kelompok tarif yang diatur pemerintah (administered prices), seperti tarif dasar listrik (TDL). Inflasi pada kelompok administered prices selama Januari- Mei 2017 sudah membubung tinggi sebesar 9,14% (yoy).
Kenaikan TDL nantinya akan berdampak besar terhadap konsumsi rumah tangga dan biaya operasional untuk sektor industri. Agar tidak sampai memupus ekspektasi pertumbuhan ekonomi, pemerintah harus mengatur kembali pilihan kebijakan yang lebih geregetuntuk mengakselerasi pertumbuhan sektor investasi.
Perbaikan di sektor investasi juga dimaksudkan agar perlahan-lahan kita tidak terlalu memaksakan pertumbuhan yang asal-muasalnya dari sektor konsumsi. Misalnya pemerintah bersama dengan otoritas moneter perlu lebih serius lagi dalam menggarap sektor kredit.
Faktor inflasi yang selama ini nyaris selalu terkendali di tingkat yang rendah, diharapkan ikut memengaruhi tingkat suku bunga agar lebih ditekan hingga angka minimum. Dengan begitu, nantinya bisa mendorong penyerapan kredit baik untuk kepentingan produksi maupun konsumsi, yang pada dasarnya sama-sama berkontribusi untuk menambah geliat perekonomian masyarakat.
Sektor kredit selama ini sering kali menjadi penyelamat ketika perkembangan di sektor riil terancam sedang buntu, khususnya bagi pengusaha ataupun masyarakat yang memiliki tabungan dan modal yang cekak. Hanya untuk sementara ini, kinerjanya banyak terganggu oleh situasi non-performing loan (NPL), net interest margin (NIM), dan tingkat penyerapan yang untuk saat ini pengelolaannya belum diupayakan secara efektif.
Poin berikutnya, pemerintah pusat perlu berbagi peran dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah investasi yang cenderung pro-labor intensive. Bahkan, fokus dalam sinkronisasi kebijakan menjadi kebutuhan yang sangat mendesak karena amat rawan diselingi adanya tumpangtindih kepentingan.
Para investor rata-rata membutuhkan adanya jaminan dari sisi regulasi pemerintah, untuk meniadakan pungutan dan aturan yang mendorong ketidakpastian usaha serta meningkatkan biaya administrasi investasi. Strategi ini juga tidak hanya dijalankan oleh pemerintah, tetapi juga perlu dukungan kelembagaan dari BI.
Wewenang utama BI di antaranya untuk menjamin agar pembiayaan non-APBN/D melalui kerja sama pemerintah dan swasta serta dengan masyarakat bisa terlaksana secara optimal. Ide ini juga selaras dengan target pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga menjadi 5%.
Syarat utama, sekali lagi, sangat mungkin membutuhkan peran semua pihak dari seluruh kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah untuk melakukan sinkronisasi program yang lebih mengarah pada pembangunan terhadap kelompok rumah tangga miskin. Dan yang terakhir, berkenaan dengan pemerataan akses pembangunan.
Dengan adanya pola pembangunan yang proporsinya sering kali dianggap timpang, pada akhirnya berdampak buruk terhadap pengentasan ketimpangan. Selama ini banyak urusan pembangunan yang dijalankan oleh kementerian yang karakternya bergerombol di wilayah perkotaan dan khususnya Pulau Jawa, termasuk di dalamnya untuk urusan infrastruktur.
Bank Dunia (2015) juga menambahkan adanya ketimpangan dalam pasar kerja. Pekerja dengan keterampilan tinggi menerima gaji yang lebih menjanjikan, sementara tenaga kerja lainnya hampir tidak memiliki peluang untuk mengembangkan keterampilan mereka.
Mereka terperangkap dalam pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan yang relatif kecil. Oleh karena itu, programprogram yang perlu didorong juga diutamakan untuk penguatan skill dan bantuan modal kerja terutama di luar Pulau Jawa. Pemerintah juga bisa menggandeng peran dari Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) atau Daerah (Jamkrida) yang selama ini banyak mendukung pelaku usaha di skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk memperbaiki aksesibilitas mereka ke lembaga keuangan.
(maf)