Tiket Tol Partai Senayan

Selasa, 13 Juni 2017 - 10:39 WIB
Tiket Tol Partai Senayan
Tiket Tol Partai Senayan
A A A
Ramdansyah
Sekjen Partai Idaman

PARTAI politik (parpol) yang ada di Senayan tidak akan ikut serta verifikasi oleh KPU RI. Sementara parpol baru wajib diverifikasi. Hal ini tertuang dalam kesepakatan Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu dengan Pemerintah. Paripurna hanya akan menyisakan persoalan krusial ambang batas pemilihan presiden (presidential threshold), ambang batas parlemen (parliamentary threshold), sistem pemilu, dan metode konversi suara.

Apakah pansus lupa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 52/2012 yang membatalkan ketidaksetaraan ini dalam UU Nomor 8/2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu)? Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 8/2012 Pemilu berbunyi, ”Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu berikutnya” dibatalkan MK pada 15 Agustus 2012.

Dampaknya, KPU merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8/2012 menjadi PKPU Nomor 12/2012. KPU menjalankan perintah MK melakukan verifikasi setara antara parpol yang lolos ambang batas parlemen dan parpol baru.

=Hak Istimewa=
Politik hukum berkenaan dengan pembatasan partai politik adalah suatu kewajaran. Banyaknya jumlah partai politik tidak otomatis meningkatkan partisipasi dan dukungan publik. Koalisi partai-partai politik bisa menjadi alternatif sistem presidensial yang kuat.
Kehendak pembentuk undang-undang di Senayan demi melakukan penyederhanaan partai politik patut diapresiasi. Penyederhanaan dilakukan dengan meningkatkan syarat administrasi pendirian partai. Bentuk penyederhanaan lainnya dengan diberlakukan ambang batas perolehan suara parlemen. Partai yang tidak memenuhi ambang batas tidak bisa duduk di Senayan.

Keberadaan ambang batas ini menyebabkan parpol yang lolos ambang batas berhak berada di Senayan. Sementara parpol yang tidak lolos hanya diperkenankan berada di DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Keberadaan parpol yang mendapatkan kursi di DPR RI ternyata dapat menentukan hak istimewa untuk tidak perlu lagi ikut verifikasi pada pemilu berikutnya. Ini merupakan produk open legal policy yang dimiliki oleh parlemen di Senayan. Perjuangan parlemen untuk mendapatkan hak istimewanya ini ternyata kandas di MK pada 15 Agustus 2012 dengan pembatalan pasal yang membuat celah adanya keistimewaan ini.

Kita menyaksikan Pansus DPR RI membuka lagi celah keistimewaan partai yang telah lolos ambang batas parlemen. Partai di Senayan enggan untuk diverifikasi. Kenapa parpol enggan diverifikasi? Sejumlah alasan diungkap oleh anggota Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu. Alasan-alasan tersebut antara lain, analogi parpol yang lolos PT dianalogikan sudah tamat SD sehingga tidak perlu lagi ujian. Analogi lainnya adalah parpol yang di Senayan sudah mengukurbaju. Alasan lainnya adalah parpol baru belum disunat sedangkan yang berada di Senayan sudah disunat sehingga tidak perlu disunat dua kali. Alasan ekonomis yang mengemuka adalah penghematan anggaran KPU RI sebesar Rp500 miliar rupiah apabila hak privilege ini diterapkan.

=Mencari Makna Kebenaran di MK=

Kesepakatan untuk meloloskan hak istimewa parpol di Senayan bukan tidak mengundang kekhawatiran berujung pembatalan kembali di MK. Kekhawatiran ini muncul di kalangan anggota pansus. Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu sangat cermat mengamati putusan MK Nomor 52/2012 yang membatalkan hak istimewa partai di Senayan. Pembatalan pasal oleh MK terjadi karena syarat administrasi di UU Pemilu yang digunakan pada Pemilu 2009 berbeda dengan syarat untuk Pemilu 2014.

Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 10/ 2008 tentang Pemilu Legislatif mensyaratkan kepengurusan 2/3 jumlah provinsi, 2/3 kepengurusan kabupaten/kota di provinsi. Sedangkan UU Pemilu berikutnya syaratnya semakin diperberat. Persyaratan ini kemudian ditingkatkan melalui keberadaan Pasal 8 ayat 2 UU Nomor 8/2012.

Syarat administrasi keberadaan kepengurusan yang awalnya 2/3 dari jumlah provinsi ditingkatkan menjadi 100%. Untuk kepengurusan di kabupaten/kota justru menurun dari 2/3 kepengurusan di provinsi menjadi 75% di kabupaten/kota. Selanjutnya kenaikan administrasi yang signifikan adalah keberadaan 50% kepengurusan ditingkat kecamatan.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pasal istimewa tersebut tidak memenuhi prinsip keadilan. Alasannya, pemberlakuan syarat-syarat yang berbeda bagi pihak-pihak yang mengikuti suatu kontestasi jelas bertentangan dengan konstitusi.

Putusan MK ini sangat diperhatikan oleh pemerintah sebagai pengusung RUU Penyelenggaraan Pemilu dan juga DPR. Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu sangat jeli melihat peluang akan hilangnya hak privilege ini. MK akan membatalkan open legal policy yang dibuat parlemen apabila membuat perbedaan syarat administrasi dengan UU Pemilu sebelumnya. Di tingkat pansus pada hari Selasa, 30 Mei 2017, dibuatlah dua opsi yang akan dikonsultasikan dengan pemerintah. Opsi pertama tidak ada perubahan persyaratan administrasi sehingga parpol di Senayan tidak perlu diverifikasi ulang. Sedangkan opsi kedua dibuat dengan menaikkan syarat administrasi.

Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu mengusulkan kenaikan persentase kepengurusan sebagai opsi kedua. Syarat kepengurusan ditingkatkan menjadi 100% tingkat provinsi, 100% tingkat kabupaten/kota, dan 75% tingkat kecamatan. Apabila opsi ini dipilih akan banyak parpol yang gugur. Korbannya tidak hanya parpol baru, tetapi parpol yang ada di Senayan. Parpol-parpol yang mendapat perolehan kursi kecil di DPR dan tidak siap diverifikasi akan ikut gugur jelang kontestasi Pemilu 2019.

Opsi kedua ini bisa berujung kandas kembali di MK. Pansus dengan jeli menghindari sebuah perkara dengan objek yang sama (ne bis in idem) muncul dalam uji materi UU Penyelenggaraan Pemilu di MK nantinya.

=Perjuangan Terakhir=
Apakah parpol berhak mendapatkan keistimewaan tiket tol tanpa verifikasi KPU RI? Apakah DPR RI dapat menyiasati putusan MK Nomor 52/ 2012 yang membatalkan hak istimewa partai di Senayan?

Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu memaknai putusan MK secara gramatikal. Makna tidak boleh ada perbedaan persyaratan dengan syarat pemilu sebelumnya dengan tidak melakukan peningkatan persyaratan administrasi untuk verifikasi di KPU. Syarat untuk menjadi peserta Pemilu 2019 sama dengan syarat untuk Pemilu 2014.

Permasalahannya, apakah MK hanya memperhatikan soal penafsiran gramatikal seperti semantik atau sintaksis? Ada beberapa penafsiran untuk memahami esensi hukum. Perjuangan untuk memaknai pasal-pasal di MK tidak hanya terbatas pada soal gramatikal, tetapi juga penafsiran sistematis, substansi, sosiologis, yuridis, dan komparatif.

Penafsiran sosiologis melihat suatu pasal/ayat berdasarkan konteks kemasyarakatan. Penafsiran ini melihat keberadaan suatu pasal/ayat apakah masih relevan dengan kebutuhan masyarakat atau tidak. Apakah setelah lulus verifikasi KPU RI lima tahun sebelumnya tidak perlu dilakukan audit lagi? Apakah setelah lima tahun partai lolos ambang batas tidak mengalami susut jumlah keanggotaan, kantor, atau syarat administrasi lainnya?

Penggunaan Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 8/2012 yang berbunyi, ”Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu berikutnya”, yang akan digunakan dalam UU Penyelenggaraan Pemilu apakah akan sama konteksnya seusai penetapan pemilu serentak oleh MK?

Pemilu serentak sesuai dengan putusan MK Nomor 14/ PUU-XI/2013 sebagai bentuk perubahan signifikan penyelenggaraan pemilu berdampak pada isu-isu lain. Ambang batas calon presiden bisa ditafsirkan secara otomatis hilang atau 0% ketika pemilu serentak diselenggarakan.

Keistimewaan parpol di Senayan untuk tidak diverifikasi KPU dengan alasan tidak ada perubahan syarat administrasi UU Pemilu bisa saja kehilangan konteksnya. Pemilu serentak dengan kebaruan sistemnya memiliki makna filosofi tersendiri. Prinsip keadilan tidak hanya sebatas teknis administratif. Prinsip keadilan dan kesetaraan tidak bisa dibandingkan efisiensi hemat biaya verifikasi senilai Rp500 miliar.

Harapan masyarakat dan penggiat demokrasi ingin melihat adanya kesetaraan parpol lama dan parpol baru. Tentu harapan masyarakat ini bukanlah sebuah hambatan. Masyarakat ingin melihat keadilan dan kesetaraan, baik parpol di Senayan dan parpol baru untuk menggunakan baju baru menjelang Lebaran.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5015 seconds (0.1#10.140)