Pemimpin Pancasila
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SUNGGUH menggembirakan. Setelah beberapa tahun kita hampir lalai, kini seruan-seruan ber-Pancasila menggema kembali. Media massa mainstream maupun media sosial belakangan ini diramaikan oleh teriakan-teriakan, “Saya Indonesia, saya Pancasila.”
Kesadaran itu barangkali muncul karena belakangan ini mulai tumbuh benih-benih perpecahan yang agak mencemaskan dan menyentak kita. Riuh-rendah dan hura-hura yang mendahului satu kontes politik yang biasanya selesai begitu pemungutan suara selesai, ternyata, yang sekarang ini tidak seperti biasanya.
Pilgub Jakarta 2017 ternyata disusul dengan aksi dan reaksi lanjutan yang mengancam sendi-sendi kebersatuan kita sebagai bangsa. Isunya sudah masuk ke soal SARA, membawa-bawa agama dan etnik yang sebenarnya absurd dan semula hanya provokasi sebagai bumbu kampanye.
Ini tidak sederhana karena isunya meluas bukan hanya di Jakarta, melainkan merembet sampai ke banyak daerah dengan ancaman disintegrasi karena mulai muncul pula benih-benih public distrust. Kesadaran kolektif kita pun muncul.
Pancasila harus diserukan kembali sebagai dasar kesadaran dan kebersamaan kita di rumah NKRI. Memang sejak Reformasi 1998 slogan-slogan dan pidato-pidato pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat sudah tidak lagi banyak menggemakan Pancasila. Di sekolah-sekolah upacara mingguan yang harus mengucapkan sila-sila Pancasila secara bersama-sama sudah tidak ada lagi.
Sebuah televisi swasta pada bulan Juni 2011 yang melakukan wawancara langsung secara spontan di Kampus UI, Depok, ternyata mendapatkan beberapa mahasiswa tidak hafal sila atau urutan Pancasila. Televisi swasta lain yang mencegat beberapa orang yang sedang berjalan pagi di Senayan juga menemukan hal serupa, banyak yang tidak lagi hafal Pancasila.
Hafal sila-sila Pancasila memang bukan jaminan orang bisa menghayati dan mengamalkan Pancasila, tetapi upaya menggemakan Pancasila secara terus-menerus agar dihafal dan diperdengarkan tetap sangat penting karena dua hal.
Pertama, kalau mau menghayati dan mengamalkan tentu harus sering mendengar sehingga timbul pemahaman. Kedua, jika digemakan secara terus-menerus, perilaku kita akan terpengaruh dan bisa terorientasi terhadap apa yang selalu digemakan itu.
Pada era Presiden SBY melalui pertemuan semua ketua lembaga negara tanggal 25 Juni 2011 pernah disepakati untuk melakukan gerakan nasional pemantapan Pancasila sampai ke semua lini, termasuk semua jenjang pendidikan dan masyarakat luas. Tapi tampaknya upaya itu tidak mulus. Ada masalah birokratis dan soal psikologis.
Secara birokratis masih terjadi saling lempar, institusi atau lembaga mana yang harus menangani penyebarluasan pendidikan Pancasila itu. Secara psikologis ada yang masih agak tidak nyaman dengan pengalaman P4 di zaman Orde Baru yang dinilai hanya menggunakan Pancasila sebagai alat basa-basi dengan tujuan mempertahankan kekuasaan.
Ada kesan, zaman Orde Baru yang gencar dengan penataran P4 itu ternyata masih menyuburkan KKN, otoriterisme, dan busuknya birokrasi sehingga setelah reformasi orang banyak yang merasa kurang gagah kalau berteriak-teriak tentang Pancasila. Alhamdulillah sekarang masyarakat mulai menyadari pentingnya penguatan pendidikan dan penyebarluasan Pancasila itu tanpa harus tersandera secara psikologis lagi. Ancaman di depan mata sudah harus dihadapi.
Meskipun begitu, tetaplah harus dicatat bahwa masalah yang gagal dibangun Orde Baru salah satunya adalah lemahnya kepemimpinan Pancasila yang bersumber dari kearifan budaya bangsa dan keteladanan. Pemimpin kita banyak yang tidak memahami kepemimpinan
Pancasila baik sebagai filosofi maupun sebagai metode. Filosofi kepemimpinan Pancasila berakar pada delapan simbol watak alam yang di dalam budaya Jawa disebut hastabrata (delapan sifat alam), yakni surya, candra, kartika, buwana, angkasa, bayu, banyu, geni.
Pemimpin harus seperti surya (matahari), selalu konsisten, memenuhi janji terbit dan terbenamnya serta memberi sinar kepada yang meminta maupun yang tidak meminta. Pemimpin harus seperti candra (rembulan, bulan purnama) yang selalu berwajah manis dan lembut memberi kenyamanan kepada rakyatnya.
Pemimpin harus seperti kartika (bintang) yang bisa memberi arah tentang posisi baik posisi diri maupun posisi tujuan. Nenek moyang kita yang pelaut dulu tidak panik karena tersesat arah di tengah laut, sebab dengan melihat bintang mereka tahu harus menuju ke mana.
Pemimpin juga harus seperti buwana (bumi) yang bisa menjadi tempat berpijak, kalau berbicara bisa dipercaya sehingga bisa dijadikan pijakan untuk melangkah, tidak mencla-mencle. Selanjutnya pemimpin juga harus bersifat angkasa (langit) yang terbuka terhadap masukan, tidak mudah tersinggung, tidak merasa paling tahu, dan siap mendengar dengan baik setiap pendapat dari rakyatnya. Pemimpin juga harus seperti bayu (angin) yang menyejukkan dan menyegarkan untuk mengimbangi cuaca yang panas atau membangun ketenangan di hati rakyatnya.
Pemimpin harus seperti banyu (air) yang bisa menyuburkan tumbuh-tumbuhan dan segala tanaman yang ingin diambil manfaatnya. Artinya pemimpin haruslah berusaha membangun kesejahteraan rakyatnya. Akhirnya pemimpin harus seperti geni (api) yakni tegas dalam menegakkan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu, sebab negara akan lestari, damai, dan aman selama pemimpinnya dapat menegakkan hukum dengan baik.
Hastabrata (delapan sifat alam) sebagai filosofi kepemimpinan Pancasila itu harus dilaksanakan dengan metode tersendiri, yakni membimbing dan mengayomi. Metode tersebut telah dirumuskan oleh tokoh pendidikan nasional kita Ki Hajar Dewantara melalui konsep ing ngarso sung tulodo (kalau ada di depan dan memimpin harus memberi dan menjadi teladan), ing madyo mangun karso (kalau berada di tengah harus mampu membangun inisiatif dan memotivasi orang-orang yang ada di sekelilingnya), tut wuri handayani (kalau ada di belakang harus memberi dorongan yang positif agar orang-orang yang di depannya bisa maju bersama).
Jika dicarikan tempat di dalam ajaran Islam, misalnya, filosofi dan metode kepemimpinan Pancasila adalah sejalan dengan empat sifat wajib bagi kepemimpinan Nabi Muhammad, yaitu shidiq (jujur dan lurus), amanah (bisa dipercaya untuk melaksanakan tugas, meletakkan yang hak dan yang batil pada tempatnya), tablig (menyampaikan kebenaran dengan benar), dan fathanah (cerdas, penuh perhitungan, dan tidak asal-asalan).
Kalau hastabrata sebagai filosofi kepemimpinan Pancasila dan tiga metode yang dirumuskan Ki Hajar Dewantara itu bisa dipahami dan dilaksanakan oleh para pemimpin Indonesia, takkan ada lagi orang yang nyinyir terhadap Pancasila. Warga negara Indonesia akan bangga dengan Pancasila dan tidak akan mengalami ketersanderaan psikologis untuk berteriak, “Kita Pancasila, kita Indonesia, pemimpin kita Pancasila.”
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SUNGGUH menggembirakan. Setelah beberapa tahun kita hampir lalai, kini seruan-seruan ber-Pancasila menggema kembali. Media massa mainstream maupun media sosial belakangan ini diramaikan oleh teriakan-teriakan, “Saya Indonesia, saya Pancasila.”
Kesadaran itu barangkali muncul karena belakangan ini mulai tumbuh benih-benih perpecahan yang agak mencemaskan dan menyentak kita. Riuh-rendah dan hura-hura yang mendahului satu kontes politik yang biasanya selesai begitu pemungutan suara selesai, ternyata, yang sekarang ini tidak seperti biasanya.
Pilgub Jakarta 2017 ternyata disusul dengan aksi dan reaksi lanjutan yang mengancam sendi-sendi kebersatuan kita sebagai bangsa. Isunya sudah masuk ke soal SARA, membawa-bawa agama dan etnik yang sebenarnya absurd dan semula hanya provokasi sebagai bumbu kampanye.
Ini tidak sederhana karena isunya meluas bukan hanya di Jakarta, melainkan merembet sampai ke banyak daerah dengan ancaman disintegrasi karena mulai muncul pula benih-benih public distrust. Kesadaran kolektif kita pun muncul.
Pancasila harus diserukan kembali sebagai dasar kesadaran dan kebersamaan kita di rumah NKRI. Memang sejak Reformasi 1998 slogan-slogan dan pidato-pidato pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat sudah tidak lagi banyak menggemakan Pancasila. Di sekolah-sekolah upacara mingguan yang harus mengucapkan sila-sila Pancasila secara bersama-sama sudah tidak ada lagi.
Sebuah televisi swasta pada bulan Juni 2011 yang melakukan wawancara langsung secara spontan di Kampus UI, Depok, ternyata mendapatkan beberapa mahasiswa tidak hafal sila atau urutan Pancasila. Televisi swasta lain yang mencegat beberapa orang yang sedang berjalan pagi di Senayan juga menemukan hal serupa, banyak yang tidak lagi hafal Pancasila.
Hafal sila-sila Pancasila memang bukan jaminan orang bisa menghayati dan mengamalkan Pancasila, tetapi upaya menggemakan Pancasila secara terus-menerus agar dihafal dan diperdengarkan tetap sangat penting karena dua hal.
Pertama, kalau mau menghayati dan mengamalkan tentu harus sering mendengar sehingga timbul pemahaman. Kedua, jika digemakan secara terus-menerus, perilaku kita akan terpengaruh dan bisa terorientasi terhadap apa yang selalu digemakan itu.
Pada era Presiden SBY melalui pertemuan semua ketua lembaga negara tanggal 25 Juni 2011 pernah disepakati untuk melakukan gerakan nasional pemantapan Pancasila sampai ke semua lini, termasuk semua jenjang pendidikan dan masyarakat luas. Tapi tampaknya upaya itu tidak mulus. Ada masalah birokratis dan soal psikologis.
Secara birokratis masih terjadi saling lempar, institusi atau lembaga mana yang harus menangani penyebarluasan pendidikan Pancasila itu. Secara psikologis ada yang masih agak tidak nyaman dengan pengalaman P4 di zaman Orde Baru yang dinilai hanya menggunakan Pancasila sebagai alat basa-basi dengan tujuan mempertahankan kekuasaan.
Ada kesan, zaman Orde Baru yang gencar dengan penataran P4 itu ternyata masih menyuburkan KKN, otoriterisme, dan busuknya birokrasi sehingga setelah reformasi orang banyak yang merasa kurang gagah kalau berteriak-teriak tentang Pancasila. Alhamdulillah sekarang masyarakat mulai menyadari pentingnya penguatan pendidikan dan penyebarluasan Pancasila itu tanpa harus tersandera secara psikologis lagi. Ancaman di depan mata sudah harus dihadapi.
Meskipun begitu, tetaplah harus dicatat bahwa masalah yang gagal dibangun Orde Baru salah satunya adalah lemahnya kepemimpinan Pancasila yang bersumber dari kearifan budaya bangsa dan keteladanan. Pemimpin kita banyak yang tidak memahami kepemimpinan
Pancasila baik sebagai filosofi maupun sebagai metode. Filosofi kepemimpinan Pancasila berakar pada delapan simbol watak alam yang di dalam budaya Jawa disebut hastabrata (delapan sifat alam), yakni surya, candra, kartika, buwana, angkasa, bayu, banyu, geni.
Pemimpin harus seperti surya (matahari), selalu konsisten, memenuhi janji terbit dan terbenamnya serta memberi sinar kepada yang meminta maupun yang tidak meminta. Pemimpin harus seperti candra (rembulan, bulan purnama) yang selalu berwajah manis dan lembut memberi kenyamanan kepada rakyatnya.
Pemimpin harus seperti kartika (bintang) yang bisa memberi arah tentang posisi baik posisi diri maupun posisi tujuan. Nenek moyang kita yang pelaut dulu tidak panik karena tersesat arah di tengah laut, sebab dengan melihat bintang mereka tahu harus menuju ke mana.
Pemimpin juga harus seperti buwana (bumi) yang bisa menjadi tempat berpijak, kalau berbicara bisa dipercaya sehingga bisa dijadikan pijakan untuk melangkah, tidak mencla-mencle. Selanjutnya pemimpin juga harus bersifat angkasa (langit) yang terbuka terhadap masukan, tidak mudah tersinggung, tidak merasa paling tahu, dan siap mendengar dengan baik setiap pendapat dari rakyatnya. Pemimpin juga harus seperti bayu (angin) yang menyejukkan dan menyegarkan untuk mengimbangi cuaca yang panas atau membangun ketenangan di hati rakyatnya.
Pemimpin harus seperti banyu (air) yang bisa menyuburkan tumbuh-tumbuhan dan segala tanaman yang ingin diambil manfaatnya. Artinya pemimpin haruslah berusaha membangun kesejahteraan rakyatnya. Akhirnya pemimpin harus seperti geni (api) yakni tegas dalam menegakkan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu, sebab negara akan lestari, damai, dan aman selama pemimpinnya dapat menegakkan hukum dengan baik.
Hastabrata (delapan sifat alam) sebagai filosofi kepemimpinan Pancasila itu harus dilaksanakan dengan metode tersendiri, yakni membimbing dan mengayomi. Metode tersebut telah dirumuskan oleh tokoh pendidikan nasional kita Ki Hajar Dewantara melalui konsep ing ngarso sung tulodo (kalau ada di depan dan memimpin harus memberi dan menjadi teladan), ing madyo mangun karso (kalau berada di tengah harus mampu membangun inisiatif dan memotivasi orang-orang yang ada di sekelilingnya), tut wuri handayani (kalau ada di belakang harus memberi dorongan yang positif agar orang-orang yang di depannya bisa maju bersama).
Jika dicarikan tempat di dalam ajaran Islam, misalnya, filosofi dan metode kepemimpinan Pancasila adalah sejalan dengan empat sifat wajib bagi kepemimpinan Nabi Muhammad, yaitu shidiq (jujur dan lurus), amanah (bisa dipercaya untuk melaksanakan tugas, meletakkan yang hak dan yang batil pada tempatnya), tablig (menyampaikan kebenaran dengan benar), dan fathanah (cerdas, penuh perhitungan, dan tidak asal-asalan).
Kalau hastabrata sebagai filosofi kepemimpinan Pancasila dan tiga metode yang dirumuskan Ki Hajar Dewantara itu bisa dipahami dan dilaksanakan oleh para pemimpin Indonesia, takkan ada lagi orang yang nyinyir terhadap Pancasila. Warga negara Indonesia akan bangga dengan Pancasila dan tidak akan mengalami ketersanderaan psikologis untuk berteriak, “Kita Pancasila, kita Indonesia, pemimpin kita Pancasila.”
(poe)