Menyikapi Krisis Kekurangan Perawat

Jum'at, 02 Juni 2017 - 09:00 WIB
Menyikapi Krisis Kekurangan...
Menyikapi Krisis Kekurangan Perawat
A A A
Lister Friska Manalu
Mahasiswa Magister Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan STIK Sint Carolus

SALAH satu agenda pembangunan nasional dari sembilan agenda (Nawacita) yang merupakan rangkuman program dalam visi-misi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dijabarkan dalam strategi pembangunan dan digariskan dalam RPJMN 2015–2019 adalah ”meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia”.

Upaya meningkatkan kualitas hidup manusia dijalankan melalui pembangunan manusia sebagai insan dan sumber daya pembangunan, baik laki-laki maupun perempuan, mulai dari dalam kandungan ibu sampai usia lanjut. Peningkatan kualitas hidup manusia tidak hanya tecermin pada penyediaan lapangan pekerjaan dan jaminan pendapatan semata, tetapi juga pemenuhan hak-hak dasar warga negara untuk memperoleh layanan publik, antara lain pendidikan dan kesehatan.

Arah kebijakannya adalah meningkatkan ketersediaan, penyebaran, dan kualitas sumber daya manusia kesehatan. Dalam mencapai agenda pembangunan tersebut tenaga perawat berkontribusi dalam mewujudkan visi-misi itu, tetapi yang terjadi sekarang dan masih akan berlanjut di masa yang akan datang adalah bahwa ketersediaan tenaga perawat sedang mengalami krisis.

Krisis kekurangan perawat bukan hal baru lagi 10 tahun belakangan ini. Di mana-mana fasilitas pelayanan kesehatan merasakan masalah ini, di dalam maupun di luar negeri. Istilah kekurangan perawat di institusi atau di rumah sakit biasanya diukur dengan istilah jumlah kebutuhan perawat yang dianggarkan dalam periode waktu tertentu menurut kualifikasinya, tetapi belum terisi.

Kondisi kebutuhan tenaga keperawatan sekarang ini menurut data dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI 2016 (http:// bppsdmk.kemkes.go.id), yang diolah Pusat Data dan Informasi menjelaskan secara nasional rasio kebutuhan perawat adalah 87,65 perawat per 100.000 penduduk. Hal ini masih jauh dari target tahun 2019, yaitu 180 perawat per 100.000 penduduk.

Ternyata angka ini juga belum mencapai target tahun 2014, yaitu sebesar 158 per 100.000 penduduk. Namun terdapat dua provinsi dengan rasio perawat yang sudah memenuhi target tahun 2019, yaitu Kalimantan Utara (211.08 per 100.000 penduduk) dan Kalimantan Timur (187,12 per 100.000 penduduk).

Provinsi dengan rasio perawat terendah di Indonesia adalah Jawa Barat sebesar 47,70 per 100.000 penduduk. Bila merujuk pada data jumlah penduduk Indonesia yang diprediksi pada 2019 oleh Badan Pusat Statistik adalah sebanyak 268.074.60 orang, maka kebutuhan perawat di tahun 2019 bila ditentukan 180 perawat per 100.000 penduduk, maka pada 2019 diprediksi jumlah kebutuhan tenaga perawat adalah sebanyak 48.253.428 perawat.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kekurangan jumlah perawat tidak akan berhenti segera. Kondisi ketenagaan di rumah sakit tahun 2016, dari sebanyak 2.490 rumah sakit yang berizin di Indonesia, terdapat sekitar 150.512 perawat dengan total jumlah kekurangannya adalah sebanyak 130.618 orang perawat (standar berdasarkan Permenkes Nomor 56/ 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit).

Mengapa pengelolaan terhadap krisis kekurangan perawat ini perlu? Karena perawat adalah aset dan termasuk stakeholder dalam organisasi atau pelayanan sehingga kalau kebutuhan banyak, tetapi suplai sedikit, berbagai dampak akan terjadi.

Contoh, bila di suatu institusi pelayanan, khususnya di rumah sakit, perawat tidak mencukupi atau rasio perawat berbanding pasien jauh dari yang diharapkan, hal itu berakibat indikator mutu pelayanan akan menurun, keamanan dan keselamatan pasien juga menjadi tidak terjamin, ujung-ujungnya kepuasan pasien juga akan berkurang dan perawat yang ada menjadi kelelahan.

Kekurangan muncul ketika kebutuhan akan perawat meningkat dan pasokan tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan. Pasokan perawat dalam hal ini adalah jumlah perawat yang masuk ke universitas atau sekolah tinggi kesehatan dan lulusan perawat yang lebih sedikit daripada jumlah pasien yang ada. Belum lagi setelah lulus, berbagai tawaran dan pekerjaan di luar keperawatan pun banyak yang menjanjikan sehingga banyak calon perawat meninggalkan pelayanan dan beralih ke profesi lain.

Tidak jarang juga perawat yang punya keahlian berbahasa asing hijrah ke negara tetangga atau menjadi TKI ke Jepang, Amerika, Arab, dan negara lain, membuat jumlah perawat di Tanah Air semakin berkurang. Pendapatan perawat di luar negeri memang lebih besar daripada di Indonesia, hal ini menyangkut pemenuhan kebutuhan fisiologis juga di mana gaji adalah menjadi indikatornya.

Contoh di daerah saja, masih ada tenaga perawat yang dibayar Rp300.000, Rp400.000, dan Rp700.000 seperti di daerah terpencil di Lampung, bahkan di Jawa masih ada tenaga perawat sukarela. Sukarela artinya tidak dibayar karena beralasan daripada menganggur, sedangkan usaha yang mereka jalani untuk menjadi sarjana perawat setidaknya mengeluarkan minimum 30 juta.

Bahkan upah minimum regional (UMR) atau upah minimum propinsi (UMP) pun belum ada yang meliputi soal kesesuaian penghasilan yang didapat perawat lulusan D3 atau S-1. Hal ini masih tersangkut dalam wacana dan kebijakan sistem yang mungkin sedang digarap.

Penyebab lain yang berkontribusi terhadap kekurangan perawat ini adalah perawat yang sudah sempat tidak bekerja atau meninggalkan pelayanan karena alasan lain seperti alasan keluarga, enggan untuk kembali ke pelayanan. Selain karena tuntutan kompetensi yang harus selalu teperbarui, juga jam kerja yang mengharuskan kerja shift dan sistem pengaturan penjadwalan yang kaku.

Di Indonesia, perawat memang wajib mengikuti shift pagi, sore, dan malam bila bekerja di bangsal. Penjadwalan yang tidak fleksibel dan tidak berpihak pada kebutuhan personal staf perawat juga menjadi alasan perawat untuk memilih tidak bekerja di pelayanan.

Dalam menyikapi situasi kekurangan perawat ini, dapat dilihat dari berbagai inisiatif yang mungkin dapat dipertimbangkan, salah satunya bagaimana menjadikan profesi perawat menjadi salah satu hot career di Indonesia. Artinya perlu banyak sosialisasi ke sekolah-sekolah menengah umum atau masyarakat. Bila perlu pemerintah dapat menawarkan beasiswa kepada siswa yang mau sekolah perawat.

Alternatif lain saat rekrutmen perawat. Rumah sakit yang berkepentingan dapat bekerja sama dengan institusi pendidikan untuk menyuplai mahasiswa yang akan lulus, contohnya Akper/ STIKES dari daerah bisa ke kota dengan memfasilitasi asrama atau rumah singgah sementara untuk mereka.

Perlu adanya undang-undang atau kebijakan yang mengatur sistem remunerasi perawat secara nasional karena Undang-Undang Keperawatan Nomor 38/2014 sudah ada yang mengatur penyelenggaraan pelayanan keperawatan agar pelayanan dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman. Isu yang marak di lingkungan rumah sakit adalah perawat baru yang masih bekerja kurang dari dua tahun seperti kutu loncat yang cepat berpindah-pindah mencari rumah sakit lain.

Mungkin dengan adanya kebijakan remunerasi ini, diperlukan keseragaman di antara HRD rumah sakit sekitar tentang jumlah pendapatan yang ditawarkan kepada semua perawat lulusan baru dengan kompetensi yang sama; semua pendapatan jumlahnya sama untuk mencegah perawat sering berpindah-pindah.

Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, termasuk di dalamnya bagaimana membuat sistem penjadwalan perawat di bangsal lebih fleksibel dan memihak kepentingan personal perawat. Contohnya ada perawat yang tidak selalu bisa jaga malam karena alasan keluarga punya anak bayi.

Bagaimana perawat leader memfasilitasi kondisi ini dengan memberi wewenang pengelolaan penjadwalan kepada unit dan rela memberi imbalan lebih besar kepada perawat yang bisa atau mau untuk jaga malam. Memberikan perlindungan kepada perawat yang akan bekerja shift sore atau dari shift sore ke shift malam dengan memikirkan transportasi yang aman.

Alternatif lain, menerima perawat yang mau bekerja paruh waktu untuk mengisi jam-jam yang sulit dipenuhi oleh institusi. Lingkungan yang kondusif juga menyangkut rasio jumlah perawat dengan pasien yang tidak terlalu sedikit dan kemampuan leader untuk mencegah overtime yang bersifat dadakan adalah bagian dari inisiatif.

Manfaat atau keuntungan lain yang bisa dirasakan perawat adalah tunjangan yang dibayar di luar gaji seperti tunjangan bila libur, sakit atau cuti sakit yang diperpanjang. Asuransi kesehatan yang bisa melindungi keluarga inti baik kesehatan mata, gigi dan atau program diskon untuk keluarga yang berobat. Manfaat lain adalah pembuatan tempat penitipan anak untuk karyawan.

Pemberlakuan program retensi atau usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk menjaga dan mempertahankan perawat tetap di rumah sakit tersebut. Di antaranya yang dapat dilakukan adalah pembuatan sistem pengembangan diri dan jenjang karier dengan diikuti peningkatan gaji secara berkala sesuai dengan tingkat kompetensinya.

Dalam mengembangkan karier, perawat leader dapat melakukan sebuah pendekatan dengan mengarahkan pemberian kebebasan kepada perawat muda untuk menentukan arah pengembangan kariernya. Pada perawat yang sudah mendekati usia pensiun dapat dipertimbangkan tentang benefit di hari tua atau kembali menerima mereka bekerja sebagai perawat part timer untuk mendampingi dan membimbing perawat baru.

Gaji yang tinggi dan keuntungan bagi sebagian perawat memang bukan satu-satunya solusi untuk mengatasi kekurangan perawat, tetapi sebagian lebih menginginkan penghargaan dan pengenalan terhadap apa yang sudah dikerjakannya.

Sekali lagi, pemilihan inisiatif ini tidak terlepas dari kebijakan yang berlaku dan koordinasi dengan pihak HRD, direktur, CEO, dan stakeholder terkait di rumah sakit yang mau menjalankan.
(dam,ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1169 seconds (0.1#10.140)