Sistem Penyelenggara Pemilu
A
A
A
Ferry Kurnia Rizkiyansyah
Komisioner KPU RI 2012-2017, Alumnus Pascasarjana Unpad
Penguatan sistem penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) merupakan hal yang sangat fundamental dalam mewujudkan demokrasi elektoral yang berintegritas. Tidak hanya dalam aspek penguatan sistem pemilu, teknis penyelenggaraan pemilu dan mekanisme penguatan elektoral lainnya.
Namun, tentunya penting menegaskan penguatan sistem penyelenggara pemilu yang menyangkut dua aspek utama, yaitu kelembagaan serta manajemen pemilu. Penguatan kelembagaan dilakukan melalui penguatan eksistensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Kemandirian penyelenggara pemilu merupakan prinsip utama agar pemilu memiliki legitimasi dan kredibilitas. Mandat konstitusi yang menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri harus diterjemahkan dalam tataran yang lebih operasional sehingga efektif dan responsif dalam melayani hak konstitusional warga negara.
Transformasi Kelembagaan
Efektivitas dan responsibilitas KPU dalam menyelenggarakan pemilu akan terjawab melalui penataan kelembagaan KPU. Penataan kelembagaan bertujuan untuk mentransformasi KPU sebagai lembaga yang mandiri, profesional, dan berintegritas. Model kelembagaan KPU yang ada saat ini belum memberikan batasan yang jelas antara tugas dan kewenangan komisioner dengan kesekjenan/kesekretariatan.
Pada dasarnya kesekjenan/kesekretariatan ada untuk mendukung kelancaran tugas dan wewenang KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Karena itu, seyogianya kesekjenan/kesekretariatan bukan struktur inti dalam organisasi KPU, tetapi supporting/auxiliary atau pendukung kelancaran tugas dan kewenangan KPU.
Untuk menghilangkan kerancuan tugas dan kewenangan antara komisioner dan sekretariat, sebaiknya kesekjenan/kesekretariatan diposisikan sebagai sistem pendukung KPU sesuai mandat undang-undang penyelenggara pemilu. Sementara penyelenggaraan pemilu sebagai tugas inti KPU dijalankan sepenuhnya oleh komisioner.
Komisioner yang berjumlah tujuh orang di pusat dalam menjalankan tugas dan kewenangannya memiliki struktur operasi berupa deputi dan jajarannya. Jumlah deputi dan jajarannya disesuaikan dengan tugas dan kewenangan KPU dalam penyelenggaraan pemilu.
Keberadaan deputi dan kesekjenan yang secara struktur sejajar akan mempertegas bahwa deputi menjalankan fungsi lini, sementara sekretariat jenderal menjalankan fungsi pendukung.
Kemandirian KPU juga dapat dilihat dari aspek kepegawaian. Undang-Undang Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu pasal 56 ayat 2 menyebutkan bahwa pegawai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berada dalam satu kesatuan manajemen kepegawaian.
Untuk mempertegas kemandirian KPU dari aspek kepegawaian maka sejak tahun 2009, KPU telah melakukan perekrutan pegawai organik. Saat ini jumlah pegawai organik KPU 5.132 orang atau 51,03% dari total pegawai negeri sipil yang bekerja di KPU.
Namun, model satu kesatuan manajemen kepegawaian dan perekrutan pegawai organik belum dianggap cukup untuk mencerminkan kemandirian pegawai KPU. KPU dalam merekrut kebutuhan pegawai masih sangat tergantung dengan persetujuan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).
Acap kali usulan kebutuhan pegawai KPU kepada pemerintah setiap tahunnya tidak sesuai dengan jumlah formasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk memutus mata rantai ketergantungan KPU terhadap pemerintah dapat dilakukan melalui pembangunan birokrasi KPU yang mandiri.
Beberapa negara di dunia telah mentransformasikan administrasi negaranya secara modern, personel birokrasinya tidak selalu diisi oleh PNS. Jerman, misalnya, personel birokrasi dibedakan ke dalam beberapa klasifikasi; PNS, Pegawai Publik non-PNS, dan Pegawai Honorer/tidak tetap.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan komisi negara yang paling cepat mengadopsi sistem manajemen kepegawaian modern. KPK merekrut pegawai berdasarkan kompetensi. Mereka tidak mesti berstatus sebagai pegawai negeri. Pegawai negeri yang dipekerjakan sebagai pegawai komisi dapat beralih status kepegawaiannya menjadi pegawai tetap KPK.
Dengan model kepegawaian yang demikian, potensi ketegangan antara komisioner dan sekretariat dapat dikurangi. Pegawai memiliki loyalitas yang tinggi terhadap lembaga dan berani melakukan kritik terhadap kebijakan pimpinan yang dianggap dapat mencederai kemandirian lembaga.
Penataan Manajemen Pemilu
Penataan manajemen kepemiluan merupakan faktor penting dalam mewujudkan pemilu yang efektif dan responsif. Manajemen kepemiluan tercermin dari cara kerja KPU dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Salah satunya adalah kewenangan menyusun regulasi pemilu.
KPU penting untuk terus meningkatkan kualitas regulasi sehingga mampu menjawab kebutuhan (needs) dan tantangan (challenge) penyelenggaraan pemilu yang semakin kompleks dengan model penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Untuk itu, sekretariat KPU harus diperkuat dengan jabatan fungsional perancang peraturan pemilu yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional perancang pada Biro Hukum KPU sebagai leading sektor penyusunan peraturan dan pedoman teknis penyelenggaraan pemilu.
KPU juga penting untuk terus meningkatkan transparansi, akuntabilitas, aksesibilitas, dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi pemilu. Publikasi rancangan peraturan KPU harus dipertahankan dan dikembangkan agar publik dapat mengaksesnya dengan mudah, murah, dan cepat.
Uji publik rancangan setiap peraturan KPU dengan melibatkan akaemisi, praktisi, partai politik, media massa, dan kelompok penggiat demokrasi untuk memperkuat substansi regulasi yang akan ditetapkan merupakan bagian penting dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang efektif dan responsif.
Dari aspek teknis, KPU penting memperkuat sistem informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan setiap tahapan pemilu seperti sistem informasi partai politik (sipol), sistem informasi data pemilih (sidalih), sistem informasi daerah pemilihan (sidapil), sistem informasi pencalonan (silon), sistem informasi logistik (silog), dan sistem informasi penghitungan suara (situng).
Keseluruhan sistem informasi tersebut pada pemilu 2014, pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota pada tahun 2015 dan 2017 masih berada dalam platform yang terpisah. Agar datanya lebih sinkron satu dengan yang lain, lebih terkelola dengan baik dan publik dapat menjangkau informasinya lebih mudah maka keseluruhan sistem informasi tersebut perlu diintegrasikan.
Kompleksitas substansi dan teknis kepemiluan pada pemilu serentak 2019 juga membutuhkan profesionalitas dan integritas penyelenggara di semua level, baik di tingkat badan permanen (KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota) maupun di level badan ad hoc (PPK, PPS, dan KPPS). Karena itu, persyaratan dan prosedur perekrutan badan penyelenggara pemilu, baik badan permanen maupun ad hoc harus diperbaiki.
Mekanisme perekrutan dilakukan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon penyelenggara pemilu. Peran kepala desa/ lurah dan badan musyawarah desa (BMD) atau dewan kelurahan dalam perekrutan Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus dihilangkan untuk menghindari ruang intervensi aparatur desa/kelurahan terhadap para kandidat PPS.
Bimbingan teknis (bimtek) bagi penyelenggara level ad hoc harus ditingkatkan. Pada pemilu 2014, karena keterbatasan anggaran, bimtek pemungutan dan penghitungan suara tidak melibatkan semua anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Akibatnya, pemahaman anggota KPPS terhadap prosedur pemungutan dan penghitungan suara tidak seragam.
Selain memperbaiki prosedur perekrutan, persyaratan calon anggota PPS, PPK, dan KPPS harus diperbaiki. Syarat usia anggota PPS dan PPK sekurang-kurangnya 25 tahun sebaiknya diturunkan menjadi 21 tahun, mengikuti standar usia minimal calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dengan syarat usia 21 tahun, mereka yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi (PT) atau baru menamatkan studi dapat ambil bagian sebagai penyelenggara pemilu. Sementara syarat usia calon anggota KPPS diturunkan dari 25 tahun menjadi 17 tahun atau sesuai dengan usia pemilih seperti yang pernah diberlakukan pada pemilu 1999.
Keberadaan Rumah Pintar Pemilu (RPP) dan Pusat Informasi dan Dokumentasi di KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota dapat dioptimalkan untuk mengedukasi pemilih dan prapemilih dalam rangka mempersiapkan mereka menjadi pemilih yang informatif, cerdas, rasional, dan mandiri sekaligus menjadi penyelenggara pemilu yang profesional dan berintegritas.
Kompleksitas substansi dan teknis pemilu serentak 2019 juga membutuhkan strategi pengelolaan tahapan agar administrasi proses dan hasil pemilu lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Alokasi pemilih dalam setiap tempat pemungutan suara (TPS) perlu dikurangi dari 500 pemilih per TPS menjadi paling banyak 300 pemilih per TPS.
Hal ini diperlukan untuk mengurangi beban kerja KPPS. Pada pemilu serentak 2019, KPPS selain mengadministrasikan hasil pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota), dalam waktu bersamaan juga harus mengadministrasikan hasil pemilu presiden dan wakil presiden.
Komisioner KPU RI 2012-2017, Alumnus Pascasarjana Unpad
Penguatan sistem penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) merupakan hal yang sangat fundamental dalam mewujudkan demokrasi elektoral yang berintegritas. Tidak hanya dalam aspek penguatan sistem pemilu, teknis penyelenggaraan pemilu dan mekanisme penguatan elektoral lainnya.
Namun, tentunya penting menegaskan penguatan sistem penyelenggara pemilu yang menyangkut dua aspek utama, yaitu kelembagaan serta manajemen pemilu. Penguatan kelembagaan dilakukan melalui penguatan eksistensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Kemandirian penyelenggara pemilu merupakan prinsip utama agar pemilu memiliki legitimasi dan kredibilitas. Mandat konstitusi yang menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri harus diterjemahkan dalam tataran yang lebih operasional sehingga efektif dan responsif dalam melayani hak konstitusional warga negara.
Transformasi Kelembagaan
Efektivitas dan responsibilitas KPU dalam menyelenggarakan pemilu akan terjawab melalui penataan kelembagaan KPU. Penataan kelembagaan bertujuan untuk mentransformasi KPU sebagai lembaga yang mandiri, profesional, dan berintegritas. Model kelembagaan KPU yang ada saat ini belum memberikan batasan yang jelas antara tugas dan kewenangan komisioner dengan kesekjenan/kesekretariatan.
Pada dasarnya kesekjenan/kesekretariatan ada untuk mendukung kelancaran tugas dan wewenang KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Karena itu, seyogianya kesekjenan/kesekretariatan bukan struktur inti dalam organisasi KPU, tetapi supporting/auxiliary atau pendukung kelancaran tugas dan kewenangan KPU.
Untuk menghilangkan kerancuan tugas dan kewenangan antara komisioner dan sekretariat, sebaiknya kesekjenan/kesekretariatan diposisikan sebagai sistem pendukung KPU sesuai mandat undang-undang penyelenggara pemilu. Sementara penyelenggaraan pemilu sebagai tugas inti KPU dijalankan sepenuhnya oleh komisioner.
Komisioner yang berjumlah tujuh orang di pusat dalam menjalankan tugas dan kewenangannya memiliki struktur operasi berupa deputi dan jajarannya. Jumlah deputi dan jajarannya disesuaikan dengan tugas dan kewenangan KPU dalam penyelenggaraan pemilu.
Keberadaan deputi dan kesekjenan yang secara struktur sejajar akan mempertegas bahwa deputi menjalankan fungsi lini, sementara sekretariat jenderal menjalankan fungsi pendukung.
Kemandirian KPU juga dapat dilihat dari aspek kepegawaian. Undang-Undang Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu pasal 56 ayat 2 menyebutkan bahwa pegawai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berada dalam satu kesatuan manajemen kepegawaian.
Untuk mempertegas kemandirian KPU dari aspek kepegawaian maka sejak tahun 2009, KPU telah melakukan perekrutan pegawai organik. Saat ini jumlah pegawai organik KPU 5.132 orang atau 51,03% dari total pegawai negeri sipil yang bekerja di KPU.
Namun, model satu kesatuan manajemen kepegawaian dan perekrutan pegawai organik belum dianggap cukup untuk mencerminkan kemandirian pegawai KPU. KPU dalam merekrut kebutuhan pegawai masih sangat tergantung dengan persetujuan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).
Acap kali usulan kebutuhan pegawai KPU kepada pemerintah setiap tahunnya tidak sesuai dengan jumlah formasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk memutus mata rantai ketergantungan KPU terhadap pemerintah dapat dilakukan melalui pembangunan birokrasi KPU yang mandiri.
Beberapa negara di dunia telah mentransformasikan administrasi negaranya secara modern, personel birokrasinya tidak selalu diisi oleh PNS. Jerman, misalnya, personel birokrasi dibedakan ke dalam beberapa klasifikasi; PNS, Pegawai Publik non-PNS, dan Pegawai Honorer/tidak tetap.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan komisi negara yang paling cepat mengadopsi sistem manajemen kepegawaian modern. KPK merekrut pegawai berdasarkan kompetensi. Mereka tidak mesti berstatus sebagai pegawai negeri. Pegawai negeri yang dipekerjakan sebagai pegawai komisi dapat beralih status kepegawaiannya menjadi pegawai tetap KPK.
Dengan model kepegawaian yang demikian, potensi ketegangan antara komisioner dan sekretariat dapat dikurangi. Pegawai memiliki loyalitas yang tinggi terhadap lembaga dan berani melakukan kritik terhadap kebijakan pimpinan yang dianggap dapat mencederai kemandirian lembaga.
Penataan Manajemen Pemilu
Penataan manajemen kepemiluan merupakan faktor penting dalam mewujudkan pemilu yang efektif dan responsif. Manajemen kepemiluan tercermin dari cara kerja KPU dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Salah satunya adalah kewenangan menyusun regulasi pemilu.
KPU penting untuk terus meningkatkan kualitas regulasi sehingga mampu menjawab kebutuhan (needs) dan tantangan (challenge) penyelenggaraan pemilu yang semakin kompleks dengan model penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Untuk itu, sekretariat KPU harus diperkuat dengan jabatan fungsional perancang peraturan pemilu yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional perancang pada Biro Hukum KPU sebagai leading sektor penyusunan peraturan dan pedoman teknis penyelenggaraan pemilu.
KPU juga penting untuk terus meningkatkan transparansi, akuntabilitas, aksesibilitas, dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi pemilu. Publikasi rancangan peraturan KPU harus dipertahankan dan dikembangkan agar publik dapat mengaksesnya dengan mudah, murah, dan cepat.
Uji publik rancangan setiap peraturan KPU dengan melibatkan akaemisi, praktisi, partai politik, media massa, dan kelompok penggiat demokrasi untuk memperkuat substansi regulasi yang akan ditetapkan merupakan bagian penting dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang efektif dan responsif.
Dari aspek teknis, KPU penting memperkuat sistem informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan setiap tahapan pemilu seperti sistem informasi partai politik (sipol), sistem informasi data pemilih (sidalih), sistem informasi daerah pemilihan (sidapil), sistem informasi pencalonan (silon), sistem informasi logistik (silog), dan sistem informasi penghitungan suara (situng).
Keseluruhan sistem informasi tersebut pada pemilu 2014, pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota pada tahun 2015 dan 2017 masih berada dalam platform yang terpisah. Agar datanya lebih sinkron satu dengan yang lain, lebih terkelola dengan baik dan publik dapat menjangkau informasinya lebih mudah maka keseluruhan sistem informasi tersebut perlu diintegrasikan.
Kompleksitas substansi dan teknis kepemiluan pada pemilu serentak 2019 juga membutuhkan profesionalitas dan integritas penyelenggara di semua level, baik di tingkat badan permanen (KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota) maupun di level badan ad hoc (PPK, PPS, dan KPPS). Karena itu, persyaratan dan prosedur perekrutan badan penyelenggara pemilu, baik badan permanen maupun ad hoc harus diperbaiki.
Mekanisme perekrutan dilakukan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon penyelenggara pemilu. Peran kepala desa/ lurah dan badan musyawarah desa (BMD) atau dewan kelurahan dalam perekrutan Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus dihilangkan untuk menghindari ruang intervensi aparatur desa/kelurahan terhadap para kandidat PPS.
Bimbingan teknis (bimtek) bagi penyelenggara level ad hoc harus ditingkatkan. Pada pemilu 2014, karena keterbatasan anggaran, bimtek pemungutan dan penghitungan suara tidak melibatkan semua anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Akibatnya, pemahaman anggota KPPS terhadap prosedur pemungutan dan penghitungan suara tidak seragam.
Selain memperbaiki prosedur perekrutan, persyaratan calon anggota PPS, PPK, dan KPPS harus diperbaiki. Syarat usia anggota PPS dan PPK sekurang-kurangnya 25 tahun sebaiknya diturunkan menjadi 21 tahun, mengikuti standar usia minimal calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dengan syarat usia 21 tahun, mereka yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi (PT) atau baru menamatkan studi dapat ambil bagian sebagai penyelenggara pemilu. Sementara syarat usia calon anggota KPPS diturunkan dari 25 tahun menjadi 17 tahun atau sesuai dengan usia pemilih seperti yang pernah diberlakukan pada pemilu 1999.
Keberadaan Rumah Pintar Pemilu (RPP) dan Pusat Informasi dan Dokumentasi di KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota dapat dioptimalkan untuk mengedukasi pemilih dan prapemilih dalam rangka mempersiapkan mereka menjadi pemilih yang informatif, cerdas, rasional, dan mandiri sekaligus menjadi penyelenggara pemilu yang profesional dan berintegritas.
Kompleksitas substansi dan teknis pemilu serentak 2019 juga membutuhkan strategi pengelolaan tahapan agar administrasi proses dan hasil pemilu lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Alokasi pemilih dalam setiap tempat pemungutan suara (TPS) perlu dikurangi dari 500 pemilih per TPS menjadi paling banyak 300 pemilih per TPS.
Hal ini diperlukan untuk mengurangi beban kerja KPPS. Pada pemilu serentak 2019, KPPS selain mengadministrasikan hasil pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota), dalam waktu bersamaan juga harus mengadministrasikan hasil pemilu presiden dan wakil presiden.
(maf)