Penguatan Inspektorat Daerah
A
A
A
Prof Amzulian Rifai PHD
Ketua Ombudsman RI
Setidaknya pada 2015 dan 2016 pemerintah daerah menempati urutan teratas sebagai lembaga pemerintah yang paling banyak dilaporkan kepada Ombudsman RI. Jika pada 2015 terdapat 2.914 laporan, jumlah ini meningkat menjadi 3.638 laporan pada 2016 atau 40% dari keseluruhan laporan. Angka yang tinggi ini merefleksikan banyak hal terkait tata kelola kepemerintahan di daerah, termasuk fungsi pengawasan internal mereka.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo juga menunjukkan kerisauan terhadap banyak persoalan di daerah dan berencana memperkuat aparat pengawasan internal. Mendagri menyadari lemahnya kemampuan mendeteksi, mengungkap pungli, manipulasi anggaran, khususnya perencanaan anggaran, dana hibah bansos berpotensi melibatkan institusi hukum untuk menuntaskannya.
Seandainya saja berbagai lembaga pengawas internal yang dimiliki oleh setiap kementerian dan lembaga negara berfungsi maksimal, banyak persoalan yang dapat dituntaskan. Soal pungli dan suap misalnya tidak harus melibatkan lembaga lain yang mungkin memiliki tugas yang lebih luas lintas lembaga.
Bukan itu saja, banyak persoalan-persoalan di pemerintah daerah yang ”naik ke atas” hingga ke Presiden sebagai akibat lemahnya pengawasan internal, termasuk di pemerintahan provinsi, kabupaten, atau kota. Publik meyakini bahwa pengawasan internal seperti inspektorat di berbagai daerah belum berjalan sebagaimana mestinya. Akibat itu, wibawa inspektorat di daerah menjadi lemah dan kurang pula mendapat kepercayaan dari para birokrat yang menjadi pihak terlapor.
Padahal, fungsi pengawas internal kementerian/lembaga hingga ke pemerintah daerah sangat diperlukan dan menentukan. Seharusnya inspektorat di pemda provinsi/kabupaten/ kota mampu melokalisasi, bahkan menuntaskan persoalan yang terjadi di lingkungannya, agar tidak menjadi isu nasional yang tak terselesaikan.
Disayangkan, selama ini ada pemahaman bahwa inspektorat di daerah sekadar stempel (rubber stamp) para kepala daerah. Mereka tidak memiliki kewenangan yang besar. Finalisasi temuan inspektorat tergantung pada kepala daerah. Di banyak daerah kepala daerah telanjur berutang budi kepada para tim sukses yang saat dia menjabat para tim sukses itu telah memegang berbagai jabatan di pemerintahannya.
=Inspektorat Daerah=
Pada era otonomi daerah pemerintah daerah memiliki fungsi yang luas dalam upaya membentuk pemerintahan Indonesia atas dasar penerapan good governance. Artinya, nama baik Indonesia secara nasional bergantung pula pada bagaimana ”sepak terjang” pemerintah daerah. Daerah yang telah otonom itu memberikan warna negeri ini secara nasional. Itu sebabnya peran para inspektur di daerah menjadi penting.
Aturan yang mengatur pelaksanaan pengawasan di daerah bersifat dinamis. Namun, di antara aturan itu adalah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selain itu, ada pula Keputusan Presiden No 74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 67 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Hakikatnya, inspektorat daerah berfungsi sebagai auditor internal pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan kegiatan pengawasan umum pemerintah daerah dan tugas lain yang diberikan kepala daerah.
Lembaga ini merupakan suatu lembaga pengawas di lingkungan pemerintah daerah. Inspektorat daerah memainkan peran yang sangat penting untuk kemajuan dan keberhasilan pemerintah daerah dan perangkat daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan urusan pemerintahan, inspektorat mempunyai beberapa fungsi. Pertama, perencanaan program pengawasan. Kedua, merumuskan kebijakan dan fasilitas pengawasan. Ketiga, pemeriksaan, pengusutan, pengujian, dan penilaian tugas pengawasan.
Pemerintah daerah di semua tingkatan menjadi cerminan bagaimana tampilan pemerintah Indonesia di bawah naungan NKRI. Itu sebabnya mengapa inspektorat daerah menjadi pilar yang mempunyai tugas sebagai pengawas sekaligus pengawal dalam pelaksanaan program pemerintah daerah yang tertata dan tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Seharusnya berbagai bentuk penyelewengan bukan hanya dapat diantisipasi, melainkan juga dapat diselesaikan di daerah, terutama melalui peran maksimal inspektorat daerah. Berbagai persoalan dan temuan serta laporan kepada inspektorat dapat diselesaikan dengan baik bukan hanya bersifat solutif, melainkan juga memunculkan efek jera.
Namun, dalam kenyataannya, inspektorat di daerah (bahkan juga mungkin di tingkat kementerian/lembaga) belum dapat berfungsi sebagaimana diharapkan. Di banyak daerah inspektorat itu bahkan lumpuh. Malah ada yang menjadi pelarian bagi pejabat yang dimutasi dan tetap memerlukan status pejabat eselon.
=Tantangan Inspektorat Daerah=
Ada berbagai tantangan bagi inspektorat yang merupakan lembaga dengan kewenangan melaksanakan fungsi pengawasan internal dalam arti luas berupa pengawasan (supervising), pemeriksaan (auditing), dan pengendalian (controlling) terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan daerah.
Tantangan pertama, soal independensi. Bagi suatu lembaga pengawas, independensi menjadi rohnya. Ketiadaan independensi bagi lembaga pengawas tersebut menjadikannya tidak dapat berfungsi sebagaimana yang ditentukan.
Inspektur daerah di semua tingkatan ditunjuk dan bertanggung jawab dengan kepala daerah. Permendagri No 64 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota justru menggambarkan persoalan independensi itu.
Ditegaskan dalam Permendagri tersebut bahwa inspektorat provinsi adalah aparat pengawas fungsional yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur. Sedangkan inspektorat kabupaten/kota adalah aparat pengawas fungsional yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/wali kota.
Memang sikap kepala daerah dalam soal ini tidak dapat ”dipukul rata,” pasti sama-sama keberatan dengan independensi para inspekturnya. Namun, problemnya di banyak daerah, saat seseorang menduduki jabatan itu erat kaitannya dengan loyalitas terhadap kepala daerah. Satu di antara akibatnya pejabat yang ditunjuk seringkali bergantung pada petunjuk dan keputusan kepala daerah.
Memang kini ada lelang jabatan, tapi kepercayaan (trust) publik terhadap mekanisme ini masih banyak yang meragukan. Keluhan terhadap ”lelang terbuka” ini banyak terjadi. Itu sebabnya, cukup banyak laporan ke Ombudsman RI terkait promosi dan demosi oleh kepala daerah yang dinilai cacat administrasi.
Kebanyakan inspektorat belum memiliki kinerja maksimal guna menghadirkan pemerintahan dengan prinsip good governance. Rendah pula temuan pelanggaran yang sanggup dituntaskan. Memang tidak ada angka nyata dan rinci yang mampu menggambarkan lemahnya kinerja semua inspektorat, namun persoalan di daerah yang menyebar ke mana-mana merefleksikan problem itu.
Persoalan lain, inspektorat daerah memiliki tingkat kepercayaan yang rendah dari mereka yang mengharapkan ada tindak lanjut atas laporan pelanggaran oleh birokrasi. Publik tidak yakin bahwa inspektorat mampu mengeksekusi berbagai laporan atau temuan. Mungkin satu di antara penyebab muncul tuduhan ini karena ending dari proses itu ada pada kepala daerah.
=Upaya Memperkuat=
Inspektorat daerah merupakan lembaga penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih. Banyak hal dapat dicapai apabila institusi ini mampu menjalankan tugas-tugas pengawasan dan pencegahan.
Di antara capaian itu persoalan-persoalan yang terjadi di pemerintah daerah tidak berkembang ke mana-mana, ke lembaga-lembaga lain, atau naik hingga ke Presiden. Apalagi, kebiasaan sebagian pelapor kita akan mengadukan persoalannya ”ke mana saja” agar mendapatkan perhatian yang luas.
Karena itu, harus dilakukan tindakan nyata untuk memperkuat inspektorat daerah. Cara pertama adalah melakukan restrukturisasi. Struktur organisasi yang selama ini berada di bawah kepala daerah lebih menempatkan inspektorat sebagai pembantu kepala daerah, bukan sebagai pengawas daerah.
Memang, seandainya saja kultur independen itu melekat pada kepala daerah mungkin struktur seperti selama ini tidak ada masalah. Namun, realita menunjukkan bahwa independensi, termasuk untuk diawasi oleh ”anak buah sendiri,” masih belum melembaga pada semua kepala daerah.
Di antara alternatif restrukturisasi inspektorat daerah adalah melepaskannya dari belenggu kepala daerah. Patut dipertimbangkan menjadikannya sebagai lembaga yang bersifat nasional misalnya menjadikan Inspektorat Jenderal Nasional. Lembaga ini menaungi semua inspektorat di lingkungan pemerintah daerah.
Patut dipertimbangkan agar inspektorat memiliki kewenangan eksekusi yang jelas. Kewenangan eksekusi temuannya tidak dikembalikan kepada kepala daerah. Inspektorat harus memiliki kewenangan eksekusi agar menjadi institusi bergigi.
Seringkali kita ”berputar-putar” mencari cara untuk menguatkan lembaga pengawas yang banyak jumlahnya. Padahal mungkin problem utamanya pada komitmen/keseriusan para birokrat dalam menjalankan tugasnya. Jabatan terkadang dijadikan alat pemenuhan karier semata. Padahal, inspektorat merupakan lembaga mulia, jelas pula arah dan fungsinya. Harus ada upaya nyata penguatan inspektorat, jangan sampai nanti ada ide untuk membubarkan akibat berbagai kelemahannya.
Ketua Ombudsman RI
Setidaknya pada 2015 dan 2016 pemerintah daerah menempati urutan teratas sebagai lembaga pemerintah yang paling banyak dilaporkan kepada Ombudsman RI. Jika pada 2015 terdapat 2.914 laporan, jumlah ini meningkat menjadi 3.638 laporan pada 2016 atau 40% dari keseluruhan laporan. Angka yang tinggi ini merefleksikan banyak hal terkait tata kelola kepemerintahan di daerah, termasuk fungsi pengawasan internal mereka.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo juga menunjukkan kerisauan terhadap banyak persoalan di daerah dan berencana memperkuat aparat pengawasan internal. Mendagri menyadari lemahnya kemampuan mendeteksi, mengungkap pungli, manipulasi anggaran, khususnya perencanaan anggaran, dana hibah bansos berpotensi melibatkan institusi hukum untuk menuntaskannya.
Seandainya saja berbagai lembaga pengawas internal yang dimiliki oleh setiap kementerian dan lembaga negara berfungsi maksimal, banyak persoalan yang dapat dituntaskan. Soal pungli dan suap misalnya tidak harus melibatkan lembaga lain yang mungkin memiliki tugas yang lebih luas lintas lembaga.
Bukan itu saja, banyak persoalan-persoalan di pemerintah daerah yang ”naik ke atas” hingga ke Presiden sebagai akibat lemahnya pengawasan internal, termasuk di pemerintahan provinsi, kabupaten, atau kota. Publik meyakini bahwa pengawasan internal seperti inspektorat di berbagai daerah belum berjalan sebagaimana mestinya. Akibat itu, wibawa inspektorat di daerah menjadi lemah dan kurang pula mendapat kepercayaan dari para birokrat yang menjadi pihak terlapor.
Padahal, fungsi pengawas internal kementerian/lembaga hingga ke pemerintah daerah sangat diperlukan dan menentukan. Seharusnya inspektorat di pemda provinsi/kabupaten/ kota mampu melokalisasi, bahkan menuntaskan persoalan yang terjadi di lingkungannya, agar tidak menjadi isu nasional yang tak terselesaikan.
Disayangkan, selama ini ada pemahaman bahwa inspektorat di daerah sekadar stempel (rubber stamp) para kepala daerah. Mereka tidak memiliki kewenangan yang besar. Finalisasi temuan inspektorat tergantung pada kepala daerah. Di banyak daerah kepala daerah telanjur berutang budi kepada para tim sukses yang saat dia menjabat para tim sukses itu telah memegang berbagai jabatan di pemerintahannya.
=Inspektorat Daerah=
Pada era otonomi daerah pemerintah daerah memiliki fungsi yang luas dalam upaya membentuk pemerintahan Indonesia atas dasar penerapan good governance. Artinya, nama baik Indonesia secara nasional bergantung pula pada bagaimana ”sepak terjang” pemerintah daerah. Daerah yang telah otonom itu memberikan warna negeri ini secara nasional. Itu sebabnya peran para inspektur di daerah menjadi penting.
Aturan yang mengatur pelaksanaan pengawasan di daerah bersifat dinamis. Namun, di antara aturan itu adalah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selain itu, ada pula Keputusan Presiden No 74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 67 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Hakikatnya, inspektorat daerah berfungsi sebagai auditor internal pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan kegiatan pengawasan umum pemerintah daerah dan tugas lain yang diberikan kepala daerah.
Lembaga ini merupakan suatu lembaga pengawas di lingkungan pemerintah daerah. Inspektorat daerah memainkan peran yang sangat penting untuk kemajuan dan keberhasilan pemerintah daerah dan perangkat daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan urusan pemerintahan, inspektorat mempunyai beberapa fungsi. Pertama, perencanaan program pengawasan. Kedua, merumuskan kebijakan dan fasilitas pengawasan. Ketiga, pemeriksaan, pengusutan, pengujian, dan penilaian tugas pengawasan.
Pemerintah daerah di semua tingkatan menjadi cerminan bagaimana tampilan pemerintah Indonesia di bawah naungan NKRI. Itu sebabnya mengapa inspektorat daerah menjadi pilar yang mempunyai tugas sebagai pengawas sekaligus pengawal dalam pelaksanaan program pemerintah daerah yang tertata dan tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Seharusnya berbagai bentuk penyelewengan bukan hanya dapat diantisipasi, melainkan juga dapat diselesaikan di daerah, terutama melalui peran maksimal inspektorat daerah. Berbagai persoalan dan temuan serta laporan kepada inspektorat dapat diselesaikan dengan baik bukan hanya bersifat solutif, melainkan juga memunculkan efek jera.
Namun, dalam kenyataannya, inspektorat di daerah (bahkan juga mungkin di tingkat kementerian/lembaga) belum dapat berfungsi sebagaimana diharapkan. Di banyak daerah inspektorat itu bahkan lumpuh. Malah ada yang menjadi pelarian bagi pejabat yang dimutasi dan tetap memerlukan status pejabat eselon.
=Tantangan Inspektorat Daerah=
Ada berbagai tantangan bagi inspektorat yang merupakan lembaga dengan kewenangan melaksanakan fungsi pengawasan internal dalam arti luas berupa pengawasan (supervising), pemeriksaan (auditing), dan pengendalian (controlling) terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan daerah.
Tantangan pertama, soal independensi. Bagi suatu lembaga pengawas, independensi menjadi rohnya. Ketiadaan independensi bagi lembaga pengawas tersebut menjadikannya tidak dapat berfungsi sebagaimana yang ditentukan.
Inspektur daerah di semua tingkatan ditunjuk dan bertanggung jawab dengan kepala daerah. Permendagri No 64 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota justru menggambarkan persoalan independensi itu.
Ditegaskan dalam Permendagri tersebut bahwa inspektorat provinsi adalah aparat pengawas fungsional yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur. Sedangkan inspektorat kabupaten/kota adalah aparat pengawas fungsional yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/wali kota.
Memang sikap kepala daerah dalam soal ini tidak dapat ”dipukul rata,” pasti sama-sama keberatan dengan independensi para inspekturnya. Namun, problemnya di banyak daerah, saat seseorang menduduki jabatan itu erat kaitannya dengan loyalitas terhadap kepala daerah. Satu di antara akibatnya pejabat yang ditunjuk seringkali bergantung pada petunjuk dan keputusan kepala daerah.
Memang kini ada lelang jabatan, tapi kepercayaan (trust) publik terhadap mekanisme ini masih banyak yang meragukan. Keluhan terhadap ”lelang terbuka” ini banyak terjadi. Itu sebabnya, cukup banyak laporan ke Ombudsman RI terkait promosi dan demosi oleh kepala daerah yang dinilai cacat administrasi.
Kebanyakan inspektorat belum memiliki kinerja maksimal guna menghadirkan pemerintahan dengan prinsip good governance. Rendah pula temuan pelanggaran yang sanggup dituntaskan. Memang tidak ada angka nyata dan rinci yang mampu menggambarkan lemahnya kinerja semua inspektorat, namun persoalan di daerah yang menyebar ke mana-mana merefleksikan problem itu.
Persoalan lain, inspektorat daerah memiliki tingkat kepercayaan yang rendah dari mereka yang mengharapkan ada tindak lanjut atas laporan pelanggaran oleh birokrasi. Publik tidak yakin bahwa inspektorat mampu mengeksekusi berbagai laporan atau temuan. Mungkin satu di antara penyebab muncul tuduhan ini karena ending dari proses itu ada pada kepala daerah.
=Upaya Memperkuat=
Inspektorat daerah merupakan lembaga penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih. Banyak hal dapat dicapai apabila institusi ini mampu menjalankan tugas-tugas pengawasan dan pencegahan.
Di antara capaian itu persoalan-persoalan yang terjadi di pemerintah daerah tidak berkembang ke mana-mana, ke lembaga-lembaga lain, atau naik hingga ke Presiden. Apalagi, kebiasaan sebagian pelapor kita akan mengadukan persoalannya ”ke mana saja” agar mendapatkan perhatian yang luas.
Karena itu, harus dilakukan tindakan nyata untuk memperkuat inspektorat daerah. Cara pertama adalah melakukan restrukturisasi. Struktur organisasi yang selama ini berada di bawah kepala daerah lebih menempatkan inspektorat sebagai pembantu kepala daerah, bukan sebagai pengawas daerah.
Memang, seandainya saja kultur independen itu melekat pada kepala daerah mungkin struktur seperti selama ini tidak ada masalah. Namun, realita menunjukkan bahwa independensi, termasuk untuk diawasi oleh ”anak buah sendiri,” masih belum melembaga pada semua kepala daerah.
Di antara alternatif restrukturisasi inspektorat daerah adalah melepaskannya dari belenggu kepala daerah. Patut dipertimbangkan menjadikannya sebagai lembaga yang bersifat nasional misalnya menjadikan Inspektorat Jenderal Nasional. Lembaga ini menaungi semua inspektorat di lingkungan pemerintah daerah.
Patut dipertimbangkan agar inspektorat memiliki kewenangan eksekusi yang jelas. Kewenangan eksekusi temuannya tidak dikembalikan kepada kepala daerah. Inspektorat harus memiliki kewenangan eksekusi agar menjadi institusi bergigi.
Seringkali kita ”berputar-putar” mencari cara untuk menguatkan lembaga pengawas yang banyak jumlahnya. Padahal mungkin problem utamanya pada komitmen/keseriusan para birokrat dalam menjalankan tugasnya. Jabatan terkadang dijadikan alat pemenuhan karier semata. Padahal, inspektorat merupakan lembaga mulia, jelas pula arah dan fungsinya. Harus ada upaya nyata penguatan inspektorat, jangan sampai nanti ada ide untuk membubarkan akibat berbagai kelemahannya.
(mhd)